22 Desember 2009

Kuliah Akbar

Indonesia sedang menggelar kuliah akbar.
Banyak kasus digelar, orang-orang pandai yang sering disebut pakar berbicara dengan sudut pandang masing-masing tentang segala hal.
Pertanyaan-pertanyaan kritis dilontarkan oleh banyak penanya dengan gaya masing-masing.
Jutaan pasang mata dan telinga menyimak, mulai dari orang awam sampai para cerdik-pandai dan arif-bijaksana.
Sebuah pergelaran yang tidak biasa terjadi, bahkan mungkin di seantero dunia.

Disayangkan apabila bahan yang sedemikian bagus untuk dikaji secara mendalam justru terlewat untuk dibahas secara bersemangat, ilmiah, bijak dan bermartabat di kampus-kampus oleh para mahasiswa dan para dosen beserta guru-besarnya.

Atau saya yang memang tidak bisa melihatnya, karena hanya dapat menyaksikan demonstrasi-demonstrasi dengan banyak adegan fisik yang tipis nuansa ilmiahnya?

24 November 2009

Demi Sebuah Tanggung-jawab (lanjutan)

Sebelum berangkat isterinya berpesan: “Usahakan bisa dapat uang ya pak, Si Didi sudah ditagih SPP-nya, paling lambat besok harus dibayar, kalau tidak, dia nggak boleh ikut ulangan”
“Pagi ini aku ngga jadi kulak gula sama sabun, duit warung udah terpakai, lagian si Roni kan musti ditungguin, badannya masih panas” Ya, sepulang dari dokter semalam Roni sempat bisa tidur, tapi lepas tengah malam panas badannya naik lagi dan muntah sampai tiga kali.
Joni berangkat kerja dengan harapan uang ganti obat bisa didapat, meskipun dia tidak yakin. Hari ini tadi dia tidak bisa bekerja dengan konsentrasi yang baik, apalagi ketika ternyata uang yang diharapkannya tidak diproses oleh bu Janti. Untung saja bosnya memahami kebutuhannya yang sangat mendesak tadi. Baru kali ini dia curhat masalah ’kebutuhan’ kepada bosnya. Terpaksa.

Sesampai di rumah uang Rp 20 ribu dia berikan kepada isterinya, yang menerima dengan ekspresi datar-datar saja. Barangkali isterinya berpikir bahwa demikianlah seharusnya, tanpa tahu proses di balik uang Rp 20 ribu tadi. Si Roni panasnya sudah turun, mulai mau makan dan sekarang tidur nyenyak.

Petang itu, Joni duduk berdua dengan isterinya di beranda rumahnya yang sempit. Tanpa saling bicara, tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Joni masih berpikir tentang bu Janti.
Perempuan ’penguasa’ yang mengurusi penggantian uang dokter dan obat di kantornya. Hampir semua karyawan tahu bahwa tidak gampang mendapatkan pelayanan yang baik dari bu Janti, bahkan kebanyakan pernah disemprot dengan kata-kata yang tidak enak didengar. Konon suaminya seorang adalah seorang staf dengan pangkat lumayan di BUMN lain, yang tentunya dengan gaji yang lebih dari cukup untuk hidup layak meskipun bu Janti tidak usah bekerja. Rupanya bu Janti bekerja bukan semata-mata untuk mendapatkan penghasilan, namun lebih karena dia seorang sarjana hukum yang memang sudah bekerja sejak sebelum menikah, sehingga baginya bekerja adalah sebuah kebutuhan untuk mengisi waktunya dan melanjutkan kebiasaannya di luar rumah.
Bu Janti tidak pernah merasakan sebagai seorang ibu rumah-tangga yang kekurangan uang dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, belanja, bayar SPP anak-anak, listrik, iuran kampung, amplop ketika diundang teman dan tetangga hajatan dan lain-lain. Beliau tidak punya tolok ukur terhadap hal semacam itu, karena baginya hal-hal semacam itu tidak pernah terjadi dalam kehidupan kesehariannya.
Sehingga empatinya nyaris tidak ada ketika dalam melakukan tugasnya dia banyak berhadapan dengan karyawan kecil macam si Joni.

Joni memandang isterinya dan membayangkan, andai saja yang berada di kantor itu adalah perempuan macam isterinya, maka ketika pagi-pagi tadi Joni datang dengan kuitansi tentu akan disegerakan memprosesnya, karena isterinya faham benar bahwa kedatangan Joni sepagi itu pasti demi sebuah tanggung-jawab. Dia membayangkan lagi perusahaan di mana dia bekerja penuh dengan orang-orang baik, lurus, penuh tanggung-jawab, dan ...... Ah, tentu akan menjadi tempat bekerja yang menyenangkan, bukan semata-mata karena penghasilan yang diterimanya.

.
salam untuk peserta KMPM Angkatan 23/1995

.

23 November 2009

Dua Puluh Ribu

Tahun 1995.
Joni, seorang karyawan sebuah perusahaan Negara pagi-pagi sudah menunggu di kursi tamu bagian SDM. Di tangannya ada dua lembar kertas, kuitansi pembelian obat dan copy resep dari apotek. Siapapun di kantor itu akan segera sadar bahwa Joni menunggu kedatangan bu Janti di bagian SDM agar kuitansi pembelian obatnya dapat memperoleh penggantian.
Beberapa saat kemudian ketika bu Janti dating, Joni segera menghampiri dan menyerahkan dokumen yang dibawanya. Bu Janti segera faham maksud si Joni. Tentu minta agar hari itu juga penggantian dapat dicairkan. Nilainya Rp 20 ribu. Bu Janti berkata agar kuitansi tersebut dimasukkan ke map “Kuitansi” dan Joni diminta meninggalkannya. Ketika Joni membuka map tersebut, dia sempat melihat ada sekitar tujuh atau delapan kuitansi serupa. Hatinya terkesiap, jangan-jangan kuitansinya tidak bisa dicairkan hari ini, padahal sebelum berangkat tadi isterinya sudah wanti-wanti berpesan agar diusahakan uang tersebut dapat dibawa pulang hari ini, karena besok harus dibayarkan untuk SPP anak sulungnya. Uang yang tersisa di rumah hanya cukup untuk belanja tiga hari lagi.
Joni dengan lemas meninggalkan ruangan SDM. Dia tahu betul watak bu Janti yang galak. Namun harapannya tidak padam. Nanti jam sepuluh dia akan menengok nasib kuitansinya. Mudah-mudahan sudah diselesaikan oleh bu Janti.
Jam 10 lebih sedikit, Joni melongokkan kepala di sela pintu ruangan SDM. Bu Janti sedang makan di mejanya berhadapan denga bu Nelly. Ketika melihat Joni mendekat, bu Janti berkata: Beluuuuum, nanti!
Joni balik dan berencana nanti setelah jam istirahat dia akan kembali.
Ketika usai jam istirahat, bu Janti berkata: Belum sempat. Besok saja. Aku hari ini repot sekali. Sambil berdiri di sebelah meja bu Syane yang sedang mendisplai baju anak-anak, dagangan yang dibawa dari rumah.
Pandangan Joni gelap sesaat. Ia harus memutuskan: meminta penjelasan dari bu Janti atau mencari jalan lain untuk mendapatkan uang Rp 20 ribu.. Putusannya, daripada berdebat yang tak akan menang dengan bu Janti, dia memutuskan untuk mencari pinjaman kepada bosnya sendiri.
Bosnya dengan senyum meminjamkan uang Rp 20 ribu kepada Joni. Meskipun di kantongnya sendiri tinggal tersisa Rp 5 ribu.
( to be continued)

20 November 2009

Benang Kusut


Kalo benang sudah kusut, cuma ada tiga cara :

1. buang yang kusut, cari benang baru yang tidak kusut
2. yang kusut diputus dan dibuang, sisa yang tidak kusut gunakan untuk menjahit
3. uraikan dan gulung kembali dengan rapi, lalu lanjutkan menjahitnya

Setidaknya itulah ke tiga pilihan yang bisa diambil salah satu agar dapat segera menjahit kembali. Masing-masing pilihan membawa konsekuensi finansial, waktu dan tenaga. Mana yang harus dipilih juga sangat tergantung seberapa mendesaknya kebutuhan untuk menjahit. Semakin mendesak mungkin pilihan no. 1 yang layak untuk dipilih. Itupun kalau duitnya cukup untuk membeli benang baru.

Kekusutan yang terjadi di negeri ini tidak sesederhana benang yang kusut. Sudah kusut, masai pula (apakah itu masai?), super-kusut, biang-kusut, mbahne kusut, sehingga pantaslah kemudian banyak orang dan pemimpin terjebak di dalamnya. Dan lalu hanya terbengong-bengong, lalu malah berputar-putar di tengah benang, menjadikan keadaan yang sudah kusut jadi mangkin kusut lagi.

Musyawarah serta diskusi dengan adu argumentasi yang kalau di forum-forum akademik/kajian dilakukan secara beradab (adab intelektual), di sidang-sidang parlemen serta forum-forum publik sudah dilakukan secara vulgar dan memalukan. Suara makin keras, tangan jepaplangan (apa ya bahasa Indonesianya?), bahasa santun dilupakan, komunikasipun menjadi ikut kusut. Dan hasilnya seringkali tidak dapat disimpulkan. Tidak ada secuilpun yang dapat menjadi pelajaran dan contoh baik bagi penonton maupun pengamat, apalagi bagi generasi muda, kecuali sebuah pertunjukan sirkus: otot itu perlu, ngotot itu penting, macan itu bisa dijinakkan dengan kerangkeng, daging segar dan latihan dipukul sejak ketika masih bayi.

Ketika Profesor Arif Rahman diminta menyampaikan tanggapan oleh Andy Noya pada acara Kick Andy yang menampilkan beberapa guru dan pustakawan, pak Profesor bertanya: berapa banyak di antara kita yang lebih mudah mengeluh dibanding dengan yang bersyukur? Ternyata lebih banyak yang mengeluh.

Saya menarik kesimpulan sendiri: barangkali oleh karena itu maka keadaan menjadi semakin kusut karena sebenarnya pikiran kita yang terjebak dalam pola pikir yang kusut.

Mengapa harus tetap menjahit ketika benangnya ternyata kusut? Toh baju bisa dibeli atau suruh orang untuk menjahit tanpa harus menjahit sendiri?
Memang bisa, tetapi cukupkah uang untuk membeli? Dan lagi, fit-kah baju kodian dengan tubuh kita?

.

07 November 2009

Kulkas, Pispot dan Superman

Panggung Indonesia Raya belakangan ini sedang menyelenggarakan pentas akbar. Tontonan bak pergelaran wayang kulit yang sarat dengan pelajaran, teladan namun juga penuh banyolan di sana-sini.
Pergelaran ini dicermati oleh banyak penonton; dengan berbagai kesukaan dan minat masing-masing. Ada yang senang dengan tokoh-tokoh wayang tertentu, ada yang suka dengan ajaran dan filosofinya, ada yang senang dengan adegan perang antara Buto Cakil dan Raden Janoko-nya, ada yang sangat suka dengan dagelannya, ada juga yang sekedar senang melihat para pesinden yang cantik-cantik dan merdu suaranya. Ada pula yang datang bukan untuk menonton wayang tetapi karena mencari peluang untuk dapat mencopet penonton yang lengah-keasyikan.
Hari berikutnya setelah pergelaran usai, di warung-warung kopi dan di tempat-tempat orang banyak berkumpul, timbul banyak forum diskusi yang seru. Topik utamanya adalah lakon yang digelar kemarin. Beberapa orang tampak bersemangat menyampaikan pendapat sesuai dengan minat dan persepsi masing-masing. Ada pula yang tak kalah bersemangat mengompori diskusi tanpa peduli alurnya. Sebagian lagi sekedar duduk dan tertawa-tawa menyaksikan adu pendapat antara para pihak yang berbicara.
Lalu, ketika mereka sudah capek berbicara, satu demi satu pulang ke rumah masing-masing dan melupakan semuanya: lakon wayangnya, pesindennya, dagelannya, kemahiran dalangnya bercerita. Dan kehidupan kembali ke kesehariannya, tak tampak adanya perubahan perilaku menjadi lebih baik, seperti pelajaran yang telah disampaikan oleh pak Dalang dalam pentas wayangnya.

Indonesia sedang sangat berhasrat untuk berubah menjadi lebih baik. Menjadi lebih beradab, seperti cita-cita sejak ketika negeri ini masih menjadi sebuah mimpi. Semua ingin keadaan yang lebih tertata, terbuka, aman, sejahtera, merdeka – bukan hanya dari penjajahan bangsa asing tetapi juga merdeka dari segala kesulitan dan ancaman, baik yang datang dari luar maupun dari dalam negeri sendiri.
Kemelut yang muncul ke permukaan pada saat ini lakon bakunya adalah: hukum. Salah satu instrument penjaga sistem, yang mungkin sedang diterapkan oleh masing-masing organ penjaganya dengan berbagai cara dan tafsir masing-masing, dan karena fihak lain tidak ('belum') sefaham terhadap alur, tafsir dan cara memperlakukannya, sehingga kemudian timbullah pertentangan dan friksi.

Ada sebuah anekdot lama, tentang orang dusun yang kaya, datang ke kota membeli kulkas sepuluh pintu (saking kayanya) dan menggunakannya di rumah sebagai lemari pakaian moderen, yang ’lebih beradab’. Ada pula cerita tentang pispot yang digunakan sebagai wadah sayur asem, dan cawat bikinan luar negeri yang dikenakan di luar celana panjang bak Superman. Semua mereka berpandangan bahwa barang-barang tersebut adalah lambang peradaban, yang ketika digunakan maka martabat menjadi meningkat. Tetapi penerapan yang salah akan menggelikan, menyinggung martabat dan bahkan akan membahayakan bagi yang lain.

Demikian pula dengan instrument berbangsa dan bernegara yang bernama hukum. Kekeliruan penerapan berpotensi membahayakan salah satu fihak, kedua fihak, orang banyak, dan bahkan dapat menggoyahkan negeri beserta segenap isinya.

Indonesia sedang berproses. Semoga kita semua yang ada dan terlibat di dalamnya tetap menjaga keutuhan bangsa dan negara dan tetap setia kepada cita-cita kemerdekaan.

Selamat menyongsong Hari Pahlawan. MERDEKA!

.

02 November 2009

Batalnya Pertandingan Tinju Nongelar

Hampir saja bogem mentah ditonjokkan ke muka, tapi keburu dipisah, bukan oleh wasit tapi oleh presenter. Beberapa jam yang lalu, saya batal menonton adu tinju nasional di televisi antara dua tokoh terkemuka.
Barangkali wacana cicak-buaya ini memang sudah sedemikian memancing emosi, sehingga kedua tokoh kita tampak sekali lepas kendali. Saya percaya itu bukan akting dalam tayangan reality show yang di akhir tayangan selalu ditambah title : Tayangan ini sudah mendapatkan persetujuan pihak-pihak yang terlibat.

Gawat juga apabila para beliau yang seharusnya arif dalam posisi harus mencerdaskan bangsa ternyata harus baku-bogem (untungnya ada yang memisah).

Sabaaaar, bapak, biarkan masing-masing bicara, beri kesempatan yang lain juga untuk bicara.
Saya lelah menyaksikan panggung peristiwa di negeri ini yang ceritanya serem melulu.

29 Oktober 2009

The Killing-field



Untuk ke sekian kalinya, saya sampaikan kepada Anda sekalian bahwa saya merasa ngeri melihat perilaku sebagian (besar) pengguna jalan raya.
Main potong jalur secara tiba-tiba, bersilambat di lajur yang tanggung posisinya dan beberapa perilaku berisiko lainnya.
Kecelakaan yang berakibat kerusakan kendaraan, luka ringan, luka berat, cacat tubuh bahkan kematian, rupanya sudah bukan menjadi hal penting. Karena barangkali kita sudah dibuat kebal oleh segala macam pemberitaan di hampir semua media, lengkap dengan tayangan foto dan videonya. Tubuh yang tergeletak bersimbah darah, hancur berceceran, kendaraan ringsek berkeping-keping luluh-lantak. Tayangan tersebut mungkin hanya dalam bilangan detik mampu memancing emosi kita, dan lalu sesaat kemudian lewat dari ingatan.
Segala pemasangan rambu, penataan lajur jalan, perbaikan fisik permukaan jalan tidaklah cukup. Demikian pula dengan segala perbaikan tatacara administrasi untuk mendapatkan SIM maupun legalisasi dokumen kendaraan. Semua itu nyaris tidak berdampak pada perilaku seseorang berkendara.
Bahkan pengaturan pemakaian helm dan sabuk keselamatan, menyalakan lampu depan bagi kendaraan roda dua (R-2) di siang hari serta wajib lajur kiri bagi R-2 seakan hanya sebuah karnaval musiman, atau bahkan pesan sponsor yang lebih menonjol sponsornya ketimbang pesannya.

Mungkin sudah waktunya 'kekejaman' dilakukan oleh Yang Berwajib, dengan lebih aktif menindak pelanggaran yang berpotensi menjadi kecelakaan, sebelum terlambat dan nantinya jalanan berubah menjadi killing-field, di mana bukan saja etika diabaikan, tetapi hukum rimba yang dijalankan di depan mata, dengan manusia menjadi pelaku dan sekaligus calon korbannya.

Peran media?
Menayangkan sebuah kejadian kecelakaan sebagai 'hanya' sebuah berita (dengan segenap detilnya) patut dievaluasi kembali, dan untuk ini barangkali misi pemberitaan perlu dikaji ulang agar publik tidak sekedar mendapatkan informasi akan tetapi mampu menyerap nilai yang terkandung dalam berita yang dibaca dan ditonton, untuk kemudian memperoleh 'pencerahan', meskipun sekedar tentang berlalu-lintas yang etis.

Banyak faktor yang menjadi pendorong dan pemicu keganasan berlalu-lintas. Jadwal kerja, cuaca, kondisi jalan, pemakai jalan yang lain dan hal-hal lainnya. Tentu sangat dimaklumi, namun rasanya tidak dapat ditoleransi apabila hal-hal tersebut kemudian digunakan sebagai alasan yang mendorong timbulnya sikap 'lu kaga penting, urusan gua yang nomer satu'.

Semoga kita tidak pernah akan menjadi korban, apalagi berpikir untuk menjadi pelanggar etika dan aturan lalu-lintas, agar jalanan kita tidak menjadi the Killing-field.


.

27 Oktober 2009

Reposisi

Banyak komentar. Riuh di kantin, di sudut ruang kerja, di lobby, di klinik bahkan di dalam mobil ketika dalam perjalanan dinas. Penyebabnya ? Biasa. Mutasi di pucuk organisasi.
Para komentator saling mengemukakan pandangannya terhadap tokoh baru yang muncul, tokoh lama yang bergeser posisi, dan tokoh lama yang terlempar ke luar dari jajaran pimpinan.
Berbagai cerita tentang sebab-musabab seseorang terpilih atau gagal dilantik menjadi pemimpin banyak dipaparkan dalam pembicaraan di luar forum-forum resmi. Termasuk latar-belakang dan masa lalu para selebriti lokal tadi. Berbagai versi yang berasal dari berbagai fihak dapat didengar, beserta bumbu-bumbu penyedapnya yang terkadang menjadi penambah 'serem' atau 'bening' profil seseorang. Tergantung pembicaranya condong berfihak kepada tokoh yang mana.
Lalu pembicaraan akan juga menyentuh kelanjutan organisasi. Masa depan, pasca reposisi pimpinan.
Akankah keadaan kemudian berubah cerah seperti matahari pagi hari sehabis hujan, atau akan menjadi berkabut dan penuh debu?
Atau bahkan perjalanan organisasi akan menjadi lebih terseok-seok lagi dari sebelumnya, disertai duka-lara dan sesal tak terhingga akibat pemilihan pemimpin yang ternyata tidak fit dan tidak proper.

Masa-masa penyesuaian segera berlangsung. Dimulai dengan pengenalan multi arah, atas-bawah dan samping-menyamping. Kemudian evaluasi berdasar pengamatan sekilas tentang potensi dan kompetensi masing-masing yang terlibat. Dilanjutkan dengan perakitan visi-misi-program dan seterusnya yang dimulai dari kelompok kecil kemudian berlanjut ke kelompok-kelompok besar masing-masing.
Dan seterusnya.

Proses yang berlangsung tentu bertujuan untuk dapat menghasilkan keadaan yang lebih baik. Perbaikan suasana dan hubungan antarpribadi, kesejahteraan dan rasa aman.

Apakah proses yang terjadi akan menghasilkan sesuatu yang mengarah kepada harapan semua fihak, yaitu: peningkatan harkat dan martabat?


.

21 Oktober 2009

Doeloe



Di gedung yang ada gambarnya mirip cap rokok djisamsoe ini dulu aku pernah sekolah.
Sayang sekarang ditembok tinggi, digerbangi tinggi juga, sehingga aku tidak bisa melihat bangunan 'bersejarah' ini secara utuh.
Agak kecewa juga sih.

Dulu di sana ada dua pohon palem kembar, persis mengapit tangga depan. Tangki air? Nggak ada. Juga kabel-kabel yang merentang semrawut itu.

Siang sepulang sekolah dan sesudah makan, aku suka main di sana. Halamannya bersih berpasir.

Jauh-jauh aku datang untuk napak-tilas bersama anak-anak, ternyata yang terlihat cuma tembok dan sebagian atap. Masih lumayan cap BALE MANDALA itu tetap ada.
Ya sudah, mau apa.

.

13 Oktober 2009

Kapan-kapan Saja

Ini pengalaman saudara saya yang pernah menjadi Ketua RT dan anggota Panitia Pemilihan Ketua RT:

Sekarang, di lingkungan tempat tinggalnya orang cenderung ogah jadi Ketua RT. Ketika penjaringan dilakukan, wah, susah bukan main merayu warga untuk bersedia dicalonkan menjadi kandidat. Adaaa saja caranya mengelak, yang sibuk kerja-lah, yang anaknya masih kecil-kecil-lah, yang merasa terlalu muda dan belum pantes mimpin yang tua-tua lah. Ada juga yang beralasan sudah terlalu tua, tidak akan mampu lagi melayani warga karena fisik yang sudah tidak begitu segar, pemikiran yang kuno, dan sebagainya. Macam-macam.
Berbagai counter dilakukan oleh saudara tadi untuk memotivasi para calon kandidat tersebut. Kepada yang masih muda dikatakan: ini peluang untuk dapat belajar lebih banyak mengenali lingkungan sosial, memperluas pergaulan, membuat lingkungan masyarakat lebih dinamis dengan ide-ide segar.
Kepada yang sibuk dikatakan: Anda kan tidak harus bekerja sendiri. Pengurus RT yang lain pasti akan membantu. Kerepotan akan dapat diatasi bersama-sama.
Kepada yang sudah berumur dikatakan: Bapak kan sekarang kan sudah pensiun, lebih banyak waktu untuk sosialisasi dan sekaligus ini kan juga ladang ibadah mengisi hari tua.
Tampaknya lebih banyak yang gamang daripada yang menyanggupi untuk dicalonkan.
Kalaupun ada sedikit kesediaan, biasanya disertai permintaan untuk sekedar menjadi penggembira, bukan untuk nantinya jadi Ketua RT.

Ketika pembicaraan dialihkan: apa ide-ide atau saran untuk kemajuan RT di masa datang, tampaknya para calon yang akan dijaring ini mulai bersemangat bicara. Mulai dari usulan untuk perbaikan got, arisan Bapak-bapak, transparansi laporan keuangan, sampai ke usulan untuk membongkar pagar salah satu tetangga yang menjorok ke jalan karena digunakan sebagai pengaman parkir mobilnya. Juga pendapat agar salahsatu pengurus (yang sekarang) diganti, karena pernah mengetok pintunya ketika dia tengah enak-enaknya tidur, gara-gara parkir mobilnya kurang mepet sehingga mobil tamu si pengurus tersebut kesulitan lewat.
Saudara saya tadi menimpali:
Bukankah kalau Bapak bersedia menjadi Ketua RT, ide-ide tadi lebih mudah direalisasikan?
Wah, ini kan sekedar pendapat saya, to pak.
Jadi?
Ya seharusnya hal-hal tadi yang perlu diperhatikan ketua dan pengurus RT.
Jadi Bapak bersedia kan, dicalonkan untuk menjadi ketua RT?
Ah, kapan-kapan saja. Banyak yang lebih baik daripada saya.

Oooooo.


.

12 Oktober 2009

taman rindu

hamparan taman penuh bunga
penuh cahaya
penuh cinta
sarat makna
sarat rindu

sarat sendu



keputih – awal juli 2007


felix christian dalam kenangan,
setelah hari keseribu keberangkatannya pulang,
kembali ke negeri asal-muasal

08 Oktober 2009

Malioboro, Kuda dan Saya

Entah siapa yang salah, kudanya atau pejalan kakinya.
Tiba-tiba sebuah dokar (andong, sado, delman) hampir menabrak sekumpulan pelancong yang nyelonong masuk ke jalur becak dan andong di malioboro.
Untung kusir dokarnya waspada, tepat sebelum boom (boom konon adalah dua batang kayu yang mengapit kuda dokar), tepat sebelum boom mengenai muka para pejalan kaki, mas kusir menahan laju andongnya dengan sigap.

Hari raya kemarin, seperti biasa Malioboro penuh pengunjung. Karena emperan toko terlalu disesaki para pembelanja, sebagian orang pindah berjalan ke jalur sebelahnya, jalur andong dan becak. Lumayan lega, meskipun di sudut-sudut tertentu bau pesing, entah bekas kencing kuda atau kencing manusia. Dan ada pula yang basah, entah sisa minuman orang entah pula anunya kuda tadi.

Tapi ya itu tadi. Musti ekstra waspada. Salah-salah keserempet becak atau andong.

Di Malioboro beberapa hari lalu itu, saya mendapatkan "pencerahan" bahwa : kemeriahan lebaran yang disambut dengan wisata ke Malioboro sesungguhnya azab bagi kuda-kuda yang menarik andong.

Dia harus bekerja keras, dan oleh karena itu bossnya dapet duit banyak.
Dia harus menahan sakit, karena berkali-kali kekang di mulutnya ditarik bossnya supaya menahan langkah dan berhenti atau berbelok.
Dia harus menahan capek akibat berlama-lama berdiri dan berjalan, karena kuda dilarang tidur rebahan di jalan Malioboro.

Dan oleh karena itu, dia tidak pernah minta maaf, ketika andongnya menyerempet orang yang berjalan meleng.
Dia juga tidak minta maaf ketika "ilernya" yang menetes ketika dia berjalan, mengenai orang di dekatnya.
Dia juga tidak minta maaf, ketika tiba-tiba dari arah bawahnya keluar air dan menciprati pejalan kaki di sebelahnya.

Untuk semua ha-hal yang salah dilakukannya maupun tidak pantas dilakukannya, dia tidak pernah minta maaf.

Tapi saya kan bukan kuda,
untuk itu,
karena saya tidak ingin menjadi dan seperti kuda maka:

bersama ini saya menyampaikan permintaan maaf karena:

saya sudah menggilas, menabrak dan menyerempet banyak teman dan saudara saya
saya sudah mengencingi dan meludahi banyak teman dan saudara

Semoga saja andika semuanya sudi memaafkannya, agar saya tidak tampak seperti kuda di hadapan andika sekalian, teman-teman dan saudara saya.

Saya merindukan andika semuanya,
siapa tahu kita lebaran depan bisa bertemu di Malioboro,
untuk bersama-sama melihat, apakah para kuda di sana sudah berubah perilakunya.

.

16 September 2009

senja esok lusa

engkau datang dan sekian lama ada bersamaku
kutatap kau, apa gerangan yang ada padamu
isyarat demi isyarat kau sampaikan padaku dalam senyap dan penuh damai
tanpa kata-kata

senja esok lusa habis waktumu
lalu
adakah selama ini hadirmu berlalu sia-sia
dan nanti cuma tinggal cerita
bahwa aku pernah bersamamu di suatu ketika
dan aku tak berbuat apa-apa


ramadhan,
berjuta berebut kasih-sayangmu
berabad waktu berlalu dan senantiasa bakal tetap tiba
hari-hari ini kutatap kebesaran dan kelembutanmu


Tuhanku,
dibawanya kasih-sayangMu
berlimpah-ruah berkah dan ampunan bagi umat yang melihat keMahabesaranMu
ampuni aku
ketika Kau utus waktu ramadhan sebagai pembawa tanda kebesaranMu

ramadhan
ketika dia tiba kembali nanti
ijinkan aku masih di sini, Tuhanku
ijinkan aku menjadi hambaMu
sampai ramadhan dan ramadhan dan ramadhan
dan
ramadhan
sampai aku tak hanya menatap ramadhanMu, amin.


surabaya 2003-2004

.

14 September 2009

Rejeki

Rejeki sering dikonotasikan secara pendek dengan penghasilan, atau uang. Padahal tidak selalu begitu. Lihatlah, seorang ibu muda yang menggendong bayi - anak dari temannya. Tiba-tiba bayi itu mengompol digendongannya, maka katanya: waah rejeki ini, bakal cepet ketularan punya momongan. Bahkan kadang seorang yang tiba-tiba terpijak kotoran ayam, sambil tertawa bilang: waah bakal dapat rejeki apa nih... padahal jelas-jelas kaki atau alas kakinya kotor dan bau.

Seorang guru saya pernah bilang setengah berfilosofi:
Rejeki dari Tuhan itu datangnya seperti hujan yang jatuh ke seluruh permukaan tanah. Setiap jengkal tanah akan mendapat curahan air yang sama banyak. Artinya, rejeki yang diberikan kepada setiap orang sebenarnya sama banyak.

Kalau kemudian masing-masing mendapatkan jumlah yang berbeda, masalahnya terletak kepada wadah yang disiapkan. Ada orang yang membangun kolam untuk menampungnya, orang yang lain hanya menyediakan ember untuk itu. Sedang orang yang lain lagi hanya menyiapkan cangkir. Jelas air yang akan tertampung di masing-masing wadah akan berbeda jumlahnya.
Sama-sama disiapkan ember pun, jumlah yang tertampung bisa berbeda, karena satu orang meletakkan ember terbuka ke atas secara datar, sedang pemilik lain ada yang menaruh embernya miring, dan yang lain lagi malahan menaruh embernya rebah, yang sampai kapanpun rejeki tak akan tertampung, paling-paling embernya hanya basah sebentar. Apa lagi kalau embernya ditengkurapkan.

Jadi bukannya sedikit atau banyak yang diberikan, tetapi seberapa besar kita telah menyiapkan wadahnya dan bagaimana wadah yang sudah disiapkan itu diletakkan secara benar.
Masuk akal juga kata guru saya tadi.

Yang berikutnya:
Berapapun besar kolam yang kita sediakan untuk menampung curahan rejeki, kalau dindingnya tidak dibuat secara benar, maka hujan yang tertampung pada akhirnya hanya akan terserap atau terbuang sia-sia tanpa pernah memberikan manfaat bagi pemilik kolam. Tetapi secangkir air, kalau kemudian direbus dan dimasukkan gula dan kopi, akan menjadi minuman yang lezat bagi pemilik cangkir atau tamu yang mendapatkan suguhan kopi tadi.
Menurut saya benar juga, lagi.

Jadi apakah wadah yang sudah saya siapkan? Jangan-jangan saya tidak pernah memikirkannya.

Ah, ada-ada saja guru saya yang satu ini.....

Apakah rejeki hanya semata-mata soal penghasilan? Jangan-jangan, membaca tulisan ini pun sebenarnya adalah rejeki? Mungkin tergantung bagaimana Anda mengaksepnya.
Permisi.

(kenang-kenangan dan sekaligus pelajaran dari pak Trianggono)

19 Agustus 2009

dua matra

jauh di atas awan
terlihat alam membentang dengan segala kebesaran wujudnya
yang seolah aku ingin menggenggamnya, astaghfirullah

di alas sajadah
jutaan makhluk Allah melakukan tugas hidupnya
yang aku tak mampu melihatnya
subhanallah

.

12 Agustus 2009

Kemong

Kemong adalah sebutan gaya Suroboyo-an untuk sebuah tabuhan mirip gong dengan diameter antara 25-35 cm. Alat ini ditabuh atau dipukul bukan untuk iringan musik, tetapi sebagai penanda ketika sebuah kampung ada warganya yang meninggal.
Biasanya, ketika ada seorang warga kampung meninggal, maka kemong akan ditabuh berkeliling kampung, lalu warga yang mendengar akan keluar dari rumah untuk menanyakan kepada si penabuh atau pengiringnya - biasanya anak-anak atau beberapa anak muda yang ikut berkeliling – ikhwal tentang tetangga yang meninggal: siapa, kapan meninggal, karena apa, kapan dimakamkan, di mana dan sebagainya. Lalu kabar tersebut secara berantai ditularkan kepada tetangga lainnya. Duplikasi informasi yang simpel namun sangat efektif.
Untuk melengkapi informasi tentang rumah duka, maka di ujung jalan atau gang akan dipasang bendera putih bergambar palang-merah, yang ukurannya sekitar 40x40 atau 50x50 cm. Entah kenapa kok palang-merah, barangkali ada hubungannya dengan Surabaya yang pada jaman dulu pernah menjadi ajang perang perjuangan melawan Sekutu dan Nica di tahun 1945, di mana ketika itu lokasi perawatan korban yang berada di kampung-kampung diberi tanda dengan bendera palang merah.

Kembali dengan urusan kemong.

Peralatan yang sederhana ini sekarang sudah semakin jarang digunakan, barangkali kalah dengan sarana komunikasi yang baru: HP, yang tidak bising, tidak capek, praktis. Tinggal omong-omong atau pencet-pencet, kirim, habis perkara. Tetapi ternyata bukan hanya perkara yang habis. Nuansa kerukunan model kampung Suroboyo-an juga ikut menjadi terkikis.
Ketika dulu kemong ditabuh, warga kampung keluar rumah, omong-omong antar tetangga, bikin janji untuk ketemu, takziah, melayat, mengantar ke kubur, bertemu dengan tetangga lainnya sambil saling berkabar keadaan masing-masing. Sungguh sebuah model kehidupan bermasyarakat yang sejuk dan menyenangkan, sehingga terkadang membuat sebuah keluarga enggan meninggalkan kampungnya untuk pindah ke pemukiman baru yang jalannya lebih lebar dan lingkungannya lebih lega. Enggan kehilangan nuansa keakraban bertetangga.

Kemong juga sebuah alat ukur sederhana untuk mendeteksi tingkat partisipasi bermasyarakat seseorang. Ketika mendengar kemong ditabuh dan seseorang tidak keluar dari rumah (padahal tidak sakit) maka dapat dipastikan bahwa orang tersebut mempunyai masalah dengan kemampuan sosialisasinya, dan apabila tindakan seperti ini terjadi berkali-kali, maka para tetangga akan mencatatnya untuk kemudian disikapi bersama-sama ( kok agak mengancam, ya?! ).

Kemong sekarang sudah hampir musnah karena barangkali masyarakat menganggap penggunaan kemong sudah tidak layak-tayang lagi. Seiring dengan itu, saya pernah menjumpai sebuah keluarga yang ayahnya meninggal ( pada malam hari jam 9 ), di rumah duka itu hanya ada anak, pembantu, 2-3 orang famili dan 2-3 orang teman (yang notabene mereka semua bukan tetangga, yang semuanya tinggal jauh dari rumah tersebut) datang untuk takziah. Dari lingkungan sekitar rumah duka tersebut hanya hadir hansip/satpam, itupun karena mereka menggeser pos jaga ke arah yang berdekatan dengan rumah duka.

Semakin menghilangnya kemong di Surabaya apakah juga pertanda semakin menipisnya solidaritas sosial gaya Suroboyo-an, ya?

10 Agustus 2009

cermin

tiba-tiba
cermin ada di mana-mana
di kamar
di pintu
di beranda

di koran, di teve, di radio, jalanan, warung kopi
di majelis-majelis, di kampus-kampus

di wajah pembesar, pengamen, guru, polisi, tahanan, artis, pesulap

di langit, di pepohonan, di ceruk-ceruk gelap dan di pentas pertunjukan
di hati, di mimpi, di lamunan yang berkepanjangan

kadang meleleh, luluh-lumer menyatu dengan denyut nadi
kadang membatu kaku keras menyakitkan

kadang menyilaukan kadang transparan kadang buram kadang menghilang

akankah memberi arti
bagi jiwa
dan kehidupan ?

18 Juli 2009

Lima Detik

Di beberapa rumah ketika saya bertamu, sering saya lihat foto salah satu penghuninya sedang bersalaman dengan pembesar. Pembesar itu bisa presiden, tokoh selebriti, penggede partai atau semacamnya. Sebuah foto yang mengesankan, betapa tidak: tangan saling berjabatan, badan agak condong dengan wajah berhias senyum, berlatar jajaran tokoh lain atau back-drop yang menandai even tertentu. Membanggakan sekali, dan oleh karenanya, foto tersebut dipasang di tempat yang mudah terlihat.
Even jabat-tangan yang mungkin hanya berdurasi lima detik tersebut, meninggalkan kesan mendalam selama bertahun-tahun bagi pemilik foto. Sebuah kebanggaan yang perlu diabadikan untuk diketahui oleh anak-cucu dan sanak-famili.

Padahal, sejenak setelah berjabatan (mungkin lima menit atau bahkan lima detik kemudian) pak/bu presiden dan pak/bu tokoh sudah lupa dengan siapa dia baru saja bersalaman. Atau bahkan tidak kenal. Atau bahkan ketika tangan bersalaman beliau tidak melihat siapa yang berada didepannya dengan seksama. Lewat begitu saja.

Itulah.

Menjadi pemimpin, berarti menjadi pusat perhatian. Kata, sikap bahkan masa-lalunya terkadang menjadi sumber semangat dan inspirasi bagi orang banyak, setidaknya bagi anak keturunannya. Karenanya harus terjaga benar-benar .

Panggung peristiwa di negeri ini setiap saat berganti dengan amat cepat, tokoh-tokoh yang menjadi pelakon senantiasa muncul untuk memainkan perannya di sana. Dialog, monolog silih berganti, dan penonton menyimaknya.
Akting buruk, akting bagus, bukan sekedar untuk mendapatkan award atau piala, tetapi akan memberi arah dan jejak kepada perjalanan bangsa menuju ke masa depannya.

adakah itu akan dilakukan dengan pertimbangan sekenanya?

saya menyimaknya, seperti ketika saya mengamati makna yang ada di balik foto jabat-tangan itu.

Salam damai, damailah negeriku.

17 Juli 2009

GAK MUTU

gak mutu
gak mutu
gak mutu
gak mutu
gak mutu
gak mutu
gak mutu
..................
BLAS GAK MUTU

16 Juli 2009

Masih Diberi Waktu

Oktober 2008
Setelah menempuh perjalanan dengan bus Surabaya-Kutoarjo selama nyaris 10 jam (plus istirahat makan dan menunggu jam keberangkatan), saya menetapi janji kepada mas Amir Faisol untuk hadir di pertemuan reuni 39 tahun perpisahan di antara kami. Malam itu saya menginap, di rumah beliau (eh, rumah beliau dan mbak Titik, isterinya), di jalan Diponegoro 61, kidul alun-alun Kutoarjo, persis di tepi lintasan bus Jogja-Purwokerto. Tahun kemarinnya saya tidak bisa hadir, tetapi sekeping VCD rekamannya yang dikirim telah menjadi pengobat rindu.
Momentum ini adalah sebagai ajang saling melepas kangen dan bicara tentang kenangan indah masa lalu, demikian malam hari itu mas Amir Faisol rasan-rasan dengan saya, ketika teman-teman yang mempersiapkan acara untuk besok pagi sudah pulang.

Pagi harinya,
Satu demi satu teman-teman hadir. Wajah-wajah yang harus direkonstruksi ulang muncul di depanku. Arithmatical and Logical Unit di otakku bekerja keras untuk membongkar kembali file lama, mengcompare image lama dengan image baru. Dan ketika ‘match’, wah, jabat-tangan dan rangkulan serta pelukan (bukan mukhrim dilarang!) di antara kami begitu erat.
Wajah-wajah yang jahitannya sudah sangat berubah, tubuh yang ikatannya semakin longgar, rambut dan gigi yang sudah pamitan dari formasinya, membuat kami saling terbahak. Ingat nama - lupa wajah. Salah satu pengingatnya adalah rekaman peristiwa antar-kita di masa lalu.
Beberapa sosok dan wajah yang diharapkan dapat ditemui ternyata tidak dapat hadir. Nama-nama disebutkan, kabar diberitakan.

Mengharukan tetapi sekaligus menyenangkan..

Perjalanan kami semua semakin jauh beranjak dari titik awal keberangkatan. Tahun 2009 ini berarti 40 tahun, sejak kami berpisah dari keakraban masa SMA.
Semoga masing-masing tetap sehat dan dikaruniai kelonggaran untuk dapat hadir nantinya. Saya menunggu, dan semoga saya juga ditunggu, dan semoga

masih diberi waktu

salut setinggi-tingginya untuk mas Amir Faisol dan mbak Titik Isnaeni, mas Kacuk Sukamto dan mbak Pawit Hartini, mas Setyo Haryadi dan Isteri, mas Haryanto Aminin dan Isteri serta teman-teman lainnya yang mungkin saya tidak tahu, atas segala totalitas mental, fisik dan materinya yang telah ditumplek-bleg untuk suksesnya acara ini, sehingga saya dan teman-teman lain dapat saling bertemu kembali



.

14 Juli 2009

Pulang Kampung

Apa yang akan Anda lakukan jika Anda tidak terpilih menjadi Presiden?
Yaaaaa... pulang kampung..

Jawaban JK atas pertanyaan dalam sesi akhir debat penutup Capres 2009 tersebut membuat saya spontan tersenyum. Teringat pertanyaan seorang adik :
Saat nanti pensiun apa yang akan dilakukan?
Pertanyaan klasik yang kalau jawabannya klasik, penanya pasti kecewa. Maka saya jawab:
Saat-saat awal pensiun, saya akan cuci-otak.
Lho ?

Membebaskan pikiran terhadap formula-formula, sistem berpikir, lagak dan gaya dll,dll yang selama bekerja telah menghuni pikiran dan pemikiran, perlu dibasuh sampai bersih ...
Kenapa?
Saya akan hidup di dunia yang berbeda ...

Kebanggaan yang tersemat karena kedudukan dan prestasi dalam lingkungan formal biasanya akan menempatkan seseorang dalam posisi dihormati dan sekaligus mungkin tidak disenangi, sehingga berpotensi membuat seseorang lupa. Demikian pula hati dan pikirannya. Ketika sudah pensiun seorang mantan pimpinan datang ke (bekas) tempat kerja menunggu didatangi oleh para mantan bawahan untuk mendapat sapa dan salam serta laporan mengenai situasi dan kondisi mutakhir. Kemudian (mantan) bos tersebut menyampaikan fatwa-fatwa dengan komparasi kasus di masa lalu.
Terkadang ada juga yang juga timbul rasa enggan bertemu apalagi mendatangi bekas tempat bekerja, karena kesumat terhadap orang-orang tertentu yang pernah membuat luka hati, atau tempat tertentu yang meninggalkan kesan tidak enak.
Jadi kenapa harus terbelenggu sesuatu ketika seseorang sudah dinyatakan bebas dari segala ikatan ?
Itulah yang membuat saya berpikir tentang perlunya cuci-otak, karena setelah saya pensiun saya bukan lagi ‘orang instansi’ atau ‘orang perusahaan’, tetapi saya orang merdeka.

Seorang teman bercerita, di penghujung masa bekerjanya oleh Manajemen telah diminta untuk melanjutkan ’pengabdian’ dengan menjadi pemandu-kerja bagi para karyawan yunior, karena Direkturnya masih belum sreg dengan kapabilitas para yunior tersebut. Ketika teman tersebut menyampaikan bahwa dia ingin berhenti, Pak Direktur SDM ‘meradang’
.... jadi di mana loyalitas Anda, sehingga Anda tega meninggalkan Perusahaan ini diawaki oleh para yunior yang masih memerlukan bimbingan ? .... dengan permintaan ini Anda sebenarnya mendapatkan pengakuan dari kami bahwa kapabilitas Anda masih sangat kami perlukan .....
Ya ampuuuunnnnn, sebegitukah?

Kalau Pak JK ingin pulang kampung nanti, itu adalah penyampaian yang menurut saya cukup santun, meskipun saya tidak yakin apakah benar-benar kampung ataukah KAMPUNG atau kampung dalam pengertian yang lain lagi. Hanya beliau yang tahu.

Apakah saya benar-benar bisa ’cuci-otak’ atau hanya berbasa-basi? Barangkali ya.
Kalaupun saya benar-benar ingin cuci otak, saya bahkan tidak bisa menjaminnya, karena saya tidak tahu apa yang ada di depan sana ketika waktu berjalan.
Dan kalau itu yang terjadi, saya perlu minta maaf kepada para teman yang pernah bertanya kepada saya. Itupun masih saya sertai permintaan: tolong ingatkan saya, kalau saya berbuat salah ketika sudah pensiun, ketika saya masih berlagak STSPSJ, sok tahu sok pinter sok jago…

12 Juli 2009

Harapan sesudahnya

Kehidupan kembali ke keseharian, tak ada lagi hiruk-pikuk dan hingar-bingar tontonan, perbantahan, dan perkilahan.
Yang kemarin sehari-hari mengenakan baju seragam kampanye, sekarang sudah mengenakan kaos oblong dan celana gombrong favoritnya kembali. Pagi-pagi tak lagi harus memacu langkah ke markas dan posko dan larut malam atau dinihari baru kembali, tetapi sudah asyik kembali dengan membersihkan kandang burung atau mencuci motor. Atau mengantar isteri ke pasar. Jalan kaki.
Ritme kehidupan yang normal dengan segudang problema yang kembali menghadang, mulai dari ongkos persiapan anak masuk tahun ajaran baru, order bisnis yang angin-anginan datangnya, bos yang mukanya kecut karena pekerjaan tertunda dan tagihan yang tak segera cair. Serta berbagai problema lainnya, seperti kemarin-kemarin dulu juga. Membosankan. Mencemaskan. Dan karena terlalu rapat dan seringnya dihadapi, sekaligus membuat kebal terhadap masalah dan lalu membiarkannya berlangsung dimakan waktu tanpa peduli apa yang terjadi.

Masa kampanye adalah hiburan, dan sekaligus pelampiasan kekesalan yang selama ini menumpuk dan tersumbat tanpa mendapat kesempatan untuk disalurkan.
Angan-angan, cita-cita, harapan dan segala keinginan terhadap mimpi serba-indah kehidupan boleh ditayangkan untuk dinikmati khalayak ketika masa pesta kampanye dilangsungkan. Bahkan antarmimpi boleh ditabrak-tabrakkan sampai peot oleh sesama orang yang bermimpi. Khalayak boleh bersorak, boleh mencibir, boleh senyam-senyum geli, boleh diam saja. Atau malah mau bersedih. Boleh seboleh-bolehnya.
Atau malah mau mengkerut ngeri menyaksikan orang baku-maki dan baku-pukul. Atau pergi menyingkir dari kengerian untuk segera mendahului kembali ke kesehariannya lebih awal.
Ketika sesudah itu satu demi satu tunggakan masalah datang dan menagih penyelesaian segera, maka kecepatan berpikir menjadi menurun, seperti mobil berjalan menanjak yang terlupa untuk dioper ke gigi rendah. Tidak seperti ketika berbicara tentang cita-cita yang begitu fasih serta cepat disampaikan.
Yang kemarin sependapat terhadap segala rencana dan program masa depan, sekarang mulai bertanya tentang hal-hal yang kemarin terlupakan dan belum selesai ditangani.
Ditengah-tengah waktu ketika kehidupan kembali seperti sediakala, ternyata terasa bahwa kita masih berada di tempat semula.

Semoga secercah harapan yang bersinar melalui celah sempit, menjadi terang masa depan dengan dibukanya pintu bersama-sama oleh semua anak-bangsa, mulai dari para pemimpinnya yang kemarin tampak perkasa dan percaya diri sampai kepada si Udin si Otong si Minah si Marni di pojok-pojok negeri.

07 Juli 2009

Kepengin Miskin ?



Beberapa bulan lalu, ketika nonton TV dan nyasar ke sebuah acara, pas ada dialog tentang empat tahun pemerintahan SBY-JK.
Ketika moderator menanyakan kepada empat orang tokoh tentang rapor pemerintahan SBY-JK, salah satunya memberi angka sembilan. Tetapi tokoh yang lain memberi angka EMPAT, lalu ditambah setengah menjadi empat setengah setelah mendengarkan beberapa poin prestasi. Salah satu indikator yang digunakan untuk memberi nilai rendah tersebut adalah fakta bahwa tidak ada perubahan daftar dan jumlah penerima BLT sejak penerimaan BLT periode sebelumnya, sehingga meskipun dalam pidato disebutkan menurunnya angka kemiskinan, fakta tadi menggugurkannya.
Biarlah dalam acara yang disiarkan TV tersebut mereka berdiskusi, berdebat dengan pendapat masing-masing, atau yang lain lagi.

Saya lebih tertarik kepada tulisan yang gambarnya ada di atas tadi, yang dipasang di depan konter apotek dan beberapa tempat lain, di Rumah Sakit Haji Surabaya.
Ketika itu kurang lebih jam sebelas malam, saya mengambil obat untuk isteri saya yang kuku jempol kakinya harus dicabut gara-gara nyeri tak tertahankan, luka kejatuhan gayung berisi air sewaktu mandi sore (mandinya pake gayung, mak! lebih segerrr).

Yang saya pikir,
rupanya fihak Rumah Sakit tidak suka jika mereka harus membiayai orang yang mengaku miskin ( padahal tidak benar-benar miskin), sementara orang yang benar-benar miskin tidak berani ke Rumah Sakit karena tidak siap kalau sampai ditarik ongkos berobat meskipun sudah dikenai tarip murah. Atau bahkan tak punya ongkos untuk berangkat ke Rumah Sakit.

Saya pernah mendengar obrolan ketika jagongan dengan pak RT dan warga kampung saya, bahwa para warga yang berkategori ‘miskin’, yakni yang mendapatkan Beras untuk Orang Miskin (raskin), penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT), pemilik kartu Asuransi Kesehatan untuk Orang Miskin (Askeskin), dan kin-kin yang lain, di pintu depan rumahnya bakal dipasang papan bertuliskan KELUARGA MISKIN.
Mana tahaaaaaaannnnnn.....

Bingung ya,
Lebih lagi saya, ketika saya berpikir:
• Berapa duit diperlukan untuk membuat tulisan sebanyak sekian juta lembar atau keping?
• Siapa yang bakal ditugasi memasang tulisan tersebut dengan konsekuensi bakal dipukul pemilik rumah yang tersinggung karena merasa dipermalukan secara terbuka?
• Berapa lama tulisan tersebut akan bertahan di tempatnya terpasang?

Sibuklah saya dengan berbagai pikiran, sementara luka di jempol kaki isteri saya mulai sembuh dan kuku jarinya berangsur tumbuh kembali.
Semoga tak ada lagi gayung jatuh menimpa jari kakinya ketika mandi.

Eh, kami berobat di sana bayar sendiri lho! (khawatir dianggap miskin padahal tidaklah kaya)

06 Juli 2009

Maunya.......

Setelah beberapa saat mengistirahatkan jempol yang keriting, maka aktivitas ngeblogpun dimulai lagi.
Itu maunya .....
Istirahatnya hampir saja kebablasan, dan nyaris jadi males ngeblog. Entah 'setan' jenis apa yang lagi mampir di kepala.
Dulu, ketika beberapa blog teman tiba-tiba stagnan, dalam hati timbul pertanyaan: kok bisa ya ?? Tapi setelah mengalami sendiri, he he he .... Seru juga, ternyata.
Itulah manusia, eh, sori, saya.
Ok. Sekarang, saya mau lihat diri saya sendiri.
Sambil ngeblog. Maunya .....

25 Juni 2009

DOG-DOG-DOG

permisi,
kulonuwun,
sepada,
salamlekum,

masih baik-baik saja, kok

terimakasih atas atensi seluruh kerabat sanak-saudara handai-tolan