19 November 2008

Kupu-kupu


Kupu-kupu yang lucu, ke mana engkau terbang

Hilir-mudik mencari, bunga-bunga yang kembang

Berayun-ayun, pada tangkai yang lemah

Tidakkah sayapmu, merasa lelah


Anda masih bisa menyanyikannya, kan?

Lagu anak-anak di atas, adalah salah satu lagu favorit saya karena relevansi syairnya. Tersindirkah saya? Ya banget, sih.

Bagi saya, lagu sesederhana itu ternyata mengandung banyak faset yang dapat direnungkan. Periodisasi perjalanan hidup misalnya, dimulai dari periode saya masih kupu-kupu yang ‘lucu’ sampai dengan periode saya menjadi ‘makin lucu’ seperti sekarang.

Aktivitas, dari sejak saya terbang untuk berlucu-lucu sampai ketika saya terbang untuk mencari sesuatu.

Batas-batas, tangkai lemah di mana saya harus berayun-ayun dengan hati-hati, dan sayap saya yang lelah tetapi tetap saya gunakan untuk terbang.

Saya kagum dengan penciptanya, Ibu Sud yang demikian cerdas dan arifnya memotret perilaku orang dewasa serta sekaligus memberikan peringatan agar tidak menjadi kupu-kupu yang mati sia-sia pada akhirnya. Potret dan peringatan tersebut mampu disajikan dalam sebuah lagu anak-anak.

Jadi, ketika mendengarkan seorang anak kecil menyanyi : Kupu-kupu yang lucu .....

Saya bertanya kepada diri sendiri:

.................. ke mana engkau terbang?

13 November 2008

Langit Kuning

(inspirasi: novel The Kite Runner - Khaled Hosseini )

(sebuah evaluasi tujuhbelasan) : Lomba mewarna untuk anak-anak kecil di RT Tiga berlangsung dengan sukses. Artinya selesai. Seadanya. Pesertanya tidak lebih dari lima belas orang. Pelaksana kegiatannya anak-anak remaja.Jurinya dicari di antara siapa yang mau, itupun baru ditemukan ketika lomba sudah berlangsung.

Oleh juri dipilih tiga gambar terbaik.

Ketika hasil lomba diumumkan, komplain mulai dilayangkan, bukan ke panitia tetapi ke jalanan.

‘Masa, langitnya diwarna kuning kok menang, sedang yang biru malah dikalahkan’ ujar seorang nenek.

‘Yaa, mesti saja gambar yang ini menang, kan anak ini pas keponakan dari jurinya’

‘Warna gambar yang ini lebih rata, kok enggak menang ya, yang belepotan malah menang’

Macam-macam.

Vonis jalanan: Juri dan panitia tidak fair, tidak pandai menilai, hasil penilaian tidak wajar, dan lain-lain.

Hehehehe....

Para balita kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, menyaksikan ibu, nenek, bapak, kakek berbicara dengan nada tinggi di antara sesama orang tua. Ada apa ya, para kakek-nenek, pakde-bude ini?, begitu kira-kira pikir anak-anak ini.

Melihat anak-anak kecil yang sehat dan ceria, yang mengelesot ketika mewarna dan menggambar, rasanya hati ini sangatlah bahagia. Wajah dan ekspresi yang lucu, gerakan tangan dan jari mungilnya, antusiasme dalam menggambar (NB: ikut bertujuhbelasan), ah! bukankah ini adalah hal yang menyenangkan?

Mereka mau ikut tanpa rewel dan tanpa pretensi apapun saja, seharusnya sudah mengajarkan kepada kita bahwa nilai kebersamaan lebih indah ketimbang kemenangan.

Bukankan event perayaan ini adalah suatu ekspresi kebersamaan di antara anak bangsa? Merdeka yang artinya bebas dan menang dari ketertindasan, bukan berarti menang dari saudara sendiri, kan. Karena di antara saudara memang tidak layak untuk menang-menangan.

Dalam hal ‘lomba’ (namanya kok lomba, ya) mewarna untuk anak-anak ini, kalau perlu justru kita semua (para orang-tua yang anaknya berlomba) masing-masing menyiapkan hadiah dari rumah untuk mereka semua. Ya. Mereka semua, tanpa ada urusan menang dan kalah di antara anak-anak itu, karena belum saatnya mereka menderita lantaran dipertandingkan dan diadu untuk menang oleh yang tua-tua. Mereka kan bukan jangkrik.

Aaah,

merdeka

(masih tetap huruf kecil dan tanpa tanda seru.... sabaaar, sabaaaaar)

07 November 2008

Aura

Konon, seperti yang pernah saya baca, aura adalah pancaran cahaya yang berasal dari tubuh setiap orang. Mata telanjang tak dapat menangkap pancaran cahaya ini, kecuali beberapa orang ‘linuwih’ yang penglihatannya mampu menyesuaikan dengan panjang gelombang cahaya aura. Konon pula, seperti yang diceritakan bahwa aura seseorang yang ‘pinunjul’ adalah putih menyejukkan.

Namun seperti pula yang pernah saya baca, pancaran aura seseorang sangat berhubungan dengan keadaan mental orang tersebut pada saat tertentu, sehingga aura yang muncul akan berbeda-beda tergantung kepada suasana hati dan kondisi fisiknya, apakah sedang galau, bergairah atau patah semangat, demikian pula ketika seseorang sedang sakit.

Kemajuan teknologi telah menghasilkan seperangkat alat yang dapat merekam pancaran aura dan merekamnya dalam bentuk foto.

Ketika dulu saya ditawari oleh boss untuk foto aura, wah, ya mau saja, siapa tahu ketika dipotret nanti yang akan muncul adalah citra aura saya yang bening sejuk memikat hati (halaaaaahhh ! sawat kibor, mbendhol!!) .

Ternyata hasil fotonya seperti ini:


Analisis terhadap aura seperti ini tentu hanya dapat dilakukan dan dijelaskan oleh ahlinya. Sedangkan saya, cuma senang saja, karena pernah mencicipi berfoto aura.

Dan bahwa hasilnya ternyata seperti ini, terserah saja.

Ini asli lho .......

03 November 2008

Kaki-Tangan


Tengah malam yang sepi dan dingin di Tretes. Teman-teman kru pembahas rencana anggaran tahun 2000 sudah masuk kamar untuk tidur, ada yang masih terdengar gremang-gremeng ngobrol di dalam kamarnya. Wedang kopi dan tahu-tempe goreng yang cemepak di samping komputer tinggal sebiji-dua. Tadi saya ‘colong’ dari dapurnya mess waktu makan malam. Bu Darning, tukang masak mess yang ngonangi saya nyolong malah menawarkan untuk digorengkan lagi dari jatah persiapan makan pagi.

Jenuh kutak-katik angka, saya dengerin lagu-lagu lamanya Chrisye sambil kelaap-kelooop berdialog dengan diri-sendiri. Dan inilah hasil saya menyendiri malam itu, di Tretes 22 Juni 1999 ....



Kalau tidak terbaca, judul lagunya ‘ Ketika Tangan dan Kaki Berkata’ ciptaan Taufik Ismail yang dinyanyikan oleh almarhum Chrisye.
Tampilan tersebut sempat saya jadikan wall-paper di komputer saya untuk beberapa lama.


Salam untuk semua.

30 Oktober 2008

Nasi Bau

( sebuah evaluasi tujuhbelasan)

Tujuhbelasan sudah lewat,

Kampung ini penduduknya multi-strata: strata pendidikan, pergaulan dan penghasilan, yang dapat dibayangkan dari profesi masing-masing. Ada beberapa profesor, pengusaha menengah, pengusaha kecil, karyawan, tukang bakso, tukang beca, pengrajin mainan anak, guru, dan lain-lain.
Semula, ini adalah kawasan pertanian di pinggiran kota, sehingga penghidupan asli warganya adalah petani, lengkap dengan kambing dan kerbau serta bebeknya. Namun sejak awal delapanpuluhan, hampir seluruh sawah berubah menjadi rumah-rumah KPR-BTN, yang rata-rata penghuni awalnya berusia antara duapuluh lima sampai empatpuluh tahun.

Sekarang,

Keramaian tujuhbelasan sudah selesai, panitia di RT Tiga melaporkan hasil pelaksanaan kegiatan yang telah dilaksanakan. Evaluasi dilakukan. Salah-satu hasil evaluasi: nasi kuning yang dihidangkan untuk konsumsi pada malam syukuran ternyata sebagian bau.
Nasi kuning tersebut dipesan dari sebuah depot, sebanyak 250 kotak, dan dikirim oleh depot yang bersangkutan pada pukul 3 sore, dibagikan untuk makan bersama kurang lebih pukul 8 malam, pada saat acara syukuran tanggal 16 Agustus yang lalu. Sebagian warga (yang hadir bersama seluruh keluarganya) membawa pulang nasi tersebut ke rumah seusai acara yang berakhir kurang-lebih pukul setengah 10. Ketika dibuka: bau.
Komplain per telepon disampaikan ke depot yang bersangkutan pada pagi harinya oleh seorang ibu. Depotnya minta maaf.

Mengapa nasinya bau?
Hal itu mungkin terjadi karena proses memasak, mengemas, mengirim atau menyimpan sebelum dibagikan, atau bisa karena kesemua proses tadi.
Proses memasak nasi untuk 250 kotak tentu berbeda dengan proses untuk sebakul saja. Belum lagi kalau depot tersebut juga menerima pesanan serupa dari tempat lain, yang tentu jumlahnya menjadi lebih banyak lagi sehingga prosesnya lebih berat lagi.
Mengapa tidak dimasak sendiri?
Wah, untuk menyiapkan 250 kotak nasi, para ibu anggota PKK merasa berat. Mengaca pada pengalaman-pengalaman sebelumnya, kerepotan menyediakan konsumsi untuk event seperti ini ternyata menguras tenaga dan emosi. Tenaganya masih bisa dibagi-bagi ke banyak orang, tetapi ternyata mengakomodasi dan memanajemeni keinginan dan kebiasaan dari banyak orang untuk tujuan membuat hidangan itu memerlukan adanya seorang pengelola dan pemimpin yang memiliki kemampuan, disamping ‘pemimpin’ tersebut harus benar-benar diakui sebagai pemimpin oleh orang banyak.
Bayangkan (sukanya kok membayang-bayangkan sih!)
Sementara orang ada yang terbiasa menggunakan MSG, sementara yang lain ada yang ‘mengharamkan’nya. Ini sebuah potensi masalah.
Lagi: Sebagian ibu menganut “aliran” lauk tahu-tempe-daging-ikan dalam irisan besar yang sebagian menganut “mashab” irisan kecil. Masalah lagi.
Ada yang berangkat ke tempat memasak sesudah mandi, dengan badan, kaki dan tangan yang bersih, berhadapan dengan ibu yang datang ke tempat memasak tanpa memperhatikan kebersihan diri.
Orang yang lagi batuk ingin ikut membantu, yang lain tidak suka dibantu oleh orang batuk. Masalah baru.
Sampai dengan soal menata makanan ke dalam kotak dan mempersiapkan di tempat tertentu bisa jadi sumber masalah yang membuat tegang semua yang terlibat. Apalagi batas waktu persiapannya semakin lama semakin pendek. Friksi-friksi kecil yang berakumulasi menjadi besar berpotensi membuat emosi jadi meningkat naik.
Terkadang ada saja yang suka tengil. Melakukan sesuatu yang dianggapnya remeh padahal cukup mengganggu, misalnya (eh) menyisihkan sedikit lauk dibawa pulang untuk anak dan suami karena hari itu terpaksa tidak memasak, yang akhirnya berakibat adanya nasi kotak tanpa telur dan perkedel. Atau, ada yang mengingkari komitmen untuk membuat lemper pada hari yang ditentukan, karena pergi kondangan ke luar kota, sedangkan pemberitahuannya sangat mepet dengan D-day. Cappppek dehh....
Mungkin memang diperlukan pemimpin dan manajemen yang canggih. Tetapi secanggih-canggihnya pemimpin maupun sistemnya, kalau sumber daya yang terlibat kualitasnya tidak mendukung, juga apalah artinya.
Memang untuk menghindari kerepotan yang menguras energi dan emosi seperti itu, jalan keluar yang cukup pragmatis adalah memesan nasi kuning dalam kotak ke usaha depot atau katering yang terpercaya. Kalau perlu disurvey dan dibuatkan perjanjian dulu(!). Tapi kemungkinan tetap akan ada yang bau.
Mengurus konsumsi untuk orang se-RT saja begini ribetnya ya, apalagi mengurus Indonesia.

Ah,
merdeka
(huruf kecil dan tanpa tanda seru, karena agak malu)

.

22 Oktober 2008

Gus Komar

(biarkan aku memanggilmu seperti itu)

Kau ajak aku berkelana di padang fata-morgana yang tiba-tiba menyentak menjadi padang surga
Semoga aku bisa ke sana pula meski cuma bersepeda

Aku selalu mencarimu di persinggahanmu berikutnya
Itupun kalau aku bisa menemukanmu
Dan berharap bertemu dengan Gus-gus lainnya
Mencicipi air surga penyejuk jiwa penghantar pulang kepadaNya

Jakarta-Surabaya November 2007

13 Oktober 2008

Bekerja Siang dan Malam



Ungkapan ini biasanya digunakan untuk menunjukkan sebuah usaha yang dilakukan sangat keras dalam mencukupi belanja keluarga.
Tetapi ternyata, pada beberapa tiang telepon dan tempat sampah  di gang saya diiklankan sebuah servis 24 jam oleh beberapa pebisnis yang terkadang sering dilupa-lupakan keberadaannya.



Bisnis sedot WC. Bukan main.
Dan bukan cuma satu atau dua perusahaan. Banyak. Anda tinggal kring, mereka akan datang.
Beberapa kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari mungkin untuk sementara bisa diatasi dengan menunda atau mengalihkan ke sumber yang lain, misalnya air bersih mampet. Anda dapat menunda untuk mencuci pakaian atau untuk kebutuhan memasak Anda dapat menggantinya dengan membeli makanan masak atau malah Anda akan makan di luar. Begitu pula ketika listrik mati, Anda dapat posting blog dari warnet yang listriknya menyala.
Tetapi kalau WC Anda mampet? Anda (dan keluarga) tak bisa bergantian numpang ke WC tetangga. Jasa sedot WC-lah yang harus segera Anda hubungi.
Bisnis sedot WC rupanya juga kencang dengan persaingan, meskipun lekat dengan kesan kotor dan bau. Ini terbukti dengan banyaknya stiker iklan yang ditempel tumpang tindih di tiang-tiang listrik, tiang telepon dan tempat-tempat strategis lainnya.




Anda pernah berkendara di belakang mobil tangki tinja?
Mungkin ketika itu Anda akan berusaha melambatkan jarak agar tidak berada persis di belakangnya, atau Anda akan berusaha mendahuluinya, karena kesan kotor dan bau tadi.
Tapi ketika WC di rumah Anda terkena musibah, Anda justru memerlukan kehadiran para pakarnya: ahli sedot WC beserta peralatan penunjangnya untuk mengatasi musibah tersebut.



Posting ini jorok, ya?
Maaf.

09 Oktober 2008

Sekolah Saya, Guru-guru Saya

Guru Geometri saya di SMP bernama pak Sutikno. Tinggi, kurus, dan konon terkenal kejam nian dalam memberi nilai.
Soal-soal yang diberikan di kelas, sebagai PR maupun dalam ulangan, harus diselesaikan dalam format baku, yaitu:

Diketahui : Segitiga ABC; sudut B= 90derajat; AB = 3cm; AC=5cm
Hitung      : BC
Jawab       : .................. (hitung sendiri!)

Beliau sangat disiplin dalam mengharuskan para muridnya menggunakan format seperti ini. Bahkan penempatan tanda titik-dua (:) harus lurus dengan tanda di atasnya! Batas antarunsur harus ditulis dengan titik-koma. Di luar standar baku tersebut, meskipun jawaban akhirnya mutlak benar, nilai yang diberikan tetap akan dikurangi, bukan sepuluh tetapi sembilan.
Memberi nilai juga demikian tegasnya, tidak ada nilai dalam bentuk bilangan antara nol dan seratus, tetapi nol sampai sepuluh, tanpa tengah-tengahan. Jadi jangan berharap ada nilai empat setengah atau tujuh setengah. Empat atau tujuh. Tegas sekali.
Waktu berlalu, dan saya sebagai murid ketika itu belum mampu menangkap maksud beliau, mengajar dengan gaya yang demikian lurus dan kakunya. Ternyata yang dilakukan beliau adalah mengajarkan sebuah model : konsistensi dan format. Juga habit. Itulah yang diajarkannya disamping kompetensi beliau mengajar ilmu eksakta.
Murid, eh, siswa disamping diajarkan untuk menguasai ilmu eksakta juga dibiasakan untuk berperilaku tertib, mengikuti aturan, rapi, menghargai nilai dan banyak hal lain lagi.
Beliau (ketika itu) sedang memproduksi dan menduplikasikan sebuah model sikap: lugas.
Bukan main!
Saya pikir tadinya hanyalah beliau seorang diri, guru yang melakukan hal tersebut, tetapi setelah saya rewind memori saya, hampir seluruh guru saya ketika itu mempunyai pola yang sama, meskipun disampaikan dalam cara yang berbeda-beda.
Bahkan, demikian pula guru saya yang lain, pak Djiwanto dalam pelajaran budi pekerti. Pelajaran ini disampaikan dalam bentuk dongeng serial Siegfriedo dan Putri Joharmanik. Pelajaran yang paling menyenangkan ini, diberikan pada dua jam pelajaran terakhir di siang hari menjelang pulang. Setidaknya ada beberapa generasi kakak-kelas dan adik-kelas saya mendapatkan dongeng tersebut. Drama berlatar belakang perang, kekuasaan dan percintaan. Yang satu dengan setting Eropa dan satunya Timur Tengah.
Dalam menyampaikan cerita ini, pak Djiwanto memompa pikiran para murid dengan nilai-nilai patriotisme, heroisme, tanggung-jawab, kesetiaan dan banyak hal lain yang intinya adalah keteladanan.
Saya pikir, sekolah ini adalah sebuah percetakan, tetapi yang dicetak adalah format berperilaku. Sebuah format yang diharapkan dapat digunakan sebagai alat untuk menjawab tantangan zaman oleh para muridnya di kelak kemudian hari, ketika mereka sampai pada masanya untuk berhadapan sendiri dengan kehidupan masing-masing.


Saya merindukan sekolah ini, tempat saya pernah belajar menjawab PR dari pak Tikno tentang berapa panjang BC, juga tempat saya menyaksikan teman-teman saya dengan pandangan terpukau menyimak cerita dan membayangkan Siegfriedo ketika pak Djiwanto mendongeng.
Sekolah saya yang sungguh menyenangkan, dengan tanah-lapang berumput hijau dan pohon cemara yang berjajar dan juga kolam-kolam ikannya, sekolah saya yang terletak di sisi Kali Lamat, Muntilan.
...............................

Beberapa hari lalu, saya datangi sekolah itu. Tampak luarnya masih tetap seperti sekian puluh tahun yang lalu. Dan ketika saya masuk ke dalam kompleksnya, amboi, umur ini rasanya mundur sekian puluh tahun. Melihat selasar dan tiang-tiang penyangganya, tanah lapang, sudut tangga, jendela-jendela, jalan aspalnya ....

08 Oktober 2008

Mlebetipun Medal Pundi?

Pak Agus Yani, seorang senior sepuh saya dahulu, yang masih mengalami sekolah Londo, bahasa Inggris dan Belandanya bagus sekali.
Tapi bahasa Indonesianya ternyata ada yang bolong. Suatu ketika, beliau sambil senyam-senyum berdiri dari kursinya dan bertanya kepada saya dan teman-teman:
“Dik,  dik; bahasa Indonesianya ‘lemah jeglong’ itu apa ya?”

Melihat ekspresi beliau dan mendengar pertanyaan ‘aneh’ tersebut, semua tertawa. Saya mencoba untuk meng-Indonesiakannya:

“Tanah jeglong adalah sebidang tanah yang permukaannya turun lebih rendah dari bidang di sekelilingnya”
“Lho kalau panjang begitu, saya juga tahu. Maksudku yang ringkas saja, dik, dua atau tiga kata saja”

Sampai sekarang, ketika beliau sudah pensiun lama sekali, terjemahan itu tak pernah bisa saya selesaikan.

Lain lagi senior saya yang satunya, Pak Karyoso, seorang yang “sangat Jawa”. Yang ini memang banyolannya suka bikin kaku perut pendengarnya.

“Hayo, siapa bisa meng-Indonesiakan : Mlebetipun medal pundi?”
Dijawab oleh seorang teman:
“Masuknya lewat mana”
“Salah, to, kalau itu kan : Mlebetipung langkung pundi. Bukan seperti pertanyaan saya tadi: Mlebetipun medal pundi”
“ Masuknya ... keluar .. mana”
“He he he....., bingung kan? Kok jadi lucu!”

Bahasa memang unik. Penterjemahan secara kata-per-kata terkadang menjadikan aneh, apalagi kalau dilakukan secara plesetan. Demikian pula dengan kata-kata kiasan.

Mas Slamet, teman kakak saya, suatu kali secara guyonan bertanya:
“Dik, ada kata kiasan yang terkenal di jaman perjuangan, bunyinya : Wahai Pemuda, kalian semua adalah tiang negara. Begitu kan?”
“Terus?”
“Lha kalau Pemuda adalah tiang negara, lantas Pemudi bagaimana?”
“??? Mbuh, yo!”
Ketawa ngakak dia melanjutkan: “Pemudi adalah tiyang estri”

Semprul!!!


Kepada seluruh teman baik, pembaca blog ini,
usai Puasa Ramadhan ini perkenankan saya mohon maaf setulus-tulusnya atas segala kekhilafan dan kekurang-nyamanan yang diakibatkan oleh kejahilan saya ...
(yang barangkali akan berkelanjutan,
tapi mudah-mudahan, kedepan saya bisa lebih berhati-hati)

25 Agustus 2008

Orang Baik

 

Teman saya membuat sebuah parameter yang mengejutkan tentang orang baik. Yang dimaksud adalah orang yang hubungannya baik dengan sesama.
Orang baik, baru akan terukur kebaikannya ketika dia meninggal dan dibawa untuk dimakamkan. Semakin banyak orang yang melayat, semakin baik pula orang itu di mata orang lain.
Saya tertawa, ah, ada-ada saja dia ini.
Dengan bercanda saya uji stetmennya tersebut, bagaimana kalau orang tersebut adalah pejabat? Tentu para bawahannya akan mengerahkan para bawahannya lagi untuk melayat. Atau kalau yang bersangkutan adalah selebriti? Tentu para pemerhatinya akan menonton pemakamannya.
Jawabnya: ah, untuk yang seperti itu sih lain ukurannya...
Ya, ya, ya. Saya faham yang dimaksudkannya.
Ketika teman saya tadi mendadak wafat, saya teringat kembali apa yang pernah disampaikannya.
Saya cukup dekat dengannya, dan saya dapat melihat sebaik atau sejahat apakah dia kepada orang lain.
Ternyata, baik atau jahat dalam hubungan antar-manusia sangat tergantung kepada rasa percaya di antara mereka bahwa tak satupun akan tenang hatinya ketika merasa terancam oleh sesama.
Teman saya adalah orang yang baik, dan saya tak peduli berapa banyak orang yang mengantarkannya ke liang lahat.
Maaf teman, candamu aku analisis. Semoga kau tersenyum manggut-manggut di sana.
Mari kita seruput kopinya, selagi masih panas beraroma.

Dalam Bayangan Saya

Dalam sebuah pelatihan manajemen untuk para karyawan, diberikan kuis tentang apa tugas yang menjadi tanggung-jawab mereka, dan uraian singkat mengenai bagaimana mereka melaksanakan tugas tersebut. Mereka juga diminta menuliskan siapa patron idola mereka.
Membaca tulisan-tulisan tersebut, saya jadi berpikir tentang diri saya sendiri. Keberadaan saya di tengah para teman, kolega, senior dan yunior, atasan dan para teman yang bersama-sama saya menyelesaikan tugas bersama. Juga bagaimana saya bekerja, di mata keluarga, kerabat dan tetangga saya.
Dalam bayangan saya.....
Anak, keponakan, anak tetangga, menyaksikan keseharian saya berangkat dan pulang kerja. Juga kepergian saya untuk tugas-tugas ke pusat maupun luar kota.
Mereka mungkin juga merekam sebagian pembicaraan saya ketika bertemu langsung dengan teman-teman saya ketika di rumah, di tempat resepsi, maupun di telepon yang kadang-kadang berkaitan dengan pekerjaan. Juga betapa seringnya tiba-tiba saya harus pergi ke kantor secara mendadak di hari libur bahkan malam hari ketika pada umumnya orang sudah beristirahat. Seringkali pula, sepulang dari tempat kerja, saya harus menyelesaikan pekerjaan sampai larut malam, bahkan terkadang sampai pagi ketika mereka bangun. Mungkin pula mereka melihat dan membaca sebagian pekerjaan saya.
Barangkali mereka berpikir, betapa tinggi komitmen saya dalam melaksanakan pekerjaan. Betapa totalnya saya menjalani pekerjaan saya. Sehingga mungkin saya menjadi idola mereka.
Sementara itu,
Di tempat kerja sebenarnya saya menggunakan sebagian waktu untuk omong-omong kosong dan makan siang berlama-lama, main game atau mengakses internet dan mendownload materi-materi yang jauh hubungannya dengan pekerjaan. Tugas luar kota adalah suatu liburan wisata yang menyenangkan karena saya dapat mendatangi tempat-tempat jauh yang belum pernah saya kunjungi. Urusan tugas yang saya bawa, biarlah mereka yang saya datangi yang harus menyelesaikan.
Kalaupun saya melakukan pekerjaan saya, sebenarnya saya hanyalah melanjutkan kebiasaan-kebiasaan yang saya warisi dari gaya bekerja para pendahulu saya, tanpa saya lakukan telaah seberapa relevan warisan tersebut untuk tetap dilakukan pada saat ini. Bahkan seringkali saya menyingkirkan dan membuang cara-cara yang menurut saya rumit dan hanya akan membuat saya sulit melakukannya, tanpa peduli bahwa yang saya singkirkan itu sebenarnya adalah bagian dari prosedur baku penyelesaian pekerjaan.
Pemikiran dari para kolega dan yunior yang tidak mampu saya tindak-lanjuti saya tolak, sebagian data dan informasi saya sembunyikan atau tidak saya gali, karena saya tidak mampu mengolah dan menganalisisnya.
Yang penting, apa yang saya laporkan kepada atasan sudah cukup membuat puas para beliau ini.
Saya tidak suka mendapatkan atasan yang sok njelimet, analitis dan menguji laporan saya, karena setiap itu dilakukan, saya selalu kesulitan untuk menjelaskannya karena memang sebenarnya laporan itu disusun oleh para anak-buah saya. Dan, pada saat saya mendapat atasan yang tidak begitu pandai, sukalah hati saya. Apalagi kalau orang itu mudah dipengaruhi, sukur-sukur baik hati dan dermawan, apalagi murah hati dalam memberikan promosi kepada saya tanpa saya harus bersusah-payah berprestasi.
Saya juga tidak suka anak-buah yang sok pandai, yang suka berteori dan sok ilmiah, memprotes dan mempertanyakan segala sesuatu yang saya perintahkan kepadanya. Toh mereka mengenal tugas lebih sedikit ketimbang saya. Dan saya tentu lebih tahu karena saya bekerja lebih lama. Kecuali, mereka tidak banyak bicara tetapi dapat membuat laporan-laporan seperti yang saya kehendaki. Dengan satu catatan, apabila yang mereka buat nantinya membuat malu saya di depan atasan, saya akan ambil tindakan tegas: buang atau isolasi mereka di pojok ruangan tanpa pekerjaan.
Jangan coba-coba berkelit untuk itu, kecuali saya akan persona non grata-kan dia, sehingga tidak akan diterima di tempat manapun di lingkungan ini, kecuali oleh kolega saya lainnya yang merasa kasihan kepada anak buah saya itu.
Jadi, sebenarnya saya tidak punya komitmen maupun totalitas dalam bekerja.
Dan saya juga tidak begitu peduli dengan penilaian orang lain terutama para kolega saya atas apa yang saya lakukan.
Ketika saya pensiun nanti, akan duduk seorang muda di ruangan ini dengan rasa bangga, mungkin kebetulan dia adalah anak saya, keponakan saya, anak tetangga saya, yang sangat mengidolakan saya.
Nama besar saya, menurut mereka adalah pass untuk mencari nilai di tempat ini.
Hari berganti, ketika anak-muda ini menelusuri jejak kerja saya, mempelajari produk-produk saya, pemikiran saya, informasi tentang saya dan segala sesuatu yang bersangkutan dengan saya, idolanya.
Pelan-pelan kekaguman mereka kepada saya mulai runtuh, seperti landasan pasir di dasar sungai yang terinjak kaki, lama-lama luruh tergerus derasnya arus air. Demikian pula nama besar saya yang berada dalam tempat tinggi di benak mereka, dari hari kehari turun ke titik nadir. Ternyata saya tak punya nilai apa-apa .......
Demikian bayangan saya tentang bagaimana diri saya sekarang dan nanti, yang itu membuat saya sangat takut.

(teman-teman yang sedang bekerja di tretes: semangat!)

23 Agustus 2008

Sumbangan untuk PHBN

Membaca postingan di blog den mas teman, semula saya tidak begitu faham arahnya. Tetapi setelah saya membayangkan keberadaan dia sebagai seorang ‘middle manager’ akhirnya saya menjadi agak mafhum apa yang tersirat di balik posting tersebut. Cuma maaf, untuk sementara saya tidak akan mengungkap siapakah beliau ini, untuk menjaga harmonisasi di tempatnya bekerja yang mungkin masih cukup sensitif dengan yang namanya buka-bukaan.

Singkatnya, menjelang Hari Besar Nasional seperti sekarang ini, sepertinya sudah tradisi bahwa ada yang namanya PHBN alias Panitia Hari Besar Nasional, yang bertugas untuk menyelenggarakan (utamanya) seremoni resmi hari-hari besar di antaranya Tujuhbelasan. Yang paling pokok memang upacara bendera. Apel di tanah-lapang, tretet-tretet-tretet, menaikkan bendera Merah-Putih, nanyi lagu kebangsaan, mengheningkan cipta, baca naskah proklamasi, ditambah aubade (lagu wajib oleh paduan suara), selesai. Begitu kira-kira pokok-pokoknya. Tetapi semenjak adanya kebiasaan menduplikasi aktivitas di Istana Negara, maka pernik-pernik upacara ini menjadi semakin rumit. Paskibraka misalnya, direkrut melalui tahapan seleksi yang begitu ketat dan pelatihan yang begitu tertib dan disiplin (pake upacara cium-cium bendera dan ikrar segala) dan juga dikonsinyir beberapa hari. Lalu tenda dan panggung upacara berikut poster dan baliho serta perlengkapan tata-suara yang (harus) prima. Belum lagi acara pasca-upacara, pemberian piagam-piagam penghargaan kepada para teladan. Ada pula pawai ( dulu ada pawai pembangunan) berikut pameran. Juga panggung hiburan untuk ‘rakyat’, pakai kesenian tradisional, pertunjukan band dan orkes. Mungin malah kembang api (kali, ya!).

Dan masih banyak lagi.

Semua butuh dana dan pengorganisasian layaknya ‘rojo’ mau mantu.

Pas di urusan dana, barulah itu jadi masalah.

Saya membayangkan untuk level kabupaten saja, mungkin bisa ratusan juta rupiah dana yang dikeluarkan. Jangan lupa, masing-masing partisipan juga mengeluarkan biaya lho, paling tidak beli peci dan kue serta air-minum untuk regu yang dikirim ikut upacara, dan itu bukan berasal dari duit PHBN.

Jadi, bagaimana memobilisasi dana untuk keperluan tersebut ? Partisipasi masyarakat dengan tidak membebani rakyat. Artinya, melalui partisipasi lembaga-lembaga yang ada di masyarakat dana itu digali. Antara lain ya lembaganya teman saya itu tadi. Maksudnya sumbangan gitu lo ah, kok mbulet banget sih.

Teman saya merasa agak risih hati. Dan itu terbaca dari postingnya. Saya juga, kok. Dalam hati kami, apa ya masih jamannya to, menyelenggarakan acara seperti itu pakai ngutip-ngutip dana dari masyarakat ?

Dilema yang dihadapi oleh den mas teman saya yang saya anggap sebagai representasi ‘masyarakat’ adalah :

diberi = mengganggu hati dan cashflow,

tidak berpartisipasi = bakalan terganggu kepentingan untuk mendapatkan pelayanan publik pada saatnya nanti kalau pas membutuhkan.

Repot.

Belum lagi kalau keluhan disampaikan kepada manajernya terus dijawab : halaaah, ya sudah isi saja berapa gitu looo, seperti biasanya tapi tolong tambahin dikit-dikit, harga-harga sekarang kan sudah naik semua.

Padahal, permintaan dari level kampung, kelurahan kecamatan, kabupaten, belum lagi dari eng-ing-eng yang lain, yang kalau dijumlah-jumlahkan ternyata lebih banyak dibanding yang dikeluarkan untuk acara semacam di unit bisnisnya sendiri. Wuuih, lehernya jadi bengkak, gondoknya setengah-dut.

Mungkin sudah waktunya budaya tiru-meniru membabibuta begini mendapatkan tinjauan lebih cermat. Di tengah mandeg dan melambatnya upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat saat ini, merayakan ulang-tahun kemerdekaan atas-nama mengenang dan menghargai jasa pahlawan lebih tepat dilakukan dengan melakukan aktivitas bakti masyarakat yang lebih riel dan terprogram. Misalnya dengan membagikan buku dan alat tulis sekolah gratis, sembako gratis, sunatan dan kawinan masal, fogging antinyamuk demam berdarah, rehabilitasi kampung kumuh dan lain-lain. Dengan catatan, bahwa semua dilakukan bukan untuk kampanye pemenangan kandidat eksekutif maupun legislatif di pentas-pentas pemilihan nantinya. Juga bukan untuk kampanye pemasaran produk.

Tetapi benar-benar tulus demi rakyat jelata di negeri ini.


Kapan Indonesia akan menjawab angan-angan yang terselip di dalam kepala saya dan kepalanya den-mas teman saya itu?

Akankah tahun depan masih ada tamu datang ke tempat teman saya bekerja atas-nama PHBN untuk mengumpulkan sumbangan ?

Negeri yang elok ini debunya semakin tebal saja. Mari kita coba membersihkannya dengan membersihkan hati kita terlebih dahulu.

Sampai jumpa di tujuhbelasan tahun depan. Semoga mulai berubah. Insya Allah.


(Kita lihat dan cermati sama-sama ya den-mas!)



20 Agustus 2008

Baju Koruptor: Akhirnya

Baju untuk koruptor yang paling cocok (ini versi lain lagi): Gak pake baju !
Istilah Suroboyoannya: ote-ote !
Selesai.

Dan terbayang-bayang:
Kerepotan nasional yang menggelikan ini masuk dalam berita setiap stasiun televisi seluruh dunia, sementara di sini proses hukum berjalan lamban karena berlangsungnya  akting yang  menyebalkan di mana-mana.
Sementara pula di sudut-sudut lain dunia, penanganan kasus korupsi berjalan kencang dan putusan dilakukan secara adil : penjara dan denda. Atau : mati.
Sementara itu pula, di Republik tercinta yang sudah berumur ini, orang masih juga suka menghibur diri sambil bekerja dan bekerja sambil menghibur diri. Padahal hiburannya sama sekali tidak lucu dan menarik.
Malah terkesan konyol sekali.
Maaf.
Case closed.

15 Agustus 2008

Baju Koruptor: Tersangka, Terdakwa, Terhukum

Nanti dulu,
Baju koruptor itu, nantinya dikenakan kepada siapa ?
Tersangka, terdakwa, atau terhukum ?
Atau barangkali ada tiga disain berbeda, masing-masing dibedakan dari tulisannya, misalnya : Tersangka Koruptor, Terdakwa Koruptor, Terhukum Koruptor.
Lalu kapan dipakainya?
Ketika diliput dan diambil gambar oleh media saja, atau di sepanjang proses penyidikan, lalu proses pengadilan, atau sepanjang waktu pelaksanaan pidana, atau sampai koruptornya mati?
Atau hanya ketika diposterkan wajahnya di ruang-ruang publik, seperti poster-posternya Cabup, Cawali, Cagub dan Capres ketika kampanye ?
Jangan lupa, ketika fotonya diposterkan, yang bersangkutan jangan boleh tersenyum, nanti rakyat tersinggung !
Banyak pertanyaan dan usulan ya !
Bodoh benar saya, yang begituan masa ditanya-tanyakan sih, bikin malu saja.
Lagian, siapa yang harus menjawab ?
Tanya saja kepada calon pemakai baju tersebut, suka atau tidak, setuju atau tidak.
Mosok pertanyaan yang beginian musti Presiden yang harus menjawab.

Baju Koruptor : Lomba Tujuhbelasan Tingkat Nasional

Sambil menyambut HUT Proklamasi Kemerdekaan yang ke 63, beberapa orang bahkan lembaga non-pemerintah sibuk memeras otak dan keringat : menciptakan disain baju untuk terdakwa koruptor dan koruptris. Kok koruptris ? Kalau yang didakwa perempuan. Bukankah pelakon perempuan disebut aktris ? Jadi boleh dong, pekorup perempuan disebut koruptris.
Mungkin kalau ada yang bersedia mensponsori, kerepotan nasional tentang baju ini diangkat sebagai Lomba Kreasi Nasional Baju Koruptor. Hadiahnya ? Hadiah utama : Disainernya difoto ketika melempar telur busuk ke wajah terhukum. Foto tersebut dimuat dihalaman utama semua media cetak nasional selama tiga hari berturut-turut, dan tayang di seluruh stasiun TV pada prime-time selama tiga hari. Seru kan ?!!!
Ya sudah, begitu saja.

11 Agustus 2008

Dua Hati


Rahwana:

Andaikata Trijatha, gadis kecilku, tak lagi bersetia kepadaku, barangkali telah kuledakkan kerajaan Alengkadiraja ini karenanya.
Dialah mutiara hatiku, penghiburku di kala hatiku kacau. Trijatha, gadis kecilku, sitawar-sidingin ketika hatiku gundah resah gelisah. Dialah satu-satunya yang telah membuatku dapat tetap bertahan dalam keadaan yang paling sulit, hanya dengan kata-katanya yang terucap sedih: Uwa Prabu, kepada siapa lagi aku berlindung, ketika engkau tiada nanti ? Pandanglah aku, uwa Prabu, bertahanlah demi diriku.
Demikian setiap saat, ketika kemarahanku sudah sampai pada puncaknya, sehingga tak lagi kupedulikan segala sesuatu. Kerajaanku, rakyatku, adik-adikku, bahkan diriku sendiri. Dalam keadaan galau-hati seperti itu, tak peduli rasanya aku akan segala sesuatu, akan kulabrak-hancurkan segala yang menghalangi kehendakku, tak peduli andai aku terbunuh karenanya.
Bukan aku yang meminta kepada Hyang Akarya Jagad, untuk dititahkan sebagai manusia berwajah raksasa, bermuka ganda-berganda lambang segala sifat buruk yang pernah ada. Bukan kehendakku, melainkan demikianlah adanya aku tercipta. Dan ini tak pernah kusesali, kuterima apa adanya.

Telah kulewatkan hari-hariku untuk menantikan datangnya titisan Dewi Widowati dengan sabar hati. Kulalui hari-hari dengan berlaku sebagai raja yang memerintah negeri dan melindungi segenap kawula alit dari segala gangguan musuh. Kucoba memenuhi kebutuhan rakyatku dengan sebaik-baiknya. Kutegakkan keadilan, kubasmi para pengacau dan perusuh yang mencoba mengganggu ketenangan hidup rakyatku.
Ooo, Trijatha, anak dari adikku, Gunawan Wibisana.
Kuasuh dia semenjak kecil, kucintai laksana anakku sendiri. Ketika jalannya masih tertatih-tatih, ketawanya mengusik pendengaranku untuk bersegera meninggalkan sidang agar cepat bisa menimangnya. Dalam dekapanku, dirabanya muka uwanya ini, dicolok-coloknya lubang hidungku dengan jari-jemari mungilnya seraya tertawa-tawa. Ditarik-tariknya kumisku, yang siapapun gentar karenanya, tetapi tidak bagi Trijatha mungilku. Kupeluk dia dengan segenap rasa cintaku kepadanya, kutimang dan dia memelukku manja hingga terlelap. Segenap emban dan para abdi terheran-heran setiap aku bercanda dengan Trijatha, mereka takjub melihatnya, seakan bukan Rahwana lagilah aku, bukan lagi seorang Raja-Gung yang terkenal pemberang-pemarah sebagaimana sediakala, tetapi Rahwana yang menjadi sangat pecinta serta pengasih. Luluh hatiku oleh keberadaannya. Murka aku, apabila kulihat seseorang mengasarinya, bahkan kalaupun itu adalah ayahnya sendiri, Gunawan Wibisana. Apalagi emban atau abdi, pasti akan kusuruh hukum atau kutendang sampai ke sudut halaman istana. Tetapi kalau lantaran itu Trijatha menangis, maka aku panggil emban dan abdi tadi, kusuruh tertawa dan akan kuberi bebana demi Trijatha.
Ketika Trijatha mulai dapat berjalan dan berkata-kata, kadang-kadang dia menyela masuk persidangan agung di balai singgasana sambil tertawa-tawa, terkadang dengan sekuntum bunga untuk ditunjukkan kepadaku.
Kuhentikan persidangan, kububarkan serta-merta di tengah pandang mata takjub seluruh mantri-bupati dan punggawa kerajaan. Larut sudah segala ketegangan dan kemarahanku, kutinggalkan singgasana untuk bercanda dengannya sampai ia lelah dan tertidur di pangkuanku. Kunina-bobokkan dengan tembang Kinanti Subakastawa, meski suaraku serak dan parau, ditingkah suara burung-burung piaraan istana dan bunyi ayam bekisar serta burung merak di halaman.
Trijatha, ooo, Trijatha, anakku, anak Gunawan Wibisana adikku, dikaulah embun bagi jiwaku.
Kupercayakan Dewi Sinta dalam pendampinganmu, karena hanya engkaulah yang paling kupercaya untuk menjaganya, dan bukan seribu prajurit Alengka yang gagah perkasa, karena engkaulah yang mampu mencuri hatinya, sehingga Sinta merasa tenang berada di taman istana Kerajaan Alengka. Kutitipkan keberadaan Sinta padamu, wahai Trijatha, jagalah sebaik-baiknya, luluhkan hatinya, bukakan pintu kesadaran hatinya bahwa Rahwana amat mencintainya dan ingin mempersembahkan apapun yang ingin dimilikinya, asal Sinta bersedia meninggalkan Ramawijaya untuk diperisteri oleh Rahwana. Bujuklah Sinta, katakan bahwa dialah puteri yang telah kutunggu sepanjang waktu untuk menjadi isteriku, dialah puteri titisan Dewi Widowati yang telah dijanjikan para Dewa untuk menjadi pendampingku.
Trijatha,
Kalau bukan karena engkau, telah kubunuh Sinta karena penolakannya yang sungguh menyakitkan hatiku, atau telah kuhancurkan mahkota hidupnya dan kulecehkan kehormatannya serendah-rendahnya, karena bukankah sebenarnya keberadaannya ada dalam genggaman kekuasaanku?
Kalau bukan karena tangismu Trijatha, yang mencegahku berbuat demikian, yang telah membuka kesadaranku untuk tidak mengulangi perbuatan cemar dengan mempedayainya, dan menculiknya dari tangan Rama, seraya engkau memeluk kakiku dan memohon kesabaranku, dengan tangismu, dengan rasa sayangmu kepadaku Trijatha, tentulah kejadiannya akan lain. Tak ada lagi Sinta, tak ada lagi Rahwana, karena kematian Sinta akan kususul segera dengan kematianku, agar aku dapat menyertainya berangkat ke Kahyangan Suralaya bersama-sama.
Trijatha, engkaulah mutiara dalam kehidupanku, yang telah begitu ikhlas tetap berada bersamaku, menyertaiku dengan setia, bahkan ketika ayahmu yang juga adalah adikku yang kusayangi, telah menyeberang berpihak kepada Ramawijaya, untuk bersiap-siap merebut kembali Sinta dari tanganku, dan kalau perlu akan dilakukannya dengan meluluh-lantakkan negeri ini, Alengka diraja. Kerajaan di mana ayahmu dilahirkan, dibesarkan, di mana ayahmu berhutang air, udara, bumi dan kehidupan.
Ketika ayahmu berpihak kepada musuh negeri kita, engkau bertahan untuk tetap bersamaku di sini, sambil melaksanakan tugasmu untuk menjaga Sinta.
Oooo, Trijatha, Trijatha.....
Apa yang pantas untuk kuberikan balasan padamu atas segala rasa cintamu kepadaku, kesetiaan mutlakmu kepada uwakmu ini, Trijatha ? Andai engkau minta hidupku, niscaya akan kuserahkan bilah keris pusakaku, akhirilah hidupku olehmu, aku rela, anakku. Tetapi engkau tak pernah mengatakannya, bahkan kau katakan, tak sedikitpun engkau pedulikan kata orang tentangku, selain hanya engkau inginkan aku bersabar, aku lebih bersabar, untuk mendengar kata-katamu yang selalu menyejukkan hatiku.
Andai bukan engkau yang berkata seperti itu, tentu telah kutampar sampai robek mulutnya, atau kulempar tubuhnya hingga ke laut, atau kucabik-cabik menjadi serpihan luluh-lantak. Tetapi ketika engkau yang berkata, runtuhlah segala benteng kedigdayaanku karena pandang-matamu yang penuh kasih kepadaku, uwakmu, Raja Alengkadiraja yang sedang diamuk rasa.
Terlebih lagi ketika kau menangis seraya berkata menyayat hati : Uwa Prabu, kepada siapa lagi aku berlindung, ketika engkau tiada nanti ? Pandanglah aku, uwa Prabu, bertahanlah demi diriku.
Luluhlah hatiku.

Trijatha:
Uwa Prabu Dasamuka; apapun kata orang tentangnya bagiku tak ada artinya. Beliau adalah kakak dari ayahku, Gunawan Wibisana, beliau adalah rajaku, tetapi lebih dari segalanya, beliau adalah orang-tuaku.
Uwa Prabu sangat menyayangiku, demikian pula aku terhadapnya.
Ketika semua orang takut kepadanya, aku justru bergayut manja, ketika kecil dahulu. Di tengah kemarahannya, beliau dapat segera tertawa panjang melihatku datang kepadanya dengan setangkai kembang puspanyidra merah-merona. Serta-merta akan digendongnya aku dan diajaknya bercanda. Bahkan ketika masih dengan segenap pakaian kebesarannya.
Barangkali Dewata telah menentukan hidupnya, menjadi raja, berwajah raksasa, berperilaku angkara. Meskipun kakekku, yang adalah ayahnya adalah seorang pandita- pertapa.
Bukanlah semata-mata kesalahannya, ketika dia memperjuangkan janji hatinya, sehingga dia harus melakukan hal tercela, menculik Dewi Sinta isteri Ramawijaya.
Di balik sosok angkaranya, Uwa Prabu Rahwana adalah seorang manusia yang masih memiliki kelembutan hati, paling tidak dihadapanku, kemenakan yang telah diasuhnya, dimanjakannya, dan disayanginya setara dengan kasih-sayang dari orang-tuaku sendiri. Kata-kataku akan didengarnya baik-baik, seperti juga ketika beliau memberiku nasehat baik tentang kesetiaan, tentang keteguhan hati, tentang tanggung-jawab. Beliau adalah orang-tua ke dua bagiku, di mana aku merasa harus berbakti pula, harus menjaganya, harus menemaninya, mendengarnya, menghibur galau-hatinya, mengasihinya.
Uwa Prabu sering meminta pendapatku terhadap tindakan dan keputusannya, dan ketika kusampaikan tidak seperti yang lainnya, sering berkerut keningnya, tetapi ketika kujelaskan bahwa aku berpendapat demi kasih-sayangku kepadanya, biasanya beliau akan tertawa panjang lalu dijenggungnya dahiku pelan penuh kasih, sambil berkata: “ Guoooblog, semuaaa... ha ha ha ha, semuanya guuuwwobloooggg! Ha ha ha ha, tetapi Trijatha telah menyampaikan pendapat yang baik, jujur! Baguss, ndukk! Anakku memang panddddaiii ! Ha ha ha ha .....!!!
Juriiiiiiitttt .....!”
Beliau lalu memanggil pengawal :
“Panggil Paman Patih Prahasta !!”
Biasanya ketika itu pula sidang segera dilakukan, tak peduli kapanpun saatnya, bahkan ketika malam hari. Dan keputusannya tak jauh dari pendapat yang telah aku sampaikan.
Uwa Prabu sebenarnya adalah seorang raja yang layak untuk dikasihani. Karena pembawaan dari sifatnya yang pemberang, maka tak seorangpun berani berbeda pendapat dengannya, apalagi menentang keputusannya. Sehingga semakin kentallah sosok dur-angkaranya di mata dunia.
Sebenarnya di mataku tidaklah sepenuhnya demikian. Beliau adalah raja yang teguh memegang janji, setia kepada negerinya, gigih dalam meraih cita-citanya dan bertanggung-jawab atas segala perbuatan dan keputusannya.
Aku sangat mengenalnya, karena mungkin aku satu-satunya orang yang paling dekat dengannya, melebihi siapapun, bahkan melebihi adik-adiknya. Karena itu, akulah satu-satunya orang yang dapat melihat sisi lain dari Uwa Prabu Rahwana, yang juga bergelar Dasamuka.
Aku merasa harus senantiasa ada setiap saat dia membutuhkannya, untuk mendengarkan keluhannya, kemarahannya terhadap keadaan yang ada, memahami kegalauan hatinya, menghayati cita-citanya. Karena hanya dengan itulah aku mampu membalas kasih-sayangnya yang telah dicurahkannya sejak aku ada hingga kini. Hanya dengan itulah aku dapat berbuat untuk mengawal kehidupan batiniahnya, agar tak terhempas dalam kekosongan.

Tetapi,
Dunia telah mencatat kisah dan sejarah menurut cara pandangnya sendiri,
Hari itu kerajaan Alengkadiraja luluh-lantak hancur berantakan oleh serbuan pasukan monyet yang dipimpin Prabu Ramawijaya ketika akan merebut kembali Dewi Sinta dari sekapan Rahwana.
Rahwana gugur tercabik-cabik oleh ribuan bala-tentara di bawah pimpinan Panglima Sugriwa, setelah sebelumnya tubuhnya terhempas rubuh tertembus panah Ramawijaya.
Hari itu, kerajaan Alengkadiraja kelam berselimut asap, bau anyir darah dan tumpukan bangkai prajurit yang gugur. Rintih kesakitan dan ratap tangis memenuhi angkasa.
Rahwana gugur dalam kebesarannya.
Di balik taman, Trijatha duduk bersimpuh dihadapan Dewi Sinta, menangis haru atas gugurnya Uwa Prabu yang dicintainya. Saat yang pernah ditakutkannya kini benar terjadi.
Ketika kemudian ayahnya, Gunawan Wibisana, menjemput dan mendatanginya dengan pakaian perang yang masih bersimbah darah, Trijatha berkata:
“ Ayahku, kusampaikan kata-kata Uwa Prabu, bahwa sampai saat terakhir Uwa Prabu tetap mengasihiku, dan dimintanya aku tetap mengasihimu, seperti dia tetap mengasihimu pula .....”, di sela sedu tangisnya yang tertahan.
Gunawan Wibisana tercekat hatinya, dan berpikir tentang apa yang telah diperbuatnya.

Dari sebuah sudut, sepasang mata hati mengamati, segala yang telah dan sedang berlangsung, dengan diam-diam.

24 Juli 2008

adakah suatu hari

adakah suatu hari
engkau berharap, menunggu seseorang untuk menyapamu
dengan senyum manis
dan bingkisan di tangan
berkata: selamat ulang tahun
dan ketika itu tak terjadi
kecewamu berhari-hari

adakah suatu hari
engkau berharap orang-orang berkumpul penuh hormat memandangmu
dan salah-satu berkata: terima kasih atas segala jasa
dan ketika itu tak terjadi
kau menyesalinya untuk waktu yang lama

adakah suatu hari
dalam sepi kau berharap seorang singgah untuk menemanimu
dan ketika itu tak terjadi
kau merasa seolah tak seorangpun lagi ramah padamu

pandangan matamu ke arah pintu
menunggu seseorang datang padamu, untuk sekedar menyapa atau
berbincang tentang apa saja

ada hari
yang setia menunggumu untuk datang padanya
ketika kau nanti harus bersendiri dalam waktu lama
dalam sepi
yang engkau sendiri akan mendatanginya

jangan datang kepadanya berbekal kecewa, sesal dan nestapa
karena kedatangannya
mengakhiri semua hari-hari yang pernah kau tunggu

(menyambut kedatangan adik-adikku, teman bermainku di masa kecil dulu)

Jambu Busuk

Di belakang rumah ada sebatang pohon jambu air, yang saat ini sedang lebat buahnya. Manis rasanya.
Ketika malam hari, banyak buah berjatuhan menimpa lembaran seng di bawahnya yang belum sempat disingkirkan. Jatuhnya jambu-jambu tersebut mungkin karena lepas dari gigitan kalong dan sebagian lagi karena tangkai buahnya rapuh akibat dimakan ulat di dalamnya. Setiap malam terdengar bunyi jambu jatuh di atas lembaran seng.
Entah kenapa, tiba-tiba saja terbayang rentetan berita pengungkapan beberapa kasus pemuka negeri, dari kalangan eksekutif, legislatif maupun yudikatif, yang kemudian berjatuhan seperti jambu busuk di belakang rumah.
Buah jambu yang diharapkan dapat dimakan ketika matang di dahan-dahan pohon, ternyata sebagian berulat, dan baru akan ketahuan ketika dipetik dan dibelah. Atau ketahuan berulat ketika dia rontok.
Dalam bayanganku, seperti ini pulakah ‘Para Buah Jambu’ yang pohonnya tertanam di negeri ini, berjatuhan karena berulat di dalamnya? Yang keberadaannya urung memberikan kesegaran dan rasa manisnya kepada segenap anak negeri yang menunggu matang buahnya?
Ketika malam hari, setiap terdengar bunyi jambu jatuh, terngiang kembali kata-kata para tetanggaku : doa orang teraniaya, makbul adanya...., sambil mereka bersama-sama bekerja bakti membuat bangku-bangku untuk anak yang belajar mengaji di musala dekat rumah.

10 Juli 2008

Di Bawah Bendera Revolusi

Satu Tahun Ketentuan ( Year of Decision )


Coba renungkan saudara-saudara, betapa perlunya kita harus berani memerangi diri sendiri, memperjuangkan zelfoverwinning atas diri kita sendiri:
Semula kita mencita-citakan satu kemakmuran dan keadilan yang merata. Dua belas tahun kemudian, puluhan juta rakyat masih belum dapat hidup layak sebagaimana pantasnya bagi rakyat sesuatu negara yang merdeka.
Semula kita mencita-citakan Negara Republik Indonesia yang meliputi sekujur badannya bangsa Indonesia, dari Sabang sampai ke Merauke. Dua belas tahun kemudian, seperlima dari wilayah Republik Indonesia masih dijajah oleh Belanda.
Semula kita mencita-citakan , bahwa di dalam alam kebebasan dan kemerdekaan, kita akan dapat mengembangkan segala daya-cipta kita untuk membangun sehebat-hebatnya: Membangun satu Pemerintahan nasional yang kokoh-kuat, membangun satu Angkatan Perang nasional yang kokoh-kompak, membangun satu industri modern yang sanggup mempertinggi taraf-hidup rakyat kita, membangun satu pertanian modern guna mempertinggi hasil-bumi, membangun satu kebudayaan nasional yang menunjukkan kepribadian bangsa Indonesia.
Tetapi dua belas tahun kemudian, kita telah mengalami tujuh-belas kali pergantian Kabinet; mengalami kerewelan-kerewelan dalam kalangan tentara; mengalami bukan industrialisasi yang tepat, tetapi industrialisasi tambal-sulam zonder overall-planning yang jitu; mengalami bukan kecukupan bahan makanan, tetapi impor beras terus-menerus; mengalami bukan membubung-tingginya kebudayaan nasional yang patut dibanggakan, tetapi gila-gilaannya rock and roll; mengalami bulan merdunya seni-suara Indonesia murni, tetapi geger-ributnya swing dan jazz dan mambo-rock; mengalami bukan daya-cipta sastra Indonesia yang bernilai, tetapi banjirnya literatur komik.
Contoh-contoh ini adalah cermin daripada menurunnya kesadaran nasional kita dan menurunnya kekuatan jiwa nasional kita. Apakah kelemahan jiwa kita itu? Kelemahan jiwa kita ialah, bahwa kita kurang percaya kepada diri kita sendiri sebagai bangsa sehingga kita menjadi bangsa penjiplak luar-negeri, kurang percaya-mempercayai satu sama lain padahal kita ini pada asalnya ialah rakyat gotong-royong, kurang berjiwa gigih melainkan terlalu lekas mau enak dan ‘cari gampangnya saja’. Dan itu semua, karena makin menipisnya ‘rasa harkat nasional’ - makin menipisnya rasa ‘national dignity’- , makin menipisnya rasa bangga dan rasa hormat terhadap kemampuan dan kepribadian bangsa sendiri dan rakyat sendiri.
Ya, kemampuan dan kepribadian r a k y a t sendiri! Rakyat jelata, rakyat yang berpuluh-puluh juta, rakyat yang laksana semut mencari makan dan beranak dan tertawa dan menangis dan hidup dan mati, - rakyat yang dari sinar-mata mereka berpancar kekuatan dan kepribadian bangsa, rakyat yang dari tindak-tanduk merekalah tertampak gigih bangsa dan karakteristik bangsa. Berapa orangkah dari alam pemimpin Indonesia sekarang ini yang masih benar-benar-‘rakyati’ seperti dulu, masih benar-benar ‘volks’ seperti dulu?
.................................
Inilah yang banyak pemimpin kita telah lupakan! Bukan mereka think-and-rethink serta shape-and-reshape secara individualitet bangsa Indonesia sendiri, bukan mereka pulangkan segala persoalan kepada kepribadian obyektif daripada bangsa Indonesia sendiri, tetapi mereka, karena lepasnya kontak dengan rakyat, mengkopisaja dan menjiplak saja secara hantam-kromo apa yang mereka lihat sebagai satu polieteke wijsheid di negari orang lain!
Akibatnya? Segala sesuatu lepas dari buminya, segala sesuatu lepas dari relnya! Segala sesuatu lantas rontok. Segala sesuatu peringisan, karena mukanya bukan lagi muka muka yang ia bawa tatkala keluar dari gua-garba Ibu Pratiwi.
Sebenarnya, semua dasar-dasar daripada perjuangan kita dahulu, t e t a p b e r l a k u bagi zaman sekarang. Hanya, sekarang, dalam alam kemerdekaan ini harus ditujukan kepada hal-hal yang lebih kongkret; ditujukan kepada hal-hal yang bersangkut-paut dengan penghidupan rakyat sehari-hari. Tetapi dasar-dasarnya harus tetap. Grongedachte-nya harus tetap. Kekuatan kita harus tetap bersumber kepada kekuatan rakyat. Apin kita harus tetap apinya semangat rakyat. Pedoman kita harus tetap kepentingan rakyat. Tujuan kita harus tetap masyarakat adil dan makmur, masyarakat ‘rakyau untuk rakyat’. Karakteristik segenap tindak-tanduk perjuangan kita harus tetap karakteristik rakyat, yaitu karakteristik rakyat Indonesia sendiri dan karakteristik bangsa Indonesia sendiri. Tidak harus ada perubahan sedikitpun dalam hal itu. Tetapi ini tidak berarti bahwa dus pikiran kita harus beku, harus ‘itu-itu-lagi’ harus statis.
Tidak! Fikiran kita harus dinamis! Apalagi jikalau kita mengingat, bahwa persoalan kita ialah persoalannya rakyat dalam alam perpindahan, yaitu persoalannya rakyat dalam alam ‘transsition’. Persoalannya rakyat dalam alam ‘Uebergang’. Perpindahan dari apa ke apa? Perpindahan dari alam penjajahan ke alam kemerdekaan. Perpindahan dari alam kolonial ke alam nasional. Perpindahan ini mengkonfrontir kita denga persoalan-persoalan yang jawabannya tak dapat kita j i p l a k begitu saja dari teorinya orang lain. Karena itulah, maka, walaupun dasar-dasar atau grongedachte-nya perjuangan kita harus tetap, kita tak boleh beku dalam fikiran, tak boleh statis dalam daya-cipta, tak boleh berhenti, tetapi harus dinamin dan tangkas dalam fikiran.
Tiga persoalan-pokok harus kita pecahkan dalam alam perpindahan ini:
Ke satu: Bagaimanakah dan dari manakah kita memperoleh modal bagi pembangunan yang harus kita tempuh?
Ke dua: Bagaimanakah kita secepat mungkin dapat memperoleh kecakapan untuk membangun, yaitu memperoleh ‘technical and managerial know-how’ untuk pembangunan kita?
Ke tiga: -last but not least- : Sistem politik apakah yang paling baik bagi Indonesia, paling cocok dengan dasar-dasar penghidupan rakyat Indonesia, - paling memberi atmosfir yang tepat bagi rakyat Indonesia dalam alam perpindahan ini?
Ketiga-tiga persoalan ini tak dapat dipisahkan satu sama lain, tak dapat disuruh berdiri sendirian masing-masing. Yang satu ada hubungan erat dengan yang lain, yang satu adalah komplementer kepada yang lain. Bahkan ketiga-tiganya adalah berhubungan erat dengan perjuangan nasional kita yang masih dalam tingkatan ‘belum selesai’ itu. Siapa yang hendak memisahkan persoalan-persoalan ini dari perjuangan nasional kita yang masih dalam tingkatan ‘belum selesai’, ia hanya menunjukkan kekerdilan belaka daripada pengertian-pengertiannya. Ia hanya menunjukkan keprimitivan belaka daripada ia punya denkwereld, kebekuan daripada ia punya alam-fikiran.

Catatan:
1) dikutip dari buku Di Bawah Bendera Revolusi jilid ke dua cetakan ke dua 1965 halaman 283-287
2) sebagian dari amanat Presiden Sukarno pada Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1957 di Jakarta
3) ditulis ulang dengan penyesuaian ejaan dan letak,
4) sebagian dihilangkan dengan tidak memutus konteks

08 Juli 2008

Tujuhbelasan

“Saya usulkan supaya di mulut gang kita didirikan gapura, seperti RT sebelah..” usul pak Singkir dengan lantang pada rapat pengurus RT Tiga, “ jadi nantinya RT kita tidak ketinggalan dari RT Empat, yang gapuranya bagus itu..”, demikian lanjutnya.
“Ya, saya sangat setuju dan mendukung pendapat pak Singkir. Masa’ kita kalah pamor dengan RT sebelah..”, pak Basirun menimpali dengan semangat.
“Pak RT!, daripada uang kas RT nganggur ndak digunakan untuk apa-apa, lebih baik dimanfaatkan untuk gapura saja..., lha kalo masih kurang, kita urunan. Gimana Bapak-bapak? Setuju, kan ?”.
Pak RT masih belum menanggapi apa-apa, pandangannya menyapu para peserta Rapat Pengurus RT, yang berjumlah lima belas orang.
“ Sebentar.. sebentar.. “ salah seorang pengurus lain menyetop pembicaraan yang seru tersebut, “ sebenarnya uang kas RT kita itu ada berapa sih? Pak Bendahara mungkin bisa kasih informasi”
“ Yang penting itu niatnya, pak! Soal uang bisa dicari, kan kita bisa minta sponsor dari warga kita yang mampu, lalu kekurangannya, seperti kata pak Basirun, kita urunan lah. Ini demi gengsi RT Tiga lho! Demi RT kita bersama, juga supaya Pak RT punya tinggalan kalo nanti sudah selesai masa jabatannya. Betul kan Pak RT?!!” demikian sambung pak Singkir lagi.
Pak RT senyam-senyum sambil makan keripik melinjo.
“ Jangan lupa, kalo ada gapuranya, ya perlu dikasih portal, biar orang mbambung, pemulung dan penjahat ndak mosak-masuk selonang-selonong di wilayah kita seenaknya sendiri...” mas Bladu yang purnawirawan KKO menimpali.
“ Brik-brik-brik... lontong capgomek keluar... sekarang makan duluuu...” Piring berisi makanan yang baunya menggoda hidung, lidah dan alat pencernaan mulai beredar secara berantai. Sekejap terdengar bunyi sendok beradu dengan piring.

Rapat pengurus RT Tiga kali ini diselenggarakan di rumah Man Doplang, dengan menggelar tikar di teras rumah, semua duduk bersila. Acara pokok rapat kali ini sebenarnya adalah persiapan tujuh-belasan, demikian tertulis di undangan pada acara nomor satu. Nomor duanya, membahas iuran warga, entah tentang apanya: jumlahnya, bolong-bolongnya, atau cara pengumpulannya. Dan yang nomor tiga tertulis : Lain-lain.
Tampaknya, tadi begitu sekretaris RT membuka acara yang kemudian pak RT menyampaikan pengantarnya, acara langsung berbelok ke Lain-lain. Nah, ketika masalah gapura ini muncul, sekretaris sempat membisikkan info ke telinga pak RT, bahwa rupanya beberapa hari belakangan ini di blok Kumis-kucing ( di blok itu, depan rumah ditanami toga Kumis-kucing, karena sebagian orang di situ mengidap batu ginjal), di blok Kumis-kucing berlangsung kampanye gapuraisasi(?!), dengan promotor pak Singkir. Pak RT manggut-manggut mendengar info tersebut, meski sebenarnya dari isterinya dia sudah diberitahu tentang adanya ‘odo-odo’ seperti itu dari bu Basirun.

“ Bagaimana pak RT, bisa dilanjut ? “ Pak Singkir memulai diskusi sambil mengelap mulut dan hidungnya yang meler kepedasan dengan tisu. Semangat banget dengan usulan proyeknya. “ Saya dan teman-teman siap membantu pekerjaan tukang yang akan kita serahi mengerjakan gapura itu, pak. Pokoknya beressss....”
“ Sebentar Pak RT, saya boleh bicara? “ Pakde Drajat yang pangsiyunan Sipil Pulisi yang menjabat sebagai kordinator seksi Sosial menyela. “ Kalo tidak salah, urutan acara rapat seperti yang ada di undangan dan dibaca oleh Pak Seketaris tadi kan nomer satunya persiapan tuju-belasan to?! Maaf lo Bapak-bapak semuanya, saya cuma kepengin rapat kita ini runtut. Poin demi poin selesai dengan tuntas.”
“ Kayaknya kok betul Pakde Drajat, Pak RT! Saya setuju, mari kita bahas satu-satu, sampai nanti ujungnya lain-lain: gapura” Mas Helmi yang Dosen Universitas Tekes Kurang Omil kordinator seksi Kebersihan mengamini apa yang disampaikan Pakde Drajat.

Sejenak Pak RT diam. Semua pandangan mata tertuju kepada dia. Orang paling muda di RT Tiga, yang diplokotho secara berjamaah untuk jadi RT, karena yang tua-tua pada wegah rekoso meladeni penduduk dan meladeni tugas-tugas dari Kelurahan yang suka datang semaunya sendiri dan harus diselesaikan segera.
“Betul, Bapak-bapak, sebaiknya mari kita mencoba untuk kembali kepada pokok urutan agenda rapat kita. Kepada Pak Singkir dan Pak Basirun serta Bapak-bapak yang mempunyai usulan tentang gapura, nanti kita akan membahas pada giliran berikut. Saya mohon dukungan agar acara rapat ini dapat berjalan dan menghasilkan kesepakatan bagi kebaikan RT kita bersama”.
Poin demi poin dibahas. Untuk tujuh-belasan diperlukan dana dua setengah juta, yang akan dipenuhi dari kas RT, dan kas PKK akan dimintai partisipasi sebesar delapan ratus ribu untuk konsumsi pada malam syukuran tanggal 16-nya.
Kas RT saat ini ada dua koma sembilan juta, yang tiga ratus ribu dicadangkan untuk partisipasi ke panitia tujuh-belasan tingkat RW. Jadi nantinya uang kas RT akan tinggal bersisa seratus ribu.
Beberapa tunggakan iuran warga kalau dijumlah ada empat ratus ribu belum tertagih, karena mereka masih belum bisa membayar, sedangkan uang BLT yang mereka terima lebih dibutuhkan untuk keperluan bayar biaya sekolah anak-anaknya ketimbang untuk nutup iuran kampung yang bolong.
“Jadi urusan gapura bagaimana, Pak RT? Bisa gagal kalo begini...” Pak Singkir kembali ke : laptop.
“ Begini saja pak RT, cobak kita kalkulasi kasaran saja” Pakde Drajat urun-rembug “ gapura yang mau kita bikin itu di sebelah mana? Kita kan punya tiga mulut gang; lantas apa kita mau bikin di tiga-tiganya, satu saja atau gimana....”
“Ya kalo bisa tiga-tiganya, biar ndak ada yang meri” kata Pak Basirun.
“ Saya kemarin ngitung kasaran, satu gapura biayanya kurang lebih tiga juta, itu kalo modelnya sederhana. Jadi; kalo mau tiga gapura ya sembilan juta” kata Pak Singkir.
Sebagian pengurus ketawa. Ada yang kaget, karena ikut rapat sambil agak ngantuk gara-gara semalam jaga keponakannya yang opname di RSUD, habis operasi ambeien.
“ Lho! Yang penting itu kan niatnya” Pak Singkir agak tersinggung, “ kita mau bikin RT kita lebih bergensi atau enggak! Mumpung ini menyongsong tuju-belasan, jadi sekalian nanti bisa diresmikan pas ha-u-te perokelamasi! Kalo soal duitnya kan gampang, bisa minta sumbangan Bapak-bapak yang rumahnya besar-besar itu, atao, kita tarik yang punya motor duapuluh ribu satu motor, satu mobil seratus ribu, atao lagi “ Pak Singkir semakin merajalela” Kita minta seponsor dari bapak-bapak yang maju pilgub! Gampang itu, nanti saya bisa bantu menghubungi tim suksesnya!”

Walah-walah pak Singkir! Diminta jadi Ketua RT saja menolak! Dimintai bantuan narik iuran yang bolong-bolong saja mbulet ndak jalan-jalan, kok ini ngoyoworo mau ke tim suksesnya para pasangan cagub-cawagub segala.

“ Yang penting kan niatnya.....”
Bagian ini betul, yang ruwet ada di pelaksanaannya, Paak, pak.
Rapat dibubarkan jam setengah sebelas malem, urusan gapura dipending, dan acara ditutup dengan doa.

Man Doplang jam sebelas malam ikut bantu isterinya cuci piring, nyapu-nyapu teras dan ringkes-ringkes tikar. Sementara saya masih kethap-kethip nulis ini, dan pengurus kampung yang lain : sudah mlungker tidur kaya kucing.

02 Juli 2008

Mosaik

Di Jalan Gentengkali Surabaya, pada tahun 1970-an di sebelah timur dari Toko Siola yang terkenal itu ada sebuah gedung dua lantai yang berfungsi sebagai balai prajurit milik TNI-AL namanya Gita Tamtama. Bangunan tersebut sekarang telah bermetamorfosa menjadi Gedung Gita, yang lantai duanya digunakan sebagai restoran, sedangkan lantai satunya dapat disewa untuk hajatan.
Ketika jalan Gentengkali belum dilebarkan menjadi dua jalur seperti sekarang, halaman Gita Tamtama cukup luas, sehingga tampang gedung tersebut tampak megah untuk ukuran kala itu, apalagi ketika di halaman tersebut dilakukan upacara militer, sepadan dengan predikatnya sebagai Balai Prajurit.
Di sisi kanan dan kiri pintu gedung, terpasang dua pilar tembok berukuran kurang lebih lima meter lebar dan enam meter tinggi dengan mosaik berbahan keramik warna warni, yang satu dengan gambar kapal layar Dewaruci, dan pada pilar satunya bergambar kapal perang modern dengan tiga sosok prajurit TNI-AL di latar depan. Pada malam hari, kedua mosaik tersebut tampak sangat bernuansa karena disorot dengan lampu spot yang terang-benderang. Kilau yang ditimbulkan oleh potongan-potongan keramik yang membentuk citra kapal-kapal tadi terasa cukup monumental.
Sepasang mosaik tersebut didisain oleh kelompok seniman dari Sanggar Bambu Jogjakarta, demikian seingat saya, karena saya sedikit terlibat membantu proses akhir penyelesaiannya, sebelum diresmikan oleh Panglima (Armada?). Tujuh puluh dua jam nyaris tanpa tidur, saya, mas Slamet, mas Wietje dipandu oleh pak Narso dan kawan-kawannya, mengejar tenggat waktu peresmian.
Entah di mana mosaik tersebut sekarang berada. Dibongkar atau ditutup dengan plesteran tembok, saya tak bisa memperkirakan lagi. Hanya, sungguh sayang bahwa sebuah karya yang setidaknya dapat digunakan sebagai penanda situs dan sekaligus penanda jaman, harus hilang untuk sebuah kepentingan yang lain, yang mungkin saya tidak atau belum memahaminya.

Demikian pula rupanya kehidupan. Sesuatu yang dipelihara, diperhatikan dengan penuh kepedulian, serta dicintai dengan segenap hati, digantungkan harapan yang begitu tinggi dan mulia, tiba-tiba tercerabut demikian saja dari dekapan indera dan hati kita.
Semua adalah rahasia kehidupan, semua adalah rahasia yang ada dalam genggaman KuasaNya yang Mahaagung dan Mahabijak.
Saya masih teringat benar nasihat almarhum ayah saya, di atas becak sepulang dari rumah calon mertua ketika saya memperkenalkan beliau.
Kata almarhum:
“ Bapak sudah memenuhi keinginanmu untuk diperkenalkan kepada Pak Effendi. Semoga semua harapanmu dapat terlaksana dengan baik. Hanya satu hal yang perlu kamu ingat dan camkan benar-benar. Bahwa yang Mahamempunyai hanyalah Tuhan. Dengan perkenalan tadi, bolehlah kamu beranggapan bahwa calon isterimu nantinya adalah milikmu, calon mertuamu adalah nantinya orang-tuamu yang lain. Tetapi Bapak berharap agar kamu jangan berlebihan anggapan terhadap hal tersebut, karena apabila nanti Tuhan berkehendak lain, kamu akan menjadi sedih dan kecewa. Sadarlah bahwa bahkan hidup kita inipun bukan milik kita. Hanya Tuhan yang memiliki segala sesuatu, baik yang wujud atau tidak, yang tergelar maupun yang tidak”

Di atas becak yang melaju pelan di jalan Kranggan, sekitar jam sepuluh malam itu, almarhum ayah saya telah mengungkapkan sebagian dari mosaik dalam khasanah pemikiran dan pemahaman beliau akan kehidupan, yang saya rekam hingga saat ini.

25 Juni 2008

Guruku Berkejaran dengan Waktu


Pikiran saya sedang terusik oleh sebuah cerita sedih tentang guru SMA saya yang sudah sepuh, yang ketika dua tahun lalu kami kunjungi bersama teman-teman, beliau baru saja pulang opname, dan harus ganti merawat isterinya yang sakit di rumah. Beliau adalah salah satu dari sekian mantan guru kami yang masih ada, dan memiliki hubungan cukup dekat dengan para bekas murid-muridnya.

Tahun lalu teman-teman alumni SMA saya (dari beberapa angkatan kelulusan) berencana untuk meluncurkan sebuah buku yang berisi rekaman perjalanan selama 50 tahun usia sekolah kami. Peluncuran dilakukan di Jakarta - karena sebagian besar alumni berada di sana – dengan sebuah perhelatan besar yang barangkali dimaksudkan sebagai ungkapan terima kasih kepada sekolah yang telah mengantarkan teman-teman saya menjadi ‘orang’, dan mungkin juga dimaksudkan sebagai ungkapan rasa bangga luar-biasa.
Cerita tentang guru saya, yang terselip di balik segala kemeriahan tersebut sungguh mengharukan hati saya. Dan baru dua minggu lalu cerita tersebut saya dengar dari seorang teman.

Guru saya tersebut, ketika itu berhasrat benar untuk ikut datang menghadiri acara di Jakarta tadi. Keterbatasan-keterbatasan yang sangat dapat dimaklumi menyebabkan beliau mengalami kesulitan untuk dapat berangkat ke Jakarta. Sampai terucap sebuah pertanyaan kepada teman kami itu “ Mas, bagaimana ya caranya supaya saya bisa ikut ke Jakarta?”. Sebuah pertanyaan yang menurut saya lebih bernuansa sebuah permohonan kepada bekas muridnya, agar dapat difasilitasi untuk ikut menyaksikan acara besar yang diselenggarakan dan dihadiri oleh beratus-ratus para bekas muridnya. Sebuah kerinduan yang amat sangat untuk bertemu mereka, harapan yang demikian kuat untuk ikut menjadi saksi sebuah rekaman peristiwa teramat besar di mana beliau pernah menjadi bagian di dalamnya.
Disampaikan dalam sebuah keluhan, sebuah permintaan setengah putus-asa.

Beliau akhirnya tetap tak dapat berangkat.
Pesta peluncuran buku konon berhasil dilangsungkan dengan sangat meriah, amat membanggakan dan meninggalkan kesan yang teramat dalam bagi yang menghadirinya.
Mendengar cerita tersebut, hati saya merasa perih.

Guru saya ini telah sangat lama berpisah dengan para muridnya yang sekarang entah sudah menjadi apa mereka semua.

Maafkan teman-teman, kalau saya menjadi sentimentil mendengar kabar ini.
Karena saya membayangkan bahwa diri saya adalah Guru Anda, guru renta yang ingin sekali menyaksikan sinar mata kebahagiaan di muka Anda sekalian di hari yang amat bersejarah itu, pada usia tua saya ini, pada sisa usia saya yang tinggal sedikit ini. Dan harapan saya ini tak dapat terlaksana, karena saya tak mampu ke sana. Tak dapat bertemu dengan Anda sekalian, yang sekarang sudah bak Laksamana Hang Tuah di anjungan kapal , di samudera raya kehidupan yang teramat luas, seperti yang dulu saya ceritakan ketika Anda masih menjadi murid saya.

empati untuk Mas Amir dan segenap teman-teman di Purworejo:
berlalunya waktu untuk kita, adalah berlalunya harapan untuk beliau

21 Juni 2008

Sudah Lupa Tuh!

Pada saat harga-harga menyelinap naik seperti ular merayap pindah tempat, kebanyakan orang sudah mulai lupa kepada kemarahan atas penetapan kenaikan harga BBM tempo hari. Harga paku yang sebelumnya sekilo Rp 12 ribu, merambat malu-malu ke Rp 14 ribu lalu Rp 18 ribu di toko besi dekat rumah. Itupun, mbak pelayan tokonya bilang : entah besok. Artinya, sangat mungkin akan naik lebih tinggi lagi. Barang lainnya paling-paling juga idem saja.
Kita seolah-olah mempunyai sikap yang seragam: mau apa lagi! Mentok sampai di situ.
Kalaupun ketika harga bensin baru naik, beberapa di antara kita berpikir dan berencana untuk melakukan pengiritan belanja, penggunaan lampu atau mengurangi intensitas penggunaan kendaraan bermotor, mungkin upaya itu sudah mulai kendor pula saat ini. Tidak sesemangat ketika diikrarkan di depan keluarga. Hidup sehari hari berjalan normal kembali. Tetapi benarkah?
Di jalanan terlihat angkot yang berjalan lambat karena supirnya banyak menoleh kanan-kiri mencari kelebat calon penumpang. Penumpang yang berada di atas angkotnya kurang dari separo. Pedagang sayur keliling, bawaannya berkurang, karena mungkin kemampuannya mengulak barang turun, ditambah konsumennya mengurangi nilai belanjaan.

Yang jelas, tampaknya tingkat kemarahan kita kepada Pemerintah sudah tak lagi setinggi sebelumnya. Entah disebabkan terlalu capek untuk marah, merasa tak guna lagi untuk marah, bosan mencari sesama pemarah, atau karena sudah lupa bahwa tetap perlu marah.
Atau takut pada isteri, karena marahnya terbawa sampai di dalam rumah, atau justru tak bisa lagi marah karena isteri marahnya lebih seru. Atau, dipikir: marah juga percuma karena seisi rumah sampai ke tetangga sekampung semua juga lagi rame marah-marah.

Apakah Pemerintah senang?
Pemerintah itu siapa, yang mana, lembaganya atau orangnya.
Kalau lembaganya, saya kira tak ada lembaga yang punya perasaan, marah atau senang. (Jangan nyanyi: Lmbagaaa jugaaa mnusiaa)
Mungkin orangnya. Tapi yang mana, yang di mana. Wah, saya tak tahu.
Hanya menduga-duga, bahwa rasa senang sedikit ada, karena mereka (beliao) tak lagi harus menjawab pertanyaan media yang pertanyaannya itu-itu saja dan harus dijawab juga dengan jawaban yang itu-itu saja. Senang karena tak ada lagi demo besar, yang menguras tenaga, emosi, keringat, perhatian, bensin, waktu. Dan uang.
Barangkali benar kalau ada yang pernah menyampaikan bahwa kita ini bangsa yang pelupa. Mau buktinya:
Jawab spontan ! : penetapan harga baru BBM pada tanggal berapa!
Jangan menoleh ke kalender!
Mikir?
Anda pelupa.

Hati-hati, TV dan PC Anda bisa mati tiba-tiba karena Djamali defisit pasokan!
Ah, Ini Lagi! Lebih pinter bikin singkatan baru ketimbang menyingkat keborosan dan kebocoran.
(Djamali itu siapa? Maksudnya apa?)
Mbuh, wis! Sak-Kaaarepmu!

19 Juni 2008

Suasana Hati

Aku membayangkan, kalau nanti aku sudah pensiun, maka aku tak akan lagi menikmati pagi hari duduk rapi dengan gelas teh dan kopi bersama teman-teman di kantor ini * waduh, mencoba sebuah prosa berima*.
Celoteh ramai ketika goreng pisang datang, semua merubung dan mengambilnya lalu kembali ke meja kerja, melanjutkan aktivitasnya sambil sesekali bicara pada teman di sebelahnya.
Ketika ada tamu datang, senyum dipasang dan tangan berjabatan. Ah ! Suasana yang sungguh akan sangat kurindukan nanti.
Perdebatan dan pertengkaran kecil karena laporan yang lambat disampaikan, berkas dipinjam lupa dikembalikan, dan urusan yang dilempar-lempar ke orang yang semestinya tak berkaitan, seolah menjadi bagian yang mesti ada, kalau tidak ingin dibilang komunitas yang beku romantika.
Lirak-lirik teman dari ruang sebelah yang datang bertandang, karena di ruanganku ini banyak yang sedap untuk dipandang-pandang lagian suka agak menantang-nantang, amboi! bikin pagi-pagi ingin bersicepat sampai di sini saja.
Canda kebablasan, sampai-sampai sebuah kue terlempar hampir kena kepala bos yang untung saja bosnya nggak tahu, tapi akhirnya setelah tahu semua ketawa si bos juga ketawa dan justru pelemparnya pucat-pasi, mmmmm teman-teman yang sungguh menyenangkan.
Suara dot-printer yang merengek-rengek seolah minta perhatian manusia sekitarnya untuk menunjukkan bahwa si empunya lagi bekerja keras, terdengar dari kebisingan yang timbul darinya *emang itu printer atau mesin potong keramik?*
Duduk berhadapan untuk bicara kecil-kecil diseling dengan corat-coret kode rahasia, yang disampaikan gara-gara komunikasi yang buntu dan mencari saluran untuk penampungan dari luapan rasa sesak di dada, *aku sudah bilang kalau aku ini siap jadi tas kresek, wadah muntah iya, untuk wadah belanja apel-anggur-eskrim-nasi pecel-gado-gado pun juga iya, asal jangan sumpah-serapah yang ditumpah, itu bisa bikin aku murka semurka-murkanya* banyak rahasia baru yang aku dengar dan harus aku simpan rapat-rapat, tapi akhirnya bocor juga karena si empunya rahasia mengobralnya di beberapa meja bahkan hampir semua dengan pesan yang sama ' ini cuma di antara kita saja'.
Melihat ada yang bercuriga-curiga, karena kawatir ketahuan sesuatunya padahal aku tak peduli terhadapnya, lucu rasanya.
Bertabrakan pendapat dan saling cari dukungan di antara sesama, macam kampanye pilkada saja agar idenya sukses diterima dan didukung semuanya.

Menghadapi bos yang ribut memasalahkan titik dan koma, cuma karena selera dan tidak PD saja menghadapi rapat besar yang harus dihadirinya.
Bos yang terkadang menjungkir balikkan norma dan kaidah di luar kompetensinya, semata agar hipotesisnya diterima melalui rasionalisasi yang begitu naifnya.
Memandu yunior yang begitu semangat, maunya main bersicepat, kalau perlu dengan memotong sistem yang ada.

Dari sudut ini, semua kupotret sefokus-fokusnya untuk nanti dipigura dalam ingatan menjadi sebuah kesan yang akan tetap kurindukan.
Lalu dengan itu, bekerja terasa ringan dan menyenangkan, terasa sayang untuk ditinggalkan.

Hmmm,
pada saatnya, akan kutinggalkan itu semua.
Dan hanya akan tertinggal jejaknya di memoriku yang semakin cekak speisnya.

Paling-paling kalau rinduku sudah memuncak, nantinya aku akan datang ke sini menengok lagi semuanya. Itupun kalau teman-teman ini masih sudi menerima aku dan tak merasa terganggu oleh kedatanganku.
Atau, masihkah aku punya cukup nyali untuk bertemu dengan mereka yang akan menerimaku dengan setengah hati karena toh aku sudah tak punya status lagi di sini?

Ah,
Biar nantilah saja pada saatnya, kalau aku sudah berada pada saat pensiunku nanti.
Yang jelas, aku sedang sangat menikmatinya.


di antara tumpukan berkas
yang seperti tempat pembuangan akhir sampah kota

16 Juni 2008

Sang Guru

Ketika aku menghadap kepada Mahaguru Durna, Sang Apunjul Ing Kawruh, gemetar rasanya seluruh tubuhku, karena pada akhirnya aku dapat bersimpuh dihadapannya Yang Dimuliakan, yang tersohor sebagai mahaguru seluruh kesatria terkemuka. Hatiku penuh rindu dan harap-harap cemas mendengarkan fatwanya, yang selama ini hanya aku dengar melalui kabar dan beberapa berita.
Kerinduanku dipicu oleh keinginan yang lama terpendam untuk dapat diterima sebagai muridnya, agar aku dapat belajar segala ilmu sebagai bekalku menjadi Raja yang adil dan bijak, sebagai pemimpin dan pelindung bagi rakyat di kerajaan Paranggelung.
Ilmu yang akan kupelajari, dan akan kumanfaatkan untuk menjadikan negeri ini sebuah negeri yang tenteram, yang rakyatnya saling menghormati satu sama lain; aman, terlindung dari gangguan dari manapun dan dalam bentuk apapun; dan makmur, bebas dari kepapaan.
Memandang wajah Sang Pandita, terlaksana setelah aku menghadap beliau di pertapaan Sokalima yang teduh dan bermartabat, sangatlah menyejukkan hatiku dan menghalau segala kelelahan serta gundah hatiku.

Aku, Palgunadi, Raja Paranggelung, sangat berhasrat menjadi murid dari Pandita Durna, meskipun hanya diterima sebagai murid biasa atau bahkan menjadi abdi pembasuh kaki beliau, asalkan aku selalu dapat berada di dekatnya, melihat segala laku teladannya, ikut mendengarkan fatwa dan petuahnya kepada para muridnya yang dimuliakan, para kesatria Pandawa dan Kurawa. Cukuplah aku diterima sebagai abdi, itupun sudah akan aku syukuri.
Keberangkatanku bersendiri dari kotaraja Paranggelung, dihantar dengan segala puji-basuki oleh seluruh rakyat, penata-praja dan para punggawa istana, diiringi oleh senyum penuh kasih dari isteriku yang jelita, Anggrahini, seorang Ratu yang sangat dihormati serta dicintai oleh seluruh anak negeri. Perjalananku serasa ringan karena dukungan dan dorongan dari semua orang yang tulus berbakti dan mencintaiku. Akupun telah menyiapkan diri untuk meninggalkan segala kemuliaan sebagai Raja, bersiap bahkan untuk menjadi budak bagi Sang Pandita, agar dapat menyerap ilmunya yang akan aku persembahkan bagi negeri dan rakyatku nantinya.

Sang Pandita menolak permohonanku.
Serasa runtuh langit dan terbelah bumi yang kupijak. Terbayang roman muka kecewa seluruh rakyat, para punggawaku, bahkan isteriku. Betapa mereka akan merasa terhina, ketika mendengar rajanya ditolak ketika memohon untuk dapat menjadi murid Sang Guru Pandita, meskipun sebenarnya aku bahkan sudah memohon sekedar sebagai abdi suruhannya. Betapa tak terbayangkan ketika aku nanti akan menyaksikan para prajuritku marah karena rajanya telah dipermalukan dengan tiada sepantasnya, lalu mereka akan meledakkan kemarahannya dengan mengajakku berangkat membasmi pertapaan Sokalima karena rasa terhina. Sedangkan aku sama-sekali sangat tidak menginginkan adanya permusuhan, sebagaimana diamanatkan kepadaku ketika dinobatkan menjadi raja : menjadi pelindung rakyat, pembawa kedamaian dan kemakmuran, serta persahabatan di antara rakyat antarkerajaan.

Dalam kesendirianku meninggalkan pertapaan Sokalima, aku berpikir keras mencari jawaban tentang sebab-sebab penolakan Sang Guru Pandita. Aku yang telah berikrar sebagai pemimpin yang cinta damai, mungkin belum cukup menjadi jaminan baginya, untuk tidak dianggap akan mengancam kedaulatan kerajaan keluarga Pandawa dan Kurawa. Kebesaran kerajaan keluarga Abiyasa ini, akan terusik di hadapan masyarakat dunia, karena seorang Palgunadi yang bukan siapa-siapa, apabila diterima menjadi muridnya. Kalaupun sementara ini aku dikenal sebagai raja yang sakti dan bijak, maka sebenarnya kesaktian dan kebijakanku semata-mata aku gunakan untuk memimpin negeriku, tanpa sedikitpun terbersit pikiran untuk meluaskan kerajaan, mengobarkan penjajahan ke negeri manapun juga. Dan pula, aku tak merasa bahwa diriku adalah seorang raja sakti yang ingin bertanding kesaktiannya dengan siapapun. Sama sekali tak ada pikiran semacam itu.
Kuputuskan, dengan bekal sejenak pertemuan dengan Sang Pandita ini, dengan sejenak kesempatan untuk mendengar suaranya ketika berbicara, melihat kelebat langkah dan gerak-geriknya, mencium aroma rambut dan jubahnya, serta membayangkan tingkat ilmunya, aku tetap akan berguru kepadanya. Aku tak akan pulang ke Paranggelung, daripada hanya akan membuat kecewa orang-orang yang kukasihi. Aku akan mengasingkan diri, berkontemplasi di tengah rimba di tepian padang belantara. Aku akan menempa diri dengan belajar olah-keprajuritan dan olah-kearifan budi, dengan membayangkan bahwa Sang Pandita sebenarnya secara diam-diam membimbingku agar aku dapat menguasai segala ilmu yang diajarkannya. Kuyakini, bahwa sebenarnya Sang Pandita bukan menolakku, tetapi menguji kesungguhan hatiku, bukan mengusirku tetapi memerintahku untuk mencari tempat yang lebih sunyi dan tenang, agar beliau dapat mengajariku secara lebih khusus dan pribadi. Bagaimanapun Pandita Durna terlalu agung bagiku. Terlalu mulia, sehingga apa yang telah terjadi sebenarnya bukanlah penolakan, tetapi dia telah memperlakuan teramat khusus kepadaku. Sesungguhnya bagiku, dia sangatlah faham, bahwa dengan menjadi muridnya amat jauh keinginanku untuk sekedar menang perang ataupun cerdik dalam berolah-praja. Beliau adalah inspirasiku, sejak sebelum bertemu, ketika sejenak bersimpuh dihadapannya maupun ketika aku harus pergi darinya. Semakin kencang motivasiku untuk berguru, meskipun aku tidak berada di Sokalima, karena bagiku ini adalah isyarat rahasia yang telah kuterima dan dapat kubaca, bahwa Sang Pandita sangat memahami tingkat pemahamanku dan kemampuanku mengembangkan diri, dari pertemuan yang hanya sejenak itu. Aku hanya dapat bersimpuh dihadapannya dalam angan-angan, atas segala penghargaan dan kepercayaannya, bahwa aku akan mampu menjadi muridnya, meskipun dia tidak mengasuhku secara nyata.

Ternyata, dengan caraku belajar ini, rasanya aku mempu lebih cepat menguasai ilmu keprajuritan yang diajarkannya. Kubayangkan, bagaimana Sang Pandita mengajari Bima, Duryudana dan Dursasana berolah gada, sehingga mereka menjadi teramat mahir. Bagaimana Arjuna berolah panah, sehingga hanya mendengar gemerisik daun di semak, seekor kijang dapat dipanahnya tepat pada jantungnya.
Aku juga membayangkan bagaimana Sang Pandita mengajarkan lontar dan kidung berisi nasihat utama bagi seorang kesatria, yang akan menjadi pedoman dalam bertindak dan berperilaku luhur. Akan dicontohkannya sifat-sifat mulia agar menjadi acuan dalam setiap segi kehidupan seorang kesatria dan raja-raja.

Di malam-malam yang sepi, di bawah terang bintang di tengah padang belantara di tepi hutan, aku memusatkan segenap inderaku, menyerap segala nilai utama yang diajarkan oleh guruku melalui anganku.

Waktu berlalu.
Rasanya masih belum selesai juga aku menyerap ilmu Sang Pandita, ketika aku menerima isyarat tentang kegundahan rakyatku, yang menunggu kedatanganku karena rasa rindu kepada rajanya. Terbayang wajah Anggrahini, yang meskipun tetap tegar sebagai seorang Ratu yang suaminya sedang berada di tempat jauh, bertanya-tanya pula dalam hatinya tentang keberadaanku. Rindu untuk dapat bertatap muka dan berbicara sebagaimana sedia kala.
Kutahan hatiku untuk mencukupkan keberadaanku di tengah padang belantara sunyi ini, sampai suatu ketika, di siang yang sepi, keheningan belantaraku dirobek oleh suara salak murka dari sekawanan anjing yang berlarian menuju ke tempatku. Kutarik busur, kulepas sebatang anak panah ke arah gemerasak semak yang diterabas kawanan itu, dua-tiga suara lolong panjang terdengar, lalu suara salak menjauh. Sepi kembali.
Tiba-tiba dari sudut gerumbul semak muncul seorang kesatria berpakaian pemburu, yang wajahnya bercahaya, yang matanya berkejap laksana bintang kejora menggambarkan kecerdasannya yang amat sangat. Aroma yang kutangkap, mengisyaratkan bahwa beliau adalah Raden Arjuna, seorang kesatria tersohor di seluruh jagad yang kesaktiannya bahkan diandalkan para Dewa. Seorang kepercayaan Kahyangan Giriloka, yang beristeri seorang bidadari, Dewi Supraba. Aku takjub melihatnya, dan merasa sangat bahagia dapat berhadapan dengannya. Kulihat di tangannya sebuah busur dan sebatang anak panah berkilauan matanya, namun masih lebih menyilaukan lagi wibawa Sang Kesatria Lananging Jagad ini. Kusampaikan salam, kusapa namanya dengan takzim.
“ Selamat datang wahai Raden Arjuna, Sang Kesatria Panengah Pandawa”.
Tampak sejenak dia terkejut, ketika kusebut namanya, lalu pandangannya tampak menyelidik.
“Siapakah engkau, wahai pemanah, yang telah membunuh tiga ekor anjing pemburuku dari kejauhan, dan apakah yang sedang kau lakukan di tengah padang belantara ini ?”
“Aku adalah Palgunadi, seorang yang sedang mengasingkan diri, belajar dari Mahaguru Resi Durna”
Lalu tiba-tiba Arjuna pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah katapun. Sejenak aku menjadi terheran-heran. Apa gerangan yang terjadi, sehingga dia meninggalkanku begitu saja, sebelum aku sempat meminta maaf kepadanya karena secara tak sengaja telah membunuh anjingnya. Aku sangat ingin berkenalan dengannya, dan kalau mungkin bersahabat dengannya, belajar darinya, bahkan aku ingin kalau bisa menjadi saudara setianya. Sungguh sebuah kehormatan tiada tara, apabila keinginanku dapat dikabulkannya. Menjadi teman dan saudara dari seorang murid terkasih Pandita Durna, yang akan menjadi penawar kegagalanku dalam berguru langsung kepada Sang Pandita. Tetapi belum sempat semua anganku kuwujudkan dalam sebuah permintaan kepadanya, dia pergi begitu saja tanpa sepatah kata diucapkannya.

Aku memutuskan untuk kembali kepada rakyatku, ke kerajaanku di Paranggelung, kepada isteriku Anggrahini yang teramat setia dan kucintai. Namun, tanpa kuduga, tiba-tiba di padang belantaraku tercium aroma seribu kesturi, aroma penuh kemuliaan. Tanpa kuduga, tiba dihadapanku hadir Maharesi Durna diiringi oleh Raden Arjuna dengan pakaian kebesaran kesatria yang berkilauan. Segera aku tunduk bersimpuh dihadapan Sang Mahapandita. Kusampaikan baktiku serta rasa terima kasihku karena beliau telah sudi datang pada saat aku bersiap mengakhiri masa pengasingan diriku yang panjang, untuk belajar dengan ‘bimbingannya’. Kusampaikan pula:
“Kiranya Sang Mahapandita sudi memaafkan kelancanganku, berani menerima kehadiran Paduka di tempat yang tidak semestinya. Sesungguhnya, aku sangat berterimakasih karena Sang Resi telah mengajarkanku segenap ilmu dengan cara yang luar-biasa selama ini. Aku, Palgunadi dari Paranggelung mohon dijauhkan dari kemarahan atas segala kekhilafan ini”
Dan beliau menjawabnya:
“Apakah tanda baktimu kepadaku, wahai Palgunadi, tanda bakti seorang murid kepada gurunya yang telah mengajarkan kepadamu segala ilmu ?”
“Apapun yang kau minta, wahai guruku, akan kuserahkan kepadamu”
“Permintaanku tidak terlalu banyak, bukan emas-permata, kerajaan ataupun sisa hidupmu, tetapi cukuplah Mustika Ampal Kombang Ali-ali yang ada di ibu jari tangan kananmu, wahai Palgunadi”

Serasa sejuta kilat-guntur meledak bersamaan di kepalaku. Sejenak aku tertegun. Lalu kemudian pelajaran dari Sang Guru yang selama ini kuperoleh dalam renungan-renungan panjangku terlintas dalam pikiran. Alam telah menunjukkan kebesarannya. Tanda-tandanya dapat kubaca dengan jelas. Pengabdianku kepada kehidupan telah tiba pada saat akhirnya. Aku harus meninggalkan hiruk-pikuk dunia beserta segenap isinya, untuk kembali kepada alam abadi. Terbayang wajah duka seluruh rakyatku, terbayang wajah duka isteriku, Anggrahini, yang dahulu ketika aku pamit pergi, telah mengantarku dengan segala doa-puji serta janji setia. Terbayang senyumnya yang menyejukkan, aku percaya dia akan menyusulku nanti.

Kutetapkan hatiku. Ini adalah saat yang luhur dan mulia bagiku. Melepas segala nafsu duniawiku, melepas segala rasa khawatirku akan kehilangan terhadap sesuatu. Akan kulepas Mustika Ampal Kombang Ali-ali dari ibu-jari kananku, yang berarti pula dengan itu hidupku akan berakhir. Kupersembahkan milikku ini kepada guruku.

“ Wahai guru yang mulia, keinginanmu adalah sebuah kehormatan bagiku, mati demi guru yang kuhormati dan kumuliakan sungguh adalah kematian terindah yang tak pernah kubayangkan akan kujalani. Perkenankan aku bersimpuh untuk berterima kasih atas segala kemurahanmu, kebijakanmu dan kemuliaan hatimu. Aku tetap rindu untuk dapat menyertaimu, wahai guru, sebagaimana aku telah ‘bersamamu’ belajar segala kearifan selama ini, hingga aku mampu membaca segala tanda-tanda zaman. Ampunilah aku dengan keinginanku untuk tetap mengabdimu, wahai guru. Kalaupun aku harus pergi sekarang, aku akan tetap menantimu dengan segenap rindu dari seorang murid, aku akan menjemput kedatanganmu kelak setelah selesai dharmamu. Wahai guru, aku akan tetap menantimu di swargaloka”
“Lakukanlah!”
Kulolos cincinku dari ibu jari tangan kananku. Kuserahkan ke genggaman guruku yang mulia, yang tangannya baru dapat kusentuh pada saat akhir ini. Harum.
Aku terkulai, jatuh tersimpuh.
Lemas tepat di hadapan kaki Guruku berdiri.

Lalu kulihat pelangi membusur dari arah rubuhku, membubung tinggi ke langit tujuh lapis.
Akupun pergi ke arah cahaya-cahaya yang mempesona.
Kulihat, di kejauhan sana, Anggrahini menyusulku dengan segenap kejelitaan dan kesetiaannya.
Aku teramat bahagia......