22 Februari 2008

Bung dan Pak

Apakah arus informasi yang konon berdampak pada globalisasi ini sudah demikian kurangajarnya ya?
Perubahan yang terjadi telah menjungkirbalikkan kelaziman, norma dan bahkan ritual yang selama ini terkadang dijaga dengan taruhan nyawa.
Ambil contoh. Karena teknologi informasi telah memungkinkan kita melihat dan mendengar apa yang terjadi di belahan dan sudut bumi yang lain, maka kemudian ada upacara pernikahan dilangsungkan melalui televideo dan teleconference. Bukan main!
Arus informasi telah melahirkan kemungkinan-kemungkinan yang seratus tahun lalu tidak terpikirkan. Perubahan yang bermanfaat untuk umat manusia telah terjadi, demikian pula sebaliknya dengan perubahan yang potensial membahayakan kehidupan secara keseluruhan.
Tapi yang ingin saya sampaikan adalah sekedar tentang Bung dan Pak, dari contoh kecil dari keseharian di lingkungan kita. Kalau Anda bertanya kepada anak-anak, remaja atau tetangga dan teman Anda : siapa presiden Indonesia? Hampir yakin bahwa jawabannya akan : SBY.
SBY! Begitu saja, singkat, tanpa embel-embel apapun. Simpel: SBY.

Kalau ini terjadi lima puluh tahun yang lalu, jawabannya adalah: Bung Karno. Dan kalau ini ditanyakan dua puluh tahun yang lalu jawabannya hampir pasti : Pak Harto.
Bandingkan, dalam waktu lima puluh tahun telah terjadi ‘penghilangan’ predikat. Bung atau Pak atau yang lain lagi sudah tidak menjadi sesuatu yang perlu dipedulikan.
Tampaknya ini diadaptasi dari belahan benua sana, di mana menyebut presidennya cukup: FDR, JFK dan lainnya lagi. Padahal di sebelah lain mereka masih menyebut tokoh dengan embel-embel tertentu, contohnya: Lady Di.
Di sini sekarang, menyebut nama seseorang terkadang dilakukan dengan inisial nama, jabatan bahkan nomor mobil atau nomor HP! Wah, macam di dunia James Bond saja.
Kita sering mendengar orang menyebut RI-1, tentu maksudnya Presiden. GM, biasanya General Manager. KD artinya bagi penggemar musik Indonesia adalah Krisdayanti. Tapi kalau 1603? Pasti Anda bingung, padahal di suatu tempat, kode itu merujuk kepada nomor HP seorang pejabat Perusahaan. Tentunya bukan karena kurang ajar atau yang sebangsanya, tapi semata-mata agar sebutan terhadap seseorang segera dikenali dalam suatu komunitas yang spesifik, sehingga komentar dan informasi yang bersifat khusus tidak begitu saja mudah dicerna oleh orang yang tidak kompeten.
Lalu perlukah sebutan SBY dimodifikasi menjadi Bung SBY, Pak SBY, Gus SBY atau yang lain?
Biar saja masyarakat (Anda di dalamnya, jangan lupa) yang akan memprosesnya. Apapun sebutan itu, tetap saja SBY adalah Presiden saat ini, Presiden Republik Indonesia di era globalisasi.
Sementara Sby yang lain berarti juga Surabaya, kota di mana saya tinggal saat ini, dan pasti Sby yang ini tidak akan cocok kalau ditambah dengan Bung, Pak atau Gus sekalipun.

5 komentar:

  1. wah kalah dong dengan pelawak, mereka pakai mister.. ada Mr bEan, mr X, mbah dArmo dll
    gak ngarti ..apa misih ada adat ketimuran 25 th lagi?

    BalasHapus
  2. setahu saya, mr.X adalah mayat yang tidak diketahui identitasnya dan dititipkan di RS untuk dipulasara(?),
    kasihan ya...
    lah kalau adat ketimuran, teman saya di blog kenangan sepanjang masa sudah nulis dengan sangat asyik
    terus kalau soal 25 th lagi, wah itu saya juga pengen tahu, tapi yang jelas tampaknya indonesia sedang mencari format, mudah2an bukan format sesat.
    terima kasih, salam kenal

    BalasHapus
  3. di pulosoro?? wah bener2 kasihan dong. itu istilah yang keliru. maklum orang jakarta gak tahu boso jowo.
    yang benar rukti jenasah. entah siapa yg memproklamirkan pulosoro dgn arti baru me''rukti'' mayat. Padahal pulosoro arti awalnya adalah menyiksa dgn sadis. mungkin maksudnya mau mengatakan upokoro............... ?? media masa juga ikut2 latah memakai kata yg salah tsb.

    BalasHapus
  4. Mas Suko jangan lupa masih ada lagi lho selain Bung dan Pak yaitu "Gus" dan Mbak" kalau kita menerang kira-kira lima tahun ke belakang. Malah waktu saya kecil sering saya baca dan dengar "Si" kancil he he he....

    Saya kira sah - sah saja orang - orang sekarang meninggalkan kata sandang atau atribut depan untuk menyebut nama orang dengan berbagai macam alasan tentunya.

    Salah satu alasan yang mungkin reasonable yaitu bahwa beberapa kata sandang itu ternyata tidak cocok untuk sebagian nama, saking tidak cocoknya atribut itu malah bisa jadi ejekan atau bahan olok - olok. Contoh : Bung pada nama kusno kedengarannya jadi kalimat perintah "bungkusno rek sing akeh" atau malah yang lucu sebutan "jeng" pada istri pak ngatno" weleh weleh...
    I think that is a reasonable reason.

    BalasHapus
  5. dari bermaksud menghargai malah jadi mencemarkan ya....
    wah, yaaa repot tenan ya,
    jadi terus harus bagaimana?
    giliran ndika nulis saja yaaaa
    saya yang komentar, aku janji*
    trims,
    (masmu endi kok gak muncul dik?)

    * selama pulsa masih tersedia

    BalasHapus