31 Januari 2008

Bancakan

Waktu diminta untuk ngomong sama teman-teman?
He he he ...
Terharu juga, bleh !!

Bisa Rumangsa

Hari ini aku belajar untuk mengetrapkan budaya sikap 'bisa rumangsa'. Mengukur kesadaran diri terhadap batas akhir masa pengabdian formal di tempat kerja, setelah beberapa saat diperpanjang karena suatu alasan yang berdasar oleh manajemen.
Memang kalau dilihat secara fisik, rasanya masih cukup energi dan potensi yang dapat dicurahkan, tetapi peraturan dan 'keseimbangan' juga perlu mendapatkan perhatian. Toh potensi dan atensi juga dapat disalurkan ke (bekas) tempat kerja melalui berbagai saluran, tetapi tanggung-jawab formal tetap harus dilandasi oleh selembar surat keputusan.
Saat ini tanggung-jawab formal akan segera bermetamorfosa menjadi tanggung-jawab moral. Dan mungkin justru menjadi semakin berat, karena kekeliruan yang dilalukan di masa lalu sudah tidak mendapat ruang dapat diperbaiki sendiri. Orang lain yang mendapat beban untuk melakukan koreksi dan perubahan atau bahkan pengembangan. Dan di situlah dinamika terjadi.
Sadar atau rumangsa (Jw) bahwa keberadaan diri yang berkepanjangan dapat atau berpotensi memperlambat dinamika perubahan menjadi salah satu pertimbangan, sedang pertimbangan lainnya adalah bahwa sudah waktunya aku harus menjadi 'diri-sendiri', manusia bebas yang mempunyai pilihan untuk menentukan arah jalan dan ritme hidupnya. Pada titik ini rasanya siapapun harus mulai belajar melakukan keseimbangan baru untuk meniti waktu agar tidak jatuh, dan kalaupun jatuh harus belajar bangkit lagi.
Dukungan beberapa teman baik untuk pengambilan keputusan ini sangat kuat, disampaikan kepadaku dengan argumen-argumen yang sangat masuk akal, disertai canda dan 'ancaman'. Aku sangat berterimakasih, dukungan itu membuat keputusanku semakin bulat dan kokoh, pemikiranku dan inspirasiku semakin berkembang, batas-batas psikologis yang selama ini melingkupi pikiran semakin tembus pandang.
Aku merasa selama ini berada di dalam tim yang sangat baik, penuh rasa saling percaya, sangat dinamis, memberi ruang gerak agar masing-masing dapat tetap menjadi 'aku'-nya sendiri namun juga berusaha bersama-sama untuk melakukan tanggung-jawab secara optimal.
Tekanan-tekanan yang berat seringkali terjadi, dan itu dirasakan kemudian menghasilkan buah berupa kearifan kerja, sebuah hasil lain yang tak ternilai. Untuk semua itu tentu aku sangat berterima-kasih kepada semua teman dan para atasan.
Kita sudah sampai pada batas waktu masing-masing. Dan ketika itu harus ditandai, tanda yang paling baik adalah sebuah doa. Agar Tuhan Yang Mahamenjaga tetap menjadi pengawal hati supaya masing-masing berada track yang semestinya, sebagaimana yang dikehendaki olehNya.
Waktu memang harus berlalu, karena demikianlah firmanNya. Dan besok sesuatu yang lebih baik tetap menjadi harapan siapapun.

30 Januari 2008

Ruang Keberangkatan

tempat ini bertebar ekspresi
menanti kapal terbang berangkat ke suatu tempat
di mana yang telah dipersiapkan akan dibuka di sana

buah tangan, pekerjaan, berita
cinta
harapan

tempat ini bertebar aura
harap, cemas, sukacita
dan terkadang kesumat membara

tanpa kuasa apa-apa
selain menanti aba-aba kapan saat keberangkatan tiba

29 Januari 2008

Nasib, cobaan, keajaiban atau keguwwwobloggan saya semata

Kembali lagi saya harus minta maaf kepada beberapa teman yang telah mencoba posting komentar tetapi tidak bisa masuk ke blog ini. Saya sudah mencoba kutak-katik dengan mengikuti 'kaidah' sesuai ketentuan yang dipasang oleh Aa Blogger, maupun dengan mengikuti panduan dari beberapa buku tentang blogspot. Barangkali apa memang nasib yang masih kurang hoki atau ini sebuah cobaan hidup bagi blog ini, sehingga rasanya blog ini terasa sepi dan egois. Maksud hati sih minta pendapat para jawara atau dukun atau pakar atau siapa saja lah yang sudi meluangkan jarinya sedikit kriting untuk menuliskan kiat dan resep serta mantranya supaya kesulitan saya yang mungkin sepele belaka ini dapat teratasi. Mudah-mudahan ada yang berbelas hati untuk menolong blog ini dari kesepiannya gara-gara mungkin ada yang tidak beres dengan settingnya.
Saya menunggu keajaiban datang, kapanpun. Sukur-sukur sekarang juga.
Pak dokter Indro, mohon maaf ya ......
Saya tetap setia mengintip Anda, mari kita intip-intipan yang sampai timbilenpun tak belani, toh kalau timbilnya sakit saya tinggal minta obatnya .......
Mas Ronny, saya nunggu kapan bikin tulisan yang memancing 'amarah' teman-teman kita yang ketiduran berkepanjangan ...
T-Bob, kalau pengen keranjangnya cepat penuh, sering-sering saja undang saya makan bebek lada hitam, sup hisit, eskrim teh ijo dicampur 100 frame slide ....
Anak muda yang adik-adiknya tua semua, cepetan bikin blog yang seru, postingnya seminggu sekali gapapa, isi dengan gambar semut atau pasirpun jadi lah...
Kakang kawah, ......eh, udah ah, ngaco!

28 Januari 2008

Bertemu kembali (11) Misteri

Barangkali pada suatu saat dan tempat tertentu tanpa disadari kita pernah nyaris bertemu dengan seseorang yang cukup dekat dengan kita. Demikian pula dengan temanku Dwiyanto, anggota pasukan Radion Baru yang berbusa berlimpah-limpah, dari ruang kelas IIB3 di sebelah ruang kelasku.
Ketika bertemu dengan teman lama, diinformasikan bahwa Dwiyanto bekerja di Solo, di sebuah BUMN yang ‘sesaudara’ dengan tempatku bekerja.
Pada suatu ketika yang lain, teman sekantorku cerita bahwa Dwiyanto adalah temannya seangkatan pada waktu pendidikan profesi di Jogja. Mereka sempat bersama lebih kurang tiga tahun.
Dan yang mengejutkanku adalah bahwa Dwiyanto beberapa waktu yang lalu sempat datang ke kantorku untuk rapat tanpa aku tahu! Tanpa sempat bertemu! Karena saling tidak tahu kalau kami masing-masing berada di bangunan kantor yang sama! Bukan main. Barangkali pada saat itu jarak kami tidak lebih dari sepuluh meter, tetapi tidak sempat saling tahu. Benar-benar sebuah misteri.
Beberapa waktu kemudian ketika aku ditugasi oleh Perusahaan untuk datang ke kantornya di Solo, kusempatkan untuk berusaha menemuinya, tetapi kebetulan pada saat itu beliau sedang tugas ke luar kota. Ya, sudah. Keinginanku untuk bertemu muka gagal jadinya.
Dwiyanto yang wajah adiknya pernah kugambar dan gambar itu menjadi maskot kami, regu Pramuka bercelana pendek. Dwiyanto yang senyumnya kaleeeemmmm, sepertinya selalu no probleeeeeem ...............

26 Januari 2008

Anak Polah Bapa Kepradah dan Kompetensi

Anak polah bapa kepradah adalah ungkapan Jawa yang kurang lebih artinya : ketika seorang anak berkehendak akan sesuatu, orang-tua yang akan bertanggung-jawab untuk memenuhi kehendak tersebut. Sehingga pengertian dasar yang tersirat adalah bahwa orang-tua mempunyai tanggung-jawab untuk memenuhi kebutuhan anaknya. Makan, minum, pakaian, bermain, belajar, sarana dan lain-lain agar si anak kelak dapat berkembang menjadi seorang yang dewasa, mampu hidup layak sebagaimana harapan orang-tua maupun cita-cita anak itu sendiri.
Saya tidak tahu, bagaimana asal-mula sebutan anak-buah bagi ‘bawahan’ di dalam hubungan kerja, di mana atasan sering disebut dan diharapkan menjadi ‘bapak’ bagi bawahannya. Apakah ungkapan ‘anak-buah’ yang bergaya Jawa tersebut masih relevan untuk diterapkan? Karena anak-buah bagi seorang atasan seringkali (atau justru harus!) disikapi sebagai pembantu atau alat penunjang kelancaran tercapainya target, sehingga tidak ada alasan untuk ‘polah’ atau berkehendak.
Seorang anak-buah yang dalam pelaksanaan tugasnya melakukan hal yang berbeda dari yang dikehendaki atasan, biasanya dipinggirkan dari tim, karena dipandang akan merepotkan atau justru potensial untuk menggagalkan pencapaian target yang akan membahayakan organisasi.
Tetapi benarkah sepenuhnya demikian?
Seorang atasan atau pemimpin, tentunya secara terus-menerus perlu berkomunikasi dengan orang-orang di bawah kepemimpinannya sementara upaya pencapaian target sedang berlangsung. Termasuk mengkomunikasikan besaran dan tenggat pencapaian, sarana yang dimiliki, medan yang dihadapi serta berbagai hal yang bersangkut-paut.
Memimpin tim yang utuh dan kompak dengan segala kelebihan dan kekurangan masing-masing anggota memang tidaklah mudah, apalagi kalau kondisi yang harus dihadapi tidaklah mudah. Seorang pemimpin yang senantiasa berada di antara anak-buah dan memandu gerakan tim, akan lebih mudah melakukan proses pencapaian target ketimbang seorang pemimpin yang kadang-kala saja berinteraksi dengan bawahannya. Lebih baik lagi kalau dia menguasai masalah, alat dan memiliki kemampuan komunikasi yang baik.
Di sisi lain seorang anak-buah yang baik akan mencoba memahami peran dirinya di dalam tim dan berusaha melakukan hal terbaik dengan segala kemampuan yang dimilikinya, yakni ketrampilan, pemikiran dan waktu. Pada saat proses yang sedang berlangsung mengalami hambatan, maka dia akan berpikir dan berusaha memecahkan sumbatan sampai hambatan terpecahkan dan kelambatan dapat dikejar. Pada tahapan inilah biasanya terjadi ‘kehendak’ berupa usulan atau permintaan kepada atasan.
Diskusi atau tawar-menawar secara intens dilakukan. Masing-masing mencoba memahami pemikiran, posisi dan situasi yang ada. Berkomunikasi dengan baik, menghindarkan diri dari prasangka-prasangka, membaca ‘peta’ bersama-sama, dan akhirnya bersama-sama menyelesaikan hambatan pada posisi dan batas tanggung-jawab masing-masing. Dengan damai, meskipun tetap bekerja keras.
Anak polah bapa kepradah, akhirnya ungkapan yang tidak tepat dihubungkan dengan keadaan dalam organisasi non-keluarga, karena pemahaman anak-bapak bukanlah sebagaimana anak kecil dan orang-tua dalam sebuah keluarga.
Anak-buah dan bapak-buah, sebuah ungkapan khas Jawa yang sering digunakan dalam konteks lingkungan kerja sudah waktunya untuk dibedah maknanya dan dibuang saja kalau memang dipikirkan akan menghambat gerak pencapaian sasaran.
Setiap orang mempunyai peran masing-masing, dan peran tersebut akan berkontribusi atau merugikan, saya kira sangat tergantung seberapa pas kompetensi masing-masing di dalam tim.

Musik di Tempat Kerja

Tempat ini bukan showroom atau toko kaset. Tetapi seorang teman suka sekali mendengarkan musik sambil bekerja. Yang lain merasa terganggu, karena lagu yang diputar tidak cocok dengan seleranya dan volumenya terdengar cukup keras. Hanya karena toleransi antar-temanlah maka teman yang lain bersikap maklum. Tetapi permakluman tersebut menimbulkan ekses lanjutan: mereka harus berbicara keras agar dapat didengar yang lain.
Dari ruang sebelah, gema dari suara musik bercampur dengan suara-suara orang berbicara setengah teriak mengakibatkan timbulnya polusi pada atmosfer kerja.
Kejadian yang berlangsung hampir di setiap hari kerja ini secara tidak sadar merubah cara berbicara di lingkungan tersebut dan sekitarnya. Berbicara yang semestinya dapat dilakukan dengan intonasi yang biasa, terpaksa harus diperkuat sekian desibel agar dapat ditangkap lawan bicara. Sehingga gaya komunikasi berubah. Mirip kondisi di pertokoan alat-alat elektronik dan audio, di mana segala macam bunyi-bunyian beradu kencang.
Bagi mereka yang pada saat tertentu memerlukan konsentrasi untuk berpikir, kegaduhan ini sangatlah mengganggu. Demikian pula yang sedang melakukan diskusi serius. Belum lagi bagi yang menerima tamu kastemer, jelas kondisi ini sangat merusak citra ‘kantor’.
Beberapa teman melontarkan protes, ada yang disampaikan kepada si penikmat musik, ada yang disampaikan kepada atasan. Lalu tiba-tiba pada suatu hari sunyi, tak terdengar suara musik seperti biasanya. Bahkan perangkat audionya-pun tak ada lagi. Konon karena si penikmat musik pindah tempat kerja untuk sementara waktu, dan suatu saat nanti akan kembali lagi.

23 Januari 2008

Hati-hati terhadap virus LtA !

Pada waktu sekolah dulu, ada istilah wayangan untuk sebuah kegiatan belajar mati-matian menjelang ulangan atau ujian. Ada istilah lain yang sejenis, yaitu SKS : Sistem Kebut Semalam. Para pelaku wayangan atau SKS biasanya adalah para pelajar atau mahasiswa.
Kebiasaan wayangan atau SKS adalah ‘sebuah kebiasaan buruk yang tidak selayaknya dilakukan oleh seorang murid yang budiman’, demikian dikatakan oleh para Bapak dan Ibu Guru.
Tetapi rupanya pesan yang penuh kearifan ini tidak ditaati oleh para murid, terbukti dalam banyak aktivitas yang sifatnya sebenarnya tidak darurat, oleh banyak orang diselesaikan dengan cara marathon, kejar-tayang, dan kegiatan-kegiatan lain secara tergesa-gesa untuk mengejar dead-line akibat dari penundaan yang dilakukan.
Istilah yang lebih bergaya untuk wayangan atau SKS adalah Last-time Approach.
Dan saya mengaku bahwa saya adalah salah satu pelakunya, sebagaimana dilihat oleh sahabat saya waktu itu, dr. Achmad Husaini dari Martapura.
Ketika itu saya, beliau dan bersama-sama beberapa teman lain mengikuti sebuah kursus di Jogja (Jogya, Yogya, Yogja atau apa?). Rupanya beliau melihat cara saya menyelesaikan banyak tugas dengan cara wayangan, sementara teman-teman yang lain sudah tidur pulas.
Saya tidak tahu, apakah saya memang pembawa virus LtA di lingkungan kerja saya, tetapi saya benar-benar terkejut ketika virus ini ternyata telah berkembang dan mengalami mutasi menjadi virus yang lebih ganas.
Dan saya, yang mengira sudah kebal akhirnya tumbang juga, karena virus yang telah bermutasi secara luar-biasa ini telah menulari orang lain dan dampaknya mengenai diri saya.
Saya harus melakukan sesuatu yang ditunda oleh orang lain.
Oleh karenanya, hati-hati, jangan sampai tertular virus ini, karena dampaknya potensial akan merepotkan orang lain.

21 Januari 2008

Mohon Maaf

Terima kasih kepada teman-teman sekalian yang telah memberikan atensi luar-biasa kepada blog ini, sekaligus mohon maaf apabila mengalami kesulitan untuk memasukkan komentarnya. Saya sedang belajar membuka batasan-batasan yang di-set dalam pengaturan komentar. Mudah-mudahan pengaturan yang saya set setelah ini sudah dapat mengakomodasi komentar baru. Masukan dari teman-teman sangat saya nantikan. Terima kasih.

Ukuran

Kemarin seorang teman harus bekerja di hari libur. Panggilan urgen untuk persiapan sebuah rapat. Beberapa hal harus diset oleh seorang Manajer yang sumber datanya berasal dari teman tadi.
Ketika materi pokok sudah dicopy, maka pesan selanjutnya adalah: jangan keburu pulang dulu, tunggu saya selesai, mungkin ada data lain yang saya perlukan. Maka teman saya dengan setia tetap berada di tempat.
Ketika sudah jam tiga sore tidak ada order lagi, teman saya mencoba cek ke ruang Manajer. Sepi. Ruang pembantunya. Juga sepi.
Beliau sudah pulang dengan tidak memberitahu teman saya, untung saja dia tidak menunggu sampai maghrib. Sebuah kesetiaan yang terlupakan oleh sesuatu yang lebih besar barangkali. Saya cuma bilang kepada teman saya yang baik tadi: Jadikan itu sebuah ukuran.
Mudah-mudahan dia melupakan peristiwa itu, tetapi tetap mengingat alat-ukurnya.

Buku

(1)
Tahun 70-an, tempat penjualan buku rombeng di Surabaya ada di Jalan Semarang, sekitar kawasan stasiun Pasarturi. Tempat itu tidak pernah sepi pengunjung. Pelajar, guru dan beberapa orang tua. Segala macam buku ada di sana, mulai dari text-book bekas, majalah luar negeri, novel lama sampai primbon bekas. Aku suka sekali ke sana untuk sekedar cuci mata atau kadang-kadang beli buku yang menarik.
(2)
Tahun 60-an, aku menjadi anggota Perpustakaan Rakyat di Muntilan. Bertempat di sebuah rumah kecil berlantai tanah, berjarak 100 meter dari rumahku di Beteng Kauman, tempat itu laksana surga khasanah pengetahuan bagiku. Segala macam bacaan ada di sana. Mulai buku bacaan (bukan buku pelajaran!) untuk anak Sekolah Rakyat (SD sekarang) sampai buku-buku tebal hard-cover terbitan NV Noordhoff Kolf. Dengan membayar setali (25 sen) sebulan, sekali pinjam paling banyak 2 buku, paling lama tiga hari. Aku menjadi pemakan buku. Dua buku 100-150 halaman harus selesai tiga hari. Berkelana dalam bacaan ke sebuah rumah di pedesaan Amerika, ke jaman purba di mana manusia gua mulai belajar membuat alat-alat untuk berburu, ke sudut-sudut dunia.
Sayangnya, tiba-tiba perpustakaan pindah cukup jauh. Tamatlah petualanganku di dunia imajinasi seorang anak.
Masuk SMP, aku mulai kenal Winnetou dan Old Shatterhand dari perpustakaan Susteran. Juga majalah Intisari yang baru saja lahir.
(3)
Jaman internet, yang adalah pustaka luarbiasa besar memberi kesempatan baru bagiku untuk mengembara ke sudut-sudut dunia, pemikiran dan penulisan. Buku sudah tidak lagi disajikan dalam bentuk seperti pada masa kecilku, tetapi daya pikatnya semakin luar biasa karena mampu hadir seketika di depan kita dengan tampilan yang jauh lebih canggih dan sempurna.

Demikianlah, semua berjalan seiring dengan pergerakan jaman dan pemikiran. Di jaman ini, aku bisa mencoba untuk belajar berbagi isi kepala dengan siapa saja.

19 Januari 2008

Bertemu Kembali (10) - Hilang

Pertarungan silat antara golok dan cemeti pendek itu terjadi di ruang tengah rumah, aku menyaksikan dengan mata-kepala sendiri. Ngeri juga. Sementara di dapur, ubi rambat goreng yang baunya mengundang selera sedang menjalani proses di atas wajan. Dua diantara anggota geng Avirra yaitu si Aries dan Virgo masih ber has! issss! wussss!
Ketika mereka selesai, kami bertiga lantas mengerjakan PR fisika klas tiga SMP. Hari itu kami belajar di rumah, tidak seperti biasanya yang memilih tempat gubug di tengah sawah atau di atas batu besar yang datar di kali Lamat. Ujian SMP sebentar lagi akan sampai, dan kami harus belajar. ( Eh, jadi ingat Laskar Pelangi – Andrea Hirata)
Usai ujian, tiba saat berpisah, sementara dua petarungku tetap tinggal, aku pindah ke luar kota, tinggal di rumah kakek dan bersekolah di Purworejo. Komunikasi lewat surat berlangsung sangat intens antara dua anak remaja. Aries sang Petarung yang adalah sahabatku Widayanto, sangat rajin berkirim surat, sampai-sampai kakekku hafal tulisannya yang bergaya di setiap sampul suratnya.
Lulus SMA aku pindah lagi. Kali ini ke Surabaya. Komunikasi putus. Suratku tak berbalas.
Sampai kemudian tiba-tiba Widayanto muncul begitu saja ke rumah dengan wajah resah. Penuh masalah. Ternyata untuk waktu lama, dia tinggal di sebuah rumah yang kira-kira cuma sepuluh menit jalan kaki dari tempat-tinggalku. Dan kami baru tahu itu ketika bertemu.
Kami berpisah lagi. Widayanto lenyap tak terlacak bagai tertiup angin pancaroba. Dan bertemu lagi bertahun kemudian. Mengejutkan sekali.
Ketika itu adik iparku diterima bekerja di sebuah perusahaan farmasi, dan diundang untuk wawancara. Manajer yang akan mewawancarai: Widayanto !
Malam sebelum wawancara, kuantar adikku ke rumah beliau, dan kami sama-sama kaget. Widayanto-ku, pendekar bercemeti pendek, ada dihadapanku. Memori masa kecil berkilas-kilas. Pertemuan dan perpisahan silih berganti tanpa diduga.
Teringat dialog antara almarhumah ibuku dengannya: Piye nak Hwie? Kok suwe ra dolan rene? – Inggih bu, lha Paromo rak mboten wonten mriki – Dadi, nek Suko ra ono terus nak Hwie ra niliki aku, ngono to? – Wah, nggih mboten to bu ......
Widayanto kemudian menghilang lagi dari jangkauanku. Tak terlacak lagi. Sampai sekarang.

Teman, dimana kau berada, wahai pendekar angin pancarobaku ?

18 Januari 2008

Memberi Ruh

Ruh atau roh diartikan sebagai sesuatu yang menyebabkan berlangsungnya kehidupan. Baik kehidupan suatu makhluk, maupun kehidupan sebuah lembaga. Bagi makhluk, ruh ‘ditiupkan’ oleh Sang Mahapencipta, sedang pada sebuah lembaga, ruh ditiupkan oleh orang-orang di dalam lembaga sebagaimana semula lembaga tersebut dihidupkan atau didirikan untuk sebuah tujuan tertentu.
Sebuah perusahaan didirikan untuk tujuan mendapatkan keuntungan yang terus-menerus. Ruh dari perusahaan tersebut adalah tekad dari para pendiri dan pekerjanya, yang menggerakkan kerja keras sehingga menghasilkan keuntungan dan kesejahteraan yang terus-menerus.
Perusahaan hidup karena memiliki ruh yang berkualitas, perusahaan yang hanya mampu bertahan adalah perusahaan yang ruh-nya perlu ditinjau kembali, dan perusahaan yang hampir bangkrut adalah perusahaan yang telah ditinggalkan oleh ruh-nya, atau yang kesurupan oleh ruh lain.
Para pengurus perusahaan yang biasa disebut direktur, manajer atau apapun sebutannya, adalah orang-orang yang paling berkompeten menjaga ruh perusahaan, dengan mengoptimalisasikan potensi dirinya untuk mengurus hal tersebut. Kinerja ruh perusahaan dapat dilihat pada sejarah kehidupan perusahaan dari hari ke hari, dari waktu ke waktu.
Kehidupan dalam perusahaan adalah dinamika dalam aspek produksi, pemasaran, finansial dan hubungan antar anggota perusahaan di dalamnya serta aspek-aspek lainnya yang terkait. Dinamika yang harus dijaga keselarasannya agar menghasilkan sinergi.
Sinergi inilah yang pada waktunya akan menghasilkan keuntungan, yang berarti juga peningkatan kesejahteraan.
Jadi, memberi ruh, menjaga harmoni dan melakukan sinergi terus-menerus adalah tugas pokok yang perlu dilakukan.
Karena kalau hal tersebut tidak dilakukan, maka perusahaan akan kesurupan ruh lain, dan kemudian bukan lagi menjadi perusahaan tetapi mungkin pEruSahaN, dan hasilnya bukan kesejahteraan, tetapi barangkali adalah ke.s..aht..r.. !

Koran

Koran pagi dirumahku seringkali menjadi koran kemarin dulu, karena aku membaca dua-tiga hari sesudahnya. Itupun kadang-kadang tidak semua topik utama terbaca. Kartun humor, artikel bersambung dan sesekali surat pembaca adalah bacaan yang meskipun biasa tetapi tidak seperti biasanya. Yang paling tidak menarik untuk dibaca adalah berita kejahatan, kecelakaan, bencana, pengadilan, kunjungan pejabat dan muhibah anggota dewan, perkawinan dan perceraian artis, dan yang sebangsa itulah.
Membaca berita-berita seperti itu rasanya tidak membuat kita pintar, tetapi justru emosional: marah, kasihan, takut, terkejut, muak, geregetan dan sebagainya. Mending tertawa karena kartun humor, yang kadang-kadang seperti mentertawakan diri sendiri.
Jadi, lalu kenapa setiap pagi masih ada koran? Kan jadi pengeluaran belanja yang inefektif?
Yang perlu untuk membaca koran kan bukan aku sendiri.

Bertemu Kembali (9) - Bengong Dua Jam

Ketika pertama mendapat nomor hpnya dan kuhubungi, balasan-balasannya agak ngaco. Gak nyambung. Mungkin masih bingung, jangan-jangan aku dikira mengaku-aku jadi teman, sok akrab, lantas suatu saat datang untuk nodong ( he he he jangan marah ya bos, ini guyon kok).
Dulu, sering sepulang sekolah, selesai makan aku ngibrit bersepeda ke rumahnya, toko mas Kuning di selatan pasar Baledono Purworejo, bukan untuk belajar, meskipun dari rumah bawa buku, tapi karena dia langsung buka player PH maka acaranya lalu diganti: dengar musik dari piringan hitam. Yang diputar mulai dari klasik, mars tentara Amerika, sampai musiknya the Ventures ( ingat Baby Elephant’s Walk!). Dan yang tidak lupa: buku silat. To Liong To dan yang lainnya. Sudah lupa.
Wasisto Raharjo sekarang sudah jadi mertua dan kakek, tetap suka musik. Dan tetap lucu. Terutama pada awal kami bertemu setelah berpisah lebih dari 35 tahun.
Ketika tugas selesai, di Semarang waktu itu, kutelepon beliau. Katanya: lho hotelmu ada di dekat rumahku. Aku jalan kaki saja, kita ketemu di kamarmu. Ngapain di kamar? aku tunggu di lobi saja (soalnya: kamarku seperti kapal pecah, penuh berkas). Ngotot minta di kamar. Oke! Sambil kontak dua teman lain, Junianto dan Farchan untuk join.
Akhirnya kamarku diketuk. Pintu kubuka: inilah wajah lamanya yang aku masih sangat ingat. Sementara itu beliau memandangku dengan bengong. Kita bicara-bicara sambil tunggu teman lain, bengong.
Junianto datang dan menunggu di lobi.
Kami berdua turun, beliau masih bengong.
Junianto ngajak ke mal untuk cari pizza sambil ngobrol dan menunggu Farchan, Wasisto masih juga bengong.
Sampai akhirnya kembali ke lobi hotel, dan akhirnya setelah hampir dua jam, teman ku yang luar biasa ini, baru memberikan pengakuan yang mengejutkan kepadaku di depan publik: Ya, ya, ya. Aku sekarang baru ingat persis kamu ini Paromo Suko yang dulu itu. Wah! Kebangetan ni teman, pikirku... Perasaan, gua sih kaga pernah ganti kulit atawa operasi plastik, bleh!
Rupanya komputernya rada ngadat, atau karena kelewat sering diforce ketika memakainya (beliau pernah jadi eksekutif di sebuah perusahaan besar) sehingga performanya turun ke kelas 286. Pantesan butuh dua jam buat merecall wajah dan profilku dari memorinya. Atau aku yang memang berubah menjadi semakin tidak karuan dari yang sebelumnya memang sudah tidak karuan juga .......

16 Januari 2008

halaman belakang

disiram air hujan
kecambah tumbuh satu-satu, beribu-ribu
berseri dengan sorak-sorai kecil yang senyap
ada yang bekerja di sana tanpa bertanya tanpa meminta
menunggu tanpa haru-biru
ada yang pergi, diantarnya dengan bekal apapun saja yang diperlukannya
tumbuh
hidup
kembang
selesai

lalu datang kembali ke pelukannya, diterima apa adanya, tanpa bertanya

di halaman belakang
kepunyaan Gusti Allah yang Mahapunya

15 Januari 2008

Bertemu Kembali (8) - Di Seberang Jendela

Senyum-senyum ketika aku membaca tulisan beliau, di mana namaku dipasang sebagai head di blognya : indrosaswanto.blogspot.com
Teman yang satu ini aya-aya wae ....
Dulu di SMA duduk di kelas yang berseberangan dengan kelasku. Kelas kami berjendela rendah, yang sering dibuka untuk sirkulasi udara dan buang bosen ketika pelajaran berlangsung. Mungkin karena beberapa orang terlalu sering menoleh ke luar lewat jendela, akhirnya beberapa menikah antar teman seangkatan. Yang jelas aku dan pak dokter Indro Saswanto tidak termasuk dalam daftar pernikahan lantaran jendela ini.
Perkenalanku dengan beliau waktu SMA sebenarnya tidak bisa disebut sebagai perkenalan, maklum, masih sama-sama culun, beda kelas, kumpul juga cuma satu semester. Karena kelasku pindah ke kompleks baru yang di tengah sawah (sekarang udah bagus oi, yang lama malah hilang, sayang sekali, mestinya itu cagar budaya yang harus dilestarikan lho).
Ketika kelas dua dan kami kembali ke sekolah induk, beliau ternyata sudah pindah. Ya terus ilang begitu saja. Tapi rekaman namanya yang kondang sebagai superstarnya SMP 2, tidak bisa hapus.
Demikianlah, dimulai dengan sms yang sampai sekarang masih terus berlanjut, aku banyak belajar dari beliau tentang banyak hal. Apalagi setelah beliau buka blog ( di awal tadi sudah kutulis, tengok-tengoklah, seru di sana).
Lalu kenapa kok komunikasi kami pakai sms? Supaya jari dan jempol tetap sehat. Karena sampai sekarang fakultas kedokteran belum ada yang buka program untuk spesialisasi Jari dan Jempol, yang -kalau ada- mungkin tarip konsulnya bisa mahal, soalnya jumlahnya kan semua 20, apalagi kalau penyakitan semua....

14 Januari 2008

Profesor Emil Salim dan trouble-maker

Baru saja saya nonton tv, wawancara dengan prof Emil Salim, figur yang sangat saya suka sejak dulu karena setiap penjelasannya selalu disampaikan dengan alur yang gamblang dan diucapkan seolah-olah seperti memberi kesempatan bagi pendengarnya untuk dapat menulis secara benar dan cermat. Disampaikan dengan takaran yang pas. Penyampaian yang khas seorang Guru dengan 'G' besar.
Beberapa hal yang saya baca dan catat tentang beliau, antara lain adalah bahwa putri beliau Amelia (ibu Amelia?) pada waktu kecil telah menginspirasi lahirnya lagu anak-anak 'O, Amelia' yang diciptakan oleh pak AT Mahmud. Ingat lagunya?
Oh, Amelia gadis cantik lincah nian ...... dan seterusnya.
Lalu tulisan beliau tentang kenangan masa kecil, yang suka 'bertualang' seperti Winnetou dan Old Shatterhand. Beliau ketika kecil adalah pembaca karya-karya Karl May. Eh, sama, saya juga.
Kok rasanya saya belum nemu figur lain yang sekuat beliau nilainya dalam ingatan saya.

Uraian beliau dalam wawancara tadi tentang Widjojonomics atau Soehartonomics memberikan kesan tentang kepemimpinan yang pernah beliau alami dalam masa jabatan di lingkungan pemerintahan kala itu.
Menjadi perhatian saya, karena beberapa jam sebelumnya saya berada pada situasi kerja tim di mana rasanya ada masalah besar dalam hal kepemimpinan yang membuat saya menjadi geregetan.
Kerja tim yang kurang fokus, boros waktu, tidak padat-berisi, dan berdampak tidak optimalnya performa, sementara pekerjaan ini adalah kerja yang kejar-tayang (kayak kerjaan bikin serial sinetron saja).
Memang akhirnya selesai juga, tetapi rasanya dicapai dengan terlalu boros energi. Energi fisik, pikiran, emosi, waktu dan bahkan duit juga meskipun nggak banyak dan meskipun nggak bayar sendiri-sendiri karena dibayar oleh lembaga, lha wong mestinya nggak perlu sampai jam makan siang.

Ya kecewa juga sih, apalagi terbayang bahwa ini akan terus berulang, padahal agar everybody happy maka kira-kira kok perlu:
1. Materi difahami secara utuh.
2. Sistem kalkulasi diketahui dan disepakati
3. Pembahasan fokus
4. Kontribusi masing-masing orang merata
5. Ada seseorang yang berperan sebagai dirigen

Mungkin beberapa teman saya juga berpendapat sama seperti itu, tetapi kenapa kok sering terulang hal yang sama ya?
Barangkali apa yang tadi saya dengar, saya lihat dan saya cermati dari uraian prof Emil Salim perlu saya jadikan referensi.
Karena jangan-jangan trouble-makernya saya sendiri.

Udel Bodong: Garuda bodong, Gajah bodong

Udel bodong (bhs. Jawa) artinya adalah perut yang pusarnya menonjol. Biasanya bodong terjadi pada perut yang buncit.
Konon, teman-teman Unair suka menyebut lambang akademiknya dengan Garuda Bodong, karena nggak tahu kenapa, dulu disainer lambang tersebut menambahkan bulatan di perut garuda. Atau mungkin memang patung yang digunakan sebagai model ada bagian bodongnya.
Begitu juga Ganesha yang menjadi lambang SMA Negeri Purworejo (yang sekarang menjadi SMU Negeri 1 Purworejo), perut Ganesha-nya juga bodong.
Benarkah?
Coba deh, amati dengan cermat wahai para Muda Ganesha, terutama para MG69. Kalau tidak bodong, berarti saya saja yang salah lihat. Sori.
Yang pasti, saya yakin di antara para alumni nggak ada yang udelnya bodong. Tapi kalaupun ada, ya sori juga.

Bertemu Kembali (7) - Membaca Tanda-tanda

Pulang dari luar negeri ditemani bule, lantas terbang keliling-keliling di atas Borneo dan hinggap sejenak di Surabaya. Karena teringat teman sebangkunya, Hery meneleponku:
Bisa kita ketemu di hotel Simpang?
Wah, ya harus bisa. Maka kuajak isteri dan dua orang anakku menjumpai temanku ini. Kuperkenalkan beliau dengan tim-ku yang tiga ini, dan ketika omong-omong sedang berlangsung di lobby, kolega pak (!) Hery datang bersama para bule, kami diperkenalkan kepada beliau-beliau dengan tambahan info penting : ini teman sekolah saya dulu, telah dua puluh delapan tahun kami tidak pernah bertemu. Pakai bahasa Inggris, tentunya.
Wah sesak juga dadaku. Terharu, nih. Sekian lamanya terpisah, masih bisa bertemu dalam keadaan sehat.
Yang di luar dugaanku, jagoan fisikaku ini akhirnya berkarier di BMG, yang produk dari lembaganya sering aku tonton di televisi (bahkan sejak tv-ku masih hitam-putih), yaitu ramalan cuaca, tanpa aku tahu bahwa di balik itu, ada 'sentuhan' otak dan tangan beliau yang luar biasa.
Sepulang dari pertemuan itu, ke dua anakku berkomentar: oom Hery hebat ya ....
Dan jawabanku kepada keduanya: Untuk sampai ke sana, perjuangannya pun luar biasa ...
Beliau adalah Hery Haryanto, Sang Pembaca Tanda-tanda, yang sorot matanya tetap bersinar-sinar seperti puluhan tahun yang lalu.

12 Januari 2008

Mikir terus

Saya lagi mikir, bagaimana ya kalau template blog ini saya ganti terus font-nya juga terus ditambah dengan foto terus, terus, terus .......
Saya juga mikir, blog ini nantinya jadi blog yang pembacanya cuma saya sendiri, dan beberapa teman dekat, dan beberapa kerabat yang nyasar, dan beberapa lagi yang awel-awel , dan, dan, dan ......
Saya juga mikir, sampai kapan rajin nulis, nulisnya tentang apa, dipostingnya kapan, lalu, lalu, lalu ...
Sementara, dunia blog ini marak dengan sajian yang banyak macam tujuannya, pilihan dan macam-macam lagi.
Jadi, ya sudah tulis saja terus, kapan saja tentang apa saja ......

Partai

Berita atau informasi di koran dan televisi (dan sekarang di internet) sering menjadi bahan pembicaraan di masyarakat, di kampung-kampung, di lingkungan kerja, di klub-klub amatir seperti senam pagi, sepeda santai, kolam pancing, penggemar batu akik, dll., dan di banyak lagi komunitas, baik komunitas permanen maupun semi dan non-permanen seperti hajatan dan lainnya lagi. Malah kadang-kadang terselip di forum resmi rapat dan seminar yang sebenarnya acara atau topiknya sama sekali berbeda.
Berbagai opini dan komentar dapat kita dengar di sana. Ada yang ‘asal saja’. Ada yang ‘cukup ilmiah’. Ada yang satire. Ada yang dilucu-lucukan (meskipun topiknya adalah bencana). Macam-macamlah.
Terkadang di antara para ‘analis’ sampai timbul perdebatan seru dengan argumen masing-masing. Apalagi kalau topiknya berbau politik atau dibelokkan ke arah politik, meskipun yang disebut politik kadang-kadang selalu dikonotasikan sebagai figur pada partai atau penguasa.
Jarang sekali forum seperti itu ditutup dengan kesimpulan, karena memang forum di mana tidak ada pemimpin dan yang dipimpin. Yang ada adalah : banyak sekali pendapat yang berbeda.
Pantaslah kalau di negeri ini sekarang tumbuh banyak partai, karena memang segala hal bisa membuat kita berbeda pendapat. Dan untuk membuat pendapat kita diterima barangkali adalah dengan membuat partai baru, di mana anggota barunya pasti orang yang sependapat dengan pendirinya atau para pendirinya.
Dan kalau nantinya di antara anggota dan pendiri berbeda pendapat? Ya bikin saja lagi partai yang baru. Gampang kan? Gitu aja kok repot.

08 Januari 2008

Palinda Genthong

dulu, di gubuk sawahmu kau bicara tentang cita-cita yang seharusnya kupunya

padahal celana pendekmu belum pantas untuk bicara tentangnya

tapi aku suka

aku masih baru belajar bersepeda ketika kau pacu imajinasiku tentang pesawat terbang yang sendiri di langit luas dan sepi

dan kapal-kapal yang terapung-apung bak sabut di tengah laut, tapi mereka bisa saling bicara

lalu kami, aku, dik djoko dan dik helmy

terkesima

aku pernah coba untuk singgah ke gubuk itu lagi

yang kini bahkan aku tak tahu di mana bekasnya, tetapi

dalam jejaknya aku masih bicara tentang engkau

wahai, palindaku, petani cita-cita

yang menyemai biji imajinasi kedalam sanubari kami-kami

adakah engkau masih di sini

bintang jasa aku tak kuasa untuk memberikannya padamu

wahai palindaku,

karena aku bukan presiden seperti andai-andaimu dulu

(palinda konon adalah sebutan untuk kakak pengasuh pandu pemula atau sekarang disebut pramuka siaga)

Kepada bang Deddy Mizwar


Nagabonar Jadi 2. Tokoh yang diperankan oleh Deddy Mizwar ini sangatlah pas untuk mengingatkan kembali cita-cita kebangsaan yang kemudian menjadikan Indonesia merdeka. Banyak adegan yang semuanya mengaduk-aduk pikiran penonton, yang mau menonton dengan pikirannya tentu saja.

Namun tampaknya perhatian sebagian dari kita sudah tidak ke sana lagi, kepada cita-cita tentang Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Gempuran segala rupa keadaan, ipoleksosbudhankam (singkatan asli Indonesia yang mungkin juga akan dibajak) telah mengikis dan memelintir cita-cita ini sehingga daya dorongnya menjadi lembek.

Sebagian harus berjuang melawan keadaan ekonomi yang berat membebani, dan sebagian lagi berjuang mengejar mimpinya sendiri, sementara yang benar-benar berusaha untuk berpikir dan melakukan upaya-upaya ke arah perbaikan, telah terjebak di tengah kemelut kesulitan yang sepertinya mustahil untuk diurai.

Pergantian pemimpin demi pemimpin tidak membuat mimpi kemerdekaan bangsa ini menjadi semakin jelas. Namun malah sebaliknya, menambah beban bagi bangsa karena yang muncul kemudian adalah pertikaian demi pertikaian, mulai dari pertikaian politik, pertikaian akibat main bola, pertikaian akibat orang mabok dari kampung sebelah, pertikaian akibat penggusuran sampai dengan pertikaian karena berebut sembako bantuan bencana. Dan pekerjaan beralih menjadi menghilangkan pertikaian yang muncul di mana-mana.

Saya menonton filem ini berkali-kali dan tidak pernah bosan. Filem cantik, sarat pesan moral kebangsaan. Dan untuk kesekian kalinya, saya menonton lagi di TV yang beberapa menit kemudian menonton lagi di teras rumah pak RT bersama para tetangga di malam tahun baru.

Bang Deddy, Naga,

bikin dong lagi, filem seperti itu, yang mungkin untuk kali ini tentang politisi 'putih' dari djaman perdjoeangan doeloe, yang mendedikasikan dirinya untuk toemboeh dan besarnja bangsa Indonesia. Kalau perlu sekalian dengan episode lanjutannya tentang anak sang tokoh yang di kemudian hari juga menjadi politisi, atau justru sebagai korban politisasi. Agar bisa ditonton semua orang.

Semoga tulisan ini menjadi inspirasi bang Deddy, sementara kemarin di Kirishima saya dari meja sebelah dengar abang bilang ' belum ada ide lagi'.

Salam.

06 Januari 2008

Jalan-jalan

Ketika aku kecil, bapakku sering mengajakku jalan-jalan pagi di hari Minggu. Benar-benar berjalan. Kaki. Lewat desa-desa, sawah, kebun. Melihat rombongan delapan-sepuluh ekor bebek yang satu diantaranya kadang-kadang lagi mengejan untuk bertelur. Melihat seekor ular sawah kecil sedang mencaplok katak. Menangkap capung dan kupu-kupu kecil. Melihat orang membajak sawah, nenek-nenek menganyam tikar, pandai besi membuat sabit.
Sambil berjalan pulang, kadang-kadang bapak membeli buah pepaya yang sesampai di rumah kemudian dikupas dan terasa manis dan segar sebagai pengobat haus.
Diajarkannya aku membuat ‘dremenan’ yaitu peluit dari batang padi yang kalau ditiup akan berbunyi preeeeet...preeeeeet.... , membuat wayang dari seikat rumput atau tangkai daun singkong.
Bapakku pandai nembang Jawa, yang disenandungkannya dengan suara pelan sambil menggendong adikku yang sudah lelah berjalan. Sesekali bercerita isi tentang tembang tadi.
Ritual jalan-jalan sepertinya menjadi kebutuhan, menjadi hari yang sangat menyenangkan sehingga kadang-kadang kami bersaudara bangun lebih pagi dari hari sekolah biasanya dan bersiap menunggu komando bapak: Ayooooo... sekarang kita ke mana..... jalan kaki lho ya.... Tapi, bapak nanti tidak beli apa-apa .... Kita pulang, makan enak karena? Lapaar.
Bapakku seorang pegawai kecil, di kota kecil, tetapi mempunyai andil luar-biasa besar pada diriku.
Adakah kenangan seperti itu masih akan didapat oleh anak dan cucu kita?

Bertemu Kembali (6) - Pangsiyun Berkali-kali

Pramuka yang satu ini punya pengalaman beberapa kali pensiun, dan itu diceritakan ketika kami bertemu dalam kunjungannya ke Gresik. Awal pertama bertatap-muka, penuh nostalgia setelah sebelumnya diawali dengan sms bertubi-tubi. Wajahnya tetap seperti ketika kami dulu masih bersama. Awet muda.
Bermula dari rasa kangen masa-lalu aku coba-coba search namanya di internet, eh, ketemu data pribadi beliau di Komunitas Sekolah Indonesia (KSI) yang konon beliau isi sambil iseng. Ketika nomor hpnya kuhubungi ternyata, oooiii, betapa senangnya mendengar suara yang sudah sekian lama tak terdengar: Sonhaji, yang sering kangen untuk kembali ke rig, meskipun setelah pensiunnya (yang berkali-kali tadi) ke rig bukan untuk ngebor, tetapi untuk mengajar tentang minyak.
Kami punya pengalaman menarik sebagai pramuka, yakni berkali-kali dikirim mewakili sekolah dan Kabupaten Purworejo untuk mengikuti LT Penggalang di tingkat Kabupaten, Keresidenan maupun Propinsi, meskipun sebelumnya kami adalah kompetitor, karena sebelumnya aku mewakili Magelang dan beliau mewakili Purworejo (sempat berkompetisi juga dengan tim langganan juara - timnya mas Bondan mak nyus Winarno yang ngusung fragmen Maheso Jenar di lapangan golf Candi)
Ternyata pendekar Sonhaji ini aksesnya dengan teman-teman lama juga seru, sampai-sampai ketika kehadirannya yang kesekian kali di Gresik, kami hunting di kawasan Perumahan Makarya Binangun Waru Surabaya untuk mencari tempat tinggal teman lama yang lain, mbak Retno PD. Ketemunya: jam setengah sepuluh malam, setelah muter-muter gara-gara kompleksnya berportal-portal. Begitu ketemu lantas dialognya klasik lagi: anakmu piro .........

Suatu kali beliau cerita, beberapa waktu lalu sempat terpeleset jatuh dari pohon jambu(?) di rumahnya, karena lagi pengen beraktivitas untuk buang sebel, karena pas nggak ada yang dikerjain.
Ati-ati to mas, balung tuwo ra sah penekan, mesakke sing nulungi, he he he .........

04 Januari 2008

gus, puisimu itu

gus,
bolehkah aku nempil milikmu
yang kau bungkus dengan kopiah dan sandal dan senyummu yang sangat-sangat-sangat biasa dan bersahaja seperti tetangga dan temanku lainnya
aku tak ingin menirumu berfatwa untuk bisa menggoncang dunia
aku tak ingin karismamu yang bisa-bisa membuatku riya’
aku tak ingin orang berebut cium punggung tanganku atau dipeluk dan punggungku ditepuk-tepuk
gus,
aku cuma ingin bisa berenang di samuderamu yang luas terbentang tanpa horison
samudera kata-kata yang di dalamnya bergelombang-gelombang kearifan
menyentakkan kesadaran

gus,
jumpa denganmu pastilah indah
apalagi kalau kita bisa bertegur sapa, wah
segudang bebanku pasti akan tumpah
berbungkah-bungkah mencari wadah
meski ketika kau jumpa denganku, gayamu marah-marah

gus
puisimu itu
adakah sebuah undangan untuk bertemu
karena kau sudi berbagi isi
yang ada di samuderamu
denganku ?
(njenengan ini sinten to gus?)
surabaya, 2005

Bertemu Kembali (5) - Jempol Keriting

Biasa kalau anak remaja lagi jengkel hati lalu saling tidak menyapa alias jothakan ( bhs. Jawa Tengah). Termasuk temanku Paula, yang ketika hari Senin (waktunya ada upacara bendera) datang ke sekolah dengan muka kusut tapi seragamnya licin, pamit minta ijin untuk tidak ikut upacara (jabatanku apa sih ya, kok sampai ijinpun ke aku?) . Dasar jahil, sambil senyum-senyum kubilang: iya .. iya .. tapi jangan mecucu (monyong) gitu, aku sudah maklum kenapa kamu tidak bisa ikut upacara ! Hasilnya: hampir sebulan aku dijothak tak disapa. Padahal waktu ada ulangan, kami saling pengen tanya-tanya juga jawaban soal-soalnya. Itulah masa remaja.
Bertahun-tahun kemudian, pada suatu sore sepulang kerja (kenapa jadi macam novel angkatan 45), aku lagi tiduran, telepon berbunyi. Suara cewek di seberang sana : Benar ini rumah bapak .... Paromo Suko ? – Ya, betul! – Ini Paromo Suko? – ( sompret! tanpa ’bapak’ lagi!) – Ya, maaf, ini dengan siapa?
– Wooooooo, kowe ki digoleki wong sak dunia, ra ngrasakke, ndelik nang Suroboyo ra kondo-kondo. Kowe ki digoleki konco-konco !
Aku tidak menterjemahkan berondongan tadi, soalnya kalau diterjemahkan jadi nggak asyik lagi.
Siapa ya? Untung arithmatical and logical unit di otakku cukup canggih. Model omongan dan intonasi beginian ini hanya satu di dunia, teman SMA-ku : Paula, yang dulu ketika pelajaran sedang ditinggal pak Guru, rambutnya yang berkelabang pernah kuikat karet berpasangan dengan kelabang teman di sebelahnya. Paula korban candaku yang ke sekian-belasnya.
Akhirnya:
Beberapa jam kemudian keluarga kami mendapatkan kehormatan dikunjungi oleh beliau berdua: Paula Eunike Tri Mulyani Daandel (begitu namanya yang kuingat waktu sekolah dulu) berdua dengan suaminya, mas Budiman.
Dan karena itu pula kemudian tali silaturahmi kembali terhubung dengan teman-teman yang lain. Kami dan teman-teman bikin klub sms terbuka, namanya : Jempol Keriting, dan beliau adalah Sekretaris Jenderalnya merangkap Humas dan Inspekturnya dan Segalanya (jabatan opo maneeeeeh iki ......)

03 Januari 2008

Mimpi di Rumah Besar

Di dinding sebuah rumah besar terpasang sebingkai lukisan panorama desa, dengan sawah, jalanan, rimbunan pohon rindang dan rumah kecil sederhana, dan seekor sapi ditambatkan di sampingnya. Ada cahaya matahari yang menerobos dari sela-sela rimbunan dahan dan asap tipis ilalang yang dibakar di kejauhan. Sejuk dan damai nuansanya.
Sebuah kontras dipajang di tengah besarnya rumah besar berhias segala kemewahan.

Seolah-olah ada sebuah kerinduan akan hadirnya suasana lain di sini, yang perlu untuk dipandang dan dinikmati berlama-lama. Menghadirkan surga lain yang ada di luar sana, yang tak kalah nikmat dan damainya.
Meyakinkan bahwa rumah ini juga masih menjadi bagian darinya, bahwa ada surga lainnya yang tak perlu didatangi, tetapi ada.
Sebuah desa yang hadirnya cukup dalam tatapan mata saja, tanpa perlu diinjak tanahnya dan tanpa perlu tercium aromanya. Sebuah surga yang sebenarnya ada tetapi tidak untuk tinggal di dalamnya.

02 Januari 2008

Hampir Tiba

wajahmu
mengusung seribu rindu bergelayutan di pundak
senyummu
apalagi ketawamu
mencairkan bongkah-bongkah sendu hatiku
guraumu
menghangatkan jiwa menebus masa yang lewat begitu saja rasanya
jangan terlalu cepat pergi kalau waktumu hampir tiba
atau
kau memang mengusikku agar semakin rindu
terbanglah nanti pada saatnya
membawa cinta dan pulang sesekali
menengokku
datanglah seperti sediakalanya kau datang
menerobos pagarku yang rendah, membuka pintu mengendap-endap
menyibakkan gorden lalu teriak
huaaaaa!!!
aku kaget tapi kutertawa
musna dukalara

Reuni

Hadir dalam sebuah acara reuni merupakan suatu saat yang menyenangkan. Bertemu kembali dengan teman-teman lama yang sudah terpisah oleh waktu dan jarak. Seolah-olah waktu akan ditarik ke belakang dari saat ini.
Reuni di antara teman sekolah merupakan reuni yang paling seru. Teringat suasana ketika masih bersama dengan segala kekonyolannya dan keadaan saat ini yang bisa sangat berbeda. Kontras yang bertabrakan akan menghadirkan kelucuan-kelucuan tetapi sekaligus dapat juga menghadirkan keharuan. Bagaimana seorang gadis kembang kelas yang sekarang menjadi seorang nenek dituntun oleh menantunya, seorang murid jagoan biologi yang hadir sebagai pak camat, atau jagoan nyontek yang menjadi dekan fakultas ataupun yang lainnya, akan menjadi bahan tertawaan bahkan bagi yang bersangkutan.
Perjalanan hidup masing-masing orang dengan segala belokan, tanjakan dan turunannya seolah merupakan episoda hilang yang tidak lagi perlu dipedulikan dalam kesempatan seperti ini. Proses metamorfosa yang membuat seseorang berubah tidaklah penting untuk dipedulikan.
Namun ketika acara usai dan masing-masing terbanting kembali ke kesehariannya, maka kenang-kenangan tentang reuni dapat merupakan sebuah inspirasi, motivasi sekaligus terapi. Atau sebaliknya, menghadirkan sesal terhadap masa lalu dan kekecewaan terhadap kenyataan yang ada, yang akhirnya mendatangkan rasa sakit yang mengganggu hati. Tergantung bagaimana masing-masing merasakannya.
Yang barangkali perlu ditengok kembali adalah apa yang menjadi tujuan semula sehingga kita hadir dalam acara reuni tadi.

Bertemu Kembali (4) - Teklek

Kelompen kayu yang biasanya digunakan ke kamar mandi, ditempat asalku disebut teklek (bagaimana menulisnya ya, supaya kalau diucapkan bisa persis?). Benda ini adalah sepotong kayu dengan selempang karet bekas ban selebar kira-kira dua jari dipakukan disisi kanan-kiri masing-masing dari sepasang teklek tadi, agar bisa dikenakan di kaki. Karena sering terkena air, biasanya bagian tempat paku menjadi lunak, lapuk dan lalu lepaslah karetnya. Pekerjaan memaku kembali karet adalah pekerjaan yang sepele, tapi bagi seorang anak usia 10-11 taun cukup sulit juga rupanya.
Itulah,
Ketika itu aku lagi mandi, dan mendengar dialog lucu antara bu Harto dan putranya: Gik! Tulung teklek-e sing pedot dipaku ! (tolong tali klompen yang putus dipaku) - Ra iso ( tidak bisa) – Disekolahke angel-angel, maku teklek we ra iso ( kamu kusekolahkan susah-susah, masa memperbaiki begitu saja tidak bisa) – lha nang sekolahan ra diajari maku teklek kok! (soalnya di sekolah kan tidak diajarkan memperbaiki teklek!)
Gik adalah mas Giyarto, teman masa kecilku, aku klas 6 SD, beliau ketika itu klas 2 SMP.
Beberapa bulan yang lalu, ketika sedang nyasar-nyasar di internet, aku nyangkut ke website seseorang (mohon maaf pak/mas, panjenengan adalah senior SMP saya) yang memajang nama-nama kakak klas saya. Termasuk nama mas Giyarto lengkap dengan foto dan nomor hp/telepon rumah.
Setengah yakin-setengah ragu kukirim sms, yang sekejap kemudian segera di respon (atau recheck, ya?) beliau. Komunikasi gayeng pun terjadi. Tetapi setiap kali, bahwa dulu beliau tidak mau disuruh memaku teklkl eh teklek (susah bener sih nulisnya) lantas beralasan di sekolah tidak diajarkan itu, tetap menjadi kenangan yang mengajuk hati, meskipun yang lain adalah bahwa beliau jagoan aljabar, dan karena itu aku belajar pada beliau sampai menjadi pintarrrrrrrrrrrrrrr ...