24 Juli 2008

adakah suatu hari

adakah suatu hari
engkau berharap, menunggu seseorang untuk menyapamu
dengan senyum manis
dan bingkisan di tangan
berkata: selamat ulang tahun
dan ketika itu tak terjadi
kecewamu berhari-hari

adakah suatu hari
engkau berharap orang-orang berkumpul penuh hormat memandangmu
dan salah-satu berkata: terima kasih atas segala jasa
dan ketika itu tak terjadi
kau menyesalinya untuk waktu yang lama

adakah suatu hari
dalam sepi kau berharap seorang singgah untuk menemanimu
dan ketika itu tak terjadi
kau merasa seolah tak seorangpun lagi ramah padamu

pandangan matamu ke arah pintu
menunggu seseorang datang padamu, untuk sekedar menyapa atau
berbincang tentang apa saja

ada hari
yang setia menunggumu untuk datang padanya
ketika kau nanti harus bersendiri dalam waktu lama
dalam sepi
yang engkau sendiri akan mendatanginya

jangan datang kepadanya berbekal kecewa, sesal dan nestapa
karena kedatangannya
mengakhiri semua hari-hari yang pernah kau tunggu

(menyambut kedatangan adik-adikku, teman bermainku di masa kecil dulu)

Jambu Busuk

Di belakang rumah ada sebatang pohon jambu air, yang saat ini sedang lebat buahnya. Manis rasanya.
Ketika malam hari, banyak buah berjatuhan menimpa lembaran seng di bawahnya yang belum sempat disingkirkan. Jatuhnya jambu-jambu tersebut mungkin karena lepas dari gigitan kalong dan sebagian lagi karena tangkai buahnya rapuh akibat dimakan ulat di dalamnya. Setiap malam terdengar bunyi jambu jatuh di atas lembaran seng.
Entah kenapa, tiba-tiba saja terbayang rentetan berita pengungkapan beberapa kasus pemuka negeri, dari kalangan eksekutif, legislatif maupun yudikatif, yang kemudian berjatuhan seperti jambu busuk di belakang rumah.
Buah jambu yang diharapkan dapat dimakan ketika matang di dahan-dahan pohon, ternyata sebagian berulat, dan baru akan ketahuan ketika dipetik dan dibelah. Atau ketahuan berulat ketika dia rontok.
Dalam bayanganku, seperti ini pulakah ‘Para Buah Jambu’ yang pohonnya tertanam di negeri ini, berjatuhan karena berulat di dalamnya? Yang keberadaannya urung memberikan kesegaran dan rasa manisnya kepada segenap anak negeri yang menunggu matang buahnya?
Ketika malam hari, setiap terdengar bunyi jambu jatuh, terngiang kembali kata-kata para tetanggaku : doa orang teraniaya, makbul adanya...., sambil mereka bersama-sama bekerja bakti membuat bangku-bangku untuk anak yang belajar mengaji di musala dekat rumah.

10 Juli 2008

Di Bawah Bendera Revolusi

Satu Tahun Ketentuan ( Year of Decision )


Coba renungkan saudara-saudara, betapa perlunya kita harus berani memerangi diri sendiri, memperjuangkan zelfoverwinning atas diri kita sendiri:
Semula kita mencita-citakan satu kemakmuran dan keadilan yang merata. Dua belas tahun kemudian, puluhan juta rakyat masih belum dapat hidup layak sebagaimana pantasnya bagi rakyat sesuatu negara yang merdeka.
Semula kita mencita-citakan Negara Republik Indonesia yang meliputi sekujur badannya bangsa Indonesia, dari Sabang sampai ke Merauke. Dua belas tahun kemudian, seperlima dari wilayah Republik Indonesia masih dijajah oleh Belanda.
Semula kita mencita-citakan , bahwa di dalam alam kebebasan dan kemerdekaan, kita akan dapat mengembangkan segala daya-cipta kita untuk membangun sehebat-hebatnya: Membangun satu Pemerintahan nasional yang kokoh-kuat, membangun satu Angkatan Perang nasional yang kokoh-kompak, membangun satu industri modern yang sanggup mempertinggi taraf-hidup rakyat kita, membangun satu pertanian modern guna mempertinggi hasil-bumi, membangun satu kebudayaan nasional yang menunjukkan kepribadian bangsa Indonesia.
Tetapi dua belas tahun kemudian, kita telah mengalami tujuh-belas kali pergantian Kabinet; mengalami kerewelan-kerewelan dalam kalangan tentara; mengalami bukan industrialisasi yang tepat, tetapi industrialisasi tambal-sulam zonder overall-planning yang jitu; mengalami bukan kecukupan bahan makanan, tetapi impor beras terus-menerus; mengalami bukan membubung-tingginya kebudayaan nasional yang patut dibanggakan, tetapi gila-gilaannya rock and roll; mengalami bulan merdunya seni-suara Indonesia murni, tetapi geger-ributnya swing dan jazz dan mambo-rock; mengalami bukan daya-cipta sastra Indonesia yang bernilai, tetapi banjirnya literatur komik.
Contoh-contoh ini adalah cermin daripada menurunnya kesadaran nasional kita dan menurunnya kekuatan jiwa nasional kita. Apakah kelemahan jiwa kita itu? Kelemahan jiwa kita ialah, bahwa kita kurang percaya kepada diri kita sendiri sebagai bangsa sehingga kita menjadi bangsa penjiplak luar-negeri, kurang percaya-mempercayai satu sama lain padahal kita ini pada asalnya ialah rakyat gotong-royong, kurang berjiwa gigih melainkan terlalu lekas mau enak dan ‘cari gampangnya saja’. Dan itu semua, karena makin menipisnya ‘rasa harkat nasional’ - makin menipisnya rasa ‘national dignity’- , makin menipisnya rasa bangga dan rasa hormat terhadap kemampuan dan kepribadian bangsa sendiri dan rakyat sendiri.
Ya, kemampuan dan kepribadian r a k y a t sendiri! Rakyat jelata, rakyat yang berpuluh-puluh juta, rakyat yang laksana semut mencari makan dan beranak dan tertawa dan menangis dan hidup dan mati, - rakyat yang dari sinar-mata mereka berpancar kekuatan dan kepribadian bangsa, rakyat yang dari tindak-tanduk merekalah tertampak gigih bangsa dan karakteristik bangsa. Berapa orangkah dari alam pemimpin Indonesia sekarang ini yang masih benar-benar-‘rakyati’ seperti dulu, masih benar-benar ‘volks’ seperti dulu?
.................................
Inilah yang banyak pemimpin kita telah lupakan! Bukan mereka think-and-rethink serta shape-and-reshape secara individualitet bangsa Indonesia sendiri, bukan mereka pulangkan segala persoalan kepada kepribadian obyektif daripada bangsa Indonesia sendiri, tetapi mereka, karena lepasnya kontak dengan rakyat, mengkopisaja dan menjiplak saja secara hantam-kromo apa yang mereka lihat sebagai satu polieteke wijsheid di negari orang lain!
Akibatnya? Segala sesuatu lepas dari buminya, segala sesuatu lepas dari relnya! Segala sesuatu lantas rontok. Segala sesuatu peringisan, karena mukanya bukan lagi muka muka yang ia bawa tatkala keluar dari gua-garba Ibu Pratiwi.
Sebenarnya, semua dasar-dasar daripada perjuangan kita dahulu, t e t a p b e r l a k u bagi zaman sekarang. Hanya, sekarang, dalam alam kemerdekaan ini harus ditujukan kepada hal-hal yang lebih kongkret; ditujukan kepada hal-hal yang bersangkut-paut dengan penghidupan rakyat sehari-hari. Tetapi dasar-dasarnya harus tetap. Grongedachte-nya harus tetap. Kekuatan kita harus tetap bersumber kepada kekuatan rakyat. Apin kita harus tetap apinya semangat rakyat. Pedoman kita harus tetap kepentingan rakyat. Tujuan kita harus tetap masyarakat adil dan makmur, masyarakat ‘rakyau untuk rakyat’. Karakteristik segenap tindak-tanduk perjuangan kita harus tetap karakteristik rakyat, yaitu karakteristik rakyat Indonesia sendiri dan karakteristik bangsa Indonesia sendiri. Tidak harus ada perubahan sedikitpun dalam hal itu. Tetapi ini tidak berarti bahwa dus pikiran kita harus beku, harus ‘itu-itu-lagi’ harus statis.
Tidak! Fikiran kita harus dinamis! Apalagi jikalau kita mengingat, bahwa persoalan kita ialah persoalannya rakyat dalam alam perpindahan, yaitu persoalannya rakyat dalam alam ‘transsition’. Persoalannya rakyat dalam alam ‘Uebergang’. Perpindahan dari apa ke apa? Perpindahan dari alam penjajahan ke alam kemerdekaan. Perpindahan dari alam kolonial ke alam nasional. Perpindahan ini mengkonfrontir kita denga persoalan-persoalan yang jawabannya tak dapat kita j i p l a k begitu saja dari teorinya orang lain. Karena itulah, maka, walaupun dasar-dasar atau grongedachte-nya perjuangan kita harus tetap, kita tak boleh beku dalam fikiran, tak boleh statis dalam daya-cipta, tak boleh berhenti, tetapi harus dinamin dan tangkas dalam fikiran.
Tiga persoalan-pokok harus kita pecahkan dalam alam perpindahan ini:
Ke satu: Bagaimanakah dan dari manakah kita memperoleh modal bagi pembangunan yang harus kita tempuh?
Ke dua: Bagaimanakah kita secepat mungkin dapat memperoleh kecakapan untuk membangun, yaitu memperoleh ‘technical and managerial know-how’ untuk pembangunan kita?
Ke tiga: -last but not least- : Sistem politik apakah yang paling baik bagi Indonesia, paling cocok dengan dasar-dasar penghidupan rakyat Indonesia, - paling memberi atmosfir yang tepat bagi rakyat Indonesia dalam alam perpindahan ini?
Ketiga-tiga persoalan ini tak dapat dipisahkan satu sama lain, tak dapat disuruh berdiri sendirian masing-masing. Yang satu ada hubungan erat dengan yang lain, yang satu adalah komplementer kepada yang lain. Bahkan ketiga-tiganya adalah berhubungan erat dengan perjuangan nasional kita yang masih dalam tingkatan ‘belum selesai’ itu. Siapa yang hendak memisahkan persoalan-persoalan ini dari perjuangan nasional kita yang masih dalam tingkatan ‘belum selesai’, ia hanya menunjukkan kekerdilan belaka daripada pengertian-pengertiannya. Ia hanya menunjukkan keprimitivan belaka daripada ia punya denkwereld, kebekuan daripada ia punya alam-fikiran.

Catatan:
1) dikutip dari buku Di Bawah Bendera Revolusi jilid ke dua cetakan ke dua 1965 halaman 283-287
2) sebagian dari amanat Presiden Sukarno pada Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1957 di Jakarta
3) ditulis ulang dengan penyesuaian ejaan dan letak,
4) sebagian dihilangkan dengan tidak memutus konteks

08 Juli 2008

Tujuhbelasan

“Saya usulkan supaya di mulut gang kita didirikan gapura, seperti RT sebelah..” usul pak Singkir dengan lantang pada rapat pengurus RT Tiga, “ jadi nantinya RT kita tidak ketinggalan dari RT Empat, yang gapuranya bagus itu..”, demikian lanjutnya.
“Ya, saya sangat setuju dan mendukung pendapat pak Singkir. Masa’ kita kalah pamor dengan RT sebelah..”, pak Basirun menimpali dengan semangat.
“Pak RT!, daripada uang kas RT nganggur ndak digunakan untuk apa-apa, lebih baik dimanfaatkan untuk gapura saja..., lha kalo masih kurang, kita urunan. Gimana Bapak-bapak? Setuju, kan ?”.
Pak RT masih belum menanggapi apa-apa, pandangannya menyapu para peserta Rapat Pengurus RT, yang berjumlah lima belas orang.
“ Sebentar.. sebentar.. “ salah seorang pengurus lain menyetop pembicaraan yang seru tersebut, “ sebenarnya uang kas RT kita itu ada berapa sih? Pak Bendahara mungkin bisa kasih informasi”
“ Yang penting itu niatnya, pak! Soal uang bisa dicari, kan kita bisa minta sponsor dari warga kita yang mampu, lalu kekurangannya, seperti kata pak Basirun, kita urunan lah. Ini demi gengsi RT Tiga lho! Demi RT kita bersama, juga supaya Pak RT punya tinggalan kalo nanti sudah selesai masa jabatannya. Betul kan Pak RT?!!” demikian sambung pak Singkir lagi.
Pak RT senyam-senyum sambil makan keripik melinjo.
“ Jangan lupa, kalo ada gapuranya, ya perlu dikasih portal, biar orang mbambung, pemulung dan penjahat ndak mosak-masuk selonang-selonong di wilayah kita seenaknya sendiri...” mas Bladu yang purnawirawan KKO menimpali.
“ Brik-brik-brik... lontong capgomek keluar... sekarang makan duluuu...” Piring berisi makanan yang baunya menggoda hidung, lidah dan alat pencernaan mulai beredar secara berantai. Sekejap terdengar bunyi sendok beradu dengan piring.

Rapat pengurus RT Tiga kali ini diselenggarakan di rumah Man Doplang, dengan menggelar tikar di teras rumah, semua duduk bersila. Acara pokok rapat kali ini sebenarnya adalah persiapan tujuh-belasan, demikian tertulis di undangan pada acara nomor satu. Nomor duanya, membahas iuran warga, entah tentang apanya: jumlahnya, bolong-bolongnya, atau cara pengumpulannya. Dan yang nomor tiga tertulis : Lain-lain.
Tampaknya, tadi begitu sekretaris RT membuka acara yang kemudian pak RT menyampaikan pengantarnya, acara langsung berbelok ke Lain-lain. Nah, ketika masalah gapura ini muncul, sekretaris sempat membisikkan info ke telinga pak RT, bahwa rupanya beberapa hari belakangan ini di blok Kumis-kucing ( di blok itu, depan rumah ditanami toga Kumis-kucing, karena sebagian orang di situ mengidap batu ginjal), di blok Kumis-kucing berlangsung kampanye gapuraisasi(?!), dengan promotor pak Singkir. Pak RT manggut-manggut mendengar info tersebut, meski sebenarnya dari isterinya dia sudah diberitahu tentang adanya ‘odo-odo’ seperti itu dari bu Basirun.

“ Bagaimana pak RT, bisa dilanjut ? “ Pak Singkir memulai diskusi sambil mengelap mulut dan hidungnya yang meler kepedasan dengan tisu. Semangat banget dengan usulan proyeknya. “ Saya dan teman-teman siap membantu pekerjaan tukang yang akan kita serahi mengerjakan gapura itu, pak. Pokoknya beressss....”
“ Sebentar Pak RT, saya boleh bicara? “ Pakde Drajat yang pangsiyunan Sipil Pulisi yang menjabat sebagai kordinator seksi Sosial menyela. “ Kalo tidak salah, urutan acara rapat seperti yang ada di undangan dan dibaca oleh Pak Seketaris tadi kan nomer satunya persiapan tuju-belasan to?! Maaf lo Bapak-bapak semuanya, saya cuma kepengin rapat kita ini runtut. Poin demi poin selesai dengan tuntas.”
“ Kayaknya kok betul Pakde Drajat, Pak RT! Saya setuju, mari kita bahas satu-satu, sampai nanti ujungnya lain-lain: gapura” Mas Helmi yang Dosen Universitas Tekes Kurang Omil kordinator seksi Kebersihan mengamini apa yang disampaikan Pakde Drajat.

Sejenak Pak RT diam. Semua pandangan mata tertuju kepada dia. Orang paling muda di RT Tiga, yang diplokotho secara berjamaah untuk jadi RT, karena yang tua-tua pada wegah rekoso meladeni penduduk dan meladeni tugas-tugas dari Kelurahan yang suka datang semaunya sendiri dan harus diselesaikan segera.
“Betul, Bapak-bapak, sebaiknya mari kita mencoba untuk kembali kepada pokok urutan agenda rapat kita. Kepada Pak Singkir dan Pak Basirun serta Bapak-bapak yang mempunyai usulan tentang gapura, nanti kita akan membahas pada giliran berikut. Saya mohon dukungan agar acara rapat ini dapat berjalan dan menghasilkan kesepakatan bagi kebaikan RT kita bersama”.
Poin demi poin dibahas. Untuk tujuh-belasan diperlukan dana dua setengah juta, yang akan dipenuhi dari kas RT, dan kas PKK akan dimintai partisipasi sebesar delapan ratus ribu untuk konsumsi pada malam syukuran tanggal 16-nya.
Kas RT saat ini ada dua koma sembilan juta, yang tiga ratus ribu dicadangkan untuk partisipasi ke panitia tujuh-belasan tingkat RW. Jadi nantinya uang kas RT akan tinggal bersisa seratus ribu.
Beberapa tunggakan iuran warga kalau dijumlah ada empat ratus ribu belum tertagih, karena mereka masih belum bisa membayar, sedangkan uang BLT yang mereka terima lebih dibutuhkan untuk keperluan bayar biaya sekolah anak-anaknya ketimbang untuk nutup iuran kampung yang bolong.
“Jadi urusan gapura bagaimana, Pak RT? Bisa gagal kalo begini...” Pak Singkir kembali ke : laptop.
“ Begini saja pak RT, cobak kita kalkulasi kasaran saja” Pakde Drajat urun-rembug “ gapura yang mau kita bikin itu di sebelah mana? Kita kan punya tiga mulut gang; lantas apa kita mau bikin di tiga-tiganya, satu saja atau gimana....”
“Ya kalo bisa tiga-tiganya, biar ndak ada yang meri” kata Pak Basirun.
“ Saya kemarin ngitung kasaran, satu gapura biayanya kurang lebih tiga juta, itu kalo modelnya sederhana. Jadi; kalo mau tiga gapura ya sembilan juta” kata Pak Singkir.
Sebagian pengurus ketawa. Ada yang kaget, karena ikut rapat sambil agak ngantuk gara-gara semalam jaga keponakannya yang opname di RSUD, habis operasi ambeien.
“ Lho! Yang penting itu kan niatnya” Pak Singkir agak tersinggung, “ kita mau bikin RT kita lebih bergensi atau enggak! Mumpung ini menyongsong tuju-belasan, jadi sekalian nanti bisa diresmikan pas ha-u-te perokelamasi! Kalo soal duitnya kan gampang, bisa minta sumbangan Bapak-bapak yang rumahnya besar-besar itu, atao, kita tarik yang punya motor duapuluh ribu satu motor, satu mobil seratus ribu, atao lagi “ Pak Singkir semakin merajalela” Kita minta seponsor dari bapak-bapak yang maju pilgub! Gampang itu, nanti saya bisa bantu menghubungi tim suksesnya!”

Walah-walah pak Singkir! Diminta jadi Ketua RT saja menolak! Dimintai bantuan narik iuran yang bolong-bolong saja mbulet ndak jalan-jalan, kok ini ngoyoworo mau ke tim suksesnya para pasangan cagub-cawagub segala.

“ Yang penting kan niatnya.....”
Bagian ini betul, yang ruwet ada di pelaksanaannya, Paak, pak.
Rapat dibubarkan jam setengah sebelas malem, urusan gapura dipending, dan acara ditutup dengan doa.

Man Doplang jam sebelas malam ikut bantu isterinya cuci piring, nyapu-nyapu teras dan ringkes-ringkes tikar. Sementara saya masih kethap-kethip nulis ini, dan pengurus kampung yang lain : sudah mlungker tidur kaya kucing.

02 Juli 2008

Mosaik

Di Jalan Gentengkali Surabaya, pada tahun 1970-an di sebelah timur dari Toko Siola yang terkenal itu ada sebuah gedung dua lantai yang berfungsi sebagai balai prajurit milik TNI-AL namanya Gita Tamtama. Bangunan tersebut sekarang telah bermetamorfosa menjadi Gedung Gita, yang lantai duanya digunakan sebagai restoran, sedangkan lantai satunya dapat disewa untuk hajatan.
Ketika jalan Gentengkali belum dilebarkan menjadi dua jalur seperti sekarang, halaman Gita Tamtama cukup luas, sehingga tampang gedung tersebut tampak megah untuk ukuran kala itu, apalagi ketika di halaman tersebut dilakukan upacara militer, sepadan dengan predikatnya sebagai Balai Prajurit.
Di sisi kanan dan kiri pintu gedung, terpasang dua pilar tembok berukuran kurang lebih lima meter lebar dan enam meter tinggi dengan mosaik berbahan keramik warna warni, yang satu dengan gambar kapal layar Dewaruci, dan pada pilar satunya bergambar kapal perang modern dengan tiga sosok prajurit TNI-AL di latar depan. Pada malam hari, kedua mosaik tersebut tampak sangat bernuansa karena disorot dengan lampu spot yang terang-benderang. Kilau yang ditimbulkan oleh potongan-potongan keramik yang membentuk citra kapal-kapal tadi terasa cukup monumental.
Sepasang mosaik tersebut didisain oleh kelompok seniman dari Sanggar Bambu Jogjakarta, demikian seingat saya, karena saya sedikit terlibat membantu proses akhir penyelesaiannya, sebelum diresmikan oleh Panglima (Armada?). Tujuh puluh dua jam nyaris tanpa tidur, saya, mas Slamet, mas Wietje dipandu oleh pak Narso dan kawan-kawannya, mengejar tenggat waktu peresmian.
Entah di mana mosaik tersebut sekarang berada. Dibongkar atau ditutup dengan plesteran tembok, saya tak bisa memperkirakan lagi. Hanya, sungguh sayang bahwa sebuah karya yang setidaknya dapat digunakan sebagai penanda situs dan sekaligus penanda jaman, harus hilang untuk sebuah kepentingan yang lain, yang mungkin saya tidak atau belum memahaminya.

Demikian pula rupanya kehidupan. Sesuatu yang dipelihara, diperhatikan dengan penuh kepedulian, serta dicintai dengan segenap hati, digantungkan harapan yang begitu tinggi dan mulia, tiba-tiba tercerabut demikian saja dari dekapan indera dan hati kita.
Semua adalah rahasia kehidupan, semua adalah rahasia yang ada dalam genggaman KuasaNya yang Mahaagung dan Mahabijak.
Saya masih teringat benar nasihat almarhum ayah saya, di atas becak sepulang dari rumah calon mertua ketika saya memperkenalkan beliau.
Kata almarhum:
“ Bapak sudah memenuhi keinginanmu untuk diperkenalkan kepada Pak Effendi. Semoga semua harapanmu dapat terlaksana dengan baik. Hanya satu hal yang perlu kamu ingat dan camkan benar-benar. Bahwa yang Mahamempunyai hanyalah Tuhan. Dengan perkenalan tadi, bolehlah kamu beranggapan bahwa calon isterimu nantinya adalah milikmu, calon mertuamu adalah nantinya orang-tuamu yang lain. Tetapi Bapak berharap agar kamu jangan berlebihan anggapan terhadap hal tersebut, karena apabila nanti Tuhan berkehendak lain, kamu akan menjadi sedih dan kecewa. Sadarlah bahwa bahkan hidup kita inipun bukan milik kita. Hanya Tuhan yang memiliki segala sesuatu, baik yang wujud atau tidak, yang tergelar maupun yang tidak”

Di atas becak yang melaju pelan di jalan Kranggan, sekitar jam sepuluh malam itu, almarhum ayah saya telah mengungkapkan sebagian dari mosaik dalam khasanah pemikiran dan pemahaman beliau akan kehidupan, yang saya rekam hingga saat ini.