08 Juni 2008

Di Bawah Bendera Revolusi:

Mencapai Indonesia Merdeka

..........
Marilah kita lebih baik membuka surat-surat kabar, dan kita saban hari bisa mengumpulkan beberapa ‘syair megatruh’ yang ‘menarik hati’, Yang melagukan betapa hidupnya Kang Marhaen, yang di dalam zaman ‘normal’ sudah ‘sekarang makan-besok tidak’ itu, di dalam zaman meleset sekarang ini menjadi lebih-lebih ngeri lagi, lebih-lebih memutuskan nyawa lagi, lebih-lebih megap-megap lagi.

Darmokondo, 11 Juli 1932:
Di kampung Pagelaran Sukabumi, ada hidup satu suami-isteri bernama Musa dan Unah, dengan iapunya anak lelaki yang ke satu berumur 5 tahun, yang ke dua 3 tahun dan yang ke tiga baru 1 tahun. Itu familie ada sangat melarat, dan sudah beberapa bulan ia cuma hidup saja dengan daun-daunan dalam hutan, yang ia makan buat gantinya nasi. Lama-kelamaan itu suami-isteri merasa yang ia tidak bisa hidup selama-lamanya dengan cuma makan itu macam makanan saja. Buat sambung ia punya jiwa serta anak-anaknya, itu suami-isteri telah dapatkan satu fikiran, yaitu ... jual saja anaknya pada siapa yang mau beli.

Perca Selatan, 7 Mei 1932:
Pegadaian penuh, sebab tidak ada yang menebus, semua menggadai. Sekarang gadaian kurang. Ini barang aneh! Sebab mustinya naik! Bagi saya tidak aneh. Ini tandanya barang-barang yang akan digadai sudah habis! Tandanya miskin habis-habisan!
Di desa orang-orang 2 hari sekali makan nasi, selainnya makan ubi, tales, singkong, jantung pisang. Sudah sebagai sapi

Aksi, 14 November 1931:
Di desa Banaran dekat Tulungagung kemarin-dulu orang sudah jadi ribut, lantaran ada orang gantung diri.
Duduknya perkara begini: Sudah lama ia seanak-bininya merasa sengsara sekali, malahan anaknya yang masih kecil sering dieniskan nasi pada orang sedesa situ. Saben hari ia cari kerja, berangkat pagi pulang sore, tapi sia-sia, tidak ada orang yang butuh kuli. Kemarin-dulu ia tidak bepergian, cuma duduk termenung di rumah saja, rupa-rupanya sudah putus-asa dan bingung mendengarkan anaknya menangis minta makan. Tahu-tahu dia sudah ketemu mati (gantung-diri).

Siang Po, 23 Januari 1933:
Di dekat kota Krawang sudah ada kejadian barang yang sanget bikin ngenes-ati. Ada orang janda namanya Upi, punya anak kecil. Diapunya laki barusan mati, sebab sakit keras cuma satu minggu lamanya. Upi memang dari sedari hidupnya diapunya laki ada sanget melarat sekali, tapi sesudah ia jadi janda, kemelaratan rupanya tida ada bates lagi. Lama-lama Upi jadi putus-asa, dan anaknya yang ia cintain itu sudah ia tawarkan sama Tuan LKB di Krawang. Ditanya apa sebabnya ia mau jual anaknya, ia tida jawab apa-apa, cuma menjatuhkan air-mata bercucuran. Tuan LKB sanget kasian sama dia, en kasih uang sekedarnya pada itu janda yang malang

Pewarta Deli, 7 Desember 1932:
Di kota sering ada orang yang menyamperi pintu bui, minta dirawat di bui saja, sebab merasa tidak kuat sengsara. Di bui misih kenyang makan, sedang di luar belum tentu sekali sehari.

Sin Po, 27 Maret 1933:
Mencuri ayam sebab lapar, dibui juga 9 bulan.
Malaise heibat yang mengamuk di mana-mana telah bikin sengsara dan kelaparan penduduk Trogong Kebayuran. Penduduk di situ suda tida bisa dapatken uang dan banyak yang kelaparan kerna tida punya duit buat beli makanan. Salah satu orang nama Pungut juga alamken itu kasukeren yang heibat. Ia ada punya bini dan dua anak, sedeng penghasilan sama sekali telah kapempet berhubung dengen jaman susa. Sementara itu ia punya beras dan makanan suda abis. Apa boleh buat, saking tida bisa tahan sengsara kerna suda 2 hari tida punya beras, pada satu malem ia bongkar kandang ayam dari tetangganya nama Jaya dan dari ia timpa 2 ekor ayam. Itu binatang kamudian ia jual di pasar buat 3 picis dan dari itu uwang ia beli beras 15 cent.
Blakangan Pungut ditangkep dan dibui. Pada tanggal 3 Maret ia mesti mengadep pada landraad di Mr. Cornelis dan Pungut aku saja betul telah colong itu 2 ekor ayam sebab suda 2 hari ia tida makan. Landraad anggep ia terang bersalah ambil ayamnya laen orang dan Pungut dihukum 9 bulan. Anak bininya menangis diluar ruangan landraad! (Rep.)

Enz, enz, enz!...

...............

Catatan:
1) dikutip dari buku Di Bawah Bendera Revolusi jilid pertama cetakan ke tiga 1964 halaman 271-272 tulisan Ir Sukarno – Maret 1933
2) ditulis ulang dengan penyesuaian ejaan dan letak
3) bui : penjara
4) landraad : pengadilan
5) Mr. Cornelis : nama Jatinegara pada jaman dulu
6) 1 picis = 1 ketip : Rp 0,10
7) cent =sen : Rp 0,01

5 komentar:

  1. Masihkah kita bisa ketawa??
    H h h h
    Itu bukan ketawa, batuknya tbc boss kerna gak sarapan tapi rokokan terus.
    Mbakone j'mbut jagung bungkuse suwekan dluwang. Pantes ae clekah clekeh.

    BalasHapus
  2. saya pernah dengar cerita dari orang2 tua zaman dulu, pak, kalau pada masa soekarno, hampir semua rakyat di berbagai lapisan merasakan sidup susah bersama2. tapi, ketika zaman terus berganti agaknya gaya hidup orang juga terus mengalamai pergeseran. egoisme dan sikap serakah menjadi lebih menonjol sehingga yang kaya makin kaya, kyang miskin makin gigit jari. waduh, serba repot!

    BalasHapus
  3. >>mbah: bangoen! bangoen!
    >>pak guru: kemerdekaan sudah terwujud, penjajahan sdh tdk ada.
    mengisi kemerdekaan, sedang dilakukan, sayangnya kalah dg kecepatan globalisasi, shg rasanya spt dijajah kembali,
    berita2 spt yg dikutip bung karno itu skr semakin sering terjadi,
    melihat kembali sejarah spt melihat peta perjalanan bangsa.
    selamat menulis, salam.

    BalasHapus
  4. Sedih.... negara agraris kok kurang pangan, dulu ada Panca Usaha Tani kita bisa swasembada beras, sekarang lahannya menyempit karena dibuat jalan Tol, lapangan golf dan kompleknya orang elit. Mana sawahmu? (dijual buat biaya masuk jadi PNS) Hah.. masih bisa nyogok tho.....

    BalasHapus
  5. @mbah: soooogooook teruuus, sampe jebol!

    BalasHapus