20 Juli 2018

Cinta Bisma


Bau sangit daging terbakar memenuhi seluruh hamparan padang terbuka. Beberapa pancaka masih membara, mengantarkan raga para prajurit yang gugur ke nirwana. Ini adalah saat semua harus meletakkan senjata, sampai dengan besok pagi ketika terompat perang ditiup dan ditingkah oleh terompet lain dari seberang sana, pertanda keduanya sudah kembali bersiaga untuk berlaga.
Malam makin larut, dari sudut-sudut yang diterangi obor terdengar lantunan puja-bakti memohon keselamatan untuk perang yang akan berlanjut entah sampai kapan.  
Dua sosok berbaju putih melintas di antara kemah-kemah dan kerumunan prajurit yang masih terjaga. Mereka berjalan tanpa bicara, ke kemah besar di mana Senapati Bisma berada, senapati sepuh berambut dan berjanggut putih, yang wajahnya teduh penuh kedamaian, menyejukkan hati siapapun yang berhadapan dengannya.
Kembar Nakula dan Sadewa mengemban tugas yang sangat berat, hanya mereka berdualah yang pantas dan sesuai untuk menjalaninya. Menghadap eyangnya, kakek yang dikasihi da sangat mengasihinya, yang besok akan dihadapi sebagai sesama prajurit untuk beradu nyawa di pertempuran hingga terbunuh salah-satunya. Langkah mereka berdua tergugu, ketika tenda dibuka dan di dalamnya tampak eyangnya dengan gagah duduk bersila, dengan mata setengah terpejam.
Langkah kembar berdua menjadi berat, lalu mereka terduduk bersimpuh di mulut tenda, air mata menggelayut di pelupuk mata, tenggorokan tercekat, dan pandangan jatuh tertunduk. Mereka beringsut pelan, maju hingga menyentuh lutut Resi Bisma. Ambruk menangiskan sejuta duka ke pangkuannya.
Sang Resi menarik nafas panjang melihat kedua cucu tercintanya, sambil membelai kedua bahu mereka dengan lembut penuh cinta. Terbayang ketika keduanya masih bocah, bermain manja di pangkuannya.
Si kembar mengenakan busana putih, yang mengisyaratkan bahwa keduanya sudah bersiap untuk menjemput kematian di medan laga esok harinya. Kedua cucu ini seperti mewakili cucu yang lainnya, Pandawa bersama seluruh anak-anaknya yang tersisa, berserah darah, mati di ujung senjata Senapati Bisma, kakek yang dicintainya, yang kali ini berada berseberangan sebagai prajurit lawan.
Ooooo..... kehidupan, demikian jauhkah engkau membawaku di ujung usiaku ini, sehingga tak ada lagi kesempatan untuk membalik keadaan ....?
Lalu Sang Resi menangkap isyarat langit, bahwa besok adalah saatnya untuk pulang dalam kemuliaan, membebaskan diri dari segala ikatan dunia.
Dunia, tempat di mana sebagian manusia menjadikannya untuk mengejar keinginan, tempat untuk menghamburkan kata-kata hampa penuh kepalsuan, tempat di mana segala sesuatu dibalik-balikkan, tempat yang sebenarnya adalah pijakan untuk meraih kemuliaan namun diabaikan.
Diangkatlah kedua wajah cucunya, Nakula dan Sadewa, wajah tampan dan gagah prajurit perkasa, yang saat ini basah oleh airmata duka. Dipandanglah keduanya bergantian, lalu eyang Bisma memejamkan mata sambil bersabda:
.... Pulanglah kalian berdua dengan restuku, sampaikan pula kepada saudara-saudaramu bahwa aku tetaplah kakek yang mencintai kalian semua, dan tak pernah tergerus oleh sesuatu keadaanpun selamanya....
.... Aku sudah menerima isyarat Langit, bahwa besok adalah saat kepulanganku yang akan dijemput Amba yang datang dari Nirwana....
.... Aku minta ipar kalian, Srikandi, yang mengantarku di medan laga.... dia harus menghadapiku di pertempuran besok sebagaimana berhadapan dua Senapati dengan semestinya....
.... Jadikanlah semua darah yang tertumpah, semua raga yang tumbang, semua jiwa yang melayang sebagai catatan sejarah, yang akan membuat peradaban lebih mulia sesudahnya....
.... Pulanglah kalian sebagai cucu yang aku cintai, dan hadapilah aku besok dengan tegak sebagai sesama prajurit yang menunaikan darma-bakti...

Nakula dan Sadewa  ambruk untuk kedua kalinya, dengan rahang terkunci kehabisan kata-kata, mereka menjerit dalam hati: ..... duh Eyang, bagaimana bisa semuanya menjadi seperti ini?
Kembali Resi Bisma menegakkan pundak keduanya. Memandang dengan sorot mata panglima, lalu mengangguk kecil sebagai isyarat bahwa semua perintah sudah disampaikannya.
Nakula-Sadewa beringsut mundur, bersujud di hadapan Eyangnya, Senapati Agung yang besok akan berlaga.

Keduanya pulang untuk mengabarkan berita dukacita, bahwa Eyangnya besok akan menunjukkan cintanya yang teramat besar dengan caranya. Di Padang Kurusetra, tempat di mana kemanusiaan diuji dan nurani berbicara sejujurnya.

1 komentar:

  1. seingat saya kalau menurut pakem, sebenarnya Nakula-Sadewa melakukan hal ini kepada Prabu Salya, tetapi saya sengaja membelokkan pakem dengan tokoh resi Bisma, karena alasan dramatik saja
    mohon maaf, kalau sekiranya ini membuat pembaca menjadi tidak berkenan

    BalasHapus