19 Agustus 2009

dua matra

jauh di atas awan
terlihat alam membentang dengan segala kebesaran wujudnya
yang seolah aku ingin menggenggamnya, astaghfirullah

di alas sajadah
jutaan makhluk Allah melakukan tugas hidupnya
yang aku tak mampu melihatnya
subhanallah

.

12 Agustus 2009

Kemong

Kemong adalah sebutan gaya Suroboyo-an untuk sebuah tabuhan mirip gong dengan diameter antara 25-35 cm. Alat ini ditabuh atau dipukul bukan untuk iringan musik, tetapi sebagai penanda ketika sebuah kampung ada warganya yang meninggal.
Biasanya, ketika ada seorang warga kampung meninggal, maka kemong akan ditabuh berkeliling kampung, lalu warga yang mendengar akan keluar dari rumah untuk menanyakan kepada si penabuh atau pengiringnya - biasanya anak-anak atau beberapa anak muda yang ikut berkeliling – ikhwal tentang tetangga yang meninggal: siapa, kapan meninggal, karena apa, kapan dimakamkan, di mana dan sebagainya. Lalu kabar tersebut secara berantai ditularkan kepada tetangga lainnya. Duplikasi informasi yang simpel namun sangat efektif.
Untuk melengkapi informasi tentang rumah duka, maka di ujung jalan atau gang akan dipasang bendera putih bergambar palang-merah, yang ukurannya sekitar 40x40 atau 50x50 cm. Entah kenapa kok palang-merah, barangkali ada hubungannya dengan Surabaya yang pada jaman dulu pernah menjadi ajang perang perjuangan melawan Sekutu dan Nica di tahun 1945, di mana ketika itu lokasi perawatan korban yang berada di kampung-kampung diberi tanda dengan bendera palang merah.

Kembali dengan urusan kemong.

Peralatan yang sederhana ini sekarang sudah semakin jarang digunakan, barangkali kalah dengan sarana komunikasi yang baru: HP, yang tidak bising, tidak capek, praktis. Tinggal omong-omong atau pencet-pencet, kirim, habis perkara. Tetapi ternyata bukan hanya perkara yang habis. Nuansa kerukunan model kampung Suroboyo-an juga ikut menjadi terkikis.
Ketika dulu kemong ditabuh, warga kampung keluar rumah, omong-omong antar tetangga, bikin janji untuk ketemu, takziah, melayat, mengantar ke kubur, bertemu dengan tetangga lainnya sambil saling berkabar keadaan masing-masing. Sungguh sebuah model kehidupan bermasyarakat yang sejuk dan menyenangkan, sehingga terkadang membuat sebuah keluarga enggan meninggalkan kampungnya untuk pindah ke pemukiman baru yang jalannya lebih lebar dan lingkungannya lebih lega. Enggan kehilangan nuansa keakraban bertetangga.

Kemong juga sebuah alat ukur sederhana untuk mendeteksi tingkat partisipasi bermasyarakat seseorang. Ketika mendengar kemong ditabuh dan seseorang tidak keluar dari rumah (padahal tidak sakit) maka dapat dipastikan bahwa orang tersebut mempunyai masalah dengan kemampuan sosialisasinya, dan apabila tindakan seperti ini terjadi berkali-kali, maka para tetangga akan mencatatnya untuk kemudian disikapi bersama-sama ( kok agak mengancam, ya?! ).

Kemong sekarang sudah hampir musnah karena barangkali masyarakat menganggap penggunaan kemong sudah tidak layak-tayang lagi. Seiring dengan itu, saya pernah menjumpai sebuah keluarga yang ayahnya meninggal ( pada malam hari jam 9 ), di rumah duka itu hanya ada anak, pembantu, 2-3 orang famili dan 2-3 orang teman (yang notabene mereka semua bukan tetangga, yang semuanya tinggal jauh dari rumah tersebut) datang untuk takziah. Dari lingkungan sekitar rumah duka tersebut hanya hadir hansip/satpam, itupun karena mereka menggeser pos jaga ke arah yang berdekatan dengan rumah duka.

Semakin menghilangnya kemong di Surabaya apakah juga pertanda semakin menipisnya solidaritas sosial gaya Suroboyo-an, ya?

10 Agustus 2009

cermin

tiba-tiba
cermin ada di mana-mana
di kamar
di pintu
di beranda

di koran, di teve, di radio, jalanan, warung kopi
di majelis-majelis, di kampus-kampus

di wajah pembesar, pengamen, guru, polisi, tahanan, artis, pesulap

di langit, di pepohonan, di ceruk-ceruk gelap dan di pentas pertunjukan
di hati, di mimpi, di lamunan yang berkepanjangan

kadang meleleh, luluh-lumer menyatu dengan denyut nadi
kadang membatu kaku keras menyakitkan

kadang menyilaukan kadang transparan kadang buram kadang menghilang

akankah memberi arti
bagi jiwa
dan kehidupan ?