15 Januari 2019

...


diamku dalam sunyi
mencari
celah di mana ada kedip cahaya 
dari jauh sana
diamku di kedalaman sunyi
menanti
cahaya mentari pagi


surabaya, 11 agustus 2018

Entah Bagaimana

Suntuk.
Itulah kata yang terlintas, mengapa akhir-akhir ini membuat enggan menulis.
Mungkin terpapar dengan huru-hara dan hura-hura di medsos, mungkin juga karena suasana hati sedang tidak ingin 'muncul' di permukaan.
Mungkin juga karena lagi menemukan keasyikan baru, dengan menikmati guyub-rukun dan kegotong-royongan bersama tetangga di kampung, yang jauh dari hal aneh-aneh. Serba apa-adanya.
.....
Lalu tiba-tiba terusik oleh sahabat lama, yang berharap untuk kembali menulis, kali ini 'puisi'.
Ah,
apa iya sih,
menulis puisi itu kan butuh fokus, seperti menyeduh kopi, terasa kopinya tapi tidak tertelan ampasnya, bukan seperti membuat es sirop.
Lalu teringat komentar senior SMA, seorang penyair kondang yang pernah mengomentari bahwa puisiku ini puisi 'penyair karbitan'.
Betul 100 persen. Mutlak.
Tapi biar sajalah, toh setiap orang memiliki hak asasinya untuk mengemukakan 'isi jiwa'-nya. Sepanjang itu tidak membahayakan atau berkibat buruk bagi kemanusiaan. Dan aku juga tidak kepengin jadi 'penyair', apalagi menjadikan itu sebagai cita-cita. apalagi untuk meraih gelar sebagai Penyair. Samasekali mboten, ora, tidak, nehi.
Ya sudah.
Aku cuma pengin berasyik-asyik dengan sahabatku, yang suka berpuisi.
Mas Buyono di Medan.
Bismillah.
Tak molai yo cak, sepurane lek puisiku bantat tah gosong.