Membaca tulisan-tulisan tersebut, saya jadi berpikir tentang diri saya sendiri. Keberadaan saya di tengah para teman, kolega, senior dan yunior, atasan dan para teman yang bersama-sama saya menyelesaikan tugas bersama. Juga bagaimana saya bekerja, di mata keluarga, kerabat dan tetangga saya.
Dalam bayangan saya.....
Anak, keponakan, anak tetangga, menyaksikan keseharian saya berangkat dan pulang kerja. Juga kepergian saya untuk tugas-tugas ke pusat maupun luar kota.
Mereka mungkin juga merekam sebagian pembicaraan saya ketika bertemu langsung dengan teman-teman saya ketika di rumah, di tempat resepsi, maupun di telepon yang kadang-kadang berkaitan dengan pekerjaan. Juga betapa seringnya tiba-tiba saya harus pergi ke kantor secara mendadak di hari libur bahkan malam hari ketika pada umumnya orang sudah beristirahat. Seringkali pula, sepulang dari tempat kerja, saya harus menyelesaikan pekerjaan sampai larut malam, bahkan terkadang sampai pagi ketika mereka bangun. Mungkin pula mereka melihat dan membaca sebagian pekerjaan saya.
Barangkali mereka berpikir, betapa tinggi komitmen saya dalam melaksanakan pekerjaan. Betapa totalnya saya menjalani pekerjaan saya. Sehingga mungkin saya menjadi idola mereka.
Sementara itu,
Di tempat kerja sebenarnya saya menggunakan sebagian waktu untuk omong-omong kosong dan makan siang berlama-lama, main game atau mengakses internet dan mendownload materi-materi yang jauh hubungannya dengan pekerjaan. Tugas luar kota adalah suatu liburan wisata yang menyenangkan karena saya dapat mendatangi tempat-tempat jauh yang belum pernah saya kunjungi. Urusan tugas yang saya bawa, biarlah mereka yang saya datangi yang harus menyelesaikan.
Kalaupun saya melakukan pekerjaan saya, sebenarnya saya hanyalah melanjutkan kebiasaan-kebiasaan yang saya warisi dari gaya bekerja para pendahulu saya, tanpa saya lakukan telaah seberapa relevan warisan tersebut untuk tetap dilakukan pada saat ini. Bahkan seringkali saya menyingkirkan dan membuang cara-cara yang menurut saya rumit dan hanya akan membuat saya sulit melakukannya, tanpa peduli bahwa yang saya singkirkan itu sebenarnya adalah bagian dari prosedur baku penyelesaian pekerjaan.
Pemikiran dari para kolega dan yunior yang tidak mampu saya tindak-lanjuti saya tolak, sebagian data dan informasi saya sembunyikan atau tidak saya gali, karena saya tidak mampu mengolah dan menganalisisnya.
Yang penting, apa yang saya laporkan kepada atasan sudah cukup membuat puas para beliau ini.
Saya tidak suka mendapatkan atasan yang sok njelimet, analitis dan menguji laporan saya, karena setiap itu dilakukan, saya selalu kesulitan untuk menjelaskannya karena memang sebenarnya laporan itu disusun oleh para anak-buah saya. Dan, pada saat saya mendapat atasan yang tidak begitu pandai, sukalah hati saya. Apalagi kalau orang itu mudah dipengaruhi, sukur-sukur baik hati dan dermawan, apalagi murah hati dalam memberikan promosi kepada saya tanpa saya harus bersusah-payah berprestasi.
Saya juga tidak suka anak-buah yang sok pandai, yang suka berteori dan sok ilmiah, memprotes dan mempertanyakan segala sesuatu yang saya perintahkan kepadanya. Toh mereka mengenal tugas lebih sedikit ketimbang saya. Dan saya tentu lebih tahu karena saya bekerja lebih lama. Kecuali, mereka tidak banyak bicara tetapi dapat membuat laporan-laporan seperti yang saya kehendaki. Dengan satu catatan, apabila yang mereka buat nantinya membuat malu saya di depan atasan, saya akan ambil tindakan tegas: buang atau isolasi mereka di pojok ruangan tanpa pekerjaan.
Jangan coba-coba berkelit untuk itu, kecuali saya akan persona non grata-kan dia, sehingga tidak akan diterima di tempat manapun di lingkungan ini, kecuali oleh kolega saya lainnya yang merasa kasihan kepada anak buah saya itu.
Jadi, sebenarnya saya tidak punya komitmen maupun totalitas dalam bekerja.
Dan saya juga tidak begitu peduli dengan penilaian orang lain terutama para kolega saya atas apa yang saya lakukan.
Ketika saya pensiun nanti, akan duduk seorang muda di ruangan ini dengan rasa bangga, mungkin kebetulan dia adalah anak saya, keponakan saya, anak tetangga saya, yang sangat mengidolakan saya.
Nama besar saya, menurut mereka adalah pass untuk mencari nilai di tempat ini.
Hari berganti, ketika anak-muda ini menelusuri jejak kerja saya, mempelajari produk-produk saya, pemikiran saya, informasi tentang saya dan segala sesuatu yang bersangkutan dengan saya, idolanya.
Pelan-pelan kekaguman mereka kepada saya mulai runtuh, seperti landasan pasir di dasar sungai yang terinjak kaki, lama-lama luruh tergerus derasnya arus air. Demikian pula nama besar saya yang berada dalam tempat tinggi di benak mereka, dari hari kehari turun ke titik nadir. Ternyata saya tak punya nilai apa-apa .......
Demikian bayangan saya tentang bagaimana diri saya sekarang dan nanti, yang itu membuat saya sangat takut.
(teman-teman yang sedang bekerja di tretes: semangat!)
He he .. motretnya pake Nikon nih, mangkanya gambarnya jelas banget.
BalasHapusehhh, mas indro:
BalasHapusjelas apanya mas? ngawurnya? nekatnya? narsisnya?
kemarin teman saya ada yg kirim sms, info ttg sebuah rapat, ditulisnya: PUUUUAAAAARRAAHHH PPPUUUUUOOLLLLLL
Jangan ditaruh dipojok ruangan Pak , nanti dia malah nge-net & nge-blog terus malah seneng ...
BalasHapusTransfer saja ke Persik , Persebaya , Persela , Arema , Persekabpas , ... kan banyak klub disekitaran situ ...jangan ditransfer ke klub Kaltim, disini stok sudah melimpah ..ha..ha..
@raf: setuju, buat ganep-ganep etungan
BalasHapusPada saat saya di BUMN dan baru masuk, saya melihat para senior begitu hebat, semua aturan yang ada seolah2 hafal. Saya salut padanya, bersama berputarnya waktu, sedikit2 saya mencoba mengikuti jejaknya, memang orang2 disekitar saya banyak yang bertanya kepada saya kalau ad masalah. Kemudian saja juga berfikir, apakah saya waktu itu sudah begitu hebat atau karena mereka itu pada malas mencari sendiri, kan lebih enak kalau tinggal tanya.
BalasHapus@mas sito: tinggal nanya? kalo ga keburu ditinggal pergi, yaaaa
BalasHapusSalam
BalasHapusDuh tulisannya jadi bikin tersenyum simpul, kayaknya dominan orang gitu yak klo bekerja..tapi saya tahu kok Pakde ga begitu, mengena banget deh :)
@nenyok: salah saya adalah kenapa saya membayangkan hal seperti itu...
BalasHapusselamat berpuasa, mohon maaf
Bagaimanapun anda semua masih sangat mengagumi anda dan sangat mengidolakan anda. Berbanggalah
BalasHapusBayangan saya kalau di kantor pusat itu ya segala arsip sudah ada di sana semua. tapi kenapa ya kalau pejabat di kantor pusat pengen baca surat selembar aja gak mau nyari yang ada di kantor pusat, tapi malan nelpon, ngefax ke unit cuma urusan minta copi surat yang mau dibaca itu. Padahal kantor pusat itu kalau teriak suruh efisiensi penggunaan telpon buanter banget, eeehhh tahunya.....biaya telponnya diabisin cendili ech ech ech
BalasHapussetuju pak
BalasHapusJangan terlalu pintar, jangan terlalu bodoh. Tapi semua tergantung pada pilihan hidup anda. Intinya, jangan mengusik rasa tidak aman atasan kalau mau lancar, tapi kalau hati bergejolak, pilihan terserah anda. Saya mantan SPI dan saya mantan orang yang di persona non gratakan langsung oleh Kabag dan Direksi.Semoga kita diampuni Tuhan.
Selam kenal buat para bloger yang muncul diglognya kakakku Paromosuko untuk meramaikan blog2 kite temen-temen komentator jg bisa mencoba untuk membuka di http://thenmasmoko.blogspot.com disitu bisa kasih komentar biar rame gitu loh.
BalasHapuskarena disitu kita bisa buang sebel n tolong kite dikasih alamat blog temen-temen ye. tks Mas Moko
@anonim: anda kok nakutin saya, yaa ...
BalasHapus@roby: bung (erning?), kan cuma di nongrata-kan oleh 'persona'! bukan oleh 'dei'... simpati saya kepada anda, bung. mari terus belajar untuk menjadi lebih baik
@mas moko: kok merasa sebel? anda sekarang kan lagi dikasi kesempatan buat ngilangin sebel teman2 semua lho! jangan malah nularin penyakit sebel, karena yang itu bagian saya, hehehe...
Ya pak...benar. Insya Allah pak.
BalasHapus