29 Februari 2008

Taman Rindu

hamparan taman penuh bunga
penuh cahaya
penuh cinta
sarat makna
sarat rindu

sarat sendu

tpu keputih – awal juli 2007

Menembus Batas Logika

Kemarin saya membaca sebuah berita tentang pesulap Demian, yang sedang berusaha berkolaborasi dengan dunia kedokteran untuk memanfaatkan teknologi sulap guna membantu mengatasi dan menyembuhkan stroke. Cukup menarik, semenarik teknologi sangkal putung untuk memulihkan tulang yang patah dan remuk menjadi kembali ke sedia kala.
Saya sangat awam untuk memahami bagaimana pengetahuan bekerja sehingga dapat mengatasi gejala-gejala seperti ini, namun pada saat ini tampaknya tawaran kolaborasi lintas keilmuan sangat terbuka. Hal tersebut menurut saya adalah naluri ilmiah yang memiliki karakter mengamati, meneliti, mencoba dan menggunakan hasilnya untuk diterapkan dalam kehidupan. Seorang ilmuwan yang mengamati adanya suatu kemungkinan, akan meneliti kemungkinan itu untuk dicoba, tetapi ketika bidang percobaannya bersinggungan dengan bidang lain, maka ada dua hal (setidak-tidaknya) yang akan dilakukan. Dia akan mempelajari bidang baru tersebut atau akan bekerjasama dengan orang lain yang memang membidangi hal tersebut sambil dia sendiri belajar.
Dunia sulap bagi orang awam terlihat sebagai sesuatu yang tidak masuk akal, meskipun para pesulap telah mengatakan bahwa sulap adalah seni pertunjukan yang memadukan ketrampilan dan teknologi.
Dari sisi seni pertunjukan yang arahnya adalah untuk menghibur saja, tampak adanya kecenderungan bahwa dengan melalui sulap maka mental para penonton akan di-switch untuk berubah dari susah menjadi senang, dari senang menjadi heran atau kagum, dan pada akhirnya ada perasaan lega. Perasaan lega secara mental ini akan berpengaruh kepada fisik seseorang, sehingga dampaknya beberapa fungsi tubuhnya bekerja lebih baik dari sebelumnya. Dan urusan tentang fungsi tubuh ini adalah bidang garap dunia kedokteran, termasuk di dalamnya mungkin kedokteran jiwa.
Sulap adalah hiburan, adalah sesuatu yang masuk ke dalam pikiran seseorang, sedangkan obat adalah benda, yang masuk ke dalam tubuhseseorang. Pikiran dan tubuh saling mempengaruhi, sehingga masuknya sesuatu ke dalamnya akan saling mempengaruhi pula. Demikian kira-kira hubungan antara keduanya.
Setiap orang memiliki kemampuan logika yang terbentuk karena belajar dan mengembangkan hasil belajarnya, dan karenanya pada setiap orang dapat berbeda takaran dan jangkauannya.

Apa yang sedang diusahakan oleh Demian pesulap kita tadi mungkin dianggap tidak logis oleh seseorang, sementara orang lain mengatakan sangat logis. Hal itu tergantung batas logika masing-masing. Batas yang oleh masing-masing telah digariskan sendiri-sendiri.

Menembus batas berarti adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk melewati batas yang ada. Menembus batas berarti pula sebuah tindakan yang dilakukan untuk melihat sesuatu di balik batas semula. Tentu saja dilakukan sendiri terhadap batas yang dibuat sendiri. Tindakan ini dilakukan karena adanya rangsangan dari balik batas tadi, rangsangan yang dilihat dan diperhatikan. Dengan demikian menembus batas logika adalah tindakan yang dilakukan sendiri terhadap logikanya sendiri.
Kita akan melihat, apakah upaya Demian segera berhasil atau masih memerlukan perjuangan yang berat, namun saya mengagumi pemikiran dan rencananya dan tentu saja takjub terhadap sulapnya.

25 Februari 2008

Tukang Rumput

Sebuah kisah lama dari khasanah pustaka Jawa yang pernah saya baca bercerita tentang seorang tukang rumput yang tidak pernah berubah kehidupannya meskipun didukung peluang yang luar biasa.
Sri Paduka Mangkunagara IV -maaf kalau penulisan saya salah, dan untuk selanjutnya perkenankan saya sebut Sri Paduka saja- pada suatu saat ingin menguji hasil pemahamannya tentang sebuah ilmu yang telah beberapa waktu dipelajarinya secara khusus dan intens.
Benarkah bahwa setiap orang telah ‘ditentukan’ takdirnya? Benarkah bahwa ketentuan tersebut sulit dirubah karena sebuah pola telah melekat dalam dirinya?
Pengungkapan ini mungkin tidak persis seperti aslinya, karena saya menyampaikan berdasar ingatan belaka.
Perkenankan saya memulainya, demikian tuturannya:
Seorang tukang rumput setiap hari menjual sepikul rumput di pojok pasar. Dari waktu ke waktu, dari hari ke hari itulah yang telah diamati Sri Paduka. Roda kehidupan seolah berjalan di tempat bagi tukang rumput tadi, tak pernah berubah. Berdasar pengamatan beliau, kehidupan orang tersebut sampai kapanpun tidak akan pernah meningkat menjadi juragan rumput atau kusir kereta misalnya. Tetap sebagai tukang rumput sampai kapanpun.
Dan itulah yang akan dibuktikan.
Suatu hari, diutusnya seorang abdi agar menyuruh tukang rumput tadi membawa rumputnya ke kandang kuda Pura Mangkunagaran, dan selanjutnya si tukang rumput diberi makan serta uang yang berlipat banyaknya dari harga rumput yang biasanya. Pulanglah si tukang rumput dengan hati gembira ria. Sebelum pulang dia mampir ke pasar untuk membeli beberapa makanan enak yang akan dia bawa pulang, oleh-oleh untuk anak-isterinya di rumah.
Hari berikutnya, duduklah kembali dia di pojok pasar tetap dengan sepikul rumput seperti biasanya, bukan dua atau tiga pikul. Duduk menunggu orang datang membeli rumputnya, dan setelah rumput laku, pulanglah ke rumahnya yang jauh dengan pikulan kosong untuk kembali merumput guna dijual esok harinya lagi, dan itu diamati secara cermat oleh Sri Paduka.
Pada beberapa hari berikutnya, diutusnya kembali seorang abdi untuk memanggil tukang rumput tadi agar membawa rumputnya ke istal Pura, memberinya makanan yang enak, serta sepotong-dua potong pakaian untuknya dan keluarga, serta satu biji buah waluh yang masak dan besar, lebih besar dari buah waluh yang biasa di jual di pasar. Dan tentu saja uang harga rumput yang empat-lima kali lipat dari harga biasanya.
Sepulang dari Pura, dengan pikulan yang kali ini bergayut buntalan baju dan buah waluh di tiap sisinya, si tukang rumput singgah ke pasar. Dibelinya makanan yang enak-enak untuk anak-isteri dan beberapa barang keperluan rumah lainnya. Ketika bawaannya dirasa berat, diberikannya buah waluh kepada simbok bakul (penjual) kain panjang yang ditukarnya dengan sepotong-dua kain. Malam ini dia akan menikmati makan besar dengan keluarga.
Dikisahkan, Sri Paduka menunggu berita heboh yang akan tersiar tentang seorang tukang rumput yang mendadak kaya, karena menemukan perhiasan emas di dalam buah waluh yang didapatnya ketika menjual rumput ke Pura. Atau setidaknya, datangnya tukang rumput untuk mengembalikan buah waluh beserta perhiasan di dalamnya ke Pura.
Tetapi kejutan itu tidak pernah seperti yang diharapkannya. Justru di desa lain berita yang menggegerkan tersiar. Seorang simbok penjual jarit (kain panjang) menjadi kaya mendadak karena menemukan perhiasan yang cukup banyak di dalam sebuah waluh, hasil bertukar dengan baju yang dijualnya di pasar.
Penjual rumput kembali pada posisinya di pojok pasar beberapa hari kemudian. Pikulan tuanya disandarkan di dinding pasar di antara dua pikul rumput disebelahnya. Kehebohan tentang buah waluh tidak pernah menjadi perhatiannya, meskipun seisi pasar berhari-hari masih membicarakan hal itu. Dia tidak pernah merasa berkaitan dengan kejadian itu.
Kali terakhir pengujian hipotesis dilakukan lagi. Tetapi kali ini pikulan tua secara diam-diam diisi dengan emas-berlian oleh Sri Paduka tanpa seorangpun tahu.
Ketika dalam perjalanan pulang yang melelahkan setelah perutnya kenyang karena mendapat makan enak dan uang banyak serta bekal lainnya dari Pura, si tukang rumput beristirahat sejenak di tengah perjalanan. Dibawah kerindangan pohon yang daunnya gemerisik terbuai angin yang semilir, tertidur nyenyaklah dia, sampai gemeretak suara gerobak sapi di jalanan membangunkannya dari tidur nikmatnya. Matahari sudah condong, sebentar lagi senja. Perjalanan ke rumah masih jauh. Dikejarnya gerobak yang lewat, dia numpang ikut, dan pikulannya ditinggalkan tergeletak di tempat dia tidur tadi. Pikirnya, banyak batang bambu di pekarangan rumah, besok dia dapat memotongnya untuk pikulan baru.
Kali ini kehebohan yang lebih dahsyat datang dengan berita seseorang yang menjadi kaya mendadak karena menemukan emas berlian di dalam sepotong bambu yang ditemukannya tergeletak di bawah pohon di tepi jalan dan diambilnya sebagai tongkat ketika berjalan pulang. Nilai emas berlian itu membuatnya sangat kaya, bahkan akan lebih kaya daripada lurah ataupun demang di wilayahnya.
Sementara, dipojok pasar, tukang rumput tetap duduk di sana seperti biasanya, namun kali ini tidak ada lagi hal-hal istimewa yang datang kepadanya. Membawa rumput ke Pura, misalnya.
Demikian cerita tentang tukang rumput yang pernah saya baca.
Atas perhatian dan kerjasamanya dengan membaca cerita ini saya sampaikan penghargaan dan terima kasih kepada para pembaca semuanya.
Salam.

24 Februari 2008

Sasaran Tembak

Dalam beberapa kesempatan ngobrol dengan teman-teman yang bekerja di salah satu BUMN sektor Agrobisnis dan mencermati beberapa kejadian di sana, saya sering bergurau tentang betapa sengsaranya jadi orang yang berada di fungsi keuangan. Apakah itu di urusan akunting atau finansial. Contoh tentang kejadian yang menyengsarakan tadi misalnya adalah ketika proyeksi Laba/Rugi Perusahaan menunjukkan angka negatif alias rugi, maka cecaran pertanyaan akan ditembakkan kepada orang-orang Keuangan. ‘Kenapa rugi?’ Nah.
Seolah-olah angka laba atau rugi dapat disiasati begitu saja ketika pekerjaan sudah atau hampir selesai. Seolah-olah pencatatan transaksi dengan segala tetek-bengeknya dapat saja diatur agar performa keuangan menjadi laba. Dan seolah-olah ketika angka rugi yang ditampilkan maka orang keuanganlah yang paling berdosa.
Teman-teman biasanya tertawa, meskipun menurut saya sebagiannya tertawa dengan nada ‘yaaa memang nasib kami’ atau ‘ terima saja lah’. Sedang sebagian lagi mungkin sudah terlalu biasa sehingga tertawanya seperti melihat kartun strip yang dimuat saban hari di koran. Tertawa rutin.
Sementara, teman-teman di fungsi produksi agak lebih tenang, karena ‘toh mengenai uang kami tidak ikut tahu’. Bukan main!
Rupanya ada sebuah kebiasaan yang terbawa sejak lahir atau diajarkan sejak lahir di lingkungan agribisnis, yang telah ada sejak abad sembilan belas Masehi.

Yang pertama,
Ketika tuan-tuan Belanda Pemilik Pabrik (bisnis ini berawal dari dioperasikannya pabrik), maka orang-orang yang bekerja di sektor produksi tidak diperbolehkan mengetahui angka-angka dan catatan keuangan. Tugas mereka adalah menghasilkan natura produksi setinggi-tingginya di tempat kerja masing-masing. Berapa harga pupuk, harga alat, harga mesin, itu urusan kantor. Yang penting, ketika kebutuhan bahan dan barang untuk produksi telah disediakan maka mereka harus menghasilkan produk sebanyak-banyaknya. Sehingga hitung-hitungan tentang berapa sebenarnya nilai bahan dan barang serta berapa nilai jual dari produk yang dihasilkan mereka tidak pernah tahu, karena memang tidak diperbolehkan untuk tahu.

Ke dua,
Ketika belajar di sekolah atau bangku kuliah, tampaknya pelajaran menghitung biaya produksi dan nilai hasil produksi mendapat porsi yang sangat sedikit atau bahkan mungkin tidak diajarkan sama sekali, sehingga teman-teman kita ini menjadi alergi terhadap hitung-hitungan uang. Hal ini tampak jelas di kelas-kelas pelatihan dan kursus terintegrasi yang pesertanya berasal dari berbagai fungsi. Materi tentang perhitungan harga pokok, kriteria Investasi dan yang sejenisnya menjadi Mbahnya Momok yang sangat tidak disukai dan ditakuti, sehingga ketika ujian atau evaluasi dilakukan mereka biasanya ngebon teman-teman keuangan untuk memberi asistensi dan (kalau perlu) hasilnya ‘direkam’ sebagai bahan untuk menyelesaikan test atau ujian.

Ke tiga,
Rasa gengsi yang berlebihan. Benar atau tidak rumor di sudut-sudut jalanan, namun catatan sejarah mengatakan bahwa cukup jarang teman-teman dari sektor keuangan mendapat kesempatan menjadi manajer di unit usaha. Siapa pula yang menyebut unit USAHA dan bukan unit PRODUKSI? Sehingga untuk apa memahami perilaku biaya dan kalkulasi laba-rugi, cash-flow serta neraca ketika untuk mengurusi itu sudah ada tukangnya sendiri? Kira-kira mungkin demikian jalan pikirannya.

Barangkali bukan kesalahan para Tuan Belanda, teman-teman disektor produksi atau aturan (yang mungkin tidak tertulis) tentang jenjang jabatan ke puncak semata sehingga keadaan ini terjadi, tetapi: sudahkah pola pikir dan pemahaman tentang agribisnisnya benar-benar benar?
Agribisnis adalah bisnis agro. Bisnis di bidang agro. Bisnis ujungnya adalah duit, sehingga siapapun yang terlibat di bisnis ini harus peduli segala sesuatu yang berasal dari dan menjadi duit.
Nah, komentar saya kepada kepada teman-teman ketika bergurau soal tembak-menembak tadi adalah: Ketika Anda selalu saja menjadi sasaran tembak, bagaimana sikap Anda sendiri? Apa yang kemudian Anda lakukan? Adakah Anda mempunyai gambaran untuk melakukan sesuatu?

Karena:

  • Kalau Anda nrimo selalu menjadi sasaran tembak, maka Anda adalah orang yang paling konyol di lingkungan Anda.
  • Kalau Anda tidak merasa ditembak, maka Anda adalah sebuah kalkulator yang baterainya adalah gaji dan fasilitas.
  • Kalau Anda keluar ruangan dan kemudian maki-maki di luar, maka ketika Anda masuk kembali pasti Anda akan ditembak lebih gencar.
  • Kalau Anda adalah seorang yang berhasrat untuk merubah keadaan, maka berusahalah mengajarkan paradigma agribisnis kepada semua kolega Anda.

Pilihan terakhir ini tampaknya pilihan yang paling berat, karena akan ada moncong bedil lain yang akan mengarah kepada Anda, tetapi kalaupun ‘mati’ karenanya, maka Anda akan mati sebagai orang yang punya integritas, bukan hanya sebagai kalkulator yang dicopot baterainya. Apapun dan dimanapun Anda berada.
Lepas dari masalah batas usia yang nantinya akan mengantarkan seorang karyawan harus pensiun, di ujung obrolan saya cenderung merekomendasikan pilihan terakhir tadi kepada teman-teman, apalagi kalau pensiunnya masih nun jauuh di sana.
Yakinlah, kalau Anda tidak merubahnya maka akan ada yang merubahnya, dan sementara itu Anda tidak akan pernah punya kebanggaan apa-apa selain pengalaman sebagai sasaran tembak.

22 Februari 2008

Republik Gaul

Ada sebuah acara di Jtv (ini nama stasiun televisi di dekat rumah saya) yang saya suka. Pada acara yang bertajuk B-Cak tersebut ada segmen yang menampilkan pemahaman masyarakat terhadap istilah asing.
Di segmen tersebut ditayangkan reporter yang mewawancarai responden untuk mengkonfirmasikan arti kata-kata asing tertentu, misalnya konsisten. Pertama biasanya reporter menanyakan kepada respondennya: Pak, Bu, Mbak, Mas, sampeyan setuju tidak, kalau seorang bupati harus konsisten memenuhi janji yang telah disampaikan waktu kampanye dulu? Pasti jawabannya : O, setuju sekali itu.
Seorang anggota Dewan harus konsisten untuk mewakili suara rakyat, benar atau salah? Betuul, betul sekali.
Konsisten itu artinya apa? Emmmmmmmmmmmmm (panjang sekali sambil tolah-toleh dan senyam-senyum seperti Anda sekarang) mmmmmm.. ndak tau ya.
Backsound di studio suara orang ketawa ramai sehingga semua yang nonton tv juga ketawa. Ealah, tiwas dijawab tegas tapi nggak bisa menjelaskan artinya. Terkadang ada responden yang berkilah bahwa sebenarnya dia tahu maksudnya tapi sulit menyampaikan artinya. Mungkin seperti saya juga ya.
Itulah.
Ketika beberapa tahun yang lalu di Surabaya ada gerakan pembakuan Bahasa Indonesia untuk papan nama toko dan segala tulisan di ruang-ruang publik, saya pikir ini adalah gerakan serius (maaf, bersungguh-sungguh) yang akan berkelanjutan untuk menunjukkan jati diri keindonesiaan di kota ini. Gerakan berbekal cat dilakukan dengan memblok istilah-istilah asing terutama Inggris, untuk kemudian diganti dengan padanannya dalam bahasa Indonesia. Kalau tidak salah unsur-unsur yang turun ke lapangan dan jalanan ini sungguh tidak main-main, diantaranya ada beberapa ahli bahasa Indonesia dari IKIP Surabaya (sekarang Unesa) dan tentu saja didampingi Satuan Polisi Pamong Praja beserta Aparat Yang Berwajib lainnya.
Salah satu bekasnya masih tampak tempat usaha milik teman saya, bekas blok cat putih, papan nama yang semula bertulisan Authorized Sevice Centre diganti menjadi Sentra Servis Resmi. Memang istilah tadi lebih cantik menurut saya, meskipun mungkin bagi sebagian orang menjadi tidak gagah dan justru tampak katrok.
Ketika bahasa Inggris telah menjadi sebagian bahan ajar di sekolah dasar dan TK, maka tentunya diharapkan bahwa produknya nanti adalah kemampuan memahami dan menggunakan bahasa ini. Namun bukankah seharusnya tidak dengan mengganti atau justru mengurangi martabat bahasa Indonesia di kalangan bangsanya sendiri?
Saya tidak khawatir bahwa nantinya bahasa resmi kita akan berganti menjadi bahasa Inggris, selama tidak ada upaya mengamandemen Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 pada pasal dan ayat tentang bahasa resmi Negara.
Namun kenyataan yang ada menunjukkan bahwa pada saat ini banyak publikasi di hampir semua media (terutama televisi) yang dalam pengungkapan bahasanya sebagian sudah bermetamorfosa ke dalam bahasa yang populer, disukai dan dimengerti oleh publik, yakni bahasa Indonesia yang disantaikan alias bahasa gaul. Hal ini tampaknya perlu mendapat perhatian terutama bagi para pecinta, ahli dan guru bahasa Indonesia. Jangan-jangan pelajaran dan pembiasaan berbahasa secara benar dan baik akan menjadi sia-sia tergerus oleh kebiasaan yang mengalir secara deras di luar kelas. Termasuk melalui blog ini, maaf.
Ungkapan lama menyebutkan: Bahasa menunjukkan Bangsa. Jadi kalau kebiasaan berbahasa gaul ini berlanjut, mungkin nantinya bangsa ini akan menjadi bangsa Gaul yang berbahasa Gaul, ber-KTP dan berpaspor dengan status : Warga Negara Republik Gaul.
Siapa mau mencalonkan diri menjadi Presiden Republik Gaul ? Sudah seberapa gaulkah Anda?

Bung dan Pak

Apakah arus informasi yang konon berdampak pada globalisasi ini sudah demikian kurangajarnya ya?
Perubahan yang terjadi telah menjungkirbalikkan kelaziman, norma dan bahkan ritual yang selama ini terkadang dijaga dengan taruhan nyawa.
Ambil contoh. Karena teknologi informasi telah memungkinkan kita melihat dan mendengar apa yang terjadi di belahan dan sudut bumi yang lain, maka kemudian ada upacara pernikahan dilangsungkan melalui televideo dan teleconference. Bukan main!
Arus informasi telah melahirkan kemungkinan-kemungkinan yang seratus tahun lalu tidak terpikirkan. Perubahan yang bermanfaat untuk umat manusia telah terjadi, demikian pula sebaliknya dengan perubahan yang potensial membahayakan kehidupan secara keseluruhan.
Tapi yang ingin saya sampaikan adalah sekedar tentang Bung dan Pak, dari contoh kecil dari keseharian di lingkungan kita. Kalau Anda bertanya kepada anak-anak, remaja atau tetangga dan teman Anda : siapa presiden Indonesia? Hampir yakin bahwa jawabannya akan : SBY.
SBY! Begitu saja, singkat, tanpa embel-embel apapun. Simpel: SBY.

Kalau ini terjadi lima puluh tahun yang lalu, jawabannya adalah: Bung Karno. Dan kalau ini ditanyakan dua puluh tahun yang lalu jawabannya hampir pasti : Pak Harto.
Bandingkan, dalam waktu lima puluh tahun telah terjadi ‘penghilangan’ predikat. Bung atau Pak atau yang lain lagi sudah tidak menjadi sesuatu yang perlu dipedulikan.
Tampaknya ini diadaptasi dari belahan benua sana, di mana menyebut presidennya cukup: FDR, JFK dan lainnya lagi. Padahal di sebelah lain mereka masih menyebut tokoh dengan embel-embel tertentu, contohnya: Lady Di.
Di sini sekarang, menyebut nama seseorang terkadang dilakukan dengan inisial nama, jabatan bahkan nomor mobil atau nomor HP! Wah, macam di dunia James Bond saja.
Kita sering mendengar orang menyebut RI-1, tentu maksudnya Presiden. GM, biasanya General Manager. KD artinya bagi penggemar musik Indonesia adalah Krisdayanti. Tapi kalau 1603? Pasti Anda bingung, padahal di suatu tempat, kode itu merujuk kepada nomor HP seorang pejabat Perusahaan. Tentunya bukan karena kurang ajar atau yang sebangsanya, tapi semata-mata agar sebutan terhadap seseorang segera dikenali dalam suatu komunitas yang spesifik, sehingga komentar dan informasi yang bersifat khusus tidak begitu saja mudah dicerna oleh orang yang tidak kompeten.
Lalu perlukah sebutan SBY dimodifikasi menjadi Bung SBY, Pak SBY, Gus SBY atau yang lain?
Biar saja masyarakat (Anda di dalamnya, jangan lupa) yang akan memprosesnya. Apapun sebutan itu, tetap saja SBY adalah Presiden saat ini, Presiden Republik Indonesia di era globalisasi.
Sementara Sby yang lain berarti juga Surabaya, kota di mana saya tinggal saat ini, dan pasti Sby yang ini tidak akan cocok kalau ditambah dengan Bung, Pak atau Gus sekalipun.

21 Februari 2008

Mas Bing

Hari ini telah wafat salah satu mentor kami, mas Bing.
Berita aku terima dari mas Bambang Handoko pagi-pagi tadi, setelah beberapa hari yang lalu mengabarkan bahwa mas Bing dirawat di RS Pantirapih Jogja karena stroke.
Mas Bing bagi kami adalah seorang mentor luar-biasa, yang dengan sabar telah mengasuh kami, Pramuka-pramuka kecil dan belia.
Keadaan negara yang tidak begitu baik ketika itu sebenarnya agak riskan untuk sebuah kelompok yang ‘tidak ke mana-mana’ untuk tetap melakukan aktivitas. Sentimen SARA yang demikian kuatnya merebak mungkin cukup mencemaskan bagi sebagian orang-tua kami, apalagi mas Bing adalah seorang Tionghwa. Dan satu-satunya Tionghwa yang tetap teguh mengasuh para Pramuka yang jumlahnya ketika itu tidak lebih dari lima-enampuluh anak.
Kami yang masih senang-senangnya bermain, bernyanyi, berbaris, begitu saja melewati masa-masa ini dengan enjoy. Tampil di setiap event lomba sebagai wakil Gugusdepan (yang ketika itu jumlahnya dapat dihitung dengan jari), sebagai wakil kawedanan maupun sebagai wakil dari kabupaten.
Mas Bing selalu mengajarkan agar kami cinta alam dan tanah-air, bersikap kesatria, memiliki rasa solidaritas tinggi, menghargai sesama, percaya diri dan arif menyikapi keadaan. Pembekalan yang demikian mendasar untuk menjalani masa depan bagi adik-adik asuhnya. Hubungan emosional di antara kami dengan beliau demikian dekatnya, dan hubungan beliau dengan para orang-tua kami demikian baiknya, terbukti dengan kepercayaan untuk menyerahkan kami tetap dalam asuhannya.
Gugusdepan di mana kami berlatih ini dinamai Pattimura. Sejak kurang-lebih tahun 1962. Sampai dengan sekarang.
Sentuhan tangan dan sentuhan hati mas Bing demikian dalamnya berkesan bagi kami. Banyak pelajaran beliau yang ketika kami menjalani kehidupan ternyata sangat berguna.
Selayaknya ada bintang atau selempang yang dapat diberikan kepada beliau. Namun aku yakin beliau tidak pernah berpikir tentang itu, karena beliau di mataku adalah sosok yang demikian bersahajanya, sangat bersahaja sehingga rasanya beliau tidak pernah peduli bahwa yang telah dilakukannya adalah suatu karya besar.
Hari ini beliau berpulang. Selamat jalan mas Bing, hati kami mengiringi keberangkatanmu dari seluruh sudut di mana kami berada.
Selamat jalan Panduku. Adik-adikmu di barung Hitam, barung Merah, barung Hijau, barung Biru, regu Jago, regu Harimau, regu Kuda, semua bangga padamu.

20 Februari 2008

Ziekenhuis

Nuwun sewu sebelumnya, ini kisah Ziekenhuis van de Suiker Matschappij Mbejingklak yang terletak Regentschap Awang-uwung di zaman Jo-mbejujo.
Konon para Petinggi Matschappij berkali-kali murka ketika Tuan Dokter Bas-nya Ziekenhuis selalu mengatakan bahwa Income Statementnya dilaporkan selalu Loss dari tahun ke tahun. Rugiiii terus. Ya memang begitu lha wong yang berobat dan opname adalah para pegawai Matschappij sendiri kok. Dan lagian Ziekenhuis kan memang bukan Profit Centre, bagaimana bisa untung kalau tarip perawatan untuk para pegawai sudah ditetapkan oleh Otoritas Matschappij, sedang harga obat-obatan yang harus dibeli dan disiapkan cukup mahal dan selalu naik dari waktu ke waktu. Kenaikan tarip lebih lambat dari kenaikan harga obat dan bahan serta peralatan medik penunjangnya.
Suatu kali para pemimpin Ziekenhuis berimprovisasi menaikkan pendapatan Ziekenhuis dengan merawat-inapkan para pegawai Matschappij yang sakit gatel-gatel atau timbilen. Nah, hasil dari pendapatan rawat-inap ini menunjukkan adanya kenaikan pendapatan yang pada suatu saat nanti pasti akan menghasilkan keuntungan bagi Ziekenhuis kalau program ini dilanjutkan secara konsisten. Plus dapat memperjuangkan kenaikan tarip perawatan.
Tetapi yang terjadi, ketika biaya operasional Matschappij untuk perawatan kesehatan jadi melembung, kembali Para Groote Bas Matschappij murka, super murka malah, karena tingginya biaya operasional hampir menyentuh 25% pendapatan Matschappij. Apalagi ketahuan bahwa pegawai yang timbilen dirawat-inapkan seminggu, pegawai yang gatel-gatel nginap lima hari, wah, ini kan lalu pegawai magabut namanya, maksudnya makan gaji buta, begitu kata para Bas Matschappij.
Bas Ziekenhuis yang titelnya ada tambahan M Arts di belakang namanya (sekolah dokternya di Groningen, Holland) kepalanya pusing tujuh keliling, untung saja tidak jatuh sakit karena tingkat pusingnya baru tujuh keliling. Coba delapan atau sembilan pasti mak-bECK, jatuh kelenger dia.
Runding punya runding, diajukanlah sebuah konsep baru, Ziekenhuis boleh menerima pasien umum. Yang dimaksud adalah pasien partikelir, sokur-sokur yang berkantong tebel, kan daripada mereka harus ke Singgapur atau Kwangchow, mending bisa dirawat di sini saja, ongkosnya tidak begitu mahal dibanding di sana tetapi bagi Ziekenhuis wuaaa ya lumayan sekali bisa meningkatkan pendapatan tanpa mengganggu anggaran Matschappij.
Ide diterima dengan catatan, pasien partikelir tersebut ( maksudnya yang bukan Pegawai Matschappij ) tidak boleh mengalahkan alokasi untuk pasien yang pegawai Matschappij. OK. Jret-jret-jret, komitmen ditandatangani dan misi mulai dilaksanakan.
Eeee ternyata kurang peminat, karena di masyarakat terlanjur ada kesan bahwa Ziekenhuis tersebut khusus digunakan untuk merawat pegawai Matschappij yang sakit. Maka diadakanlah kampanye kecil-kecilan, menjajakan informasi ke tetangga kanan-kiri bahwa sejak hari ini Ziekenhuis bisa menerima para pegawai Maschappij lain, Saudagar dan Rakyat Umum. Kampanyenya tidak berani besar-besaran, karena kawatir kalau masyarakat umum berbondong-bondong nanti klinik dan ruang rawat inapnya nggak cukup. Untung saja kok bukan khawatir kalau paramedik dan dokternya capek.
Lha tetapi karena masyarakat sudah terinformasi dan karena mereka adalah masyarakat yang sudah sadar kesehatan, maka mulailah datang pasien partikelir berbondong-bondong, dari yang cuma pengen liat, sakit perut sampai sakit lainnya. Kesibukan di Ziekenhuis meningkat.
Namun rupanya cobaan masih merundung para Dokter dan pegawai Ziekenhuis. Benar. Kenaikan jumlah pasien berdampak tenaga tidak cukup, sarana dan prasarana perlu ditambah, dan kompetensi perlu ditingkatkan. Hal lain yang tadinya berusaha untuk diredam-redam dari pikiran pemimpin Ziekenhuis akhirnya menjadi buah si malakama.
Appeal lagi ke para Petinggi Matschappij. Minta anggaran untuk renovasi, relokasi dan pembangunan fasilitas-fasilitas baru. Putusannya : sementara swadana dulu, nanti dipikirkan pada periode anggaran tahun berikut.
Wah, kalau begini pola pikir Pemimpin Ziekenhuis harus dirubah ke pola pikir dagang dong. Maka, Ziekenhuis van de Suiker Matschappij Mbejingklak ini berusaha dengan segala daya upaya dan keterbatasannya untuk dapat membuktikan dirinya menjadi Ziekenhuis yang baru dalam segalanya. Tetapi ya kikuk juga, karena bertahun-tahun sudah biasa hanya berpikir ngopeni penyakit dan merawat pasien saja, tiba-tiba harus berpikir mencari sumber-sumber pendanaan baru untuk mengembangkan diri agar mampu bangun dari keterpurukan dan cap selalu rugi.
Sementara itu, seorang Saudagar kaya dari kejauhan menawarkan kerjasama dengan setumpuk modal dan membuka peluang kerjasama untuk mendirikan unit jasa pelayanan kesehatan modern alias Ziekenhuis Partikelir yang bagus sebagus taripnya. Dengan persyaratan ini dan itu. Terpaksa Ziekenhuis Matschappij tidak bisa menyambut tawaran tadi karena persyaratan yang diajukan tidak nyambung sedikitpun dengan visi dan misi Ziekenhuis yang sudah ada.
Maka, bagaikan hadirnya Bandung Bandawasa untuk mendirikan Candi Prambanan, mak nyhhuuut, sekejap kemudian berdirilah sebuah Ziekenhuis Partikelir yang megah, nyaman dan bergengsi di kota.
Sebagian masyarakat berobat ke sana, sebagian dokter yang tadinya membantu Ziekenhuis van de Suiker Matschappij Mbejingklak juga beralih membantu bekerja di Ziekenhuis Partikelir yang baru ini, bahkan para pegawai Matschappij pun kalau boleh memilih akan merawat-inapkan dirinya bila sakit ke sana.
Konon, akhirnya Pemimpin Ziekenhuis mempekerjaken seorang konsultan (dikongkon usul, dibayar kontan) sepuh, untuk mencari solusi supaya ini Ziekenhuis tetep bisa eksis. Dua bulan pertama kerja Tuan konsultan cuma berjalan keliling ruangan bangsal dapur gudang garasi halaman dan perumahan pegawai, untuk mematiken lampu dan air leding yang menyala dan ngocor tak berguna, sekaligus kasih groeten kepada siapa saja yang ditemui terutama para pegawai dan paramedik yang dalem jam kerja lontang-lantung, ngantuk dan bercanda serta main sekak.
Eh, terkaget-kaget Tuan Dokter karena biaya operasionalnya bisa turun buanyak sekali, dari biaya air, listrik dan lembur pegawai.
Enaknya kisah ini berhenti sampai di sini saja. Kalau diterusken toh endingnya juga sudah ketahuan.

Nuwun sewu, kisah ini sekedar karangan saja.

19 Februari 2008

Abdul Butun

Semula saya tidak tahu arti dari tulisan tadi, tetapi setelah nguping sana-sini dan ngintip sini-sana ketemu maksudnya yang kurang lebih: abdul=hamba atau kawulo, butun= lambung atau wadhuk tapi bukan lambung kapal atau wadhuk Gajah Mungkur, yang ini adalah lambung atau wadhuknya manusia.Jadi Abdul Butun sama dengan Hamba Perut atau Ngawulo Wadhuk.
Kocak juga tulisan di kaca belakang angkot di kota saya ini! Dalam hati saya berkata nyindir ni yee !!!!

Saya pernah bekerja di bagian yang nama singkatnya PPAB. Bagian ini banyak ibu-ibunya dibanding dengan bagian lain. Nah Anda tahu sendiri, kerja dengan para ibu ini banyak enaknya lho, paling tidak: ada saja camilan yang tersedia. Dan setiap saat, bukan lagi setiap hari. Cemilan tersedia dengan kategori : Berat dan Ringan. Yang berat: Nasi Ayam Pedes, Nasi Soto Ayam, Nasi Ikan Bakar, Nasi Campur Tambakb...., dan nasi-nasi yang lain, paling tidak nasi dan sayur dari kantin yang didampingi oleh sambel 25 biji lombok rawit. Huaaaaahhhsssssss.
Yang golongan cemilan ringan: Tahu goreng, tempe goreng, bakpia, pisang rebus, kue-kue lebaran dan natalan yang tidak laku di rumah karena bosen.
Anda pernah lihat kambing atau sapi memamah-biak? Nah, perhatikan gerak mulutnya. Itulah teman-teman saya yang baik hati. Mulutnya bergantian saja mengunyah makanan. Kadang-kadang kalau lagi sepi dari makanan lalu nyeletuk: kok kaga ada cemilan ya?, adaaa saja yang kemudian jatuh kasihan lalu membuka dompet dan : diiiiikkk, tolong beli ABCDEFG, ada yang kelaparan nih!
Dari itu maka kemudian Bagian PPAB ditahbiskan dengan kepanjangan baru: Pasukan Abdul Butun! P yang satunya dianggap nggak ada. Rupanya butunnya bukan lagi berisi cuma cacing, tapi sudah kesusupan wong mbambung, yang tiga hari nggak makan nasi. Gelandangan kelaparan yang menyusup di dalam lambung.

Pernah suatu saat terjadi huru-hara di kantor oleh Pasukan ini. Ketika isengnya sudah tidak ketulungan lagi karena wong mbambung yang ada di butun sudah sangat kurang ajar, dilakukan acara masak ketika jam istirahat. Bikin martabak mie, yang baunya menelusup menyusuri lorong-lorong bangunan lalu mengusik cacing yang ada di lambung teman-teman lain. Pada kali yang lain, terciumlah aroma yang lebih dahsyat mengguncang lingkungan kerja: steik!

Dampaknya.
Pelan tapi pasti BMI naik. Body Mass-Index. Terutama para ibu yang sangat sensitif terhadap perilaku ngemil. Ngemil 50 gram naiknya satu ons.
Pakaian kerja mulai terasa sesak di badan. Ndut-pun mulai mencemaskan hati karena berpotensi mengganggu kemolekan.
Lalu?
Sampai sekarang tradisi masih berlanjut. Seakan mulai berubah jadi ritual, terutama kalau lagi ada yang berulang tahun, karena di ruangan kerja dipasang kalender dengan angka penanggalan yang buesar-buesar, dibongkar dan ditempel di satu papan besar untuk setahun penuh. Dan pada setiap tanggal kelahiran seorang rekan, maka tanggal tersebut distabilo.
Katanya sih, biar kita tidak lupa memberi ucapan selamat ulang tahun, tetapi ada maksud yang lain, itulah agenda pasukan Ngawulo Wadhuk.

Menjadi Ndhut adalah soal masing-masing, tapi yang jelas melalui acara ngemil dan memamah-biak bersama ini diusahakan terjalinnya kerjasama yang baik melalui kedekatan hubungan di antara anggota tim.
Bikin kangen yang sudah pensiun lho!

Teknologi Informasi: Nikmat dan Sengsara

Halaman parkir sudah sepi, hari sudah sangat larut senja, lampu sorot sudah dinyalakan oleh petugas jaga malam. Dua mobil dan beberapa motor masih terparkir di sana. Ruang sayap kiri bangunan kantor yang bergaya kolonial masih menyala terang lampunya. Masih ada yang bekerja.
Bukan sekali dua ini saja, tetapi hampir selalu begitu. Lima-enam orang bekerja bahu-membahu berkejaran dengan waktu dan volume yang seakan tak pernah habis.
Didukung oleh jaringan intranet, data dikembangkan menjadi informasi yang rumit berlapis saling berkait. Megabyte demi megabyte konfigurasi data harus diurai dan dirangkai kembali. Terkadang harus disimpulkan hanya dalam setengah lembar kertas.
Belasan permintaan informasi yang tidak terjadwal meluncur bagai ikan piranha yang siap memangsa, tak dapat ditahan dari segala jurusan. Permintaan yang sering bersisian, bersilangan dan bahkan acap bertabrakan.
Jaman ini adalah jaman informasi yang bersicepat. Mesin-mesin informasi dalam bentuk komputer, printer, faksimili, mesin fotokopi, scanner sudah diringkas menjadi barang-barang barang simpel yang tinggal tekan tombol maka selesailah sudah semua yang diperlukan. Jaringan virtual berlilitan dalam melalui kabel dan gelombang-gelombang yang sudah sangat sulit dijelaskan. Informasi dapat diakses dari segala tempat dan sembarang waktu.
Di sisi yang lain, pada sebagian eksekutif pemahaman masih terbatas. Kenyamanan dalam mendapatkan pelayanan informasi (sekali lagi: pelayanan) belum disertai pemahaman bagaimana proses dilakukan oleh para staf, sehingga permintaan terkadang menjadi tidak masuk akal dan aneh-aneh.
Seperti dalam sebuah kalkulasi yang cukup tentang harga pokok produksi:
‘Tolong bikinkan hitungan kalau harga pokoknya turun 5%.’
Asumsi atau variabel yang digunakan atau dirubah yang mana? Tidak jelas, pokoknya turun 5%. Maka ketika kalkulasi disampaikan dan variabel-variabel perubahnya ditunjukkan jadi terkejut dan dikatakan: yang itu jangan dirubah!
Demikian pula ketika sebuah bahan presentasi di set. Rangkaian belasan atau puluhan slide yang sudah disusun sesuai skenario ternyata minta ditambah dengan aksesori atau klik-klik yang lain, dengan maksud supaya nanti presentasinya menjadi enak. Perubahan itu minta dilakukan segera, karena presentasi tinggal lima belas menit lagi! Ya mana mungkin.
Ada lagi permintaan data yang harus dikirimkan ke fihak eksternal per e-mail. Ordernya: seperti yang ada di halaman sekian buku laporan X.
Mungkin dalam pikirannya mengirim data melalui e-mail tidak jauh berbeda dengan mengirim per faksimili. Tinggal ambil, selipkan ke mesin faks, selesai. Padahal belum tentu dan tidak mesti begitu.
Inilah ilustrasi tentang beberapa kejadian yang berkaitan dengan pengelolaan data dan teknologi informasi.
Kesimpulannya:
Diperlukan pemahaman dasar yang setara antara para manajer dan stafnya. Atau lebih jelasnya: untuk menjadi manajer, mutlak harus menguasai ilmu teknologi informasi. Tidak perlu sampai kepada hal teknis yang mendalam. Cukup dasar-dasarnya, tetapi dasar yang mendalam.
Karena kalau hal ini tidak terpenuhi, akan terlalu banyak energi yang terbuang untuk berdebat, berargumentasi, menjelaskan, menggathukkan antara yang disajikan dengan yang dikehendaki. Atau terjadi pengulangan-pengulangan yang tidak perlu dan akan membosankan.
Lebih ekstrim lagi: akan terjadi konflik sesaat karena tidak nyambungnya pemahaman.
Belum lagi kacaunya ritme kerja dan ritme hidup para staf, karena harus bekerja over-time dan over-place (!) untuk menyelesaikan pekerjaan bagai benang kusut. Untung-untung bahwa mereka tidak frustasi atau terganggu pikirannya.
Seharusnya dapat dikelola secara lebih baik dengan juga berupaya meningkatkan pemahaman, kan? Semoga difahami.

Begawan

Riwayat hidupnya tidak istimewa sama sekali, sama seperti hidupnya yang sangat tidak istimewa. Penjual air minum di perkampungan urban. Dan itu sudah dilakoninya entah berapa lama, aku tidak tega untuk bertanya kepadanya. Tetapi raut muka itu. Sungguh sangat luar-biasa. Tenang, luruh, damai. Pandangan matanya sangat teduh. Dan menjadi lebih damai ketika sebentar-sebentar sesungging senyum menghias setiap kata-katanya yang disampaikan dengan sangat bersahaja.

Keriput di wajahnya seolah sebuah reportase perjalanan hidup yang sulit, tetapi telah dijalaninya dengan kemenangan mutlak: diterimanya dengan penuh rasa syukur tak terhingga kepada Tuhan Sang Pencipta. Yang telah membukakan secercah rahasia tentang peran yang dibagikanNya kepada dirinya, sebagai penjual air, dengan gerobak dorong dan sepuluh kaleng air di atasnya. Yang diantarnya ke rumah-rumah pelanggannya setiap hari. Pelanggan yang kadang-kadang bahkan tak sempat bertegur-sapa meskipun bertatapan mata. Ada pula yang berbicara dari balik dapur tanpa bertatap mata, menyuruhnya menutup pintu saat nanti dia pergi.

Senyumnya yang membuat hati yang gelisah menjadi terkesima, karena seolah berkata kepada siapa saja: Jangan cemas. Segala sesuatu telah diaturNya dengan sangat sempurna. Senyum seorang bapak sepuh, seorang kakek bagi siapa saja.

Ketika datang ke rumahku pada suatu malam, berkopiah, berbaju panjang dan berkain sarung plekat sederhana, kami mengobrol dengan dua gelas teh manis hangat di atas meja. Dia cerita tentang anaknya, pada siapa dia tinggal di masa tuanya bersama dengan beberapa cucu. Tentang rumah petak di mana terkadang sedikit hujan telah membuat air menggenangi lantainya.

Lagi-lagi senyum di muka keriputnya seolah-olah mengundang rinduku kepada sosok yang selama ini membayang-bayangi ingatanku sesekali.

‘Hidup ini adalah berkah yang luar-biasa, mas’

Dia memanggilku dengan mas, sebuah kesantunan yang malah melambungkan penghargaanku kepadanya.

‘Sudah diatur sedemikian sempurnanya oleh Gusti Alloh, jadi sudah semestinya saya bersyukur dan tidak perlu mencemaskannya.’

‘Yang saya cemaskan itu kalau suatu saat pelanggan saya kecewa karena saya mengirim air tidak seperti yang mereka harapkan. Airnya kotor, misalnya, atau saya mengirim terlambat dari biasanya. Saya cemas kalau mereka kecewa kepada hasil pekerjaan saya.’

‘Bapak ini bukan orang Surabaya, ya, kok logatnya Jowo banget?’

Sebenarnya bukan logat saja, segala sesuatu pada dirinya terasa seperti sangat saya kenali.

‘Saya ini dari Godean, Jogja. Lha panjenengan tampaknya juga bukan orang Suroboyo asli lho mas’

‘Wah, mungkin juga sama seperti njenengan pak, akhirnya nyangkutnya di sini. Lha bapak kalau dari Godean jangan-jangan kenal sama pak Presiden?’

Senyumnya mengembang. Bukan senyum bangga, bukan senyum kecut, bukan senyum sekedar senang.

Senyum arif.

‘Pak Presiden itu dulu kecilnya teman bermain dan teman angon kebo, mas’

Malam itu aku belajar memahami sebuah pelajaran baru, bagaimana menyikapi keadaan dengan arif. Malam itu aku belajar kepada seorang begawan, seorang Mahaguru Kehidupan, yang datang dan menyampaikan kata-kata dari dunia antah-berantah melalui senyumnya. Yang dengan senyumnya itu tersimpul kata-kata :

Jangan cemaskan hidupmu tetapi perhatikan dan lakukan dengan baik pekerjaanmu.

Langkah pulangnya satu-satu, di gang kampungku. Sosoknya yang sudah sedikit bongkok hilang di belokan. Kata-katanya beberapa waktu tadi menyiram hatiku, merendamnya dan larut ke sanubari. Senyum yang menghiasi keriput di wajahnya, seperti kata-kata yang tak pernah berhenti berkata-kata dalam diriku, senyum seorang begawan.

16 Februari 2008

Rapat Raksasa

Tahun 57-60an.

Saya masih ingat betul, ketika itu koran masih menjadi barang mewah, demikian pula radio. Sehingga di tempat-tempat tertentu, biasanya di dekat kantor Dinas Penerangan, pada sebuah papan ditempel koran terakhir, itupun kadang-kadang bertanggal dua-tiga hari lalu. Masyarakat merubung dan membaca sambil berdiri berkerumun. Terkadang pagi hari atau sore hari sesudah mandi. Tidak pernah malam hari, karena di papan itu tidak ada lampu penerangan yang cukup terang untuk orang dapat membaca dengan jelas. Semua lampu listrik masih berbentuk bohlam dengan spiral kawat wolfram (demikian guru saya menjelaskan dalam pelajaran ilmu alam di kelas lima). Pada umumnya bohlam yang dipasang adalah lampu dengan kekuatan 10-15 watt untuk jalanan umum. 25 watt adalah bohlam sangat terang ketika itu, yang mungkin hanya dipasang dikantor-kantor pak Bupati, pak Wedana atau kantor Polisi dan Penjara saja. Karenanya di tempat koran ditempel malam hari bisa dipastikan gelap dan mungkin malah gulita.

Radio, dipasang oleh pegawai kantor Penerangan pada sebuah kotak seperti sangkar burung. Terkunci, dan disetel (dinyalakan/dibunyikan) pada jam-jam tertentu saja. Biasanya antara jam empat (sore!) sampai selesai dibacakan siaran berita RRI jam tujuh malam. Masyarakat (lagi-lagi) merubung di bawah kotak. Ada yang duduk, ada yang berdiri. Stasiun radio siaran hanya ada satu: Radio Republik Indonesia. Pusat di Jakarta, yang daerah biasanya ada di kota-kota provinsi. Itupun tidak semua, dan kalaupun ada siarannya belum tentu dapat ditangkap dengan baik di daerah lain. Selesai berita, radio dimatikan, kotak dikunci. Pulang semua.

Yang seru adalah kalau lagi ada siaran pidato Presiden, Bung Karno. Ini adalah event sangat istimewa. Sehingga pak Penerangan akan menyambung radio tadi dengan corong, speaker model trompet. Audience bisa sangat banyak, kantor-kantor kosong karena pegawainya diberi kesempatan untuk menyimak pidato Bung Karno di rapat raksasa. Maksudnya adalah rapat besar, akbar, di suatu tempat tertentu, biasanya dilakukan di stadion atau tanah lapang. Bisa di Jakarta, bisa di Jogja, di Makasar atau di mana saja. Sekolah dipulangkan muridnya, agar guru-guru dapat mendengarkan pidato tersebut entah di radio mana dan kepunyaan siapa pula.

Ketika itu, masyarakat akan sangat serius mengikuti liputan yang disampaikan oleh reporter RRI Jakarta, pak Darmosugondo, menyampaikan reportase rapat raksasa. Suara sorak sorai gembira di tempat rapat sana terdengar dari corong radio, lalu : Saudara-saudara, marilah sekarang kita mengikuti pidato Paduka Yang Mulia Presiden .......

Hening, yang di sana dan yang di sekitar radio sini. Bung Karno mulai membuka pidatonya. Dengan suara bariton yang mantap:

“ Saudara-saudara sebangsa dan setanah air yang saya cintai, seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke. MERDEKA!” Di sekitar radio masyarakat seperti tersihir, menyambut salam nasional Presiden dengan pekik MERDEKA!! Tak kalah gempitanya sambil mengepalkan tinju ke udara, seolah-olah berada di antara massa di depan Presiden pula.

Lalu kata demi kata Bung Karno didengarkan dengan seksama. Bisa sejam, atau malah sampai dua jam, diselingi dengan berkali-kali gemuruh tepuk-tangan membahana di puncak-puncak orasi beliau.

Biasanya pidato ditutup dengan seruan : Sekali Merdeka, Tetap MERDEKA!

Pulang dari mendengarkan pidato Presiden, ada yang saling berbicara antar-mereka, berjalan sambil berdiskusi serius. Sepedapun dituntun pulang bukan karena bannya kempes, tetapi karena dua-tiga teman bicaranya berjalan kaki tidak membawa sepeda (sepeda pun termasuk barang langka lho!).

Seminggu-dua minggu isi pidato itu masih menjadi wacana di hampir semua lingkungan masyarakat.

Berita yang lain seolah-olah tenggelam, atau dianggap tidak menarik untuk dibicarakan dan dibahas. Semua fokus kepada amanat Bung Karno (pidato, maksudnya).

Itulah sekilas kenangan masa kecil, tentang koran, radio dan Bung Karno.

Patriotik dan romantik, karena sekarang saya merasa tak pernah ada suasana yang bernuansa satunya rasa kebangsaan segempita itu, sesemangat itu, kecuali menonton siaran kompetisi sepakbola (yang tidak ada nuansa patriotismenya).

15 Februari 2008

Sanepa

Kata ini sering ditulis sebagai sanepo. Ini bahasa Jawa yang terjemahannya kurang lebih ‘ibarat’ atau orang-orang tua sering menyebut sebagai perlambang.

Di derah Kutoarjo ada desa bernama Senepo. Sebelah mana, sebagai orang yang ngakunya punya leluhur dari kawasan sekitar Kutoarjo (Botodaleman/Botorejo), memang kebangeten kalau sampai nggak ngerti yang namanya Senepo. Tapi mau bagaimana lagi, memang begitulah adanya saya.

Sanepa yang ini (ibarat), adalah sumber dari ketidakjelasan dari piwulang Jawa (yang sebenarnya bagian dari sejarah) bagi generasi yang sudah tinggal setengah Jawa. Sulit difahami, berputar-putar, terlalu banyak kembangannya, nggak jelas dan akhirnya mudah sekali dipelintir-pelintir.

Bayangkan, Ki Joko Tingkir ketika berada di Kedung .... (lupa), rakitnya diganggu oleh Raja Buaya yang luar biasa besarnya, sehingga terjadi perkelahaian. Dan ketika Raja Buaya dapat dikalahkan, maka kemudian rakit tersebut dihela oleh belasan pasukan buaya anak buah Sang Raja Buaya. Dalam tembang lama disebutkan : .... sang gethek sinangga bajul ... dan rakitpun kemudian melaju dihela oleh para buaya.

Ketika datang ke istana Demak, Ki Joko Tingkir mengalahkan seekor kerbau yang mengamuk karena lubang telinganya ditutup dengan tanah, kerbau itupun akhirnya binasa setelah pecah kepalanya dihantam oleh Ki Joko Tingkir.

Kisah yang lain, Ki Ageng Sela dengan kesaktiannya telah menangkap petir dengan tangan telanjang, atau kisah Ki Joko Tarub yang akhirnya menikahi bidadari karena selendangnya telah disembunyikan sehingga sang Bidadari tak dapat terbang kembali ke kahyangan. Demikian pula ketika Bandung Bandawasa membuat Candi Sewu hanya dalam waktu semalam.

Demikian pula beberapa kisah yang lain yang pada umumnya dituturkan dalam tembang dan kekawi kuno.

Mengapa fragmen-fragmen sejarah yang sebenarnya adalah sebuah fakta disampaikan oleh para pujangga dengan tuturan serba sanepa?

Konon kata para sepuh, sanepa-sanepa tersebut memang diperlukan untuk memperhalus fakta-fakta miring dan bengkok, yang apabila disampaikan dengan apa adanya dapat merusak stabilitas keamanan dan menghambat pembangunan watak luhur bangsa, mencemarkan martabat dan nama baik para tokoh yang adalah pujaan para kawula, sehingga oleh para pujangga yang arif kisah-kisah sejarah digubah ke dalam kisah penuh sanepa.

Kajian-kajian khusus di antara para pujangga sendiri sebenarnya telah menjelaskan maksud dan keadaan atau fakta yang nyata. Tetapi kajian tersebut tidak pernah disampaikan kepada publik secara terbuka. Karena alasan stabilitas keamanan dan citra baik para tokoh.

Lalu bagaimana sejarah kemudian dipelajari untuk dijadikan sebagai sebuah panduan bagi masa-masa kemudian?

Barangkali, generasi ketika itu cukup percaya saja bahwa para tokoh tersebut adalah orang yang memang ‘punjul ing apapak, mrojol ing akerep’, orang-orang yang memiliki ‘kesaktian’ luar biasa sehingga memang selayaknya menjadi tokoh pembawa perubahan ke arah kebaikan bagi rakyat.

Jaman sudah berganti. Generasi kini sudah menjadi lebih kritis dan bahkan sangat kritis, sehingga jangankan mendengarkan tuturan yang tidak masuk akal, yang sudah sangat jelaspun masih akan dieksplor lebih dalam dengan pertanyaan 4W+1H.

Cuma obyeknya kini kebanyakan kisah para selebriti, melalui berbagai investigasi yang sangat mendalam kalau perlu sampai ke sudut-sudut rumah. Investigasi yang dilakukan secara berjamaah oleh semua media, mulai dari koran, tabloid, televisi radio, internet dan entah apalagi.

Dan tentang sejarah, sementara ikut sajalah dengan kurikulum sekolah. Itupun sudah cukup dari memadai, terbukti bahwa menghafal tahun-tahun kejadian di pelajaran sejarah nasional sudah cukup bikin posing kepala. Anda setuju?

Saya sangat tidak setuju.

12 Februari 2008

Ditemukan, Lapangan Migas Raksasa di Aceh

BPPT: Lebih Besar dari Milik Arab Saudi

Sebagai perbandingan untuk menunjukkan besarnya kandungan migas di Aceh tersebut, Yusuf menyebutkan, saat ini cadangan terbukti di Arab Saudi mencapai 264,21 miliar barel atau hanya 80 persen dari kandungan migas di Aceh.

Andang menambahkan, yang saat ini harus segera dilakukan BPPT dan pemerintah adalah koordinasi. Menurut dia, meskipun lapangan migas tersebut paling cepat baru dapat dikembangkan dalam waktu tujuh tahun ke depan, pemerintah harus bergerak cepat. "Jangan sampai potensi ini salah urus, jangan sampai tersebarnya informasi potensi tersebut justru dimanfaatkan pihak-pihak yang punya modal besar dan teknologi, yakni perusahaan asing. Intinya, pemerintah harus berusaha agar potensi ini bisa dimanfaatkan secara maksimal untuk kepentingan bangsa...... (Andang Bachtiar ahli geologi perminyakan)

BPPT juga telah menyiapkan satu kapal riset yang dilengkapi alat khusus seismik untuk meneliti lebih lanjut dan telah meminta kepada pemerintah untuk mengamankan daerah perairan barat Aceh tersebut.

(Dikutip dari harian Jawa Pos, Selasa, 12 Feb 2008)

Catatan:

· Demikianlah Allah menjalankan MahasistemNya, bencana dan berkah yang ada di baliknya semata-mata untuk menguji iman manusia.

· Hartakarun yang terdeteksi tersebut adalah milik bangsa yang harus dijaga dan dikelola sebaik-baiknya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat,

· Berkah ini bukan untuk dipertengkarkan apalagi untuk diperebutkan. Pertengkaran dan perkelahian hanya akan menambah luka bangsa, menjauhkan persaudaraan dan merugikan kehidupan berbangsa.

· Isi rumah Indonesia selayaknya diurus dengan baik oleh orang Indonesia, para tetangga boleh membantu, tetapi bukan untuk mengatur.

Semoga bangsa Indonesia lebih dewasa, segenap pemimpinnya lebih arif bijaksana.

11 Februari 2008

Pasar Demangan

Seorang tukang pikul menabraknya di seberang pasar. Keranjang pikulan dengan seonggok jahe dan kunyit parut di masing-masing sisinya, menerpa sisi pahanya. Tubuhnya hampir limbung, dia tersenyum. Map plastik masih dikepitnya di ketiak kanan, di dalamnya ada selembar sertifikat, sebuah dasi dan keplek tanda peserta kursus yang selama hampir dua bulan ini selalu terkalung di lehernya. Paha kirinya masih terasa agak nyeri, dia tersenyum tipis. Benar juga, katanya dalam hati. Di sini aku bukan siapa-siapa. Bahkan tukang pikul tadi pun tak juga meminta maaf karena telah menabraknya.

Belum lima belas menit yang lalu, Pimpinan kursus menutup secara resmi acara yang telah berlangsung maraton enam hari seminggu sejak dua bulan lalu. Nama demi nama disebutkan sebagai peserta sepuluh terbaik. Terbaik, artinya memenuhi kriteria tertentu dengan prestasi yang dinilai cukup tinggi. Namanya disebut yang terakhir. Dia yang terbaik.

Sejak awal, kedatangannya ke tempat ini disertai dengan hati gembira. Meskipun juga ada rasa sedih karena harus berpisah dengan keluarga. Kegembiraannya adalah bahwa pada akhirnya dia dapat menikmati sebuah event bergengsi, di mana sebagai seorang karyawan dirinya termasuk karyawan yang dianggap layak untuk ditampilkan dan dipertandingkan.

Namun ada pula rasa penasaran dalam hatinya. Benarkah event ini menakutkan dan penuh tekanan, seperti yang disampaikan oleh para senior-seniornya dahulu? Saat ini dia akan mengalami sendiri.

Ada pula rasa penasaran lainnya, kenapa diantara para seniornya yang konon nilainya tidak cukup baik akhirnya perjalanannya menjadi lebih baik dari senior lain yang justru nilainya di atas rata-rata?

Di dalam ruangan tadi, pimpinan kursus menyampaikan sebuah orasi :

Terima kasih atas kerjasama Anda selama ini, saya ucapkan selamat jalan, selamat bertugas kembali, selamat berkumpul dengan keluarga. Semoga sukses.

Hati kecilnya menambahkan dengan orasi kepada dirinya sendiri:

Engkau telah selesai menunaikan tugas. Secara formal, kau telah menyelesaikan tugas yang diamanatkan oleh pimpinanmu, namun secara mental, kau telah menyelesaikan sebuah tanggungjawab pribadi yaitu menjalani hari-hari di sini yang sebagian tidak kau sukai atau yang sebaliknya: kau tunggu-tunggu. Dan sejak ini, kau akan dibawa oleh kehidupan dengan pilihan: menjadi diri sendiri atau menjadi diri yang lain.

Dia memilih menjadi diri sendiri. Diri sendiri yang harus melakukan sesuatu karena memang begitulah tugasnya, bukan untuk menjadi sesuatu.

Demikianlah, ketika keranjang menabrak paha kirinya, dia tersenyum dan terus melanjutkan ayunan kakinya, pulang ke pondokan, membenahi kopornya untuk kemudian pulang sore nanti.

Hati kecilnya mencatat skor pertamanya: Sang Juara telah melipat jubahnya, karena jubah itu akan menghambat langkahnya, bahkan mungkin akan menghentikan perjalanannya.

(dicangkok dari hati seorang teman)

10 Februari 2008

Astrogado-gado

Pernahkah Anda mencoba iseng bermain-main dengan Horoskop, Shio dan Pawukon sekaligus untuk melihat profil empirik diri sendiri dan orang lain? Sebuah petualangan di ‘dunia lain’ sebagai selingan ketika kepala sudah suntuk dan jenuh oleh tugas yang berulang dalam ritme kencang dan tekanan penuh.
Horoskop, Shio dan Pawukon adalah suatu cabang ilmu Taktahu yang mungkin telah berkembang sepanjang usia peradaban manusia dan senantiasa diupdate oleh banyak pakar di bidangnya dari waktu ke waktu.
Ketika diubleg seperti gado-gado dan dimasukkan ke dalam sebuah teropong untuk melihat diri-sendiri, maka keluarannya adalah sebuah anggukan kepala dan gelengan takjub! Kok aku direfleksikan seperti ini ya! Second opinion yang independen dan gratis karena softwarenya dicomot dari internet. Independen karena tidak perlu komunikator yang terkadang cara pengungkapannya terseret oleh opini bias ketika berhadapan dengan klien.
Kalau Anda penganut ilmu jahil, Anda akan melanjutkannya dengan mencoba meneropong orang lain yang datanya Anda miliki, dan hasilnya: lihat sendiri sajalah.
Sebuah petualangan ke ‘dunia lain’ dalam bangunan catatan hasil peradaban manusia. Tidak perlu dipercaya benar, cukup disimak saja sebagai sebuah referensi dan renungan. Seperti kita selesai membaca sebuah fiksi yang jelas-jelas bukan fakta, karena pada dasarnya setiap manusia adalah unik, tidak ada padanannya secara mutlak.
Dan setelah jenuh, silakan lagi kembali lagi ke rutinitas semula.

09 Februari 2008

Sebuah Toko Buku

Toko buku itu berada dua lantai, di sebuah mal yang berada di kawasan prestisius. Sebuah patung pualam “The Thinker” seukuran manusia berada di pintu masuk, seakan-akan berusaha mensugesti setiap orang agar berpaling dari hingar-bingar dagangan elektronik dan aroma pemancing selera makan di sekitarnya. Wajah manis dua pramuniaga dengan kostum laksana pramugari menyambut siapapun yang lewat, menyapa ramah setiap pengunjung yang masuk ke toko. Heran, di mana kasir yang biasanya ada di bagian depan?
Musik lembut bernuansa kecapi suling berhanyut-hanyut nadanya menenangkan hati sekaligus seperti membasuh pikiran dari haru-biru suasana di luar sana. Luas sekali toko ini, seakan mau bertanding dengan hypermarket yangmenjual sayur, daging sampai beton blok. Tapi ini: buku!

Berderet-deret rak buku dengan warna kuning gading di sini, hijau pupus di sana. Ooooii apiknya, memanjakan mata. Berseling dengan standing poster artistik: Indonesia : Layar terkembang 2008.

Di beberapa sudut berdiri pramuniaga berkostum pramugari seperti yang ada di pintu masuk dan, tunggu dulu, ada pin tersemat di dekat leher: Deutsche, dengan gambar bendera Jerman. Ada lagi seorang pramuniaga lelaki, berkepala plontos rapi, dengan pin bergambar bulatan merah dan tulisan kanji, Jepang mestinya. Ah mereka mestinya pramuniaga yang menguasai bahasa-bahasa tertentu.

Meja kaca bulat agak tinggi dengan tiga kursi putar tinggi menebar di beberapa tempat, dan di sudut selalu ada tempat duduk untuk satu orang yang kelelahan mengantar anak, isteri, suami atau cucu. Enak juga duduk di sini. Pejamkan mata, dengarkan musik lembut. Tidurlah. Toh anak atau cucumu juga akan mengajakmu pulang nanti.

Nah, ini sudut pelepas penat. Ada teh hangat, kopi susu, lemper ayam, lumpia. Goreng pisang juga ada, atau lebih suka wedang jahe wangi? Mejanya dua lapis kaca. Sebelah bawah untuk minumannya, lapis yang atas : untuk bukunya.
Beberapa bapak dengan busana Jawa lewat bersama seorang ibu.
Waktu seakan merambat lambat di tempat ini, meskipun buku-buku yang ada membawa perjalanan waktu melesat dari abad ke abad, dari bacaan tentang Sejarah Arab Jazirah sampai Bank Syariah, dari O Anak-nya Kahlil Gibran sampai Obama yang berkampanye untuk jadi presiden Amerika. Begitu konsen membaca, mereka yang ada di sini.

Sudut Musik.
Alunan bunyi gamelan Jawa full stereo mengalun lembut. O, ternyata live music! Dalam volume yang pas: Ladrang Rahayu, lantunan puisi musikal yang menenangkan jiwa dan sarat doa. Di sudut ini bapak-ibu berbusana Jawa yang tadi lewat menyajikan karyanya dengan legawa. Di sebelahnya baris demi baris teks disorotkan oleh LCD projector. Ladrang Rahayu dalam bahasa Jawa dan terjemahan bahasa Indonesia. Beberapa pengunjung yang setengah umur, yang berambut putih seperti larut menyimak paparan teks dan musik yang beriringan dalam harmoni. Satu-dua anak muda duduk mengelesot di dekat bapak pemetik siter dan gambang. Matanya lekat menatap teks di layar.

Dering hp dengan ringtone : Over the Rainbow.... Mas, aku Didin. Nanti jam sebelas aku diminta presentasi. Doakan ya ...
... Ok,ok, semoga sukses ya!
Dalam hatiku: Bikin toko bukumu seperti yang baru saja aku mimpikan tadi ya!

Bangun ah! Sudah siang. Lagian juga aroma tempe goreng terlalu menggoda untuk dibiarkan begitu saja.
(Untuk Didin: Memang sudah saatnya, memang sudah saatnya!!)

Kalah dengan Sarimin?

Ketika bayi Gatutkaca (namanya ketika masih itu masih Jabang Tetuka) dipotong pusarnya dengan senjata Kunta Wijayandanu oleh pakdhenya (uwaknya), Adipati Basukarna, maka sarung senjata tadi terbenam kedalam lubang perut si bayi. Itulah salah satu sumber kedigdayaan sang Jabangbayi tetapi sekaligus adalah isyarat bahwa kelak medan perang Baratayuda di palagan Kurusetra akan ada senjata pulang ke sarungnya. Senjata seorang uwak akan terbenam ke perut keponakannya.
Itulah dunia wayang, di mana kasih sayang dan kekejaman bisa sangat ekstrim digambarkan, bahkan terkadang dua nuansa bercampur dalam satu situasi sekaligus.

Ingat ketika si Kembar Nakula dan Sadewa pada malam hari berkunjung ke kemah Eyang Bisma, kakeknya yang diwisuda sebagai panglima untuk gelar perang esok paginya? Kakek yang sangat disayangi, yang akan menjadi panglima perang lawan! Maka ketika si Kembar datang dengan pakaian putih-putih bernuansa serah jiwaraga dan kematian, terguguklah sang Bisma (eh, aku mbrebesmili lho). Dirangkulnya kedua cucu tersayangnya, yang ketika kecil pernah dibopongnya, ketika tumbuh besar diasuhnya, ketika terlunta di hutan didukungnya dengan spirit. Mereka kini datang untuk minta mati daripada besok harus berhadapan dengan sang Eyang di medan perang. Betapa mengusik jiwa gambaran ini.
Atau ketika Bima yang gagah perkasa, kesatria yang teguh kepada kebenaran, yang bahkan pernah sampai ke pusat samudera menjalankan tugas dari gurunya untuk mencari Air Kehidupan. Air yang bahkan gurunya sendiripun tak tahu, karena itu cuma tugas karangan agar Bima mati tenggelam. Tetapi Bima bersikukuh, amanat guru adalah sesuatu yang benar. Diburunya ke pusat samudera dan di jumpainya di sana Dewaruci yang mengajarinya sebuah ilmu hakiki, yang bahkan gurunya tak memiliki. Bimasena yang teguh, ternyata di medan Kurusetra diamuk kesumat, menjadi lebih liar dari binatang yang paling liar: dikulitinya Dursasana, diperasnya darah musuhnya, dikokop, ditadahnya darah berbau anyir itu dipersembahkannya kepada dewi Drupadi untuk keramas sebagai penebus kesumat ketika Dursasana pernah mempermalukan dirinya didepan para kesatria. Oleh Bima, ditangkapnya pula patih Sengkuni, lalu dirobek badannya dengan kukunya dari dubur sampai ke langit-langit mulut. Bima sang kesatria mulia, melakukannya karena dendam kesumat yang telah membakar jiwa dan membuat lupa segalanya. Harkatnya sebagai kesatria tercampak. Bahkan para prajurit kecil di sekitarnya muntah melihat kekejiannya. Mengkirig, tegak bulu roma setiap yang disekitarnya. Tak ada lagi Kesatria Jodhipati, yang ada sosok makhluk menakutkan, merah bersimbah darah, dengan dengus nafas berat dan sorot mata penuh kebengisan tak terbayangkan.

Ketika kembali terlempar ke alam nyata, gambaran-gambaran tadi menorehkan garis maya tentang batas-batas nilai kemanusiaan, tentang benar-salah, luhur-nista, kasih-kesumat dan kemudian akan menjadi baju maya yang dapat dipilih untuk dikenakan dalam menjalani kehidupan sebagai manusia. Atau menjadi baju rangkap yang lebih menghangatkan jiwa.
Sayang cerita wayang telah semakin sayup. Komunitas pelestari, pemerhati dan pecinta wayang tetap saja masih belum mampu menyampaikan pesan secara mendalam kepada masyarakat. Mungkin karena wayang disajikan dengan banyak ketakutan untuk berhadapan dengan sajian lainnya, sehingga hidangannya adalah wayang full dagelan dan main lampu, asap dan kostum serta aneh-anehan lainnya.
Tidak menggedor jiwa.
Kalah dengan Sariminnya Butet .

Chemistry dan Asuransi

Ketika Prabowo yang mantan Pangkostrad bicara tentang chemistry, aku jadi teringat ungkapan gaya Suroboyoan tentang hal yang serupa, yakni bethithet (Anda harus berusaha belajar mengucapkan dalam lafal yang betul, karena saya sulit mencari jenis huruf untuk e:diem” dan e:”betet”). Bethithet artinya kurang lebih tampang dan kebiasaan dan lagak seseorang yang tidak menyenangkan bagi orang tertentu lainnya. Sehingga apabila ada arek Suroboyo mendengar cerita tidak enak tentang seseorang yang tidak disukainya, maka komentarnya biasanya: Ancen wis ngono iku bethithete...!

Jowo Suroboyoan terlampau lugas, bahkan kasar bagi orang-orang yang terbiasa hidup dalam dunia Jawa Alusan. Tetapi jangan keliru, kasar bukan kurang ajar lho. Kasarnya Suroboyoan adalah kasarnya Seno, atau Werkudara.

Kembali ke chemistry.

Terkadang kita cukup terganggu dengan penampilan seseorang pada awal kita bertemu dengannya, padahal kita belum mengenal sedikitpun orang itu.

Kontak awal yang terganggu secara ‘naluri’ tadi kemudian akan mengganggu ketika kemudian komunikasi harus berlanjut untuk sebuah pekerjaan atau bisnis.

Akan lebih mengganggu lagi apabila chemistry ini terjadi dua arah. Bisa hampir dipastikan akan sangat potensial menggagalkan pencapaian sasaran bersama.

Lantas bagaimana cara untuk mengatasi ketika memang business must go on?

Cara paling sadis dan bergaya Suroboyoan ya: tabrakkan saja sekalian dalam sebuah adu argumentasi atau debat langsung. Kalah cacak menang cacak. Coba saja. Kalah menang nggak ada ruginya, toh pangkat kita tetap cacak, kakak, Aa’, saudara tua.

Saya mempunyai pengalaman bahwa adu argumentasi itu sangat perlu. Bahkan perang argumentasi kalau perlu. Karena dengan adu tersebut maka hal-hal yang meragukan dan tidak menyenangkan maupun (sebaliknya) keunggulan-keunggulan akan terpapar gamblang. Dan kemudian tidak mustahil keduanya akan menjadi rekan kerja atau partner yang sangat bagus. Tetapi kalau memang feeling yang bersumber chemistry tadi benar, ya, selesai sampai di sini saja lah.

Tetapi untuk melakukan hal seperti ini memang perlu persiapan mental yang cukup matang. Paling tidak, niat bahwa tabrakan ini adalah sekedar teknik yang dilakukan untuk membuka tabir yang masih tertutup, dan bukan diniatkan untuk mencari menang atau membuat kalah fihak lain. Kemudian, posisi harus diupayakan setara, tidak menggunakan senjata yang tidak dimiliki rekan tanding.

Yang repot adalah kalau seseorang memiliki chemistry yang tidak cocok bagi anak buahnya dan dia tidak sadar bahwa chemistrynya mengganggu anakbuahnya.

Siapa yang harus mulai main tabrak-tabrakan? Lantas kalau penyok, ada asuransinya apa enggak?

08 Februari 2008

Mie Goreng dan Pempek Nomor Satu

Pak Jepri mengayuh becaknya pulang, hari sudah lewat ashar. Tarikan hari itu agak lumayan, karena pagi-pagi sudah hujan, maka becaklah angkutan yang paling cocok untuk ke pasar, mengantar anak sekolah atau berangkat ke terminal angkot. Capek juga sih. Siang tadi seseorang menyuruhnya untuk mengangkut kusen pintu. Cukup berat dan jauh, tetapi ongkosnya lumayan.
Pak Jepri mampir ke tukang jual mie di ujung jalan. Dipesannya dua bungkus mie goreng. Ya, mie goreng yang baunya selalu menggoda setiap orang yang lewat. Termasuk anak-isterinya. Dan, setiap mereka lewat di sana, selalu dengan kelakar pak Jepri mengangkat hidung dan berkata: Wahai mie goreng, bersabarlah menunggu kedatanganku untuk memboyongmu pulang! Isterinya mesti tertawa, karena tahu suaminya belum punya cukup uang untuk membeli sebungkus mie goreng penggoda rasa.
Dikayuhnya becaknya. Sampai di rumah nanti, dia akan segera mandi, dan lalu menyaksikan isteri dan kedua anaknya makan mie istimewa itu beramai-ramai di atas tikar di lantai. Betapa bahagianya.
Ini adalah pempek nomor satu di kota. Bayangkan, pelanggannya bahkan membeli untuk dikirim kepada kerabat yang tinggal di Singapura. Rasanya, bukan main, bahkan di Palembang sendiri belum pernah ditemuinya pempek selezat ini. Dan Jupri memborongnya empat ratus ribu rupiah. Mumpung dia mampir di kota ini, apalagi kemarin isterinya pesan setengah menghiba: Jangan lupa pa, pempeknya, beliin ya! Dia akan membuat kejutan, diam-diam masuk rumah lewat pintu samping langsung ke dapur dan, pempek terhidang di meja! Akan dipanggilnya isterinya yang lagi nonton sinetron dan anaknya yang sedang belajar di kamar atas, ah, betapa senang mereka, betapa bahagianya.
Sore itu di dua tempat yang berbeda, kebahagiaan memancar di dalam rumah dengan bentuknya sendiri-sendiri, dengan nilai yang sama.

05 Februari 2008

Humor di Jalanan

Tadi di jalanan aku baca di kaca depan sebuah truk tulisan: Senyummu adalah Deritaku.
Tulisan-tulisan semacam itu sering kit abaca, di truk, mobil-mobil penumpang umum, becak dan kadang-kadang malah di kendaraan pribadi.
Jaman pasca Gestapu, di jalanan Surabaya sering aku lihat becak yang jok-nya ditulisi: Milik ABRI, Milik KKO, Milik POMAL. Mungkin maksudnya supaya becaknya tidak diganggu. Tapi ada juga yang ditulisi : Milik Rakyat Biasa. Mungkin level selera humor pemilik becak sudah berada di atas rasa kuatirnya.
Asyik juga mengamati humor klas akar rumput di jalanan. Senyum lebar, penghilang rasa lelah dan stress bagi siapapun yang sedang berada di jalanan, di tengah hukum rimbanya lalu lintas.
Suatu saat mungkin terbaca oleh Anda:
Ma, kapan Papa pulang?
1/3 DIS
Kutunggu Jandamu
Raja Jalanan
dan tulisan lainnya, yang terkadang disertai gambar-gambar kocak.

Apakah Anda juga menebar humor jalanan di kendaraan Anda?

Suluk

dari sudut-sudut kukais peninggalan lama
yang telah dirangkai kembali dengan tafsir-tafsir
aku ingin mengerti gerangan apa sebenarnya
perjalananku

sendiri
diam mencari
menggali

ampuni aku, Tuanku

04 Februari 2008

Penggal waktu

Ujung jalan tujuannya masih belum tampak juga meskipun dia sudah berjalan kaki setengah jam lamanya. Menanjak, menikung di sisi tebing dan jurang kecil, di mana matahari berkelebat-kelebat di antara payung daun-daunan. Sesekali berpapasan seseorang dengan keranjang di punggung berisi setumpuk rumput yang baunya seperti penyegar ruangan yang dipajang di toko-toko.
Bajunya sudah mulai basah oleh keringat, padahal rumah yang dicarinya belum juga terlihat tanda akan sampai.
“Di sebelah kiri ada rumpun bambu, lalu sedikit tanjakan dan di kanan ada kebun singkong. Di ujung kebun singkong ada jalan ke kanan, dengan parit kecil di sisi kirinya. Lima puluh langkah itulah rumahnya. Kalau tampak sepi, masuk saja. Biasanya Wak Garum ada di belakang, di dapur” begitu pesan orang yang ditemuinya tadi.
Tiba-tiba dadanya berdebar-debar. Nama wak Garum seolah membangunkan kesadarannya dan melemparkannya ke waktu yang tiba-tiba mengerut. Laki-laki berdada bidang periang, yang bekerja mengangkut dagangan di pasar untuk mendapat upah, yang suka menyihir anak-anak dengan dongengnya di sore hari di sudut pasar, yang kemudian hilang begitu saja. Konon dibawa pak Kodim ke kota dan lalu diasingkan di suatu pulau yang jauh. Anak-anak kehilangan.
Dan mereka tak pernah lagi tahu di mana dia berada.
Lalu ketika suatu saat, seorang wartawan bertanya kepadanya, apakah menjadi seperti sekarang ini memang cita-citanya sejak kecil, ah, ya, kenapa aku memilih menjadi seperti ini, berjuang dalam ombang-ambing dunia benar-salah, vonis-memvonis, tuduh-menuduh. Benar dan salah yang sangat bergantung kepada sekuat, sebesar dan setahan apakah seseorang menghadapinya. Dia membela siapa saja, bukan untuk dimenangkan tetapi untuk diketahui bagaimana yang sebenarnya dan bukan yang sebaiknya.
Terperangah dia. Wak Garumlah yang telah menginspirasinya ketika dia masih kecil, dengan kata-katanya : Jadi, ketika tentara sinyo muda itu menembaki pejuang kita dan lalu tertangkap, apakah sinyo muda itu bersalah? Padahal dia menjadi tentara memang bertugas untuk menembak musuh seperti yang diperintahkan komandannya. Apakah dia boleh disiksa? Atau langsung ditembak saja ketika tertangkap? Atau bagaimana?
Suatu saat yang lain, wak Garum menutup cerita sorenya dengan pertanyaan: Apakah kancil tadi benar-benar binatang yang cerdik? Apakah cerdik seperti kancil itu baik? Pertanyaan-pertanyaan dari kuli pengangkut barang di pasar itu bergema-gema di dalam pikirannya. Dan kadang-kadang membuat kesal ibu-bapaknya ketika dia mempertanyakan kenapa kakaknya harus menjadi dokter seperti dokter Liem? Lalu kenapa kakak perempuannya harus mau dikawinkan dengan seorang overste polisi, sedang kakaknya yang klas dua SMA itu menangis masih ingin sekolah?
Suatu saat dia bertemu seorang sahabat masa kecilnya di Jakarta, yang ternyata adalah salah satu anggota hakim dalam sidang kliennya.
Malam harinya mereka bertemu melepas rindu lama, mengulang kenangan masa kecil, mencari tempat lengang ngobrol berdua, dengan sepiring singkong rebus.
Lalu tiba-tiba sahabatnya bertanya: “ Kau ingat Wak Garum?”
“Tentu saja, kalau bukan karena dia, maka aku tidak akan memanggilmu ‘Bapak Hakim yang terhormat’, kenapa?”
“Kabarnya dia masih ada.”
“Hah?”
“Pulang kembali ke desanya sepuluh tahu lalu, setelah isteri yang dikawini di pengasingan meninggal”
“Benar, itu? Kau tahu di mana desanya?”

Dan kebun singkong itu mulai tampak di sisi kiri, berjajar memanjang rapi. Ditanam oleh laki-laki yang mestinya sekarang berumur delapan-puluhan. Amboi. Wak Garum yang dulu gagah perkasa ketika bekerja di pasar mengangkat belanja berkarung-karung dan berkeranjang-keranjang setiap harinya! Yang tertawanya segar, membuat hidup suasana, menyaksikan salah satu teman ciliknya menggeolkan bokong meniru itik manila jalan berbelok.
Wak Garum!
Benar juga orang yang tadi memberitahunya. Rumah bambu ini terbuka pintunya. Sepi, tetapi bau kayu bakar berpadu singkong rebus seolah menuntunnya masuk ke dalam rumah setelah salamnya disahut : Yaaa ....
Di sudut belakang rumah, yang dindingnya dari anyaman bambu menerobos sinar matahari bergaris-garis karena asap dari tungku. Matanya masih harus menyesuaikan diri dengan keremangan ruang, ketika sesosok tubuh bangkit dari sebuah pojok.
“ Jiwo?”
“Bukan, pak. Aku. Wak Garum lupa?”
“Siapa”
“Aku pak, Mamat Kijang”
“Ma-mat-ki-jang? Ki- j-a-n-ggg?
“Ya, wak, Mamat Kijang”
“Oooooo, kau!”
Mereka berangkulan. Lama.
Wak Garum yang sudah tua, tubuhnya tetap keras, suaranya masih bertenaga. Cuma kulitnya lebih hitam. Kisut. Tua.
Lelaki tua itu menatapnya lekat-lekat. “M-a-m-a-t k-i-j-a-n-g, aku masih mengingatmu, mengingatmu. Ya, ya, ya,.... Bahkan aku masih memperhatikanmu. Namamu ada di koran, kubaca di sana dulu .... ya, ya, ya...”
“Iya wak, aku mencari wak”
“Dan sekarang kita sudah bertemu, ayo, biar kuangkat dulu singkong rebus kesukaanmu ini, dengan sedikit garam dan daun salam. Taruh dulu bawaanmu, basuh badanmu lalu kita ngobrol seperti dulu ...”
“Bukan ngobrol wak, tapi mendongeng seperti dulu, dan aku malam ini menginap di sini, boleh kan?”
“ Dengan satu syarat: kali ini kau yang harus mendongeng, kenapa kau mencariku.. hahaha....”
“Dongengnya sekarang saja, wak, karena singkat sekali”
“Apa itu?”
”Aku rindu dongengmu, wak”

Malam itu menjadi malam panjang yang mungkin terpanjang dari seluruh malam yang pernah dialaminya. Suara tertawa wak Garum pecah berderai-derai di tengah enam-tujuh orang di sekelilingnya dan satu orang dari kota. Malam yang panjang, dengan banyak cerita tentang kehidupan yang bukan lagi dongeng. Tentang keadaan yang disampaikan tanpa rasa dendam, sesal dan harapan yang berlebihan. Cerita yang apa adanya.
Wak Garum tertawa-tawa.
Wak Garum, lelaki perkasa yang telah mengisi hatinya dengan visi.

03 Februari 2008

Intermezzo

Mestinya, di pintu masuk tempat praktek dokter THT dipasang tulisan:
JANGAN MAIN-MAIN DENGAN DOKTER THT
Karena:

Hari masih belum begitu malam. Sekitar pukul sembilan sore. Pak dokter
baru saja ngaso dia kecapekan karena tadi siang nggantoli amandel dan
pasen sore ini agak banyak.
Baru dia leyeh2 sebentar... datanglah bapak2 yg agak kurang etis lah
di mata pak dokter: sudah cuma pake celana pendek, agak srogol, tanpa ketuuk
pintu, lahh, pake sandal jepit lagi. Padahal sebenarnya dia kaya (apa orang kalau sudah merasa kaya lantas boleh sombong ya?) .
Telinganya kemasukan kapas cotton bud. Segera pak dokter memeriksanya dan
kapas diambil. Setelah itu dia oleh pak dokter ditarik sejumlah uang.
" Lo kok mahal dok ... masa, kapas saja segitu...... kalau kedele
berapa dok..."
Pak dokter yang lagi suntuk (dan sebenernya SEBEL POL) tadi menjawab. " Iyalah pak, kalau kedele nggak mahal.. anda tetesi saja air tiap hari.. nanti kalau sudah
tumbuh ditarik sendiri.."
Bung pasien kena batunya...dia ngloyor pergui tanpa permisi... ( tapi
sudah ninggali koomiisi......he he..)

Nah, inilah humornya dokter THT yang suntuk, tapi tarikannya okepunya! maksudnya tarikan cotton bud yang nyangkut di kuping tadi lo!
Dicontek dari humor pak dokter, tapi huruf miring tambahan dari saya yang ........................................................... langsung kabuuur.....!!!!!

prajurit

tegak senapang berujung bayonet ke udara, berjajar-jajar
meletus bersamaan mengantarmu dalam kebesaran
berjajar dalam seragam, teman-teman sepasukan
bungkam

bendera
merah-putih menutup jasad-jasadmu, terima kasih tumpah darahmu
hangat menyelimutimu,
menghantarmu dalam tatap penuh hormat segenap komandanmu
kalian telah tunaikan sumpah
untuk negara
mestinya

sementara, kini
isak-tangis berpadu geleng kepala tak percaya
jasadmu pulang terkoyak
oleh bidik senapang saudara sendiri yang panas hati
yang panasnya membakar hatimu pula
dan
kalian berkelahi, baku-peluru,
lalu
mati sia-sia
tak sepadan dengan sumpah nan perwira

monumen untukmu tak kan ada
bahkan keberadaanmu sesegera mungkin akan jadi tak ada

wahai
dukaku, karena kalian lupa
hanya untuk itukah
kalian ada?

Lagi-lagi bertikai lagi

Seorang bayi, sejak dia belum dilahirkan sudah mendengarkan orang tuanya berbicara. Ketika dia dilahirkan, dia mendengarkan orang-orang berbicara. Kemudian secara berkelanjutan dia diajar berbicara, yang dimulai dengan berkata-kata. Kepadanya diajarkan untuk memahami maksud dan keinginan orang-tuanya yang didengarnya lewat kata-kata, dan dia diajarkan untuk mengungkapkan maksud dan keinginannya sendiri lewat kata-kata. Demikian berlanjut sampai dengan dia menjadi seorang anak.
Ketika sesuatu yang diinginkan atau dimaksudkan tidak difahami oleh orang disekitarnya, maka dia akan mengungkapkan keinginannya dengan menangis, sehingga orang-orang di sekitarnya akan memperhatikan dan mencari-tahu apakah yang sebenarnya diinginkan atau dimaksudkan oleh bayi tadi.
Seorang anak akan menangis dan mungkin menyepak-nyepakkan kakinya, dan seorang anak yang lebih besar lagi mungkin akan menjerit-jerit, memukul sesuatu sambil melempar dengan benda-benda yang ada. Sampai keinginannya difahami oleh orang-tuanya atau orang lain.
Berbicara adalah suatu cara agar kehidupan dalam sebuah komunitas berlangsung dengan baik. Komunitas keluarga, komunitas tempat bekerja dan komunitas bangsa yang memiliki tujuan bersamanya masing-masing.
Dengan mendengarkan tangis seorang bayi, orang-tua akan tahu apakah anak-bayinya itu basah popoknya, lapar meminta susu, atau gerah berkeringat. Mendengarkan rengek anaknya, orang tua akan faham, apakah anaknya sedang mulai bosan dengan permainannya atau sudah mulai mengantuk. Mendengarkan kalimat pertama yang diucapkan anak remajanya, orang-tua mengerti bahwasanya anaknya ingin uang jajan yang lebih atau nilai ulangan sekolahnya menurun.
Mendengarkan adalah suatu cara agar seseorang mengetahui apa yang sedang terjadi dan bagaimana mengatasi sesuatu yang diakibatkan oleh kejadian tersebut atau menindak-lanjuti hasil dari sebuah tindakan.
Setelah mengajarkan anak-anaknya, kemudian para orang-tua akan mengawal dan mengantarkan mereka kepada kehidupan yang lebih baik, dengan segala daya-upaya semampunya.
Jaman Jahiliyah, sebagaimana diajarkan dalam pelajaran agama adalah suatu jaman di mana aturan-aturan tidak meningkatkan martabat manusia. Jaman di mana nilai-nilai kemanusiaan tidak ada artinya. Hak pribadi adalah sesuatu yang dianggap tidak perlu dipedulikan. Jaman Jahiliyah biasanya digambarkan sebagai jaman di mana aturan tidak ada, sehingga banyak orang merasa terancam hak-hak hidupnya dan malahan hidupnya itu sendiri.
Di mana kita sedang berada?
Menonton televisi, di mana ada kontes menari-nari, perebutan uang semilyar-dua milyar, kontes menyanyi-nyanyi, kontes pencerahan hati dan lain-lain yang menyenang-nyenangkan hati, sungguh membuat kita senang ketika menontonnya, sehingga terkadang terlontar ungkapan wah-wih-wuh yang bukan main seringnya.
Tetapi ketika menyimak berita, masya Allah, ditampilkan di sana tentang tempat tinggal dan tempat bekerja yang dihancurkan, baku-cacimaki dan baku-pukul berkelompok, orang terbunuh hampir setiap jam, bertikai dari hari ke hari, darah bersimbah di mana-mana. Berita diakhiri dengan berita lain: pernyataan tentang sebab-musabab, kronologi, lalu kesimpulan serta himbauan, diikuti dengan kesepakatan dan perdamaian.
Tetapi kemudian hal yang sama terjadi lagi hari di hari-hari berikutnya.
Siapa yang harus bertanggung-jawab ketika hal-hal tersebut terjadi berkali-kali dengan model yang itu-itu juga? Mungkin adalah bapak atau ibu pemimpin yang diberi kuasa untuk mengatur semuanya, mungkin adalah bapak-ibu yang ditugasi untuk membuat masyarakat merasa aman dan tenang, mungkin adalah para pemuka masyarakat dan agama yang mempunyai tugas moral untuk mengajarkan segala sesuatu tentang berperilaku seperti ‘yang diajarkan dan diberkati’.
Yang pasti, yang paling bertanggung-jawab adalah diri-sendiri masing-masing. Sudahkah kita mampu berbicara dan mendengarkan dengan baik seperti kita sendiri sudah mengajarkan kepada bayi-bayi dan anak-anak kita untuk berbicara dan mendengarkan dengan baik ? Dan kemudian mengawal dan mengantarkan mereka kepada kehidupan yang lebih baik, dengan segala daya-upaya ?
Atau kita biarkan sajalah semuanya terjadi meskipun mungkin suatu saat sesuatu yang buruk menimpa kita dan anak-anak kita?
Mari kita renungkan bersama, mengapa kemampuan kita untuk berbicara dan mendengarkan justru menurun pada akhir-akhir ini ?