18 November 2010

Di setiap butirnya

"Mari mampir, to!" setengah memaksa dimintanya kami mampir ke rumah beliau. "Monggo kalau mau lihat telur asin buatan saya"
Di bagian samping belakang rumah ada beberapa panci besar dengan gundukan berwarna hitam.
"Satu panci isinya kurang-lebih duaratus-tigaratus telur".
Lalu diceritakannya cara membuat telur asin yang bahannya telur bebek (itik) itu secara rinci. Juga di mana beliau beli telur mentahnya; " Yaaa sambil jalan-jalan dan silaturahmi ke desa sana sesekali. Biar ndak bosen di rumah terus"
Beliau sudah cukup lama pensiun. Tinggal berdua di rumah yang sebagian kamarnya disewakan sebagai kamar kost bagi para mahasiswa. Putra-putrinya sudah 'mentas', bekerja, menikah dan tinggal di tempat lain. Hari-hari panjang dilalui ke dua bapak-ibu ini antara lain dengan membuat telur asin sebagai sambilan.
Dicertakan behwa pengetahuan membuat telur asin ini ditiru dari almarhumah ibunya dulu sekali.
"Panjenengan ini telaten sekali, ya bu, setiap butir dibungkus dengan abu; padahal jumlahnya ratusan butir...."
"Ya sambil wiridan, nanti kan ndak terasa nglangut....." katanya.

Malam hari di rumah, ketika saya mencicipi telur asin buatan beliau yang dibawakan ketika kami pamitan, saya berpikir:

Di setiap butirnya, telur ini berbalur doa permohonan berkah dan keselamatan, di setiap panci gundukan telur itu: bertimbun-timbun doa penyerahan-diri yang ikhlas, di samping belakang rumah itu: bergema puja dan puji untuk kebesaran Allah swt yang terpantul pada dinding-dindingnya dan di rumah itu saya merasakan ada kehangatan, kedamaian dan ketulusan serta kepasrahan...


Semoga Allah swt senantiasa memberkati Pak Wien dan Ibu. Amien.


.

24 September 2010

Pelat Merah

Benar juga komentar banyak orang bahwa salah-satu penyebab semakin macetnya jalanan adalah iring-iringan mobil pejabat yang mendapatkan prioritas lewat.
Kemarin, ketika saya berada di tengah antrian kendaraan yang berjalan merambat, terdengar suara sirene menggeram-geram berat dan putus-putus (seram) berseling dengan bunyi nguing-nguing dari arah belakang, saya pikir ada patroli polantas berbarengan dengan mobil ambulans. Kebetulan saya ada di jajaran mepet pinggir jalan sehingga tidak terlalu merasa wajib memberi jalan kecuali melambatkan lagi laju kendaraan saya (yang sebenarnya sudah sangat lambat)

Ketika lewat, ternyata adalah kawal polantas untuk satu mobil pelat merah. Hanya satu!
Ya ampuun, sekilas terbayang bahwa pak pejabat itu terlambat bangun atau isterinya yang nyalon sanggul terlalu lama sehingga musti ngejar waktu untuk hadir di acara tertentu.
Ternyata setelah terbaca nomor pelatnya, ternyata pak pejabat itu tetangga saya sendiri! Tetangga saya yang sekarang menjadi salah satu pejabat penting dan tempat kerjanya tidak terlalu jauh dari tempat kerja yang saya tuju.

Tahu begitu tadi mestinya saya numpang jalan saja dari rumah.

Kira-kira boleh numpang jalan di mobilnya enggak ya? Kalau boleh, lumayan kan, nggak kena macet sehingga bisa lebih cepat nyampe.
Tapi jangan-jangan beliau sudah lupa bahwa saya adalah salah-satu diantara beberapa tetangganya......

Jangan ngelunjak aaaaaahhhh............., pake mau numpang segala! Kamu kan manusia pelat kuning, masa mau numpang naik mobil pelat merah.


.

22 September 2010

suatu malam di langit sana

sejuta bintang jatuh
berkejapan melintas di kegelapan
adakah satu
untukku

sejuta bintang jatuh
berkejapan di kegelapan
adakah satu
adalah aku

sejuta bintang jatuh
diam-diam, tanpa cahaya
menyala
tanpa bara

sejuk
hening
maya


.

09 September 2010

Latah dan Basa-basi? Bukaaaaann...

Tapi ini benar-benar serius.
Teman-teman: Meskipun seharusnya yang namanya minta maaf dilakukan setiap saat, tetapi saya sungguh ingin memohon kepada Anda, maafkanlah kesalahan saya manakala tulisan-tulisan saya telah membuat rasa hati Anda terkoyak, terluka, teriris, terganggu, dan tercederai.

Saya ingin belajar lebih banyak untuk menjadi lebih arif, tetapi mungkin kemampuan saya jauh dari memadai untuk keinginan itu, sehingga selalu saja ada duri yang terpasang dalam tulisan-tulisan di blog ini maupun komen saya pada blog Anda.

Saya mohon maaf,
lahir-batin,
tulus.

Semoga Anda tetap ada dan menginspirasi saya dengan segala yang telah dan tetap Anda tuliskan,

Selamat Idulfitri 1431 H.

Salam.


.

08 September 2010

Malam bersama Puisi

Malam ini aku membaca puisi pak Taufik Ismail, saya ingin Anda ikut menyimaknya:



Membaca Tanda-Tanda


Ada sesuatu yang rasanya mulai lepas
dari tangan
dan meluncur lewat sela-sela jari kita

Ada sesuatu yang mulanya
tak begitu jelas
tapi kini kita mulai merindukannya

Kita saksikan udara
abu-abu warnanya
Kita saksikan air danau
yang semakin surut jadinya
Burung-burung kecil
tak lagi berkicau pagi hari

Hutan kehilangan ranting
Ranting kehilangan daun
Daun kehilangan dahan
Dahan kehilangan
hutan

Kita saksikan zat asam
didesak asam arang
dan karbon dioksid itu
menggilas paru-paru

Kita saksikan
Gunung memompa abu
Abu membawa batu
Batu membawa lindu
Lindu membawa longsor
Longsor membawa air
Air membawa banjir
Banjir membawa air

air
mata

Kita telah saksikan seribu tanda-tanda
Bisakah kita membaca tanda-tanda?

Allah
Kami telah membaca gempa
Kami telah disapu banjir
Kami telah dihalau api dan hama
Kami telah dihujani abu dan batu

Allah
Ampuni dosa-dosa kami

Beri kami kearifan membaca
Seribu tanda-tanda

Karena ada sesuatu yang rasanya
mulai lepas dari tangan
dan meluncur lewat sela-sela jari

Karena ada sesuatu yang mulanya
tak begitu jelas
tapi kini kami
mulai
merindukannya.

1982



Demikian tulisnya, semoga Anda menikmatinya pula.
Salam.


.

06 September 2010

Ragam Menjenguk Orang Sakit

Setiap menjenguk keluarga, kerabat, tetangga atau teman yang sedang sakit selalu saja terpikir oleh saya, apa yang sebaiknya saya bicarakan dengan mereka. Apalagi kalau sakitnya cukup serius.
Saya kerapkali mengamati perilaku orang ketika menjenguk orang sakit, baik itu di rumah sakit ataupun di rumah, tapi sampai sekarang masih belum punya model (ragam) ideal dari sekian contoh yang saya temui tadi. Beberapa ragam, lagak dan gaya tersebut di antaranya adalah:

(1)
Investigasi
Berbicara, bertanya, menyampaikan pemikiran tentang penyakit yang diderita si sakit. Bertanya tentang awal-mula sakitnya, rasa sakitnya, dokter yang merawat, obat-obatan dan cara perawatannya, sikap para perawat, angka kredit rumah sakitnya, upaya-upaya lain yang pernah dan akan dilakukan, dampak penyakit terhadap tubuh dan mental, biaya perawatan, dll.

(2)
Dokter atau Orang Pintar
Gayanya adalah menelaah penyakit yang diderita, bercerita pengalaman-pengalaman pribadi dan pengalaman orang lain yang pernah didengar (langsung maupun menurut cerita orang lain lagi), mengkritik pengobatan dan perawatan yang dianggap 'biasa' dan biasanya dilanjutkan dengan menganjurkan model dan metoda perawatan dan pengobatan tertentu, atau dokter dan ahli tertentu, termasuk menganjurkan dan memuji-muji obat dan cara pengobatan tertentu sambil menganggap yang lain sebagai kalah manjur dan bermutu. Hal-hal ini sering ditambah dengan rujukan-rujukan dari sumber-sumber yang terdengar valid dan mentereng, misalnya menyebut sumbernya 'internet' atau jurnal tertentu atau sejarah orang-orang hebat yang konon pernah menderita karena penyakit serupa.

(3)
Motivator
Sok membangkitkan semangat adalah sesuatu yang dianggap penting dilakukan ketika berhadapan dengan pesakit. Mulai dari pesakit yang harus doyan makan, rajin minum obat, dan lain-lain supaya segera sembuh dan dapat menikmati hari-hari seperti biasanya. Mental harus bangkit melawan penderitaan sakit, karena diri kita dibutuhkan oleh banyak orang, mulai dari keluarga, teman kerja maupun orang lain yang berada di sekitar. Menimbulkan semangat harus segera sembuh karena masih banyak tugas yang menanti, atau segera sembuh agar kesenangan-kesenangan yang terlewat dapat segera dinikmati kembali, seperti jalan-jalan, makan-makan, kongkow-kongkow dan lain-lainnya.

(4)
Pendeta
Isinya nasehat, a.l.: Berserah diri kepada Yang Maha Kuasa, seraya memohon ampun barang kali sakit ini akibat dari kesalahan yang pernah dijalani pada waktu lalu. Banyak berdoa untuk mohon kesembuhan dan diringankan dari rasa sakit. Harus ikhlas menjalani karena pasti ada hikmah di balik penderitaan. Bagus sekali memang, tapi kok....?

(5)
Badut
Bercanda tentang segala macam, yang maksudnya mengalihkan perhatian si sakit dari penyakit dan rasa sakitnya. Berbicara tentang kejadian-kejadian lucu, yang benar-benar terjadi maupun yang sekedar ngarang atau mencontek dari tempat lain. Atau kembali mengenang cerita-cerita lucu dan lama yang pernah dijalani bersama-sama, dan menjadi kenangan yang menyegarkan. Biasanya dilakukan sambil tertawa-tawa, apalagi kalau ada suporternya, yakni tamu yang sama-sama menjenguk; padahal si sakit merasa ketawa menyebabkan ia merasa sakit di bagian badan tertentu.

(6)
Bossy
Datang, lantas tanya-tanya kronologi singkat tentang asal mula, tanggal-tanggal dan hari. Biasanya diikuti dengan uraian (singkat juga) aktivitas sendiri yang dijalani; maksudnya agar si sakit atau keluarganya mafhum bahwa dia adalah orang penting dan sibuk. Terakhir biasanya lalu ada sebuah amplop yang diberikan, dan terakhir pamit pulang yang terkadang disertai sedikit pemberitahuan bahwa selepas ini dia masih harus melakukan hal penting, bertemu orang penting, pokoknya 'penting'. Selesailah ritus standar 'Bos' menjenguk 'bawahan' yang sedang sakit

(7)
Ngawur
Datang-datang lantas cerita ngalor-ngidul kepada sesama tamu lainnya dengan cerita yang tidak ada hubungannya sama-sekali dengan hajat menjenguk orang sakit. Sering malah berbicara tanpa melibatkan si sakit atau keluarganya. Lebih konyol lagi: berdebat atau mendebat kata-kata sesama penjenguk. Hal itu dilakukan tanpa memperhatikan kondisi si sakit maupun keluarganya, atau, penderita lain dan keluarganya yang berada di ruangan yang sama.

(8)
Pelit bicara
Karena kebetulan datang bersamaan dengan penjenguk yang lain, maka setelah menyalami si sakit dan keluarganya lantas diam saja, menjadi pendengar yang baik bagi sesama tamu lain yang bicara. Paling-paling berkata "oh, ya?", atau "betul sekali", atau malah cuma senyam-senyum sambil berpikir tentang saat yang paling tepat untuk pamit pergi.

(9)
Memanfaatkan Peluang
Wah, ini biasanya dengan cepat terbaca oleh distributor atau member MLM yang mempunyai obat atau suplemen mahamanjur. Satu produk multi manfaat, sekali tepuk tujuh nyawa dapat diselamatkan. Seraya menunjukkan selembar brosur berisi penjelasan produk dan testimoni orang yang pernah terselamatkan, dan tidak lupa selembar kartu nama. Yang payahnya lagi (atau parahnya?) terkadang si Member tadi adalah teman dari penjenguk, atau lebih ngepopnya disebut 'mitra' atau 'upline'; jadi sebenarnya secara langsung belum pernah berkenalan dengan si sakit maupun keluarganya, tetapi datang karena diajak si penjenguk sambil ditugasi untuk menjelaskan dan menawarkan produk MLM di mana mereka menjadi member. Eh, menjenguk atau berdagang, nih! pasti akan dijawab: memberi informasi yang baik bukan sebuah kesalahan, kan?

(10)
Apa lagi ya?


Mungkin ragam ke sepuluh inilah yang sedang saya cari, namun saya belum mendapatkan gambarannya, sehingga sampai dengan saat ini apabila harus menjenguk orang sakit, saya sangat senang apabila tidak harus pergi sendiri.
Tapi karena itu pula mungkin saya menjadi bingung, karena beberapa dari orang yang menemani saya ( atau saya temani ) itu cenderung menggunakan ragam-ragam di atas.
Enggak lucu, ya?!


.

30 Agustus 2010

Dasamuka

Huru-hara diplomatik dengan Malaysia semakin memicu sentimen kebangsaan hampir seluruh rakyat Indonesia. Entah apakah nota protes yang dikirim oleh Presiden kepada PM Malaysia mampu meredam emosi masing-masing fihak, atau justru akan menjadi angin yang meniup bara kemarahan. Kita lihat saja. Sementara masih saja ada bendera yang dibakar dan diinjak-injak.
Di belahan dunia yang lain ada yang melakukan kampanye untuk membakar kitab suci agama tertentu sebagai pertanda protes keras atas terjadinya kekerasan yang dilakukan oleh pemeluk agama tersebut.
Di pojokan dunia yang lain lagi, sekelompok remaja melempari stasiun kereta dan lingkungan di sekitarnya dengan batu, karena pasukan bola mereka dan mereka sendiri 'didolimi' oleh warga kota itu.
Di lain tempat, di depan kantor tertentu sekelompok jurnalis melakukan aksi protes, karena anggotanya mendapat tekanan keras ketika sedang melakukan tugas peliputan.

Di sini ada identitas yang dibela atau sebaliknya: dilawan. Yaitu negara, keyakinan, klub atau kelompok.
Pembelaan atau perlawanan terhadap kelompok kaum (komunitas yang beridentitas) hampir sepanjang sejarah manusia selalu saja terjadi. Fir'aun dan pasukannya mengusir Nabi Musa dan pengikutnya. Dua negara di Amerika Latin berperang gara-gara permainan bola. Penduduk dua desa tawur gara-gara salah satu warganya dilecehkan. Sebuah tempat ibadah disegel karena ritusnya diklaim sesat oleh yang lain.

Ada yang aneh.
Ketika kesebelasan Jepang turun di Afsel sebagai wakil Asia; kita, orang Indonesia yang juga warga Asia (dan kebetulan punya memori sekaligus setori masa lalu dengan Jepang) ikut merasa bangga. Dan ketika Jepang kalah, kitapun merasa kecewa. Dalam hal ini kita cs-an dengan Jepang. Tetapi ketika satu pabrik Jepang yang ada di Indonesia diputuskan untuk tutup dan pindah ke negeri lain, sakiiiit hati ini rasanya. Apalagi disertai dengan alasan kondisi perburuhan yang tidak baik, kebijakan ekonomi yang kurang mendukung, dsb, dsb, dsb; nyerinya kepada Jepang sampai keubun-ubun rasanya. Mau melawan saja rasanya, bersama-sama.
Ketika sedang mau bersama-sama, datanglah masa pemilu. Kita yang tadinya serasa satu, mulai terkotak jadi kaumnya partai A, partai B, partai C, dll. Kaum A bersitegang dengan kaum B gara-gara ada yang mencuri start kampanye; kaum D dengan kaum S gara-gara pemanfaatan anggaran dan fasilitas yang tidak semestinya.
Ternyata partai MGDSJGVDS menang pemilu, jadilah dia partai berkuasa di parlemen. Beberapa waktu kemudian ada pemilihan ketua partai. Pengikut si O dan si E saling sindir, pengikut si U dan si A perang iklan.
Demikian seterusnya keanehan ini berlanjut. Dan ini melahirkan pertanyaan: apa sebenarnya identitas kita? Seberapa besar kekuatan identitas itu memberi warna dalam kehidupan (interaksi) sosial kita; dan sebaliknya: mengapa sekarang identitas-identitas itu (apapun) terasa demikian mudah mengelupas hanya karena identitas atau sub-identitas lain yang kita punya?

Kalau sudah demikian, masihkah kita perlu simbol?

Jangan-jangan kita membakar bendera karena memang kita sudah tidak menganggap bendera sebagai simbol; atau bahkan demikian pulalah anggapan kita tentang bendera negeri sendiri? Yang kita kibarkan di rumah dengan tiang seadanya dan warna kusam, itupun masih pula lupa untuk menurunkan pada waktunya? Atau bahkan sudah lupa pula saat harus mengibarkannya? Atau barangkali identitas itu kita anggap tidak permanen; sewaktu-waktu bisa berubah, suka-suka hati kita.

Masih mending Dasamuka, tokoh raja dari negeri Alengka yang dikisahkan memiliki sepuluh wajah, tetapi ketika masing-masing wajah ditanya namanya, jawabnya tetap: Dasamuka raja negeri Alengka. Dengan tegas.

(benar-benar merdeka.........)


.

25 Agustus 2010

Antara Penting dan Genting

Tik..tik..tik.., bunyi hujan di atas genting

Bukan itu!
Tapi tentang komentar teman saya pak Bambang Prabowo: suasana tujuhbelasan tahun ini di banyak lingkungan pemukiman sangat jauh dari semarak. Apalagi di beberapa kawasan pemukiman klas atas. Nyaris seperti bukan di Indonesia. Hiasan tak ada, bahkan bendera merah-putihpun TIDAK DIPASANG!!!
Gejala apa ini?

Sekarang memang sudah bukan jaman perang mengusir penjajah, juga bukan jaman memerangi pemberontak yang merongrong kedaulatan NKRI. Artinya, sekarang sudah bukan jaman genting. Ya benar. Tetapi apakah kemudian memperingati ulangtahun kemerdekaan dengan memasang bendera menjadi tidak penting? Saya sungguh tidak mengerti.

Sementara mestinya 'kita' cukup faham dan sadar benar bahwa sekarang ini bulan Agustus, bahwa setiap tanggal 17 Agustus adalah ulang tahun proklamasi, bahwa di lembaga-lembaga negeri pasti ada upacara bendera. Televisi, koran dan jalanan kota mengindikasikan tanda-tanda kemeriahan tujuhbelasan. Tapi ketika masuk di tempat pemukiman tadi?

Bagaimana ini, wahai para pemimpin?
Ketika jaman sudah tidak genting, rasa kebangsaan tetaplah sesuatu yang penting, namun ironisnya, yang tampak dari beberapa keadaan secara umum adalah fenomena bahwa kesadaran kebangsaan sudah menjadi tidak lagi penting dan karenanya kita secara tidak sadar berjalan ke arah keadaan yang genting.

'Ayah saya dulu, setiap membangun rumah pasti menyertakan (dan mementingkan keberadaan) tiang bendera', tambah pak Bambang Prabowo,' bahkan sejak membuat denahnya, posisi tempat bendera sudah pasti ada. Sedang sekarang, tampaknya hampir tidak ada pengembang yang melengkapi bangunan produknya dengan tiang bendera', demikian lanjutnya.
Kami berdua terhanyut kepada kenangan masa dulu, ketika masih kecil diajarkan bahwa setiap melewati tempat di mana sedang dilakukan kerek bendera merah putih, berhenti di tempat dengan sikap sempurna, menghadapkan muka ke arah lambang negara, dan baru berjalan ketika Sang Merah Putih telah sampai di ujung atas tiang bendera. Bukan menghormat benderanya, tetapi penghormatan atas segala upaya dan pengorbanan yang telah memakan harta, nyawa, kehormatan, untuk tegaknya negeri ini, di mana kita lahir, hidup atau kelak mati di haribaannya.


(tetap... merdeka........!!?????????)



.

21 Agustus 2010

Che' Mat

Tahun 60-an dulu, di dekat rumahku ada sebuah pondok dengan madrasah aliyah. Ada beberapa pelajar dari Tanah Melayu, satu yang masih kuingat, namanya che' Mat. Seorang pemuda yang ramah dan sangat santun. Sore hari terkadang keluar pondok untuk membeli minyak goreng dan belanja beberapa kebutuhan sehari-hari. Tentu sekarang che' Mat telah tua di kampungnya sana, di negeri yang sekarang bernama Malaysia.

Berita tentang ditangkapnya 3 orang pegawai Indonesia yang sedang menjalankan tugas patroli pengamanan laut oleh fihak Malaysia menimbulkan reaksi keras dari publik Indonesia, tak terkecuali dari sahabat saya Pak Sugeng Kariyodiharjo, pak guru yang juga seorang pesastra Jawa. Pak Guru yang cerita-cerita pendeknya sering mengharu-biru pikiranku, beberapa waktu yang lalu bertanya kepadaku: bagaimana sebaiknya tindakan jiran ini direaksi?
Merujuk pada komentar pak Permadi, mestinya dijawab saja: Ganyang Malaysia!
Tapi nanti dulu, semudah itukah melakukan ofensif a la Bung Karno di jaman ini? Sementara mata dan telinga dunia sekarang sudah begitu tajamnya, sementara yang menganggap jadi polisi dunia sekarang tinggal ada satu, sementara di negeri tetangga itu banyak kerabat kita bekerja mencari nafkah, sementara setiap hari di kota=kota besar kita banyak teman-teman belanja di Giant dan Hypermart, sementara pula ribuan orang di negeri ini melibatkan diri untuk menjajakan produk dan prospek bisnis MLM dari sana, sementara pula uang kita tidak cukup untuk belanja kapal, bikin jalan dan batas kawasan, menyejahterakan rakyat terutama di wilayah-wilayah perbatasan, dan sementara pula hanya sedikit pemimpin negeri ini yang merespon kemarahan rakyat dengan tindakan sepadan dengan kekuasaan yang kita berikan kepadanya?

Lalu mesti bagaimana?

Lihatlah peristiwa di negeri sandiwara:

Di dalam gedung yang nyaman, sekelompok penguasa dan pengusaha sedang melakukan upacara, membaca proklamasi yang bunyinya:

Proklamasi
Kami bangsa yang mempunyai kepentingan dengan Indonesia
dengan ini menyatakan siap bekerja untuk mewujudkannya
hal-hal yang mengenai pelaksanaannya
dilakukan dalam tempo secepatnya, ongkos seperlunya, cara apapun juga, kerja sama dengan siapapun juga,
untuk mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya dengan risiko yang sekecil-kecilnya
mumpung mereka tidak punya apapun juga selain rasa bangga semu yang dibesar-besarkannya

Panggung ditutup, dan dibuka kembali dengan adegan jalanan macet, suara sirene menguik-nguik seperti suara anak babi terjepit ekornya, orang-orang berdesakan di jalanan, gerah, umpatan dan keluh-kesah bercampur tangis anak-anak memenuhi udara. Kereta yang dipandu sirene melaju, penumpangnya duduk tenang tak terganggu, karena kaca gelap menahan panas dan meredam bunyi.

Panggung sandiwara ditutup kembali.

Ketika dibuka lagi, ternyata aku yang ada di sana.
Aku berkata:
Maaf pak Sugeng dan sodara-sodara semua: Sulit aku menjawab pertanyaan Anda.

Layar ditutup, semua menunggu pertunjukan berikutnya yang judulnya agak lucu:
Anak-anak bangsa yang menolong dirinya sendiri, dengan poster besar bergambar che' Mat berlinang air mata


.

18 Agustus 2010

Cari Masalah

Ini dongeng pada jaman ketika anak sekolah masih menggunakan batu-tulis (di Jawa disebut sebagai sabak). Alat tulis primitif ini berupa lempengan batu berwarna kehitaman setebal kurang lebih 5 mm, dengan ukuran panjang-lebar kira-kira 25x20cm. Tidak ada merek, tidak ada ukuran standar, apalagi SNI!! Alat untuk menulisinya juga berupa sebuah batang batu dengan diameter sekitar 4-5 mm dan panjang antara 10-15 cm. Anak batu-tulis ini (sering disebut grip) mudah sekali patah, jadi harus dijaga benar-benar jangan sampai terjatuh.

Di sekolah anak-anak mengerjakan tugas menulis, berhitung atau menggambar di atas batu-tulis masing-masing. Setiap ganti pelajaran, maka tulisan di atas batu-tulis tadi cukup dihapus dengan tangan lalu ditulisi kembali untuk pelajaran berikut. Tentu saja setelah bapak atau ibu guru memeriksa lalu membubuhkan nilai masing-masing dengan kapur tulis.
Karena rawan terhapus, maka ketika itu tidak ada yang namanya PR atau pekerjaan rumah.

Ada sebuah lagu anak-anak berbahasa Jawa, berjudul 'Aja ngewak-ewakake' yang bila diterjemahkan secara bebas adalah 'Jangan bikin sebel', begini syairnya:

Aja ngewak-ewakake
Petentang-petenteng, bijine diumukake
Bocah kok le ambeg-hm, sajak ngece-ece
Bocah kok le ambeg-hm, nggregetake

terjemahan bebasnya : jangan kau bikin sebel, pertentang-pertenteng nilaimu kau pamer-pamerkan, memang kau anak yang sombong, sepertinya kau meledek teman lain, dasar sombong, bikin orang geregetan saja....

Lagu tadi menceritakan seorang anak yang sepanjang perjalanan pulang dari sekolah memamerkan nilai berhitungnya yang mendapatkan angka sepuluh, dengan cara menempelkan angka 10 di atas batu-tulisnya ke pipi kanan atau kiri sehingga membekas terbalik, tetapi masih sangat jelas bahwa itu adalah angka sepuluh! Gaya ini sangat umum dilakukan anak-anak ketika itu.

Moral cerita yang terkandung dalam lagu itu adalah agar anak-anak jangan menyombongkan diri ketika merasa berprestasi, karena kesombongan akan mendatangkan masalah. Boleh senang, boleh bangga, tetapi kesenangan atau kebanggaan itu tidak perlu dipamer-pamerkan, karena akan mendatangkan rasa tidak senang pada orang lain, yang jangan-jangan kemudian dapat mendatangkan masalah.

Biasanya sejenak sebelum jam sekolah usai, bapak atau ibu guru merefresh pesan-pesan moral kepada anak-anak melalui berbagai lagu, di antaranya 'Aja ngewak-ewakake' tadi. Lagu dengan nada riang dan sangat sederhana itu sekarang barangkali telah terlupakan, bahkan oleh kaum tua yang dulu ketika masih kecil (masih lucu) sering menyanyikannya.
Saya berpikir bagaimana seandainya lagu ini dinyanyikan di Istana Negara ketika aubade pada upacara 17-an kemarin. Barangkali bisa meredam nafsu siapapun untuk ngewak-ewakake saudaranya yang lain, sehingga siapapun yang melakukan tindakan cari masalah dapat disadarkan melalui lagu ini secara arif.
Jaman lagi susah, sodara, enggak usah cari masalah, tapi kalau ada yang memang lupa tanpa sengaja, ingatkan dengan lagu itu saja.


Salam damai. MERDEKA!

.

03 Agustus 2010

In Memory

Lelaki sepuh itu duduk menghadap meja kecil yang sama sepuhnya dengan usianya. Sebuah poci tanah-liat berwarna coklat kehitaman dan beberapa cangkir mungil yang isinya seseruput teh kental bergula jawa ada dihadapannya.
Rambut di kepalanya dicukur nyaris pelontos, yang mestinya kalau dibiarkan pasti berwarna putih keperakan. Punggungnya yang bungkuk dibalut kaos oblong putih kusam.
Senyumnya terkembang berhias gigi yang masih berderet rapi.
Ketika kucium tangannya, dia menatapku dengan pandang berbinar: Pada becik tekamu?
Baik-baikkah saja kalian? demikian sapanya menyejukkan jiwa.
Lungguha kene, aku kangen sira... Duduklah disampingku, aku rindu kepadamu.
Tercekat kata-kataku, tertunduk pandanganku. Tak kuat rasanya menahan haru menerima berkat dan doa yang terpancar dari pandang matanya yang menyiratkan rindunya yang bergulung-gulung menerpaku.
Ingin rasanya bersujud mencium kakinya yang kini langkahnya tak lagi segesit dulu.
Seperti terpana dia menatapku, semakin kelu pula aku ketika tangan tuanya merangkul pundakku seakan ingin menyatukan jiwa.
Matahari yang mulai miring ke barat menyusupkan cahayanya lewat lubang-lubang di antara anyaman dinding bambu, dan aroma rokok kelobot jagung yang terbakar bak harum dupa yang menghiasi drama pertemuan ini. Senyumnya masih juga tersungging dibibirnya.
Tangan yang kulitnya telah mulai kisut perlahan menuangkan teh dari poci.
Sira wis tambah gede, ya.... Kau bertambah dewasa pula...
Seakan dia berkata: Masih cukupkah sisa umurku untuk menyaksikan perjalanan hidupmu, cucuku?
Setitik air mata membayang dari sudut matanya yang telah berkerut dimakan waktu...

Ya Allah, ampunilah dia, ampunilah aku...
Berkatilah sisa usianya, bimbinglah aku menjalani hidupku....

Ketika aku hadir lagi dihadapan nisannya, seakan masih terdengar sapanya lembut:
Pada becik tekamu.....

.

29 Juli 2010

Tenggelam

Rupanya hujan deras yang akhir-akhir ini mengguyur di berbagai tempat telah menyebabkan beberapa kawasan tenggelam. Tenggelam oleh genangan air. Ada yang surut dalam waktu pendek, ada pula yang berhari-hari. Korbanpun berjatuhan. Ternak, binatang liar, manusia, kebun, sawah, harta-benda, dan mental manusia.....
Kesedihan, keputus-asaan, kemarahan, rasa kasihan, duka cita, semua bercampur-aduk di dalamnya.
Drama yang digambarkan seperti ini, tampaknya sangat mirip dengan keadaan lain yang mungkin serupa.

Transportasi di Jakarta diramalkan bakal lumpuh total. Banjir pengguna jalan telah mengakibatkan penyumbatan di banyak ruas jalan, dan lalu-lintas macet.

Demokrasi yang memberikan ruang sangat luas untuk berpendapat telah mengakibatkan lalu-lintas pendapat berkeliaran, dan banyak yang dengan itu dapat memobilisasi gerakan-gerakan, dan kemudian berpotensi saling bersinggungan atau bahkan bertabrakan.

Berbagai informasi yang datang mengguyur indera penglihatan, pendengaran dan kemudian diserap oleh perasaan berpengaruh luar-biasa kepada perilaku seseorang. Apalagi bila nalarnya berjalan tertatih-tatih, dan nuraninya telah disandera oleh pengaruh keadaan sehingga tidak lagi mempunyai daya yang cukup untuk menjadi pandu. Pikiran dan tindakannya tenggelam oleh keadaan. Lalu hidupnya terbawa kemanapun arus berlalu.


.

06 Juni 2010

Tokek

Saya pernah punya teman yang sangat menggemari pembicaraan tentang kaya dan miskin. Bagi dia, dunia kurang tegas terlihat apabila pemisahan tentang kaya dan miskin tidak dilakukan.
Contohnya, suatu kali dia mengabarkan bahwa tetangganya baru saja membeli mobil baru. Kinclong.
"Orang kaya beneran dia, beli dari toko, dibawa pulang dengan pelat nomor masih putih. Itu tandanya memang bener-bener mobil baru, bukan bekas." katanya.
Teman yang satu lagi paling sebel omongan soal kaya dan miskin.
Bagi dia kaya dan miskin bagaikan bunyi tokek.

Tokek.... kaya
Tokek......miskin
Tokek ....kaya
Tokkkkk..... mampus!!!

Sekian tahun kemudian, ketika keduanya sudah pergi ke alam baka, ternyata tokek memang bisa membuat orang jadi kaya-raya, konon.

Saya sih cuma mau cerita tentang teman-teman sepuh saya, bukan tentang kaya, miskin apalagi tentang tokek.

07 Mei 2010

dinamika

lelah kau menunggu lalu pingsan tidur ayam
terjaga
masih tak ada siapa-siapa

untuk apa berjalan jauh bila mata terpejam lewat matahari pagi dan terbenam
terkaget-kaget ketika duri semak menggores pedih teriris
terayun di ombak kabut lembut terlena mimpi

ada lava melata-lata
ada raksasa dengan lidah berbuncah darah menggeram menakuti
biarkan saja karena semua itu fatamorgana
yang bikin ciut nyali tapi juga menyalakan api membara

aku suka di sana
karena lelah dibelenggu sepi


.

03 Mei 2010

Bergunjing, mengapa?

Ada dua kelompok generasi karyawan di atas saya, generasi ‘ambil-alih’ yang pertama yaitu para beliau yang mengalami episode pengambil-alihan dari perusahaan milik Belanda, dan yang ke dua adalah generasi AGN yang mulai bekerja pada era 65-70an. Saya sebut generasi AGN karena sebagian dari mereka oleh Perusahaan disekolahkan di Akademi Gula Negara Jogja, sebuah pendidikan ikatan dinas kala itu yang mendidik mahasiswanya menjadi ahli gula terutama di bidang proses pengolahan gula dan satunya lagi di bidang ketata-usahaan gula. Lulusannya bergelar B.Sc. Jumlah mereka cukup banyak, dan sangat diharapkan menjadi ujung tombak di era kemudian setelah pendahulunya pensiun.
Ada sebuah istilah menarik untuk mereka yang B.Sc. proses. Di lingkungan pergulaan saat itu mereka disebut juga sebagai ‘Dokter Gula’, bukan dokter ahli penyakit gula ataupun bukan ahli mengobati gula yang berpenyakit, tetapi sebutan itu mungkin karena pakaian kerja mereka yang seperti jas dokter. Kalau anda punya anak gadis dan tinggal di lingkungan Pabrik Gula, para dokter gula bujangan ini adalah calon menantu idaman, lho. Karena mereka punya kans terbesar untuk menjadi pimpinan PG (pabrik gula) alias Administratur atau bahkan menjadi Direktur di Kantor Pusat. Tapi itu zaman dulu.

Kembali ke generasi AGN.
Merekalah para sarjana muda pemegang tongkat estafet berikutnya, yang akan mewarisi norma-norma dan budaya warisan generasi sebelumnya yang notabene rata-rata ‘hanya’ lulusan STM ( Sekolah Teknik Menengah ) atau MTS (Middelbare Technishe School) dan SMA atau AMS (Algemeene Middelbare School) plus pelatihan-pelatihan sangat intensif dari para Belanda pendahulunya.
Pada masa ini terjadi beberapa perubahan gaya kerja karena pengaruh politik, sosial maupun ilmu pengetahuan di bidang pergulaan. Mereka mulai berusaha mengembangkan diri dan menjawab tantangan zaman. Pabrik yang makin tua, lahan yang semakin terbatas karena wajib tanam tebu sudah tidak ada, eksperimen-eksperimen untuk meng-Indonesiakan cara kerja warisan Belanda mulai dilakukan. Di masa ini pula terjadi beberapa kali reorganisasi dan regrouping. PG-PG yang dulunya milik beberapa Maskapai Belanda dan keberadaannya tersebar, mulai dikelompok-kelompokkan menurut wilayah geografis dan dikendalikan oleh seorang Inspektur. Berubah lagi menjadi Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) lalu PNP, menjadi PTP.
Generasi ‘ambil-alih’ mulai habis, pensiun.
Oleh generasi AGN, Prosedur dan Standar Kerja (SOP-Standard Operating and Procedure) yang ada kemudian dikaji dan disesuaikan, tentu saja dengan memperhatikan kebutuhan lapangan dan ketentuan Pemerintah, yang sejak medio 70-an mulai menghilangkan sistem sewa lahan milik petani menjadi sistem Tebu Rakyat, di mana petani menanam dan mengelola sendiri tebunya dan kemudian menyerahkan kepada PG untuk diproses dengan bagi hasil produksi.
Ini adalah masa sibuk. Jaman normal telah lewat. Satu demi satu PG mengalami kerugian. Kondisi mesin dan peralatan yang semakin uzur (ada yang mulai tahun 1870-an lho!), kendali produktivitas yang semakin sulit ( cara petani mengelola tentu beda dengan Sinder PG mengelola kebunnya) dan likuiditas yang semakin terbatas ( harga gula ‘dikendalikan’ Pemerintah sementara inflasi berakibat naiknya ongkos produksi) membuat industri gula megap-megap bagai ikan di sungai keruh. Dan ini tugas berat bagi generasi AGN yang saat itu sebagian telah menjadi pimpinan strategis untuk mengatasinya, meskipun (dalam dugaan saya) mungkin hal-hal seperti ini tidak pernah diajarkan ketika mereka belajar di Akademi. Tentu hasilnya sangat tergantung kepada kepiawaian para Manajer. Namun dalam perjalanan sejarah terbaca satu demi satu PG pingsan dan kemudian mati atau paling tidak koma dan dinfus terus-terusan.
Belum sempat menuntaskan tugas, generasi ini pensiun. Mereka meninggalkan Perusahaan dengan segudang pengalaman, kesan, kenangan, dan yang jelas: tugas yang masih harus diselesaikan oleh generasi berikutnya, yang entah apa pula yang akan dihadapi.
Generasi berikutnya datang pada era 80-an. Generasi ‘sekolahan’, yang mengenal zaman Belanda hanya dari pelajaran. Yang bahkan tiba-tiba kaget ketika kecebur di dunia antah-berantah industri gula. Di mana mimpi sangat beda dengan kenyataan. Di mana teori tergagap-gagap ketika berhadapan dengan praktek. Di mana segala cerita masa lalu ternyata sudah sangat berbeda keadaannya dengan masa kini.
Mereka belum cukup dikelonin oleh para seniornya, ditulari ilmu-ilmu dasar dan mendapat dongeng bermakna, barangkali karena para seniornya terlalu sibuk mengatasi masalah lain sehingga mengajar yuniornya tidak begitu intens dan strict (seperti sewaktu Londo yang ngajar). Tentu masih ada juga senior yang baik, mengajar dan menghajar yuniornya agar menjadi cukup handal untuk nantinya menggantikan mereka.
Saya menyimak keadaan ini, dan saya prihatin, karena secara umum yang terjadi akhirnya adalah lemahnya kendali dan semakin lebarnya kesenjangan. Baik senjang wawasan maupun sikap. Dan buntutnya adalah kerja yang tidak terkonsolidasi dengan baik.

Sekarang cerita ‘diadili’.
Datang seorang senior yang akhir-akhir ini disewa Perusahaan untuk memandu sebuah pekerjaan. Senior tersebut baru pensiun sekitar empat-lima tahun lalu. Beliau menyampaikan kritik kerasnya terhadap pelaksanaan kerja di lapangan, yang nota bene pernah menjadi ladang kerjanya pula.
“Bagaimana bisa baik kalau SOP tidak dilaksanakan dengan benar, kontrol lemah, dsb,dsb, dsb” Banyak, dan sambil memandang saya dengan pandangan geram, seperti beberapa orang senior lain sebelumnya ketika ketemu saya. Dilanjutkan oleh beliau, bahwa kemunduran-kemunduran yang terjadi adalah karena cara-cara yang baik, yang telah dilakukan ‘pada zamannya’ telah ditinggalkan dan diganti dengan cara lain, kualitas SDM tidak sehandal dulu, banyak hal dilakukan secara coba-coba, dan banyak hal lain lagi. Pembicaraan berkembang dengan membicarakan praktek-praktek yang dinilai tidak bagus, meningkat menjadi komentar terhadap kebijakan-kebijakan manajerial, bergesar menjadi bergunjing tentang orang.
Saya kok jadi panas (hehehe..... padahal sebelumnya agak kedinginan karena AC disetel terlalu rendah suhunya), karena saya merasa diadili. Bagaimana tidak! Saya merasa tidak bisa menerima pendapat beliau yang cenderung menganggap para yunior ini ‘under performance’, tidak menghormati ajaran-ajaran seniornya, tidak bekerja sebaik para senior, dsb. Saya kok tiba-tiba mempersonifikasikan diri sebagai yunior. Yang diadili. Padahal saya juga sudah pensiun.
Karena tidak kuat memendam rasa, dari mulut saya terlontar komentar bernada bantahan dan pembelaan:
Sudah tepatkah cara kita dulu mengajar para yunior ini, seperti cara para senior sepuh mengajar kita? Masih samakah medan kerja mereka dengan medan yang dulu kita hadapi? Apakah mereka mendapat pembimbing yang berkualitas, seperti kita dulu mendapat pembimbing yang berkualitas?
Perbincangan yang potensial menjadi arena perbantahan mirip tayangan di televisi ini terputus karena batasan waktu. Dan kemudian saya menemukan sesuatu:

Ikatan emosional seseorang dengan institusi tempat dia pernah bekerja akan berwujud sebuah kebanggaan, manakala (1) dia tahu bahwa institusi tersebut berkembang menjadi lebih baik sepeninggalnya, (2) ketika kembali berada di lingkungan institusi tadi, dia masih dikenal dan disapa dengan baik, apalagi karyanya masih diakui
Dan apabila sebaliknya: yaaa tahu sendirilah. Minimal sedih atau selebihnya: Bergunjing!
Demikianlah, saya sudah selesai diadili. Dan karena ini tidak termasuk pelajaran sejarah yang ilmiah, maka referensinya hanya berdasar ingatan belaka, dan yang jelas tidak akan keluar dalam soal ulangan apalagi ujian nasional.


(salam hangat untuk teman-teman: para yunior dan senior)

30 April 2010

Bergunjing, ah !

Saya cuma mau nyambungkan judul dengan tulisan kemarin.

Episode nyaman yang dialami oleh para senior saya, rupanya tertanam sebagai kesan yang amat membanggaken hati ('ken' bukan 'kan). Zaman emas, di mana sebagian mereka telah menyelesaikan masa bekerjanya tanpa terganjal oleh kesalahan.
Pengambil-alihan bisnis dari maskapai Belanda yang dinasionalisasikan pada penghujung tahun 50-an, mengharuskan para manajer dan staf Belanda untuk menyerahkan tugas dan tanggung-jawab mereka kepada para staf lokal, senior-senior sepuh (tua)saya. Sebagian besar dari mereka ketika itu berusia sekitar tigapuluh-empatpuluhan tahun, dengan pengalaman kerja sekitar lima-sepuluh tahun. Mereka tiba-tiba harus mengelola bisnis dengan segala permasalahan yang sebelumnya barangkali belum pernah diketahui dan diperkirakan.
Bisnis unik ini (yang sekarang populer disebut agribisnis) berawal dari kebun atau lahan.
Benih ditanam, dirawat, dilindungi dan kemudian dipanen secara cermat. Kendala irigasi, hama-penyakit dan cuaca, berdempetan dengan kualitas-kualitas pemeliharaan, lahan, petani yang menggarap dan ahli yang mengkoordinasikan dan mengawasinya.
Penanganan pasca-tebangpun harus prima; ancaman waktu dan cuaca (lagi-lagi!) harus dicermati dan diantisipasi.
Banyak deh pokoknya!
Belum lagi urusan proses pabrikasinya, penyimpanannya, mengatur sumber dan penggunaan duitnya. Wah, pusing.
Tetapi itu semua dapat dilakukan pada masa itu, dengan bekal pengalaman pendek yang mereka miliki, berbasis panduan yang pernah didapatkan dari para Londo baik secara tertulis maupun praktek.
Ada sebuah perbedaan prinsip tentang kepemilikan bisnis; yang sebelumnya milik sebuah maatschappij (nulisnya bener gak ya?) atau company sekarang menjadi milik negara. Kalau dulu ibarat milik seseorang yang riil sosoknya, pemilik sekarang menjadi abstrak, sehingga cara pertanggung-jawabannya menjadi sedikit berbeda.
Dan, lagi-lagi 'mereka' para senior sepuh saya itu merasa sukses. Bisnis berjalan dengan baik, progresnya masih tetap positif, dan secara nyata imbalan kerjanya tetap bagus. Gaji dan fasilitas memuaskan sekali. Masa jabatan sebagai manajer relatif amat panjang; bagaimana tidak, saat itu mereka menggantikan posisi strategis yang ditinggalkan oleh para Londo ketika rata-rata masih berumur tigapuluhan tahun dan pensiun pada usia lima-lima: hampir seluruh usia kerjanya jadi manajer! Hebat, kan. Itulah yang dialami oleh generasi 'ambil-alih'. Era di mana kondisi industri masih seperti sebelumnya, kecuali manajemennya. Finansial masih kuat, sistem dan prosedur pengelolaan masih tetap cocok dan dijaga, dan yang mungkin menjadi fondasi dari segala hal tersebut: budaya kerja dan lingkungan belum terkontaminasi, tetap seperti semula yang sering disebut 'budaya feodal' (entah apa maksudnya!).

Stirahat lagi ya, dongengnya dilanjutkan besok ah, mudah-mudahan tetap enak dibaca. Kalaupun tidak, ya, maafkan saya.

29 April 2010

Bergunjing

Berada di antara para senior yang telah pensiun, saya merasa 'diadili'. Ceritanya:

Lima-enam orang senior saya yang sudah pensiun lebih dulu, sekarang sering kumpul-kumpul di rumah salah-satu dari mereka. Acara rutinnya bersepeda-ria. Dan itu telah berjalan intens kurang lebih empat tahunan ini. Kelompok 65++ ini dulu berasal dari angkatan kerja yang sama, sekitar tahun 1966, di mana ketika itu Perusahaan lagi berada pada zaman 'keemasannya', sampai-sampai beberapa di antara karyawan pada era itu berasal dari para karyawan bank dan akuntan yang akhirnya memilih menyeberang untuk bekerja di industri gula.
Pada saat itu, jaminan kesejahteraan relatif sangat baik bila dibanding dengan instansi lain. Dibandingkan dengan 'instansi' karena Perusahaan Perkebunan dan Pabrik-pabriknya masih sangat kental bau 'pegawai' semacam pegawai negeri. Pesaing yang lebih bergengsi paling-paling adalah Pegawai Kantor Pajak. Atau Colibri (begitu Unilever biasa disebut ketika itu). Gaji bagus, jaminan kesehatan sip, fasilitas kerja aduhai. Contoh:
Seorang Kepala Tata-usaha Pabrik Gula pernah cerita: ketika menerima amplop gaji bulan ini, amplop gaji bulan sebelumnya masih utuh dan belum dibuka! Kalau dinas ke Kantor Pusat (jaman itu mereka menyebutnya : dines ke Direksi) maka dipilih kendaraan dinasnya pick-up, bukannya station atau jeep, karena selesai urusan dengan Kantor Pusat mereka akan belanja kulkas, tape-deck yang segede kulkas juga, itupun masih harus belanja titipan pesanan serupa dari kolega-kolega yang lain.
Sakit dan opname juga membanggakan. Aneh ya! Ketika sebagian tetangga yang pegawai biasa sakit diopname di RSU milik Pemerintah, mereka dirawat di RS Swasta yang terkenal, yang lantainya kencang bau lisolnya. Yang 'bezoek'nya amat disiplin, yang tempat makan pasiennya bukan baki ompreng aluminium dengan cekungan tempat bubur, sayur dan daging, dan sendok bebek; tapi disajikan di atas baki beneran, dengan piring, mangkuk dan sendok 'alpacca'. Kebanggaan tuh, bagi yang sakit dan keluarganya, dan layak dipamerkan ketika sanak famili serta beberapa tetangga datang menyambangi.
Berangkat kerja juga keren. Sementara yang lain berangkat bersepeda (jaman itu motor belum banyak) atau naik angkutan umum, mereka dijemput dan diantar pulang dengan bis pegawai yang catnya abu-abu terang (warna yang lagi ngetren saat itu) dan sisi kanan kirinya ada tulisan "BIS PEGAWAI". Berangkat rapi, pulang tetap rapi ( gak kerja kali, ya) karena kantornya gedung kuno warisan Londo, yang bersih mengkilat megah sampai ke kakus-kakusnya. Sejuk dengan plafon tinggi ventilasi lebaar ditambah 'waier' (entah gimana nulisnya yang benar, maksudnya adalah 'fan' alias kipas angin.

Pantesan, beberapa karyawan bujangan lelaki ketika itu mencadi calon mantu idaman, tempat calon mimpi digantungkan oleh para calon mertua. Para bachelor ketika itu pesaingnya cuma satu: kadet, calon perwira angkatan laut yang masih dididik di AAL, Akademi Angkatan Laut, yang kalau malam minggu 'pesiar' dengan seragamnya yang menarik hati, jalan dengan langkah rapi berdua-dua. Cuma itu kompetitornya.

Tapi ternyata keadaan berubah. Pelan dan pasti. Pasti berubah, maksud saya. Sangat mengejutkan bagi mereka, senior-senior saya ketika mereka tiba-tiba harus dibangunkan dari mimpinya oleh gegap-gempitanya kenyataan. Saya adalah salah satu produk yang berada pada era sesudah mereka, ketika perubahan drastis datang.

Kok melantur ya; diadilinya kapan? Sabar dulu ah, capek!
Bikin minum anget dulu yuk! disruput pelan.... segaaaaaar.
Semoga Anda semua dalam keadaan sehat, doakan juga saya.

.

01 April 2010

Bekerja sebagai Pegawai

Senior saya dulu, adalah seorang senior sepuh yang masih ’bau pendidikan Belanda’, pernah memberikan nasehat kepada saya:

Nilai dan bobot Anda dalam bekerja memiliki beberapa derajat:

 Apabila bekerja menunggu diperintah, maka bobot Anda adalah pesuruh.
 Apabila bekerja hanya meniru orang yang Anda gantikan, maka bobot Anda adalah juru-tulis.
 Apabila dalam bekerja, Anda menyuruh orang untuk menirukan cara kerja seperti yang Anda lakukan, bobot Anda adalah klerk.
 Apabila Anda ketika bekerja juga berpikir dan belajar dengan mengembangkan pengetahuan agar pekerjaan Anda menjadi lebih mudah untuk Anda lakukan, bobot Anda adalah pegawai.
 Apabila Anda merumuskan agar pekerjaan Anda menjadi mudah, menarik dan menyenangkan bagi teman-teman dan atasan Anda, maka bobot Anda adalah pembaharu.

Tentu saja semua harus dalam kerangka ’pekerjaan yang benar’.

Saya belum sempat menyampaikan hal ini kepada Dicky dan Gurit. Semoga berguna bagi mereka dan teman-temannya yang lain, dan semoga merekalah para calon pembaharu di tempat bekerjanya.

.

31 Maret 2010

Salah Makan

Saya pikir, saya ini lagi kena dampak salah makan. Entah macam makanan seperti apa, yang ketika masuk ke dalam lambung kemudian mempengaruhi syaraf ngotot saya. Maunya nggak suka dikalah-kalahkan. Dalam segala hal. Contoh:

Ketika orang melempar saya dengan kerikil, saya akan balas dengan batu yang lebih besar, yang akan saya bidikkan ke kepalanya supaya dia tumbang.
Ketika orang mencela perkataan saya, saya akan balas dengan mengumpatnya.
Ketika saya lagi bicara dan orang menyelanya, saya akan terus bicara tanpa peduli bahwa pembicaraan akan jadi tumpang tindih.
Ketika saya merasa terancam entah oleh siapa, saya akan menghantam siapapun yang saya anggap pantas saya hantam.

Entahlah.

Seakan sudah mati kesadaran saya, bahwa saya yang semula selalu harus berpikir sebelum melakukan sesuatu, sekarang menjadi abai akan hal tersebut. Hantam saja, nggak ada urusan. Begitu.
Rasa takut yang sepertinya tidak beralasan, telah menteror, merasuk dan menjadi bagian dari kepribadian saya akhir-akhir ini, dan membuat saya menjadi mudah beringas dan seolah tak punya lelah mengulangnya.

Saya jadi curiga.
Pasti ada sesuatu yang salah yang telah dan selalu saya makan.
Paling tidak, ada sesuatu unsur dalam makanan saya yang tidak benar. Entah itu memang bawaan dalam makanan tersebut atau ditambahkan dalam makanan tersebut entah oleh siapa.

Adakah itu diri saya, yang Anda lihat di tayangan-tayangan berita TV atau berita media lainnya?

Bakar, serang, lempar, umpat, musnahkan !!!!!

Adakah itu karena salah makan?

.

13 Januari 2010

anang ke istana

ketika datang ke istana yang tak ubahnya
rumah biasa bagi para penghuninya:
tunggu, paklikmu masih ada tamu, demikian pesan buliknya

ketika jam sepuluh malam dipanggil
masuk ke kamar: salam-lekum, lik
maka sabdanya:
jangan bicara apa-apa,
sekarang pijit seluruh badanku yang pegal rasanya,
dan jangan berhenti sebelum aku tertidur

sahutnya tanpa bisa berkata apa-apa:
nggih !

lalu paginya
dia tersenyum geli sendiri: apa mesti dikata
kepada juragan besar kita
bahwa misinya gagal-total
bilang saja, kataku,
pesannya sudah sampai
dan beliau tak ada komentar apa-apa


(karena aku sudah menyampaikannya ketika
kudengar dengkur lirihnya,
dalam tidurnya yang begitu lelapnya,
setelah sehari suntuk bekerja untuk negrinya)


LO, kira-kira 2001 – untuk adikku AAQ

.

11 Januari 2010

selamat jalan, gus

gus,
lama bersamamu
kauajak aku bertamu ke tempat-tempat di mana kebersahajaan bertahta
dalam rupa
dalam jiwa
tapi begitu bebal hatiku menangkapnya

kauajak aku bersamamu dalam tawa dan canda
menepis rasa sesal yang dangkal
menghalau segala haru-biru karena nafsu

kauajak aku berteka-teki sesekali
dan kaukejutkan aku dengan murkamu
sehingga berkerut hatiku, berkerut nyaliku
karena segunung rasa cemas

asyik bercanda bersamamu, gus
seolah waktumu hanya untukku

begitu tak fahamnya aku tentang seluruh angan-anganmu
begitu sedikitnya yang kumengerti tentang apa yang kau tahu
begitu pendeknya hari-hariku dibanding seluruh waktumu
begitu besarnya kau, gus, tak terjangkau pikiranku

tiba-tiba rinduku menggunung
ketika kulambaikan selamat jalan untukmu
sementara engkau berlalu
sambil berlagu penuh cinta, untuk anak-anakku, untuk seluruh saudaraku, untuk bangsaku, untuk seluruh umat manusia

semoga dibukakanNya surga untukmu, gus
aku masih akan selalu belajar padamu

hari kedelapan wafatnya gus dur, 6 januari 2010



juanda, 1982:
serombongan orang masuk ke terminal keberangkatan,
hatiku berdegup kencang: abdurahman wahid, keluarganya dan orang-orang yang aku tak tahu
lidahku kelu, mataku terpaku, lututku kebas-beku:
dialah penulis kolom di ‘tempo’ yang selalu kutunggu kisah dan buah-pikirannya


.