07 Mei 2010

dinamika

lelah kau menunggu lalu pingsan tidur ayam
terjaga
masih tak ada siapa-siapa

untuk apa berjalan jauh bila mata terpejam lewat matahari pagi dan terbenam
terkaget-kaget ketika duri semak menggores pedih teriris
terayun di ombak kabut lembut terlena mimpi

ada lava melata-lata
ada raksasa dengan lidah berbuncah darah menggeram menakuti
biarkan saja karena semua itu fatamorgana
yang bikin ciut nyali tapi juga menyalakan api membara

aku suka di sana
karena lelah dibelenggu sepi


.

03 Mei 2010

Bergunjing, mengapa?

Ada dua kelompok generasi karyawan di atas saya, generasi ‘ambil-alih’ yang pertama yaitu para beliau yang mengalami episode pengambil-alihan dari perusahaan milik Belanda, dan yang ke dua adalah generasi AGN yang mulai bekerja pada era 65-70an. Saya sebut generasi AGN karena sebagian dari mereka oleh Perusahaan disekolahkan di Akademi Gula Negara Jogja, sebuah pendidikan ikatan dinas kala itu yang mendidik mahasiswanya menjadi ahli gula terutama di bidang proses pengolahan gula dan satunya lagi di bidang ketata-usahaan gula. Lulusannya bergelar B.Sc. Jumlah mereka cukup banyak, dan sangat diharapkan menjadi ujung tombak di era kemudian setelah pendahulunya pensiun.
Ada sebuah istilah menarik untuk mereka yang B.Sc. proses. Di lingkungan pergulaan saat itu mereka disebut juga sebagai ‘Dokter Gula’, bukan dokter ahli penyakit gula ataupun bukan ahli mengobati gula yang berpenyakit, tetapi sebutan itu mungkin karena pakaian kerja mereka yang seperti jas dokter. Kalau anda punya anak gadis dan tinggal di lingkungan Pabrik Gula, para dokter gula bujangan ini adalah calon menantu idaman, lho. Karena mereka punya kans terbesar untuk menjadi pimpinan PG (pabrik gula) alias Administratur atau bahkan menjadi Direktur di Kantor Pusat. Tapi itu zaman dulu.

Kembali ke generasi AGN.
Merekalah para sarjana muda pemegang tongkat estafet berikutnya, yang akan mewarisi norma-norma dan budaya warisan generasi sebelumnya yang notabene rata-rata ‘hanya’ lulusan STM ( Sekolah Teknik Menengah ) atau MTS (Middelbare Technishe School) dan SMA atau AMS (Algemeene Middelbare School) plus pelatihan-pelatihan sangat intensif dari para Belanda pendahulunya.
Pada masa ini terjadi beberapa perubahan gaya kerja karena pengaruh politik, sosial maupun ilmu pengetahuan di bidang pergulaan. Mereka mulai berusaha mengembangkan diri dan menjawab tantangan zaman. Pabrik yang makin tua, lahan yang semakin terbatas karena wajib tanam tebu sudah tidak ada, eksperimen-eksperimen untuk meng-Indonesiakan cara kerja warisan Belanda mulai dilakukan. Di masa ini pula terjadi beberapa kali reorganisasi dan regrouping. PG-PG yang dulunya milik beberapa Maskapai Belanda dan keberadaannya tersebar, mulai dikelompok-kelompokkan menurut wilayah geografis dan dikendalikan oleh seorang Inspektur. Berubah lagi menjadi Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) lalu PNP, menjadi PTP.
Generasi ‘ambil-alih’ mulai habis, pensiun.
Oleh generasi AGN, Prosedur dan Standar Kerja (SOP-Standard Operating and Procedure) yang ada kemudian dikaji dan disesuaikan, tentu saja dengan memperhatikan kebutuhan lapangan dan ketentuan Pemerintah, yang sejak medio 70-an mulai menghilangkan sistem sewa lahan milik petani menjadi sistem Tebu Rakyat, di mana petani menanam dan mengelola sendiri tebunya dan kemudian menyerahkan kepada PG untuk diproses dengan bagi hasil produksi.
Ini adalah masa sibuk. Jaman normal telah lewat. Satu demi satu PG mengalami kerugian. Kondisi mesin dan peralatan yang semakin uzur (ada yang mulai tahun 1870-an lho!), kendali produktivitas yang semakin sulit ( cara petani mengelola tentu beda dengan Sinder PG mengelola kebunnya) dan likuiditas yang semakin terbatas ( harga gula ‘dikendalikan’ Pemerintah sementara inflasi berakibat naiknya ongkos produksi) membuat industri gula megap-megap bagai ikan di sungai keruh. Dan ini tugas berat bagi generasi AGN yang saat itu sebagian telah menjadi pimpinan strategis untuk mengatasinya, meskipun (dalam dugaan saya) mungkin hal-hal seperti ini tidak pernah diajarkan ketika mereka belajar di Akademi. Tentu hasilnya sangat tergantung kepada kepiawaian para Manajer. Namun dalam perjalanan sejarah terbaca satu demi satu PG pingsan dan kemudian mati atau paling tidak koma dan dinfus terus-terusan.
Belum sempat menuntaskan tugas, generasi ini pensiun. Mereka meninggalkan Perusahaan dengan segudang pengalaman, kesan, kenangan, dan yang jelas: tugas yang masih harus diselesaikan oleh generasi berikutnya, yang entah apa pula yang akan dihadapi.
Generasi berikutnya datang pada era 80-an. Generasi ‘sekolahan’, yang mengenal zaman Belanda hanya dari pelajaran. Yang bahkan tiba-tiba kaget ketika kecebur di dunia antah-berantah industri gula. Di mana mimpi sangat beda dengan kenyataan. Di mana teori tergagap-gagap ketika berhadapan dengan praktek. Di mana segala cerita masa lalu ternyata sudah sangat berbeda keadaannya dengan masa kini.
Mereka belum cukup dikelonin oleh para seniornya, ditulari ilmu-ilmu dasar dan mendapat dongeng bermakna, barangkali karena para seniornya terlalu sibuk mengatasi masalah lain sehingga mengajar yuniornya tidak begitu intens dan strict (seperti sewaktu Londo yang ngajar). Tentu masih ada juga senior yang baik, mengajar dan menghajar yuniornya agar menjadi cukup handal untuk nantinya menggantikan mereka.
Saya menyimak keadaan ini, dan saya prihatin, karena secara umum yang terjadi akhirnya adalah lemahnya kendali dan semakin lebarnya kesenjangan. Baik senjang wawasan maupun sikap. Dan buntutnya adalah kerja yang tidak terkonsolidasi dengan baik.

Sekarang cerita ‘diadili’.
Datang seorang senior yang akhir-akhir ini disewa Perusahaan untuk memandu sebuah pekerjaan. Senior tersebut baru pensiun sekitar empat-lima tahun lalu. Beliau menyampaikan kritik kerasnya terhadap pelaksanaan kerja di lapangan, yang nota bene pernah menjadi ladang kerjanya pula.
“Bagaimana bisa baik kalau SOP tidak dilaksanakan dengan benar, kontrol lemah, dsb,dsb, dsb” Banyak, dan sambil memandang saya dengan pandangan geram, seperti beberapa orang senior lain sebelumnya ketika ketemu saya. Dilanjutkan oleh beliau, bahwa kemunduran-kemunduran yang terjadi adalah karena cara-cara yang baik, yang telah dilakukan ‘pada zamannya’ telah ditinggalkan dan diganti dengan cara lain, kualitas SDM tidak sehandal dulu, banyak hal dilakukan secara coba-coba, dan banyak hal lain lagi. Pembicaraan berkembang dengan membicarakan praktek-praktek yang dinilai tidak bagus, meningkat menjadi komentar terhadap kebijakan-kebijakan manajerial, bergesar menjadi bergunjing tentang orang.
Saya kok jadi panas (hehehe..... padahal sebelumnya agak kedinginan karena AC disetel terlalu rendah suhunya), karena saya merasa diadili. Bagaimana tidak! Saya merasa tidak bisa menerima pendapat beliau yang cenderung menganggap para yunior ini ‘under performance’, tidak menghormati ajaran-ajaran seniornya, tidak bekerja sebaik para senior, dsb. Saya kok tiba-tiba mempersonifikasikan diri sebagai yunior. Yang diadili. Padahal saya juga sudah pensiun.
Karena tidak kuat memendam rasa, dari mulut saya terlontar komentar bernada bantahan dan pembelaan:
Sudah tepatkah cara kita dulu mengajar para yunior ini, seperti cara para senior sepuh mengajar kita? Masih samakah medan kerja mereka dengan medan yang dulu kita hadapi? Apakah mereka mendapat pembimbing yang berkualitas, seperti kita dulu mendapat pembimbing yang berkualitas?
Perbincangan yang potensial menjadi arena perbantahan mirip tayangan di televisi ini terputus karena batasan waktu. Dan kemudian saya menemukan sesuatu:

Ikatan emosional seseorang dengan institusi tempat dia pernah bekerja akan berwujud sebuah kebanggaan, manakala (1) dia tahu bahwa institusi tersebut berkembang menjadi lebih baik sepeninggalnya, (2) ketika kembali berada di lingkungan institusi tadi, dia masih dikenal dan disapa dengan baik, apalagi karyanya masih diakui
Dan apabila sebaliknya: yaaa tahu sendirilah. Minimal sedih atau selebihnya: Bergunjing!
Demikianlah, saya sudah selesai diadili. Dan karena ini tidak termasuk pelajaran sejarah yang ilmiah, maka referensinya hanya berdasar ingatan belaka, dan yang jelas tidak akan keluar dalam soal ulangan apalagi ujian nasional.


(salam hangat untuk teman-teman: para yunior dan senior)