20 Februari 2008

Ziekenhuis

Nuwun sewu sebelumnya, ini kisah Ziekenhuis van de Suiker Matschappij Mbejingklak yang terletak Regentschap Awang-uwung di zaman Jo-mbejujo.
Konon para Petinggi Matschappij berkali-kali murka ketika Tuan Dokter Bas-nya Ziekenhuis selalu mengatakan bahwa Income Statementnya dilaporkan selalu Loss dari tahun ke tahun. Rugiiii terus. Ya memang begitu lha wong yang berobat dan opname adalah para pegawai Matschappij sendiri kok. Dan lagian Ziekenhuis kan memang bukan Profit Centre, bagaimana bisa untung kalau tarip perawatan untuk para pegawai sudah ditetapkan oleh Otoritas Matschappij, sedang harga obat-obatan yang harus dibeli dan disiapkan cukup mahal dan selalu naik dari waktu ke waktu. Kenaikan tarip lebih lambat dari kenaikan harga obat dan bahan serta peralatan medik penunjangnya.
Suatu kali para pemimpin Ziekenhuis berimprovisasi menaikkan pendapatan Ziekenhuis dengan merawat-inapkan para pegawai Matschappij yang sakit gatel-gatel atau timbilen. Nah, hasil dari pendapatan rawat-inap ini menunjukkan adanya kenaikan pendapatan yang pada suatu saat nanti pasti akan menghasilkan keuntungan bagi Ziekenhuis kalau program ini dilanjutkan secara konsisten. Plus dapat memperjuangkan kenaikan tarip perawatan.
Tetapi yang terjadi, ketika biaya operasional Matschappij untuk perawatan kesehatan jadi melembung, kembali Para Groote Bas Matschappij murka, super murka malah, karena tingginya biaya operasional hampir menyentuh 25% pendapatan Matschappij. Apalagi ketahuan bahwa pegawai yang timbilen dirawat-inapkan seminggu, pegawai yang gatel-gatel nginap lima hari, wah, ini kan lalu pegawai magabut namanya, maksudnya makan gaji buta, begitu kata para Bas Matschappij.
Bas Ziekenhuis yang titelnya ada tambahan M Arts di belakang namanya (sekolah dokternya di Groningen, Holland) kepalanya pusing tujuh keliling, untung saja tidak jatuh sakit karena tingkat pusingnya baru tujuh keliling. Coba delapan atau sembilan pasti mak-bECK, jatuh kelenger dia.
Runding punya runding, diajukanlah sebuah konsep baru, Ziekenhuis boleh menerima pasien umum. Yang dimaksud adalah pasien partikelir, sokur-sokur yang berkantong tebel, kan daripada mereka harus ke Singgapur atau Kwangchow, mending bisa dirawat di sini saja, ongkosnya tidak begitu mahal dibanding di sana tetapi bagi Ziekenhuis wuaaa ya lumayan sekali bisa meningkatkan pendapatan tanpa mengganggu anggaran Matschappij.
Ide diterima dengan catatan, pasien partikelir tersebut ( maksudnya yang bukan Pegawai Matschappij ) tidak boleh mengalahkan alokasi untuk pasien yang pegawai Matschappij. OK. Jret-jret-jret, komitmen ditandatangani dan misi mulai dilaksanakan.
Eeee ternyata kurang peminat, karena di masyarakat terlanjur ada kesan bahwa Ziekenhuis tersebut khusus digunakan untuk merawat pegawai Matschappij yang sakit. Maka diadakanlah kampanye kecil-kecilan, menjajakan informasi ke tetangga kanan-kiri bahwa sejak hari ini Ziekenhuis bisa menerima para pegawai Maschappij lain, Saudagar dan Rakyat Umum. Kampanyenya tidak berani besar-besaran, karena kawatir kalau masyarakat umum berbondong-bondong nanti klinik dan ruang rawat inapnya nggak cukup. Untung saja kok bukan khawatir kalau paramedik dan dokternya capek.
Lha tetapi karena masyarakat sudah terinformasi dan karena mereka adalah masyarakat yang sudah sadar kesehatan, maka mulailah datang pasien partikelir berbondong-bondong, dari yang cuma pengen liat, sakit perut sampai sakit lainnya. Kesibukan di Ziekenhuis meningkat.
Namun rupanya cobaan masih merundung para Dokter dan pegawai Ziekenhuis. Benar. Kenaikan jumlah pasien berdampak tenaga tidak cukup, sarana dan prasarana perlu ditambah, dan kompetensi perlu ditingkatkan. Hal lain yang tadinya berusaha untuk diredam-redam dari pikiran pemimpin Ziekenhuis akhirnya menjadi buah si malakama.
Appeal lagi ke para Petinggi Matschappij. Minta anggaran untuk renovasi, relokasi dan pembangunan fasilitas-fasilitas baru. Putusannya : sementara swadana dulu, nanti dipikirkan pada periode anggaran tahun berikut.
Wah, kalau begini pola pikir Pemimpin Ziekenhuis harus dirubah ke pola pikir dagang dong. Maka, Ziekenhuis van de Suiker Matschappij Mbejingklak ini berusaha dengan segala daya upaya dan keterbatasannya untuk dapat membuktikan dirinya menjadi Ziekenhuis yang baru dalam segalanya. Tetapi ya kikuk juga, karena bertahun-tahun sudah biasa hanya berpikir ngopeni penyakit dan merawat pasien saja, tiba-tiba harus berpikir mencari sumber-sumber pendanaan baru untuk mengembangkan diri agar mampu bangun dari keterpurukan dan cap selalu rugi.
Sementara itu, seorang Saudagar kaya dari kejauhan menawarkan kerjasama dengan setumpuk modal dan membuka peluang kerjasama untuk mendirikan unit jasa pelayanan kesehatan modern alias Ziekenhuis Partikelir yang bagus sebagus taripnya. Dengan persyaratan ini dan itu. Terpaksa Ziekenhuis Matschappij tidak bisa menyambut tawaran tadi karena persyaratan yang diajukan tidak nyambung sedikitpun dengan visi dan misi Ziekenhuis yang sudah ada.
Maka, bagaikan hadirnya Bandung Bandawasa untuk mendirikan Candi Prambanan, mak nyhhuuut, sekejap kemudian berdirilah sebuah Ziekenhuis Partikelir yang megah, nyaman dan bergengsi di kota.
Sebagian masyarakat berobat ke sana, sebagian dokter yang tadinya membantu Ziekenhuis van de Suiker Matschappij Mbejingklak juga beralih membantu bekerja di Ziekenhuis Partikelir yang baru ini, bahkan para pegawai Matschappij pun kalau boleh memilih akan merawat-inapkan dirinya bila sakit ke sana.
Konon, akhirnya Pemimpin Ziekenhuis mempekerjaken seorang konsultan (dikongkon usul, dibayar kontan) sepuh, untuk mencari solusi supaya ini Ziekenhuis tetep bisa eksis. Dua bulan pertama kerja Tuan konsultan cuma berjalan keliling ruangan bangsal dapur gudang garasi halaman dan perumahan pegawai, untuk mematiken lampu dan air leding yang menyala dan ngocor tak berguna, sekaligus kasih groeten kepada siapa saja yang ditemui terutama para pegawai dan paramedik yang dalem jam kerja lontang-lantung, ngantuk dan bercanda serta main sekak.
Eh, terkaget-kaget Tuan Dokter karena biaya operasionalnya bisa turun buanyak sekali, dari biaya air, listrik dan lembur pegawai.
Enaknya kisah ini berhenti sampai di sini saja. Kalau diterusken toh endingnya juga sudah ketahuan.

Nuwun sewu, kisah ini sekedar karangan saja.

2 komentar:

  1. gaak gumun......la wong pengarange pakar management en marketing......
    tapi sungguh. Sungguh sangat menarik. Horaas mas Paromo......

    BalasHapus
  2. ampuuun,
    masalah tidak akan selesai hanya dengan marah atau sekedar tunjak-tunjuk jari sana-sini.
    pelajari, fahami, bicarakan bersama,lalu selesaikan sesuai dengan kompetensi masing-masing.
    tidak mampu itu sesuatu yang wajar, tetapi 'tidak mau' itu baru sesuatu yang kurang ajar, gitu kata mentor saya dulu
    yang penting, jangan ngundang pakar yang apa-apa dibikin sukar

    BalasHapus