Singkatnya, menjelang Hari Besar Nasional seperti sekarang ini, sepertinya sudah tradisi bahwa ada yang namanya PHBN alias Panitia Hari Besar Nasional, yang bertugas untuk menyelenggarakan (utamanya) seremoni resmi hari-hari besar di antaranya Tujuhbelasan. Yang paling pokok memang upacara bendera. Apel di tanah-lapang, tretet-tretet-tretet, menaikkan bendera Merah-Putih, nanyi lagu kebangsaan, mengheningkan cipta, baca naskah proklamasi, ditambah aubade (lagu wajib oleh paduan suara), selesai. Begitu kira-kira pokok-pokoknya. Tetapi semenjak adanya kebiasaan menduplikasi aktivitas di Istana Negara, maka pernik-pernik upacara ini menjadi semakin rumit. Paskibraka misalnya, direkrut melalui tahapan seleksi yang begitu ketat dan pelatihan yang begitu tertib dan disiplin (pake upacara cium-cium bendera dan ikrar segala) dan juga dikonsinyir beberapa hari. Lalu tenda dan panggung upacara berikut poster dan baliho serta perlengkapan tata-suara yang (harus) prima. Belum lagi acara pasca-upacara, pemberian piagam-piagam penghargaan kepada para teladan. Ada pula pawai ( dulu ada pawai pembangunan) berikut pameran. Juga panggung hiburan untuk ‘rakyat’, pakai kesenian tradisional, pertunjukan band dan orkes. Mungin malah kembang api (kali, ya!).
Dan masih banyak lagi.
Semua butuh dana dan pengorganisasian layaknya ‘rojo’ mau mantu.
Pas di urusan dana, barulah itu jadi masalah.
Saya membayangkan untuk level kabupaten saja, mungkin bisa ratusan juta rupiah dana yang dikeluarkan. Jangan lupa, masing-masing partisipan juga mengeluarkan biaya lho, paling tidak beli peci dan kue serta air-minum untuk regu yang dikirim ikut upacara, dan itu bukan berasal dari duit PHBN.
Jadi, bagaimana memobilisasi dana untuk keperluan tersebut ? Partisipasi masyarakat dengan tidak membebani rakyat. Artinya, melalui partisipasi lembaga-lembaga yang ada di masyarakat dana itu digali. Antara lain ya lembaganya teman saya itu tadi. Maksudnya sumbangan gitu lo ah, kok mbulet banget sih.
Teman saya merasa agak risih hati. Dan itu terbaca dari postingnya. Saya juga, kok. Dalam hati kami, apa ya masih jamannya to, menyelenggarakan acara seperti itu pakai ngutip-ngutip dana dari masyarakat ?
Dilema yang dihadapi oleh den mas teman saya yang saya anggap sebagai representasi ‘masyarakat’ adalah :
diberi = mengganggu hati dan cashflow,
tidak berpartisipasi = bakalan terganggu kepentingan untuk mendapatkan pelayanan publik pada saatnya nanti kalau pas membutuhkan.
Repot.
Belum lagi kalau keluhan disampaikan kepada manajernya terus dijawab : halaaah, ya sudah isi saja berapa gitu looo, seperti biasanya tapi tolong tambahin dikit-dikit, harga-harga sekarang kan sudah naik semua.
Padahal, permintaan dari level kampung, kelurahan kecamatan, kabupaten, belum lagi dari eng-ing-eng yang lain, yang kalau dijumlah-jumlahkan ternyata lebih banyak dibanding yang dikeluarkan untuk acara semacam di unit bisnisnya sendiri. Wuuih, lehernya jadi bengkak, gondoknya setengah-dut.
Mungkin sudah waktunya budaya tiru-meniru membabibuta begini mendapatkan tinjauan lebih cermat. Di tengah mandeg dan melambatnya upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat saat ini, merayakan ulang-tahun kemerdekaan atas-nama mengenang dan menghargai jasa pahlawan lebih tepat dilakukan dengan melakukan aktivitas bakti masyarakat yang lebih riel dan terprogram. Misalnya dengan membagikan buku dan alat tulis sekolah gratis, sembako gratis, sunatan dan kawinan masal, fogging antinyamuk demam berdarah, rehabilitasi kampung kumuh dan lain-lain. Dengan catatan, bahwa semua dilakukan bukan untuk kampanye pemenangan kandidat eksekutif maupun legislatif di pentas-pentas pemilihan nantinya. Juga bukan untuk kampanye pemasaran produk.
Tetapi benar-benar tulus demi rakyat jelata di negeri ini.
Kapan Indonesia akan menjawab angan-angan yang terselip di dalam kepala saya dan kepalanya den-mas teman saya itu?
Akankah tahun depan masih ada tamu datang ke tempat teman saya bekerja atas-nama PHBN untuk mengumpulkan sumbangan ?
Negeri yang elok ini debunya semakin tebal saja. Mari kita coba membersihkannya dengan membersihkan hati kita terlebih dahulu.
Sampai jumpa di tujuhbelasan tahun depan. Semoga mulai berubah. Insya Allah.
(Kita lihat dan cermati sama-sama ya den-mas!)
hay temanku yang sehati, info dari teman saya jadi panitia PHBN itu menyenangken betapa tidak dapet honor dan snack. Padahal waktu saya masih di Jkt, jadi petugas uapacara 17an setiap bulan maupun di HBN juga gak ada honornya karena itu merupakan bagian dari tugas rutin kita. harapan konco ini terlalu muluk kalau berharap tahun depan sudah gak ada lg yg nmnya minta partisipasi dana untuk acara seremonial PHBN. Eh tau nggak kawan dilembaga tempat teman dan aku cari nafkah ini sampe-sampe gak smpet ngrayain ultahnya, tapi eh lembaga laen kalau mau ultan nanggap wayang anom suroto yang biaya puluhan juta mintanya ke kite-kite juga, dan gitu langsung ngeplot bilangan juta lg. yah itu mungkin mereka gak tahu caranya menggali potensi diri utk sebuah kemerdekaan yang hakiki, kemerdekaan untuk diri sendiri dan orang lain. Semoga harapan ini menembus langit ke tujuh seiring dengan kecepatan cahaya. Amiiiiin
BalasHapussama aja kan kasusnya dengan mendirikan rumah2 ibadah??
BalasHapussama aja kan kasusnya dengan mendirikan rumah2 ibadah??
BalasHapussama aja kan kasusnya dengan mendirikan rumah2 ibadah??
BalasHapusTangan diatas lebih baik daripada tangan dibawah.
BalasHapusYang saya heran penggagas pencari dana mentalnya kok masih gitu, mental minta2 dan tukang peras. dan orangnya / instansinya juga itu2 saja.
@mas moko: hatimu-hatiku itu judul lagu jadul dr titik sandora-muchsin
BalasHapus@tc: itu mengajarkan kpd kita bahwa .... itu mengajarkan kpd kita bahwa .... itu mengajarkan kpd kita bahwa ....
@mas don: mentaaaal boy!! mentaaaal .....
salam
BalasHapushaiah mau glamor tapi malah minta sana-sini duh drop deh drop mending tidur aja akh
kalau sudah terbiasa gengsi sulit memang belajar utk apa adanya begitu juga minta2, kalau sudah terbiasa minta2 mana mau mikir apa yang dimintai saat itu pas lagi ada uang apa nggak, atau mikir cara lain yang lebih mulia drpd njaluk2 :D
BalasHapus@nenyok: bung karno pesan 'kutitipkan negara kepadamu', sayangnya yg dititipi nggak amanah ...
BalasHapus@elys welt: jangan2 ini gejala budaya kriminal yg 'dimaklumi' .....