17 Juni 2019

Bukan Rahasia

Ketika aku ditanyai tentang sesuatu urusan sedangkan sebenarnya aku tidak terlalu memahaminya  lalu aku menjawabnya keliru, maka mungkin aku dianggap tolol.
Dan karena aku adalah tolol, maka aku tidak lagi menjadi bagian dari dirinya.
Itulah pangkal dari silang-sengkarut pada saat ini.
Karena ada hal-hal yang 'rahasia', yang hanya dia yang boleh tahu dan orang lain tidak, termasuk aku.
Sudah faham maksudku? Sudah tahu penyebab ketololanku karena aku tidak tahu hal 'rahasia' itu?
Sejak kapan hal yang berkaitan dengan kepentingan banyak orang menjadi sesuatu yang dirahasiakan?
Itu saja.



16 Juni 2019

gurit ampang


o ati
ingkang ngubeng-ngingerake panyawang
mulata marang Hyang Kang Ngasta Samubarang
ngrerepaa, sesambata, nyenyuwuna
supaya wadining urip
tinarbuka dadi lelipur

Kegaduhan Politik

Suasana pasca Pilpres 2019 masih berlanjut dengan kegaduhan politik, entah sampai kapan meskipun tentunya semua berharap untuk segera mereda dan kemudian bersiap untuk kembali fokus kepada aktifitas normal yaitu bekerja pada posisi masing-masing.
Semakin ke sini tampaknya dampak dari pemihakan sulit untuk dikendorkan, karena siapapun dengan sangat mudah menunjukkan pilihannya kepada publik melalui media sosial yang gampang sekali diakses maupun dipublikasikan.
Kalau pada jaman dahulu, berpendapat diekspresikan dengan bicara kepada publik, dengan pidato, menulis  pernyataan atau opini di media cetak, maka dengan internet semua itu sekarang menjadi 'imbuhan' saja. Tinggal tulis atau rekam gambar, unggah dan dalam bilangan detik sudah dapat diakses orang lain.

Tapi biarlah, yang ingin aku tulis di sini bukan tentang isu politik, tetapi tentang ekses polusi yang diakibatkannya terhadap pikiran (mungkin) setiap orang.

Sebel juga sih, membaca opini maupun komentar yang disertai makian dan hujatan. Yang ditulis dengan gaya guyonan, gaya merah-marah, gaya pinter-pinteran, gaya sok-hebat sendiri dan berbagai gaya lainnya. Yang semua tidak memberi nilai tambah untuk memberikan pemahaman yang cukup apalagi mendalam terhadap topik yang dikomentari.
Ada hal-hal yang tidak dibuka dan dikemukakan secara jelas, ada hal yang disembunyikan, ada hal yang dikaburkan, diplesetkan, dibaurkan, dibelokkan. Secara sengaja, secara ikut-ikutan, secara membebek membabi-buta (eh, bebek atau babi ya?).
Akhirnya, ketrampilan menulisnya berhenti hanya pada mampu berkomentar atau terpancing untuk berkomentar.
Originalitas tulisan menjadi sangat dangkal, karena berangkat pada sesuatu yang umum, yang konon, yang katanya. Itu-itu saja. Dan itupun kalau menulisnya benar masih agak lumayan untuk dibaca. Selebihnya, sampah melulu.
Celakanya, tulisan-tulisan itu menyusup dengan sangat mudah dan lancar pada saat kita membuka akses internet, yang melalui handphone bahkan di tengah malam menjelang tidur atau terbangun dari tidurpun langsung terbaca dan masuk dalam pikiran.
Geregetan juga sih. Handphone kita sendiri, pulsa juga dibayar sendiri, baterai di-cas sendiri, tetapi yang datang sampah, menggerojok tanpa permisi.
Salah sendiri juga, sih. Kenapa juga terus dibaca dan ditonton.
Lalu, mau jadi apa kita? Itu kalau bicara tentang nanti dan kelak.
Yang pasti, saat ini kita sedang apa? Merusak diri sendiri? Atau menjadi bagian dan alat dari yang merusak banyak orang? Yang di antaranya adalah keluarga, sanak, karib, sahabat?