Bau sangit daging terbakar memenuhi seluruh
hamparan padang terbuka. Beberapa pancaka masih membara, mengantarkan raga para
prajurit yang gugur ke nirwana. Ini adalah saat semua harus meletakkan senjata,
sampai dengan besok pagi ketika terompat perang ditiup dan ditingkah oleh
terompet lain dari seberang sana, pertanda keduanya sudah kembali bersiaga
untuk berlaga.
Malam makin larut, dari sudut-sudut yang
diterangi obor terdengar lantunan puja-bakti memohon keselamatan untuk perang
yang akan berlanjut entah sampai kapan.
Dua sosok berbaju putih melintas di antara
kemah-kemah dan kerumunan prajurit yang masih terjaga. Mereka berjalan tanpa
bicara, ke kemah besar di mana Senapati Bisma berada, senapati sepuh berambut
dan berjanggut putih, yang wajahnya teduh penuh kedamaian, menyejukkan hati siapapun
yang berhadapan dengannya.
Kembar Nakula dan Sadewa mengemban tugas
yang sangat berat, hanya mereka berdualah yang pantas dan sesuai untuk
menjalaninya. Menghadap eyangnya, kakek yang dikasihi da sangat mengasihinya,
yang besok akan dihadapi sebagai sesama prajurit untuk beradu nyawa di
pertempuran hingga terbunuh salah-satunya. Langkah mereka berdua tergugu,
ketika tenda dibuka dan di dalamnya tampak eyangnya dengan gagah duduk bersila,
dengan mata setengah terpejam.
Langkah kembar berdua menjadi berat, lalu
mereka terduduk bersimpuh di mulut tenda, air mata menggelayut di pelupuk mata,
tenggorokan tercekat, dan pandangan jatuh tertunduk. Mereka beringsut pelan,
maju hingga menyentuh lutut Resi Bisma. Ambruk menangiskan sejuta duka ke
pangkuannya.
Sang Resi menarik nafas panjang melihat
kedua cucu tercintanya, sambil membelai kedua bahu mereka dengan lembut penuh
cinta. Terbayang ketika keduanya masih bocah, bermain manja di pangkuannya.
Si kembar mengenakan busana putih, yang
mengisyaratkan bahwa keduanya sudah bersiap untuk menjemput kematian di medan
laga esok harinya. Kedua cucu ini seperti mewakili cucu yang lainnya, Pandawa
bersama seluruh anak-anaknya yang tersisa, berserah darah, mati di ujung
senjata Senapati Bisma, kakek yang dicintainya, yang kali ini berada
berseberangan sebagai prajurit lawan.
Ooooo..... kehidupan, demikian jauhkah engkau
membawaku di ujung usiaku ini, sehingga tak ada lagi kesempatan untuk membalik
keadaan ....?
Lalu Sang Resi menangkap isyarat langit,
bahwa besok adalah saatnya untuk pulang dalam kemuliaan, membebaskan diri dari
segala ikatan dunia.
Dunia, tempat di mana sebagian manusia
menjadikannya untuk mengejar keinginan, tempat untuk menghamburkan kata-kata
hampa penuh kepalsuan, tempat di mana segala sesuatu dibalik-balikkan, tempat
yang sebenarnya adalah pijakan untuk meraih kemuliaan namun diabaikan.
Diangkatlah kedua wajah cucunya, Nakula
dan Sadewa, wajah tampan dan gagah prajurit perkasa, yang saat ini basah oleh
airmata duka. Dipandanglah keduanya bergantian, lalu eyang Bisma memejamkan
mata sambil bersabda:
.... Pulanglah kalian berdua dengan
restuku, sampaikan pula kepada saudara-saudaramu bahwa aku tetaplah kakek yang
mencintai kalian semua, dan tak pernah tergerus oleh sesuatu keadaanpun
selamanya....
.... Aku sudah menerima isyarat Langit,
bahwa besok adalah saat kepulanganku yang akan dijemput Amba yang datang dari Nirwana....
.... Aku minta ipar kalian, Srikandi, yang
mengantarku di medan laga.... dia harus menghadapiku di pertempuran besok
sebagaimana berhadapan dua Senapati dengan semestinya....
.... Jadikanlah semua darah yang
tertumpah, semua raga yang tumbang, semua jiwa yang melayang sebagai catatan
sejarah, yang akan membuat peradaban lebih mulia sesudahnya....
.... Pulanglah kalian sebagai cucu yang
aku cintai, dan hadapilah aku besok dengan tegak sebagai sesama prajurit yang
menunaikan darma-bakti...
Nakula dan Sadewa ambruk untuk kedua kalinya, dengan rahang
terkunci kehabisan kata-kata, mereka menjerit dalam hati: ..... duh Eyang,
bagaimana bisa semuanya menjadi seperti ini?
Kembali Resi Bisma menegakkan pundak
keduanya. Memandang dengan sorot mata panglima, lalu mengangguk kecil sebagai
isyarat bahwa semua perintah sudah disampaikannya.
Nakula-Sadewa beringsut mundur, bersujud
di hadapan Eyangnya, Senapati Agung yang besok akan berlaga.
Keduanya pulang untuk mengabarkan berita
dukacita, bahwa Eyangnya besok akan menunjukkan cintanya yang teramat besar
dengan caranya. Di Padang Kurusetra, tempat di mana kemanusiaan diuji dan
nurani berbicara sejujurnya.