19 November 2008

Kupu-kupu


Kupu-kupu yang lucu, ke mana engkau terbang

Hilir-mudik mencari, bunga-bunga yang kembang

Berayun-ayun, pada tangkai yang lemah

Tidakkah sayapmu, merasa lelah


Anda masih bisa menyanyikannya, kan?

Lagu anak-anak di atas, adalah salah satu lagu favorit saya karena relevansi syairnya. Tersindirkah saya? Ya banget, sih.

Bagi saya, lagu sesederhana itu ternyata mengandung banyak faset yang dapat direnungkan. Periodisasi perjalanan hidup misalnya, dimulai dari periode saya masih kupu-kupu yang ‘lucu’ sampai dengan periode saya menjadi ‘makin lucu’ seperti sekarang.

Aktivitas, dari sejak saya terbang untuk berlucu-lucu sampai ketika saya terbang untuk mencari sesuatu.

Batas-batas, tangkai lemah di mana saya harus berayun-ayun dengan hati-hati, dan sayap saya yang lelah tetapi tetap saya gunakan untuk terbang.

Saya kagum dengan penciptanya, Ibu Sud yang demikian cerdas dan arifnya memotret perilaku orang dewasa serta sekaligus memberikan peringatan agar tidak menjadi kupu-kupu yang mati sia-sia pada akhirnya. Potret dan peringatan tersebut mampu disajikan dalam sebuah lagu anak-anak.

Jadi, ketika mendengarkan seorang anak kecil menyanyi : Kupu-kupu yang lucu .....

Saya bertanya kepada diri sendiri:

.................. ke mana engkau terbang?

13 November 2008

Langit Kuning

(inspirasi: novel The Kite Runner - Khaled Hosseini )

(sebuah evaluasi tujuhbelasan) : Lomba mewarna untuk anak-anak kecil di RT Tiga berlangsung dengan sukses. Artinya selesai. Seadanya. Pesertanya tidak lebih dari lima belas orang. Pelaksana kegiatannya anak-anak remaja.Jurinya dicari di antara siapa yang mau, itupun baru ditemukan ketika lomba sudah berlangsung.

Oleh juri dipilih tiga gambar terbaik.

Ketika hasil lomba diumumkan, komplain mulai dilayangkan, bukan ke panitia tetapi ke jalanan.

‘Masa, langitnya diwarna kuning kok menang, sedang yang biru malah dikalahkan’ ujar seorang nenek.

‘Yaa, mesti saja gambar yang ini menang, kan anak ini pas keponakan dari jurinya’

‘Warna gambar yang ini lebih rata, kok enggak menang ya, yang belepotan malah menang’

Macam-macam.

Vonis jalanan: Juri dan panitia tidak fair, tidak pandai menilai, hasil penilaian tidak wajar, dan lain-lain.

Hehehehe....

Para balita kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, menyaksikan ibu, nenek, bapak, kakek berbicara dengan nada tinggi di antara sesama orang tua. Ada apa ya, para kakek-nenek, pakde-bude ini?, begitu kira-kira pikir anak-anak ini.

Melihat anak-anak kecil yang sehat dan ceria, yang mengelesot ketika mewarna dan menggambar, rasanya hati ini sangatlah bahagia. Wajah dan ekspresi yang lucu, gerakan tangan dan jari mungilnya, antusiasme dalam menggambar (NB: ikut bertujuhbelasan), ah! bukankah ini adalah hal yang menyenangkan?

Mereka mau ikut tanpa rewel dan tanpa pretensi apapun saja, seharusnya sudah mengajarkan kepada kita bahwa nilai kebersamaan lebih indah ketimbang kemenangan.

Bukankan event perayaan ini adalah suatu ekspresi kebersamaan di antara anak bangsa? Merdeka yang artinya bebas dan menang dari ketertindasan, bukan berarti menang dari saudara sendiri, kan. Karena di antara saudara memang tidak layak untuk menang-menangan.

Dalam hal ‘lomba’ (namanya kok lomba, ya) mewarna untuk anak-anak ini, kalau perlu justru kita semua (para orang-tua yang anaknya berlomba) masing-masing menyiapkan hadiah dari rumah untuk mereka semua. Ya. Mereka semua, tanpa ada urusan menang dan kalah di antara anak-anak itu, karena belum saatnya mereka menderita lantaran dipertandingkan dan diadu untuk menang oleh yang tua-tua. Mereka kan bukan jangkrik.

Aaah,

merdeka

(masih tetap huruf kecil dan tanpa tanda seru.... sabaaar, sabaaaaar)

07 November 2008

Aura

Konon, seperti yang pernah saya baca, aura adalah pancaran cahaya yang berasal dari tubuh setiap orang. Mata telanjang tak dapat menangkap pancaran cahaya ini, kecuali beberapa orang ‘linuwih’ yang penglihatannya mampu menyesuaikan dengan panjang gelombang cahaya aura. Konon pula, seperti yang diceritakan bahwa aura seseorang yang ‘pinunjul’ adalah putih menyejukkan.

Namun seperti pula yang pernah saya baca, pancaran aura seseorang sangat berhubungan dengan keadaan mental orang tersebut pada saat tertentu, sehingga aura yang muncul akan berbeda-beda tergantung kepada suasana hati dan kondisi fisiknya, apakah sedang galau, bergairah atau patah semangat, demikian pula ketika seseorang sedang sakit.

Kemajuan teknologi telah menghasilkan seperangkat alat yang dapat merekam pancaran aura dan merekamnya dalam bentuk foto.

Ketika dulu saya ditawari oleh boss untuk foto aura, wah, ya mau saja, siapa tahu ketika dipotret nanti yang akan muncul adalah citra aura saya yang bening sejuk memikat hati (halaaaaahhh ! sawat kibor, mbendhol!!) .

Ternyata hasil fotonya seperti ini:


Analisis terhadap aura seperti ini tentu hanya dapat dilakukan dan dijelaskan oleh ahlinya. Sedangkan saya, cuma senang saja, karena pernah mencicipi berfoto aura.

Dan bahwa hasilnya ternyata seperti ini, terserah saja.

Ini asli lho .......

03 November 2008

Kaki-Tangan


Tengah malam yang sepi dan dingin di Tretes. Teman-teman kru pembahas rencana anggaran tahun 2000 sudah masuk kamar untuk tidur, ada yang masih terdengar gremang-gremeng ngobrol di dalam kamarnya. Wedang kopi dan tahu-tempe goreng yang cemepak di samping komputer tinggal sebiji-dua. Tadi saya ‘colong’ dari dapurnya mess waktu makan malam. Bu Darning, tukang masak mess yang ngonangi saya nyolong malah menawarkan untuk digorengkan lagi dari jatah persiapan makan pagi.

Jenuh kutak-katik angka, saya dengerin lagu-lagu lamanya Chrisye sambil kelaap-kelooop berdialog dengan diri-sendiri. Dan inilah hasil saya menyendiri malam itu, di Tretes 22 Juni 1999 ....



Kalau tidak terbaca, judul lagunya ‘ Ketika Tangan dan Kaki Berkata’ ciptaan Taufik Ismail yang dinyanyikan oleh almarhum Chrisye.
Tampilan tersebut sempat saya jadikan wall-paper di komputer saya untuk beberapa lama.


Salam untuk semua.