25 Agustus 2008

Orang Baik

 

Teman saya membuat sebuah parameter yang mengejutkan tentang orang baik. Yang dimaksud adalah orang yang hubungannya baik dengan sesama.
Orang baik, baru akan terukur kebaikannya ketika dia meninggal dan dibawa untuk dimakamkan. Semakin banyak orang yang melayat, semakin baik pula orang itu di mata orang lain.
Saya tertawa, ah, ada-ada saja dia ini.
Dengan bercanda saya uji stetmennya tersebut, bagaimana kalau orang tersebut adalah pejabat? Tentu para bawahannya akan mengerahkan para bawahannya lagi untuk melayat. Atau kalau yang bersangkutan adalah selebriti? Tentu para pemerhatinya akan menonton pemakamannya.
Jawabnya: ah, untuk yang seperti itu sih lain ukurannya...
Ya, ya, ya. Saya faham yang dimaksudkannya.
Ketika teman saya tadi mendadak wafat, saya teringat kembali apa yang pernah disampaikannya.
Saya cukup dekat dengannya, dan saya dapat melihat sebaik atau sejahat apakah dia kepada orang lain.
Ternyata, baik atau jahat dalam hubungan antar-manusia sangat tergantung kepada rasa percaya di antara mereka bahwa tak satupun akan tenang hatinya ketika merasa terancam oleh sesama.
Teman saya adalah orang yang baik, dan saya tak peduli berapa banyak orang yang mengantarkannya ke liang lahat.
Maaf teman, candamu aku analisis. Semoga kau tersenyum manggut-manggut di sana.
Mari kita seruput kopinya, selagi masih panas beraroma.

Dalam Bayangan Saya

Dalam sebuah pelatihan manajemen untuk para karyawan, diberikan kuis tentang apa tugas yang menjadi tanggung-jawab mereka, dan uraian singkat mengenai bagaimana mereka melaksanakan tugas tersebut. Mereka juga diminta menuliskan siapa patron idola mereka.
Membaca tulisan-tulisan tersebut, saya jadi berpikir tentang diri saya sendiri. Keberadaan saya di tengah para teman, kolega, senior dan yunior, atasan dan para teman yang bersama-sama saya menyelesaikan tugas bersama. Juga bagaimana saya bekerja, di mata keluarga, kerabat dan tetangga saya.
Dalam bayangan saya.....
Anak, keponakan, anak tetangga, menyaksikan keseharian saya berangkat dan pulang kerja. Juga kepergian saya untuk tugas-tugas ke pusat maupun luar kota.
Mereka mungkin juga merekam sebagian pembicaraan saya ketika bertemu langsung dengan teman-teman saya ketika di rumah, di tempat resepsi, maupun di telepon yang kadang-kadang berkaitan dengan pekerjaan. Juga betapa seringnya tiba-tiba saya harus pergi ke kantor secara mendadak di hari libur bahkan malam hari ketika pada umumnya orang sudah beristirahat. Seringkali pula, sepulang dari tempat kerja, saya harus menyelesaikan pekerjaan sampai larut malam, bahkan terkadang sampai pagi ketika mereka bangun. Mungkin pula mereka melihat dan membaca sebagian pekerjaan saya.
Barangkali mereka berpikir, betapa tinggi komitmen saya dalam melaksanakan pekerjaan. Betapa totalnya saya menjalani pekerjaan saya. Sehingga mungkin saya menjadi idola mereka.
Sementara itu,
Di tempat kerja sebenarnya saya menggunakan sebagian waktu untuk omong-omong kosong dan makan siang berlama-lama, main game atau mengakses internet dan mendownload materi-materi yang jauh hubungannya dengan pekerjaan. Tugas luar kota adalah suatu liburan wisata yang menyenangkan karena saya dapat mendatangi tempat-tempat jauh yang belum pernah saya kunjungi. Urusan tugas yang saya bawa, biarlah mereka yang saya datangi yang harus menyelesaikan.
Kalaupun saya melakukan pekerjaan saya, sebenarnya saya hanyalah melanjutkan kebiasaan-kebiasaan yang saya warisi dari gaya bekerja para pendahulu saya, tanpa saya lakukan telaah seberapa relevan warisan tersebut untuk tetap dilakukan pada saat ini. Bahkan seringkali saya menyingkirkan dan membuang cara-cara yang menurut saya rumit dan hanya akan membuat saya sulit melakukannya, tanpa peduli bahwa yang saya singkirkan itu sebenarnya adalah bagian dari prosedur baku penyelesaian pekerjaan.
Pemikiran dari para kolega dan yunior yang tidak mampu saya tindak-lanjuti saya tolak, sebagian data dan informasi saya sembunyikan atau tidak saya gali, karena saya tidak mampu mengolah dan menganalisisnya.
Yang penting, apa yang saya laporkan kepada atasan sudah cukup membuat puas para beliau ini.
Saya tidak suka mendapatkan atasan yang sok njelimet, analitis dan menguji laporan saya, karena setiap itu dilakukan, saya selalu kesulitan untuk menjelaskannya karena memang sebenarnya laporan itu disusun oleh para anak-buah saya. Dan, pada saat saya mendapat atasan yang tidak begitu pandai, sukalah hati saya. Apalagi kalau orang itu mudah dipengaruhi, sukur-sukur baik hati dan dermawan, apalagi murah hati dalam memberikan promosi kepada saya tanpa saya harus bersusah-payah berprestasi.
Saya juga tidak suka anak-buah yang sok pandai, yang suka berteori dan sok ilmiah, memprotes dan mempertanyakan segala sesuatu yang saya perintahkan kepadanya. Toh mereka mengenal tugas lebih sedikit ketimbang saya. Dan saya tentu lebih tahu karena saya bekerja lebih lama. Kecuali, mereka tidak banyak bicara tetapi dapat membuat laporan-laporan seperti yang saya kehendaki. Dengan satu catatan, apabila yang mereka buat nantinya membuat malu saya di depan atasan, saya akan ambil tindakan tegas: buang atau isolasi mereka di pojok ruangan tanpa pekerjaan.
Jangan coba-coba berkelit untuk itu, kecuali saya akan persona non grata-kan dia, sehingga tidak akan diterima di tempat manapun di lingkungan ini, kecuali oleh kolega saya lainnya yang merasa kasihan kepada anak buah saya itu.
Jadi, sebenarnya saya tidak punya komitmen maupun totalitas dalam bekerja.
Dan saya juga tidak begitu peduli dengan penilaian orang lain terutama para kolega saya atas apa yang saya lakukan.
Ketika saya pensiun nanti, akan duduk seorang muda di ruangan ini dengan rasa bangga, mungkin kebetulan dia adalah anak saya, keponakan saya, anak tetangga saya, yang sangat mengidolakan saya.
Nama besar saya, menurut mereka adalah pass untuk mencari nilai di tempat ini.
Hari berganti, ketika anak-muda ini menelusuri jejak kerja saya, mempelajari produk-produk saya, pemikiran saya, informasi tentang saya dan segala sesuatu yang bersangkutan dengan saya, idolanya.
Pelan-pelan kekaguman mereka kepada saya mulai runtuh, seperti landasan pasir di dasar sungai yang terinjak kaki, lama-lama luruh tergerus derasnya arus air. Demikian pula nama besar saya yang berada dalam tempat tinggi di benak mereka, dari hari kehari turun ke titik nadir. Ternyata saya tak punya nilai apa-apa .......
Demikian bayangan saya tentang bagaimana diri saya sekarang dan nanti, yang itu membuat saya sangat takut.

(teman-teman yang sedang bekerja di tretes: semangat!)

23 Agustus 2008

Sumbangan untuk PHBN

Membaca postingan di blog den mas teman, semula saya tidak begitu faham arahnya. Tetapi setelah saya membayangkan keberadaan dia sebagai seorang ‘middle manager’ akhirnya saya menjadi agak mafhum apa yang tersirat di balik posting tersebut. Cuma maaf, untuk sementara saya tidak akan mengungkap siapakah beliau ini, untuk menjaga harmonisasi di tempatnya bekerja yang mungkin masih cukup sensitif dengan yang namanya buka-bukaan.

Singkatnya, menjelang Hari Besar Nasional seperti sekarang ini, sepertinya sudah tradisi bahwa ada yang namanya PHBN alias Panitia Hari Besar Nasional, yang bertugas untuk menyelenggarakan (utamanya) seremoni resmi hari-hari besar di antaranya Tujuhbelasan. Yang paling pokok memang upacara bendera. Apel di tanah-lapang, tretet-tretet-tretet, menaikkan bendera Merah-Putih, nanyi lagu kebangsaan, mengheningkan cipta, baca naskah proklamasi, ditambah aubade (lagu wajib oleh paduan suara), selesai. Begitu kira-kira pokok-pokoknya. Tetapi semenjak adanya kebiasaan menduplikasi aktivitas di Istana Negara, maka pernik-pernik upacara ini menjadi semakin rumit. Paskibraka misalnya, direkrut melalui tahapan seleksi yang begitu ketat dan pelatihan yang begitu tertib dan disiplin (pake upacara cium-cium bendera dan ikrar segala) dan juga dikonsinyir beberapa hari. Lalu tenda dan panggung upacara berikut poster dan baliho serta perlengkapan tata-suara yang (harus) prima. Belum lagi acara pasca-upacara, pemberian piagam-piagam penghargaan kepada para teladan. Ada pula pawai ( dulu ada pawai pembangunan) berikut pameran. Juga panggung hiburan untuk ‘rakyat’, pakai kesenian tradisional, pertunjukan band dan orkes. Mungin malah kembang api (kali, ya!).

Dan masih banyak lagi.

Semua butuh dana dan pengorganisasian layaknya ‘rojo’ mau mantu.

Pas di urusan dana, barulah itu jadi masalah.

Saya membayangkan untuk level kabupaten saja, mungkin bisa ratusan juta rupiah dana yang dikeluarkan. Jangan lupa, masing-masing partisipan juga mengeluarkan biaya lho, paling tidak beli peci dan kue serta air-minum untuk regu yang dikirim ikut upacara, dan itu bukan berasal dari duit PHBN.

Jadi, bagaimana memobilisasi dana untuk keperluan tersebut ? Partisipasi masyarakat dengan tidak membebani rakyat. Artinya, melalui partisipasi lembaga-lembaga yang ada di masyarakat dana itu digali. Antara lain ya lembaganya teman saya itu tadi. Maksudnya sumbangan gitu lo ah, kok mbulet banget sih.

Teman saya merasa agak risih hati. Dan itu terbaca dari postingnya. Saya juga, kok. Dalam hati kami, apa ya masih jamannya to, menyelenggarakan acara seperti itu pakai ngutip-ngutip dana dari masyarakat ?

Dilema yang dihadapi oleh den mas teman saya yang saya anggap sebagai representasi ‘masyarakat’ adalah :

diberi = mengganggu hati dan cashflow,

tidak berpartisipasi = bakalan terganggu kepentingan untuk mendapatkan pelayanan publik pada saatnya nanti kalau pas membutuhkan.

Repot.

Belum lagi kalau keluhan disampaikan kepada manajernya terus dijawab : halaaah, ya sudah isi saja berapa gitu looo, seperti biasanya tapi tolong tambahin dikit-dikit, harga-harga sekarang kan sudah naik semua.

Padahal, permintaan dari level kampung, kelurahan kecamatan, kabupaten, belum lagi dari eng-ing-eng yang lain, yang kalau dijumlah-jumlahkan ternyata lebih banyak dibanding yang dikeluarkan untuk acara semacam di unit bisnisnya sendiri. Wuuih, lehernya jadi bengkak, gondoknya setengah-dut.

Mungkin sudah waktunya budaya tiru-meniru membabibuta begini mendapatkan tinjauan lebih cermat. Di tengah mandeg dan melambatnya upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat saat ini, merayakan ulang-tahun kemerdekaan atas-nama mengenang dan menghargai jasa pahlawan lebih tepat dilakukan dengan melakukan aktivitas bakti masyarakat yang lebih riel dan terprogram. Misalnya dengan membagikan buku dan alat tulis sekolah gratis, sembako gratis, sunatan dan kawinan masal, fogging antinyamuk demam berdarah, rehabilitasi kampung kumuh dan lain-lain. Dengan catatan, bahwa semua dilakukan bukan untuk kampanye pemenangan kandidat eksekutif maupun legislatif di pentas-pentas pemilihan nantinya. Juga bukan untuk kampanye pemasaran produk.

Tetapi benar-benar tulus demi rakyat jelata di negeri ini.


Kapan Indonesia akan menjawab angan-angan yang terselip di dalam kepala saya dan kepalanya den-mas teman saya itu?

Akankah tahun depan masih ada tamu datang ke tempat teman saya bekerja atas-nama PHBN untuk mengumpulkan sumbangan ?

Negeri yang elok ini debunya semakin tebal saja. Mari kita coba membersihkannya dengan membersihkan hati kita terlebih dahulu.

Sampai jumpa di tujuhbelasan tahun depan. Semoga mulai berubah. Insya Allah.


(Kita lihat dan cermati sama-sama ya den-mas!)



20 Agustus 2008

Baju Koruptor: Akhirnya

Baju untuk koruptor yang paling cocok (ini versi lain lagi): Gak pake baju !
Istilah Suroboyoannya: ote-ote !
Selesai.

Dan terbayang-bayang:
Kerepotan nasional yang menggelikan ini masuk dalam berita setiap stasiun televisi seluruh dunia, sementara di sini proses hukum berjalan lamban karena berlangsungnya  akting yang  menyebalkan di mana-mana.
Sementara pula di sudut-sudut lain dunia, penanganan kasus korupsi berjalan kencang dan putusan dilakukan secara adil : penjara dan denda. Atau : mati.
Sementara itu pula, di Republik tercinta yang sudah berumur ini, orang masih juga suka menghibur diri sambil bekerja dan bekerja sambil menghibur diri. Padahal hiburannya sama sekali tidak lucu dan menarik.
Malah terkesan konyol sekali.
Maaf.
Case closed.

15 Agustus 2008

Baju Koruptor: Tersangka, Terdakwa, Terhukum

Nanti dulu,
Baju koruptor itu, nantinya dikenakan kepada siapa ?
Tersangka, terdakwa, atau terhukum ?
Atau barangkali ada tiga disain berbeda, masing-masing dibedakan dari tulisannya, misalnya : Tersangka Koruptor, Terdakwa Koruptor, Terhukum Koruptor.
Lalu kapan dipakainya?
Ketika diliput dan diambil gambar oleh media saja, atau di sepanjang proses penyidikan, lalu proses pengadilan, atau sepanjang waktu pelaksanaan pidana, atau sampai koruptornya mati?
Atau hanya ketika diposterkan wajahnya di ruang-ruang publik, seperti poster-posternya Cabup, Cawali, Cagub dan Capres ketika kampanye ?
Jangan lupa, ketika fotonya diposterkan, yang bersangkutan jangan boleh tersenyum, nanti rakyat tersinggung !
Banyak pertanyaan dan usulan ya !
Bodoh benar saya, yang begituan masa ditanya-tanyakan sih, bikin malu saja.
Lagian, siapa yang harus menjawab ?
Tanya saja kepada calon pemakai baju tersebut, suka atau tidak, setuju atau tidak.
Mosok pertanyaan yang beginian musti Presiden yang harus menjawab.

Baju Koruptor : Lomba Tujuhbelasan Tingkat Nasional

Sambil menyambut HUT Proklamasi Kemerdekaan yang ke 63, beberapa orang bahkan lembaga non-pemerintah sibuk memeras otak dan keringat : menciptakan disain baju untuk terdakwa koruptor dan koruptris. Kok koruptris ? Kalau yang didakwa perempuan. Bukankah pelakon perempuan disebut aktris ? Jadi boleh dong, pekorup perempuan disebut koruptris.
Mungkin kalau ada yang bersedia mensponsori, kerepotan nasional tentang baju ini diangkat sebagai Lomba Kreasi Nasional Baju Koruptor. Hadiahnya ? Hadiah utama : Disainernya difoto ketika melempar telur busuk ke wajah terhukum. Foto tersebut dimuat dihalaman utama semua media cetak nasional selama tiga hari berturut-turut, dan tayang di seluruh stasiun TV pada prime-time selama tiga hari. Seru kan ?!!!
Ya sudah, begitu saja.

11 Agustus 2008

Dua Hati


Rahwana:

Andaikata Trijatha, gadis kecilku, tak lagi bersetia kepadaku, barangkali telah kuledakkan kerajaan Alengkadiraja ini karenanya.
Dialah mutiara hatiku, penghiburku di kala hatiku kacau. Trijatha, gadis kecilku, sitawar-sidingin ketika hatiku gundah resah gelisah. Dialah satu-satunya yang telah membuatku dapat tetap bertahan dalam keadaan yang paling sulit, hanya dengan kata-katanya yang terucap sedih: Uwa Prabu, kepada siapa lagi aku berlindung, ketika engkau tiada nanti ? Pandanglah aku, uwa Prabu, bertahanlah demi diriku.
Demikian setiap saat, ketika kemarahanku sudah sampai pada puncaknya, sehingga tak lagi kupedulikan segala sesuatu. Kerajaanku, rakyatku, adik-adikku, bahkan diriku sendiri. Dalam keadaan galau-hati seperti itu, tak peduli rasanya aku akan segala sesuatu, akan kulabrak-hancurkan segala yang menghalangi kehendakku, tak peduli andai aku terbunuh karenanya.
Bukan aku yang meminta kepada Hyang Akarya Jagad, untuk dititahkan sebagai manusia berwajah raksasa, bermuka ganda-berganda lambang segala sifat buruk yang pernah ada. Bukan kehendakku, melainkan demikianlah adanya aku tercipta. Dan ini tak pernah kusesali, kuterima apa adanya.

Telah kulewatkan hari-hariku untuk menantikan datangnya titisan Dewi Widowati dengan sabar hati. Kulalui hari-hari dengan berlaku sebagai raja yang memerintah negeri dan melindungi segenap kawula alit dari segala gangguan musuh. Kucoba memenuhi kebutuhan rakyatku dengan sebaik-baiknya. Kutegakkan keadilan, kubasmi para pengacau dan perusuh yang mencoba mengganggu ketenangan hidup rakyatku.
Ooo, Trijatha, anak dari adikku, Gunawan Wibisana.
Kuasuh dia semenjak kecil, kucintai laksana anakku sendiri. Ketika jalannya masih tertatih-tatih, ketawanya mengusik pendengaranku untuk bersegera meninggalkan sidang agar cepat bisa menimangnya. Dalam dekapanku, dirabanya muka uwanya ini, dicolok-coloknya lubang hidungku dengan jari-jemari mungilnya seraya tertawa-tawa. Ditarik-tariknya kumisku, yang siapapun gentar karenanya, tetapi tidak bagi Trijatha mungilku. Kupeluk dia dengan segenap rasa cintaku kepadanya, kutimang dan dia memelukku manja hingga terlelap. Segenap emban dan para abdi terheran-heran setiap aku bercanda dengan Trijatha, mereka takjub melihatnya, seakan bukan Rahwana lagilah aku, bukan lagi seorang Raja-Gung yang terkenal pemberang-pemarah sebagaimana sediakala, tetapi Rahwana yang menjadi sangat pecinta serta pengasih. Luluh hatiku oleh keberadaannya. Murka aku, apabila kulihat seseorang mengasarinya, bahkan kalaupun itu adalah ayahnya sendiri, Gunawan Wibisana. Apalagi emban atau abdi, pasti akan kusuruh hukum atau kutendang sampai ke sudut halaman istana. Tetapi kalau lantaran itu Trijatha menangis, maka aku panggil emban dan abdi tadi, kusuruh tertawa dan akan kuberi bebana demi Trijatha.
Ketika Trijatha mulai dapat berjalan dan berkata-kata, kadang-kadang dia menyela masuk persidangan agung di balai singgasana sambil tertawa-tawa, terkadang dengan sekuntum bunga untuk ditunjukkan kepadaku.
Kuhentikan persidangan, kububarkan serta-merta di tengah pandang mata takjub seluruh mantri-bupati dan punggawa kerajaan. Larut sudah segala ketegangan dan kemarahanku, kutinggalkan singgasana untuk bercanda dengannya sampai ia lelah dan tertidur di pangkuanku. Kunina-bobokkan dengan tembang Kinanti Subakastawa, meski suaraku serak dan parau, ditingkah suara burung-burung piaraan istana dan bunyi ayam bekisar serta burung merak di halaman.
Trijatha, ooo, Trijatha, anakku, anak Gunawan Wibisana adikku, dikaulah embun bagi jiwaku.
Kupercayakan Dewi Sinta dalam pendampinganmu, karena hanya engkaulah yang paling kupercaya untuk menjaganya, dan bukan seribu prajurit Alengka yang gagah perkasa, karena engkaulah yang mampu mencuri hatinya, sehingga Sinta merasa tenang berada di taman istana Kerajaan Alengka. Kutitipkan keberadaan Sinta padamu, wahai Trijatha, jagalah sebaik-baiknya, luluhkan hatinya, bukakan pintu kesadaran hatinya bahwa Rahwana amat mencintainya dan ingin mempersembahkan apapun yang ingin dimilikinya, asal Sinta bersedia meninggalkan Ramawijaya untuk diperisteri oleh Rahwana. Bujuklah Sinta, katakan bahwa dialah puteri yang telah kutunggu sepanjang waktu untuk menjadi isteriku, dialah puteri titisan Dewi Widowati yang telah dijanjikan para Dewa untuk menjadi pendampingku.
Trijatha,
Kalau bukan karena engkau, telah kubunuh Sinta karena penolakannya yang sungguh menyakitkan hatiku, atau telah kuhancurkan mahkota hidupnya dan kulecehkan kehormatannya serendah-rendahnya, karena bukankah sebenarnya keberadaannya ada dalam genggaman kekuasaanku?
Kalau bukan karena tangismu Trijatha, yang mencegahku berbuat demikian, yang telah membuka kesadaranku untuk tidak mengulangi perbuatan cemar dengan mempedayainya, dan menculiknya dari tangan Rama, seraya engkau memeluk kakiku dan memohon kesabaranku, dengan tangismu, dengan rasa sayangmu kepadaku Trijatha, tentulah kejadiannya akan lain. Tak ada lagi Sinta, tak ada lagi Rahwana, karena kematian Sinta akan kususul segera dengan kematianku, agar aku dapat menyertainya berangkat ke Kahyangan Suralaya bersama-sama.
Trijatha, engkaulah mutiara dalam kehidupanku, yang telah begitu ikhlas tetap berada bersamaku, menyertaiku dengan setia, bahkan ketika ayahmu yang juga adalah adikku yang kusayangi, telah menyeberang berpihak kepada Ramawijaya, untuk bersiap-siap merebut kembali Sinta dari tanganku, dan kalau perlu akan dilakukannya dengan meluluh-lantakkan negeri ini, Alengka diraja. Kerajaan di mana ayahmu dilahirkan, dibesarkan, di mana ayahmu berhutang air, udara, bumi dan kehidupan.
Ketika ayahmu berpihak kepada musuh negeri kita, engkau bertahan untuk tetap bersamaku di sini, sambil melaksanakan tugasmu untuk menjaga Sinta.
Oooo, Trijatha, Trijatha.....
Apa yang pantas untuk kuberikan balasan padamu atas segala rasa cintamu kepadaku, kesetiaan mutlakmu kepada uwakmu ini, Trijatha ? Andai engkau minta hidupku, niscaya akan kuserahkan bilah keris pusakaku, akhirilah hidupku olehmu, aku rela, anakku. Tetapi engkau tak pernah mengatakannya, bahkan kau katakan, tak sedikitpun engkau pedulikan kata orang tentangku, selain hanya engkau inginkan aku bersabar, aku lebih bersabar, untuk mendengar kata-katamu yang selalu menyejukkan hatiku.
Andai bukan engkau yang berkata seperti itu, tentu telah kutampar sampai robek mulutnya, atau kulempar tubuhnya hingga ke laut, atau kucabik-cabik menjadi serpihan luluh-lantak. Tetapi ketika engkau yang berkata, runtuhlah segala benteng kedigdayaanku karena pandang-matamu yang penuh kasih kepadaku, uwakmu, Raja Alengkadiraja yang sedang diamuk rasa.
Terlebih lagi ketika kau menangis seraya berkata menyayat hati : Uwa Prabu, kepada siapa lagi aku berlindung, ketika engkau tiada nanti ? Pandanglah aku, uwa Prabu, bertahanlah demi diriku.
Luluhlah hatiku.

Trijatha:
Uwa Prabu Dasamuka; apapun kata orang tentangnya bagiku tak ada artinya. Beliau adalah kakak dari ayahku, Gunawan Wibisana, beliau adalah rajaku, tetapi lebih dari segalanya, beliau adalah orang-tuaku.
Uwa Prabu sangat menyayangiku, demikian pula aku terhadapnya.
Ketika semua orang takut kepadanya, aku justru bergayut manja, ketika kecil dahulu. Di tengah kemarahannya, beliau dapat segera tertawa panjang melihatku datang kepadanya dengan setangkai kembang puspanyidra merah-merona. Serta-merta akan digendongnya aku dan diajaknya bercanda. Bahkan ketika masih dengan segenap pakaian kebesarannya.
Barangkali Dewata telah menentukan hidupnya, menjadi raja, berwajah raksasa, berperilaku angkara. Meskipun kakekku, yang adalah ayahnya adalah seorang pandita- pertapa.
Bukanlah semata-mata kesalahannya, ketika dia memperjuangkan janji hatinya, sehingga dia harus melakukan hal tercela, menculik Dewi Sinta isteri Ramawijaya.
Di balik sosok angkaranya, Uwa Prabu Rahwana adalah seorang manusia yang masih memiliki kelembutan hati, paling tidak dihadapanku, kemenakan yang telah diasuhnya, dimanjakannya, dan disayanginya setara dengan kasih-sayang dari orang-tuaku sendiri. Kata-kataku akan didengarnya baik-baik, seperti juga ketika beliau memberiku nasehat baik tentang kesetiaan, tentang keteguhan hati, tentang tanggung-jawab. Beliau adalah orang-tua ke dua bagiku, di mana aku merasa harus berbakti pula, harus menjaganya, harus menemaninya, mendengarnya, menghibur galau-hatinya, mengasihinya.
Uwa Prabu sering meminta pendapatku terhadap tindakan dan keputusannya, dan ketika kusampaikan tidak seperti yang lainnya, sering berkerut keningnya, tetapi ketika kujelaskan bahwa aku berpendapat demi kasih-sayangku kepadanya, biasanya beliau akan tertawa panjang lalu dijenggungnya dahiku pelan penuh kasih, sambil berkata: “ Guoooblog, semuaaa... ha ha ha ha, semuanya guuuwwobloooggg! Ha ha ha ha, tetapi Trijatha telah menyampaikan pendapat yang baik, jujur! Baguss, ndukk! Anakku memang panddddaiii ! Ha ha ha ha .....!!!
Juriiiiiiitttt .....!”
Beliau lalu memanggil pengawal :
“Panggil Paman Patih Prahasta !!”
Biasanya ketika itu pula sidang segera dilakukan, tak peduli kapanpun saatnya, bahkan ketika malam hari. Dan keputusannya tak jauh dari pendapat yang telah aku sampaikan.
Uwa Prabu sebenarnya adalah seorang raja yang layak untuk dikasihani. Karena pembawaan dari sifatnya yang pemberang, maka tak seorangpun berani berbeda pendapat dengannya, apalagi menentang keputusannya. Sehingga semakin kentallah sosok dur-angkaranya di mata dunia.
Sebenarnya di mataku tidaklah sepenuhnya demikian. Beliau adalah raja yang teguh memegang janji, setia kepada negerinya, gigih dalam meraih cita-citanya dan bertanggung-jawab atas segala perbuatan dan keputusannya.
Aku sangat mengenalnya, karena mungkin aku satu-satunya orang yang paling dekat dengannya, melebihi siapapun, bahkan melebihi adik-adiknya. Karena itu, akulah satu-satunya orang yang dapat melihat sisi lain dari Uwa Prabu Rahwana, yang juga bergelar Dasamuka.
Aku merasa harus senantiasa ada setiap saat dia membutuhkannya, untuk mendengarkan keluhannya, kemarahannya terhadap keadaan yang ada, memahami kegalauan hatinya, menghayati cita-citanya. Karena hanya dengan itulah aku mampu membalas kasih-sayangnya yang telah dicurahkannya sejak aku ada hingga kini. Hanya dengan itulah aku dapat berbuat untuk mengawal kehidupan batiniahnya, agar tak terhempas dalam kekosongan.

Tetapi,
Dunia telah mencatat kisah dan sejarah menurut cara pandangnya sendiri,
Hari itu kerajaan Alengkadiraja luluh-lantak hancur berantakan oleh serbuan pasukan monyet yang dipimpin Prabu Ramawijaya ketika akan merebut kembali Dewi Sinta dari sekapan Rahwana.
Rahwana gugur tercabik-cabik oleh ribuan bala-tentara di bawah pimpinan Panglima Sugriwa, setelah sebelumnya tubuhnya terhempas rubuh tertembus panah Ramawijaya.
Hari itu, kerajaan Alengkadiraja kelam berselimut asap, bau anyir darah dan tumpukan bangkai prajurit yang gugur. Rintih kesakitan dan ratap tangis memenuhi angkasa.
Rahwana gugur dalam kebesarannya.
Di balik taman, Trijatha duduk bersimpuh dihadapan Dewi Sinta, menangis haru atas gugurnya Uwa Prabu yang dicintainya. Saat yang pernah ditakutkannya kini benar terjadi.
Ketika kemudian ayahnya, Gunawan Wibisana, menjemput dan mendatanginya dengan pakaian perang yang masih bersimbah darah, Trijatha berkata:
“ Ayahku, kusampaikan kata-kata Uwa Prabu, bahwa sampai saat terakhir Uwa Prabu tetap mengasihiku, dan dimintanya aku tetap mengasihimu, seperti dia tetap mengasihimu pula .....”, di sela sedu tangisnya yang tertahan.
Gunawan Wibisana tercekat hatinya, dan berpikir tentang apa yang telah diperbuatnya.

Dari sebuah sudut, sepasang mata hati mengamati, segala yang telah dan sedang berlangsung, dengan diam-diam.