24 Februari 2008

Sasaran Tembak

Dalam beberapa kesempatan ngobrol dengan teman-teman yang bekerja di salah satu BUMN sektor Agrobisnis dan mencermati beberapa kejadian di sana, saya sering bergurau tentang betapa sengsaranya jadi orang yang berada di fungsi keuangan. Apakah itu di urusan akunting atau finansial. Contoh tentang kejadian yang menyengsarakan tadi misalnya adalah ketika proyeksi Laba/Rugi Perusahaan menunjukkan angka negatif alias rugi, maka cecaran pertanyaan akan ditembakkan kepada orang-orang Keuangan. ‘Kenapa rugi?’ Nah.
Seolah-olah angka laba atau rugi dapat disiasati begitu saja ketika pekerjaan sudah atau hampir selesai. Seolah-olah pencatatan transaksi dengan segala tetek-bengeknya dapat saja diatur agar performa keuangan menjadi laba. Dan seolah-olah ketika angka rugi yang ditampilkan maka orang keuanganlah yang paling berdosa.
Teman-teman biasanya tertawa, meskipun menurut saya sebagiannya tertawa dengan nada ‘yaaa memang nasib kami’ atau ‘ terima saja lah’. Sedang sebagian lagi mungkin sudah terlalu biasa sehingga tertawanya seperti melihat kartun strip yang dimuat saban hari di koran. Tertawa rutin.
Sementara, teman-teman di fungsi produksi agak lebih tenang, karena ‘toh mengenai uang kami tidak ikut tahu’. Bukan main!
Rupanya ada sebuah kebiasaan yang terbawa sejak lahir atau diajarkan sejak lahir di lingkungan agribisnis, yang telah ada sejak abad sembilan belas Masehi.

Yang pertama,
Ketika tuan-tuan Belanda Pemilik Pabrik (bisnis ini berawal dari dioperasikannya pabrik), maka orang-orang yang bekerja di sektor produksi tidak diperbolehkan mengetahui angka-angka dan catatan keuangan. Tugas mereka adalah menghasilkan natura produksi setinggi-tingginya di tempat kerja masing-masing. Berapa harga pupuk, harga alat, harga mesin, itu urusan kantor. Yang penting, ketika kebutuhan bahan dan barang untuk produksi telah disediakan maka mereka harus menghasilkan produk sebanyak-banyaknya. Sehingga hitung-hitungan tentang berapa sebenarnya nilai bahan dan barang serta berapa nilai jual dari produk yang dihasilkan mereka tidak pernah tahu, karena memang tidak diperbolehkan untuk tahu.

Ke dua,
Ketika belajar di sekolah atau bangku kuliah, tampaknya pelajaran menghitung biaya produksi dan nilai hasil produksi mendapat porsi yang sangat sedikit atau bahkan mungkin tidak diajarkan sama sekali, sehingga teman-teman kita ini menjadi alergi terhadap hitung-hitungan uang. Hal ini tampak jelas di kelas-kelas pelatihan dan kursus terintegrasi yang pesertanya berasal dari berbagai fungsi. Materi tentang perhitungan harga pokok, kriteria Investasi dan yang sejenisnya menjadi Mbahnya Momok yang sangat tidak disukai dan ditakuti, sehingga ketika ujian atau evaluasi dilakukan mereka biasanya ngebon teman-teman keuangan untuk memberi asistensi dan (kalau perlu) hasilnya ‘direkam’ sebagai bahan untuk menyelesaikan test atau ujian.

Ke tiga,
Rasa gengsi yang berlebihan. Benar atau tidak rumor di sudut-sudut jalanan, namun catatan sejarah mengatakan bahwa cukup jarang teman-teman dari sektor keuangan mendapat kesempatan menjadi manajer di unit usaha. Siapa pula yang menyebut unit USAHA dan bukan unit PRODUKSI? Sehingga untuk apa memahami perilaku biaya dan kalkulasi laba-rugi, cash-flow serta neraca ketika untuk mengurusi itu sudah ada tukangnya sendiri? Kira-kira mungkin demikian jalan pikirannya.

Barangkali bukan kesalahan para Tuan Belanda, teman-teman disektor produksi atau aturan (yang mungkin tidak tertulis) tentang jenjang jabatan ke puncak semata sehingga keadaan ini terjadi, tetapi: sudahkah pola pikir dan pemahaman tentang agribisnisnya benar-benar benar?
Agribisnis adalah bisnis agro. Bisnis di bidang agro. Bisnis ujungnya adalah duit, sehingga siapapun yang terlibat di bisnis ini harus peduli segala sesuatu yang berasal dari dan menjadi duit.
Nah, komentar saya kepada kepada teman-teman ketika bergurau soal tembak-menembak tadi adalah: Ketika Anda selalu saja menjadi sasaran tembak, bagaimana sikap Anda sendiri? Apa yang kemudian Anda lakukan? Adakah Anda mempunyai gambaran untuk melakukan sesuatu?

Karena:

  • Kalau Anda nrimo selalu menjadi sasaran tembak, maka Anda adalah orang yang paling konyol di lingkungan Anda.
  • Kalau Anda tidak merasa ditembak, maka Anda adalah sebuah kalkulator yang baterainya adalah gaji dan fasilitas.
  • Kalau Anda keluar ruangan dan kemudian maki-maki di luar, maka ketika Anda masuk kembali pasti Anda akan ditembak lebih gencar.
  • Kalau Anda adalah seorang yang berhasrat untuk merubah keadaan, maka berusahalah mengajarkan paradigma agribisnis kepada semua kolega Anda.

Pilihan terakhir ini tampaknya pilihan yang paling berat, karena akan ada moncong bedil lain yang akan mengarah kepada Anda, tetapi kalaupun ‘mati’ karenanya, maka Anda akan mati sebagai orang yang punya integritas, bukan hanya sebagai kalkulator yang dicopot baterainya. Apapun dan dimanapun Anda berada.
Lepas dari masalah batas usia yang nantinya akan mengantarkan seorang karyawan harus pensiun, di ujung obrolan saya cenderung merekomendasikan pilihan terakhir tadi kepada teman-teman, apalagi kalau pensiunnya masih nun jauuh di sana.
Yakinlah, kalau Anda tidak merubahnya maka akan ada yang merubahnya, dan sementara itu Anda tidak akan pernah punya kebanggaan apa-apa selain pengalaman sebagai sasaran tembak.

6 komentar:

  1. He he he he masalah mbak tembak... bagian keuangan tetep paling uenak... lawong angger dini dolanan duwik...
    sik paling gak enak nek dinggo dolanan duwik....soro.

    BalasHapus
  2. ooooeeeee..... mooaaass... ......mbooooooaaakkkk, oooooeeeee...duuuuuuuwiiiiiiiikkkk...
    ayo dolanan duuuuuuwiikkk !!!!!

    BalasHapus
  3. eh siapa bilang orang keuangan jarang sampai posisi puncak? justru karena dia di posisi strategis, maksudnya dia yang paling duluan tau sehat atau sakitnya organ dalamnya institusi, memungkinkan dia mengambil sikap. buat apa bertahan kalau umur institusinya tinggal menghitung hari? di sisi lain, karena dia tau bener urat nadinya, kenapa tidak bikin bisnis sendiri? kenapa sih seneng jadi pegawai? sehingga masa pensiun tidak jadi moment yang menyedihkan.... he..he.. peace mas !

    BalasHapus
  4. ini ceritanya terjadi di sanaaaa....
    di negeri antah-berantah
    tapi, iyalah ....
    terserah beliau semua, pada mau bikin apa di sana

    peace and always timbilen ngintip blog ini
    salam untuk bandung (kali ini tanpa bondowoso)

    BalasHapus
  5. Memang ada sistem yang salah ya Pak De... waktu bikin anggaran, bid keuangan yang buat, waktu 'menyatakan ' untung apa buntung bid Akuntansi, tapi bidang produksi dan turunannya alias unit produksi tidak berproduksi dengan semestinya sesuai rencana (alibi: manusia boleh berencana tapi tuhan yang lebih menentukan), lalu kontrol ada disiapa yah yang paling ada gregetnya? Keuangan? akuntansi. unit produksi? SPI? direksi? komisaris? wah... wah... balik lagi tembak menembak ya Pak De... he3x
    Salam Anak Muda

    BalasHapus
  6. Halo Anak Muda,
    di dunia yang seperti itulah rupanya Anda berada,
    harus melakukan apa?
    diam saja?
    atau melakukan sesuatu secara santun, kenceng, cermat, bersama anak muda yang lain?
    Kutunggu ceritamu, Anak Muda.

    BalasHapus