Saya masih ingat betul, ketika itu koran masih menjadi barang mewah, demikian pula radio. Sehingga di tempat-tempat tertentu, biasanya di dekat kantor Dinas Penerangan, pada sebuah papan ditempel koran terakhir, itupun kadang-kadang bertanggal dua-tiga hari lalu. Masyarakat merubung dan membaca sambil berdiri berkerumun. Terkadang pagi hari atau sore hari sesudah mandi. Tidak pernah malam hari, karena di papan itu tidak ada lampu penerangan yang cukup terang untuk orang dapat membaca dengan jelas. Semua lampu listrik masih berbentuk bohlam dengan spiral kawat wolfram (demikian guru saya menjelaskan dalam pelajaran ilmu alam di kelas lima). Pada umumnya bohlam yang dipasang adalah lampu dengan kekuatan 10-15 watt untuk jalanan umum. 25 watt adalah bohlam sangat terang ketika itu, yang mungkin hanya dipasang dikantor-kantor pak Bupati, pak Wedana atau kantor Polisi dan Penjara saja. Karenanya di tempat koran ditempel malam hari bisa dipastikan gelap dan mungkin malah gulita.
Radio, dipasang oleh pegawai kantor Penerangan pada sebuah kotak seperti sangkar burung. Terkunci, dan disetel (dinyalakan/dibunyikan) pada jam-jam tertentu saja. Biasanya antara jam empat (sore!) sampai selesai dibacakan siaran berita RRI jam tujuh malam. Masyarakat (lagi-lagi) merubung di bawah kotak. Ada yang duduk, ada yang berdiri. Stasiun radio siaran hanya ada satu: Radio Republik Indonesia. Pusat di Jakarta, yang daerah biasanya ada di kota-kota provinsi. Itupun tidak semua, dan kalaupun ada siarannya belum tentu dapat ditangkap dengan baik di daerah lain. Selesai berita, radio dimatikan, kotak dikunci. Pulang semua.
Yang seru adalah kalau lagi ada siaran pidato Presiden, Bung Karno. Ini adalah event sangat istimewa. Sehingga pak Penerangan akan menyambung radio tadi dengan corong, speaker model trompet. Audience bisa sangat banyak, kantor-kantor kosong karena pegawainya diberi kesempatan untuk menyimak pidato Bung Karno di rapat raksasa. Maksudnya adalah rapat besar, akbar, di suatu tempat tertentu, biasanya dilakukan di stadion atau tanah lapang. Bisa di Jakarta, bisa di Jogja, di Makasar atau di mana saja. Sekolah dipulangkan muridnya, agar guru-guru dapat mendengarkan pidato tersebut entah di radio mana dan kepunyaan siapa pula.
Ketika itu, masyarakat akan sangat serius mengikuti liputan yang disampaikan oleh reporter RRI Jakarta, pak Darmosugondo, menyampaikan reportase rapat raksasa. Suara sorak sorai gembira di tempat rapat sana terdengar dari corong radio, lalu : Saudara-saudara, marilah sekarang kita mengikuti pidato Paduka Yang Mulia Presiden .......
Hening, yang di sana dan yang di sekitar radio sini. Bung Karno mulai membuka pidatonya. Dengan suara bariton yang mantap:
“ Saudara-saudara sebangsa dan setanah air yang saya cintai, seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke. MERDEKA!” Di sekitar radio masyarakat seperti tersihir, menyambut salam nasional Presiden dengan pekik MERDEKA!! Tak kalah gempitanya sambil mengepalkan tinju ke udara, seolah-olah berada di antara massa di depan Presiden pula.
Lalu kata demi kata Bung Karno didengarkan dengan seksama. Bisa sejam, atau malah sampai dua jam, diselingi dengan berkali-kali gemuruh tepuk-tangan membahana di puncak-puncak orasi beliau.
Biasanya pidato ditutup dengan seruan : Sekali Merdeka, Tetap MERDEKA!
Pulang dari mendengarkan pidato Presiden, ada yang saling berbicara antar-mereka, berjalan sambil berdiskusi serius. Sepedapun dituntun pulang bukan karena bannya kempes, tetapi karena dua-tiga teman bicaranya berjalan kaki tidak membawa sepeda (sepeda pun termasuk barang langka lho!).
Seminggu-dua minggu isi pidato itu masih menjadi wacana di hampir semua lingkungan masyarakat.
Berita yang lain seolah-olah tenggelam, atau dianggap tidak menarik untuk dibicarakan dan dibahas. Semua fokus kepada amanat Bung Karno (pidato, maksudnya).
Itulah sekilas kenangan masa kecil, tentang koran, radio dan Bung Karno.
maazaa laloe............
BalasHapuswong jowo iku kalahe nek dipangku............
Patriotik kalahe karo roman...tik.