Pikiran saya sedang terusik oleh sebuah cerita sedih tentang guru SMA saya yang sudah sepuh, yang ketika dua tahun lalu kami kunjungi bersama teman-teman, beliau baru saja pulang opname, dan harus ganti merawat isterinya yang sakit di rumah. Beliau adalah salah satu dari sekian mantan guru kami yang masih ada, dan memiliki hubungan cukup dekat dengan para bekas murid-muridnya.
Tahun lalu teman-teman alumni SMA saya (dari beberapa angkatan kelulusan) berencana untuk meluncurkan sebuah buku yang berisi rekaman perjalanan selama 50 tahun usia sekolah kami. Peluncuran dilakukan di Jakarta - karena sebagian besar alumni berada di sana – dengan sebuah perhelatan besar yang barangkali dimaksudkan sebagai ungkapan terima kasih kepada sekolah yang telah mengantarkan teman-teman saya menjadi ‘orang’, dan mungkin juga dimaksudkan sebagai ungkapan rasa bangga luar-biasa.
Cerita tentang guru saya, yang terselip di balik segala kemeriahan tersebut sungguh mengharukan hati saya. Dan baru dua minggu lalu cerita tersebut saya dengar dari seorang teman.
Guru saya tersebut, ketika itu berhasrat benar untuk ikut datang menghadiri acara di Jakarta tadi. Keterbatasan-keterbatasan yang sangat dapat dimaklumi menyebabkan beliau mengalami kesulitan untuk dapat berangkat ke Jakarta. Sampai terucap sebuah pertanyaan kepada teman kami itu “ Mas, bagaimana ya caranya supaya saya bisa ikut ke Jakarta?”. Sebuah pertanyaan yang menurut saya lebih bernuansa sebuah permohonan kepada bekas muridnya, agar dapat difasilitasi untuk ikut menyaksikan acara besar yang diselenggarakan dan dihadiri oleh beratus-ratus para bekas muridnya. Sebuah kerinduan yang amat sangat untuk bertemu mereka, harapan yang demikian kuat untuk ikut menjadi saksi sebuah rekaman peristiwa teramat besar di mana beliau pernah menjadi bagian di dalamnya.
Disampaikan dalam sebuah keluhan, sebuah permintaan setengah putus-asa.
Beliau akhirnya tetap tak dapat berangkat.
Pesta peluncuran buku konon berhasil dilangsungkan dengan sangat meriah, amat membanggakan dan meninggalkan kesan yang teramat dalam bagi yang menghadirinya.
Mendengar cerita tersebut, hati saya merasa perih.
Guru saya ini telah sangat lama berpisah dengan para muridnya yang sekarang entah sudah menjadi apa mereka semua.
Maafkan teman-teman, kalau saya menjadi sentimentil mendengar kabar ini.
Karena saya membayangkan bahwa diri saya adalah Guru Anda, guru renta yang ingin sekali menyaksikan sinar mata kebahagiaan di muka Anda sekalian di hari yang amat bersejarah itu, pada usia tua saya ini, pada sisa usia saya yang tinggal sedikit ini. Dan harapan saya ini tak dapat terlaksana, karena saya tak mampu ke sana. Tak dapat bertemu dengan Anda sekalian, yang sekarang sudah bak Laksamana Hang Tuah di anjungan kapal , di samudera raya kehidupan yang teramat luas, seperti yang dulu saya ceritakan ketika Anda masih menjadi murid saya.
empati untuk Mas Amir dan segenap teman-teman di Purworejo:
berlalunya waktu untuk kita, adalah berlalunya harapan untuk beliau
Sayang beliau tak bisa hadir. Tetapi tak ada yang terlambat. Kunjungilah beliau. Beliau akan tetap berbesar hati. Guru saya juga sakit ginjal di Solo. Saya hanya bisa bicara lewat tilpon saja dri Manila dan mengirim sekedar bantuan. Beliau senang sekali. Kami ingin sekali mengunjunginya jika pas pulang ke Yogya.
BalasHapusduh gak bisa ngomong apa2 lagi..soalnya guru2 saya dulu udah gak pernah kliatan lagi...
BalasHapusmungkin saya yang kurang peduli kali ya dengan nasib para guru2..
*sigh
@pak bud: semoga masih terkejar
BalasHapus@tc: senang, haru, bangga, wah, berjuta nuansa dek, kalo suatu saat ketemu guru
'Koco benggolo' bagi guru2, kalau ingin selalu diingat para murid, harus selalu baik2 dan deket dong dengan murid, jangan galak2 dan bimbing mereka. Memang sulit jadi guru yang baek.
BalasHapusKalau tidak baek dimata murid .... wah bisa konyol.
GURU digugu lan ditiru, murid yang terpandai, ternakal, terbodoh dan yang menyandang "ter" pasti akan diingat oleh sang guru.
BalasHapusContoh Mas Indro : walau terkecil tapi terpandai... katanya Pak Mardji lho...
anak teman saya (indo) waktu ke semarang inginnn sekali melihat tempat mommy sekolah waktu SD, maka diajaknya anaknya yg bahasa Indonesianya hanya terbatas : apa kabar....tapiii karena teman saya ini dari keluarga sangat miskin, bekas2 gurunya tidak mengingatnya blas......dia harus nerangin siapa saja teman2 nya yg anak orang kaya....baru gurunya ingat dia....
BalasHapushmmm, sedih juga denger ceritanya yach. Tapi apa mungkin sang guru gak terlalu dekat dengan muridnya barangkali... karena biasanya dari sekian banyak murid yg ada, pasti ada murid yg sayang pada gurunya... Apalagi jika murid ini bisa berhasil... Gak semua murid dari sekian banyak angkatan itu, gak inget sama gurunya...
BalasHapusAhhh, tetep prihatin dengan kondisi yg dialami pak guru itu... semoga satu saat, beliau bener2 bisa bertemu dengan anak muridnya, dan sama2 saling menumpahkan rasa sayang satu dengan yg lain.
SAlam hormat,
Silly
@mas guru: guru kita kan baek2 semua
BalasHapus@si mbah: mridnya semua mengesankan, kok
@wieda: wah, bagusnya ....
@silly: pernahkah terbayang? trims atas kunjungan anda
Salam
BalasHapusYang saya agak bingung mengapa tak ada yang tergerakkah hati salah satu dari sekian banyak para mantan muridnya untu memfasilitasi Sang guru itu, bukankah mereka sudah menjadi "orang" ah maafkan bukan bermaksud menghakimi, anggap saja ini sebuah kebingungan saya, yang jelas selamat atas perhelatannya tapi sedikit prihatin dengan kondisi sang Guru.. semoga dia baik-baik saja. Amin
@nenyok: mungkin beliau bicaranya kepada orang yg kurang tepat ya
BalasHapus