25 Juni 2008

Guruku Berkejaran dengan Waktu


Pikiran saya sedang terusik oleh sebuah cerita sedih tentang guru SMA saya yang sudah sepuh, yang ketika dua tahun lalu kami kunjungi bersama teman-teman, beliau baru saja pulang opname, dan harus ganti merawat isterinya yang sakit di rumah. Beliau adalah salah satu dari sekian mantan guru kami yang masih ada, dan memiliki hubungan cukup dekat dengan para bekas murid-muridnya.

Tahun lalu teman-teman alumni SMA saya (dari beberapa angkatan kelulusan) berencana untuk meluncurkan sebuah buku yang berisi rekaman perjalanan selama 50 tahun usia sekolah kami. Peluncuran dilakukan di Jakarta - karena sebagian besar alumni berada di sana – dengan sebuah perhelatan besar yang barangkali dimaksudkan sebagai ungkapan terima kasih kepada sekolah yang telah mengantarkan teman-teman saya menjadi ‘orang’, dan mungkin juga dimaksudkan sebagai ungkapan rasa bangga luar-biasa.
Cerita tentang guru saya, yang terselip di balik segala kemeriahan tersebut sungguh mengharukan hati saya. Dan baru dua minggu lalu cerita tersebut saya dengar dari seorang teman.

Guru saya tersebut, ketika itu berhasrat benar untuk ikut datang menghadiri acara di Jakarta tadi. Keterbatasan-keterbatasan yang sangat dapat dimaklumi menyebabkan beliau mengalami kesulitan untuk dapat berangkat ke Jakarta. Sampai terucap sebuah pertanyaan kepada teman kami itu “ Mas, bagaimana ya caranya supaya saya bisa ikut ke Jakarta?”. Sebuah pertanyaan yang menurut saya lebih bernuansa sebuah permohonan kepada bekas muridnya, agar dapat difasilitasi untuk ikut menyaksikan acara besar yang diselenggarakan dan dihadiri oleh beratus-ratus para bekas muridnya. Sebuah kerinduan yang amat sangat untuk bertemu mereka, harapan yang demikian kuat untuk ikut menjadi saksi sebuah rekaman peristiwa teramat besar di mana beliau pernah menjadi bagian di dalamnya.
Disampaikan dalam sebuah keluhan, sebuah permintaan setengah putus-asa.

Beliau akhirnya tetap tak dapat berangkat.
Pesta peluncuran buku konon berhasil dilangsungkan dengan sangat meriah, amat membanggakan dan meninggalkan kesan yang teramat dalam bagi yang menghadirinya.
Mendengar cerita tersebut, hati saya merasa perih.

Guru saya ini telah sangat lama berpisah dengan para muridnya yang sekarang entah sudah menjadi apa mereka semua.

Maafkan teman-teman, kalau saya menjadi sentimentil mendengar kabar ini.
Karena saya membayangkan bahwa diri saya adalah Guru Anda, guru renta yang ingin sekali menyaksikan sinar mata kebahagiaan di muka Anda sekalian di hari yang amat bersejarah itu, pada usia tua saya ini, pada sisa usia saya yang tinggal sedikit ini. Dan harapan saya ini tak dapat terlaksana, karena saya tak mampu ke sana. Tak dapat bertemu dengan Anda sekalian, yang sekarang sudah bak Laksamana Hang Tuah di anjungan kapal , di samudera raya kehidupan yang teramat luas, seperti yang dulu saya ceritakan ketika Anda masih menjadi murid saya.

empati untuk Mas Amir dan segenap teman-teman di Purworejo:
berlalunya waktu untuk kita, adalah berlalunya harapan untuk beliau

21 Juni 2008

Sudah Lupa Tuh!

Pada saat harga-harga menyelinap naik seperti ular merayap pindah tempat, kebanyakan orang sudah mulai lupa kepada kemarahan atas penetapan kenaikan harga BBM tempo hari. Harga paku yang sebelumnya sekilo Rp 12 ribu, merambat malu-malu ke Rp 14 ribu lalu Rp 18 ribu di toko besi dekat rumah. Itupun, mbak pelayan tokonya bilang : entah besok. Artinya, sangat mungkin akan naik lebih tinggi lagi. Barang lainnya paling-paling juga idem saja.
Kita seolah-olah mempunyai sikap yang seragam: mau apa lagi! Mentok sampai di situ.
Kalaupun ketika harga bensin baru naik, beberapa di antara kita berpikir dan berencana untuk melakukan pengiritan belanja, penggunaan lampu atau mengurangi intensitas penggunaan kendaraan bermotor, mungkin upaya itu sudah mulai kendor pula saat ini. Tidak sesemangat ketika diikrarkan di depan keluarga. Hidup sehari hari berjalan normal kembali. Tetapi benarkah?
Di jalanan terlihat angkot yang berjalan lambat karena supirnya banyak menoleh kanan-kiri mencari kelebat calon penumpang. Penumpang yang berada di atas angkotnya kurang dari separo. Pedagang sayur keliling, bawaannya berkurang, karena mungkin kemampuannya mengulak barang turun, ditambah konsumennya mengurangi nilai belanjaan.

Yang jelas, tampaknya tingkat kemarahan kita kepada Pemerintah sudah tak lagi setinggi sebelumnya. Entah disebabkan terlalu capek untuk marah, merasa tak guna lagi untuk marah, bosan mencari sesama pemarah, atau karena sudah lupa bahwa tetap perlu marah.
Atau takut pada isteri, karena marahnya terbawa sampai di dalam rumah, atau justru tak bisa lagi marah karena isteri marahnya lebih seru. Atau, dipikir: marah juga percuma karena seisi rumah sampai ke tetangga sekampung semua juga lagi rame marah-marah.

Apakah Pemerintah senang?
Pemerintah itu siapa, yang mana, lembaganya atau orangnya.
Kalau lembaganya, saya kira tak ada lembaga yang punya perasaan, marah atau senang. (Jangan nyanyi: Lmbagaaa jugaaa mnusiaa)
Mungkin orangnya. Tapi yang mana, yang di mana. Wah, saya tak tahu.
Hanya menduga-duga, bahwa rasa senang sedikit ada, karena mereka (beliao) tak lagi harus menjawab pertanyaan media yang pertanyaannya itu-itu saja dan harus dijawab juga dengan jawaban yang itu-itu saja. Senang karena tak ada lagi demo besar, yang menguras tenaga, emosi, keringat, perhatian, bensin, waktu. Dan uang.
Barangkali benar kalau ada yang pernah menyampaikan bahwa kita ini bangsa yang pelupa. Mau buktinya:
Jawab spontan ! : penetapan harga baru BBM pada tanggal berapa!
Jangan menoleh ke kalender!
Mikir?
Anda pelupa.

Hati-hati, TV dan PC Anda bisa mati tiba-tiba karena Djamali defisit pasokan!
Ah, Ini Lagi! Lebih pinter bikin singkatan baru ketimbang menyingkat keborosan dan kebocoran.
(Djamali itu siapa? Maksudnya apa?)
Mbuh, wis! Sak-Kaaarepmu!

19 Juni 2008

Suasana Hati

Aku membayangkan, kalau nanti aku sudah pensiun, maka aku tak akan lagi menikmati pagi hari duduk rapi dengan gelas teh dan kopi bersama teman-teman di kantor ini * waduh, mencoba sebuah prosa berima*.
Celoteh ramai ketika goreng pisang datang, semua merubung dan mengambilnya lalu kembali ke meja kerja, melanjutkan aktivitasnya sambil sesekali bicara pada teman di sebelahnya.
Ketika ada tamu datang, senyum dipasang dan tangan berjabatan. Ah ! Suasana yang sungguh akan sangat kurindukan nanti.
Perdebatan dan pertengkaran kecil karena laporan yang lambat disampaikan, berkas dipinjam lupa dikembalikan, dan urusan yang dilempar-lempar ke orang yang semestinya tak berkaitan, seolah menjadi bagian yang mesti ada, kalau tidak ingin dibilang komunitas yang beku romantika.
Lirak-lirik teman dari ruang sebelah yang datang bertandang, karena di ruanganku ini banyak yang sedap untuk dipandang-pandang lagian suka agak menantang-nantang, amboi! bikin pagi-pagi ingin bersicepat sampai di sini saja.
Canda kebablasan, sampai-sampai sebuah kue terlempar hampir kena kepala bos yang untung saja bosnya nggak tahu, tapi akhirnya setelah tahu semua ketawa si bos juga ketawa dan justru pelemparnya pucat-pasi, mmmmm teman-teman yang sungguh menyenangkan.
Suara dot-printer yang merengek-rengek seolah minta perhatian manusia sekitarnya untuk menunjukkan bahwa si empunya lagi bekerja keras, terdengar dari kebisingan yang timbul darinya *emang itu printer atau mesin potong keramik?*
Duduk berhadapan untuk bicara kecil-kecil diseling dengan corat-coret kode rahasia, yang disampaikan gara-gara komunikasi yang buntu dan mencari saluran untuk penampungan dari luapan rasa sesak di dada, *aku sudah bilang kalau aku ini siap jadi tas kresek, wadah muntah iya, untuk wadah belanja apel-anggur-eskrim-nasi pecel-gado-gado pun juga iya, asal jangan sumpah-serapah yang ditumpah, itu bisa bikin aku murka semurka-murkanya* banyak rahasia baru yang aku dengar dan harus aku simpan rapat-rapat, tapi akhirnya bocor juga karena si empunya rahasia mengobralnya di beberapa meja bahkan hampir semua dengan pesan yang sama ' ini cuma di antara kita saja'.
Melihat ada yang bercuriga-curiga, karena kawatir ketahuan sesuatunya padahal aku tak peduli terhadapnya, lucu rasanya.
Bertabrakan pendapat dan saling cari dukungan di antara sesama, macam kampanye pilkada saja agar idenya sukses diterima dan didukung semuanya.

Menghadapi bos yang ribut memasalahkan titik dan koma, cuma karena selera dan tidak PD saja menghadapi rapat besar yang harus dihadirinya.
Bos yang terkadang menjungkir balikkan norma dan kaidah di luar kompetensinya, semata agar hipotesisnya diterima melalui rasionalisasi yang begitu naifnya.
Memandu yunior yang begitu semangat, maunya main bersicepat, kalau perlu dengan memotong sistem yang ada.

Dari sudut ini, semua kupotret sefokus-fokusnya untuk nanti dipigura dalam ingatan menjadi sebuah kesan yang akan tetap kurindukan.
Lalu dengan itu, bekerja terasa ringan dan menyenangkan, terasa sayang untuk ditinggalkan.

Hmmm,
pada saatnya, akan kutinggalkan itu semua.
Dan hanya akan tertinggal jejaknya di memoriku yang semakin cekak speisnya.

Paling-paling kalau rinduku sudah memuncak, nantinya aku akan datang ke sini menengok lagi semuanya. Itupun kalau teman-teman ini masih sudi menerima aku dan tak merasa terganggu oleh kedatanganku.
Atau, masihkah aku punya cukup nyali untuk bertemu dengan mereka yang akan menerimaku dengan setengah hati karena toh aku sudah tak punya status lagi di sini?

Ah,
Biar nantilah saja pada saatnya, kalau aku sudah berada pada saat pensiunku nanti.
Yang jelas, aku sedang sangat menikmatinya.


di antara tumpukan berkas
yang seperti tempat pembuangan akhir sampah kota

16 Juni 2008

Sang Guru

Ketika aku menghadap kepada Mahaguru Durna, Sang Apunjul Ing Kawruh, gemetar rasanya seluruh tubuhku, karena pada akhirnya aku dapat bersimpuh dihadapannya Yang Dimuliakan, yang tersohor sebagai mahaguru seluruh kesatria terkemuka. Hatiku penuh rindu dan harap-harap cemas mendengarkan fatwanya, yang selama ini hanya aku dengar melalui kabar dan beberapa berita.
Kerinduanku dipicu oleh keinginan yang lama terpendam untuk dapat diterima sebagai muridnya, agar aku dapat belajar segala ilmu sebagai bekalku menjadi Raja yang adil dan bijak, sebagai pemimpin dan pelindung bagi rakyat di kerajaan Paranggelung.
Ilmu yang akan kupelajari, dan akan kumanfaatkan untuk menjadikan negeri ini sebuah negeri yang tenteram, yang rakyatnya saling menghormati satu sama lain; aman, terlindung dari gangguan dari manapun dan dalam bentuk apapun; dan makmur, bebas dari kepapaan.
Memandang wajah Sang Pandita, terlaksana setelah aku menghadap beliau di pertapaan Sokalima yang teduh dan bermartabat, sangatlah menyejukkan hatiku dan menghalau segala kelelahan serta gundah hatiku.

Aku, Palgunadi, Raja Paranggelung, sangat berhasrat menjadi murid dari Pandita Durna, meskipun hanya diterima sebagai murid biasa atau bahkan menjadi abdi pembasuh kaki beliau, asalkan aku selalu dapat berada di dekatnya, melihat segala laku teladannya, ikut mendengarkan fatwa dan petuahnya kepada para muridnya yang dimuliakan, para kesatria Pandawa dan Kurawa. Cukuplah aku diterima sebagai abdi, itupun sudah akan aku syukuri.
Keberangkatanku bersendiri dari kotaraja Paranggelung, dihantar dengan segala puji-basuki oleh seluruh rakyat, penata-praja dan para punggawa istana, diiringi oleh senyum penuh kasih dari isteriku yang jelita, Anggrahini, seorang Ratu yang sangat dihormati serta dicintai oleh seluruh anak negeri. Perjalananku serasa ringan karena dukungan dan dorongan dari semua orang yang tulus berbakti dan mencintaiku. Akupun telah menyiapkan diri untuk meninggalkan segala kemuliaan sebagai Raja, bersiap bahkan untuk menjadi budak bagi Sang Pandita, agar dapat menyerap ilmunya yang akan aku persembahkan bagi negeri dan rakyatku nantinya.

Sang Pandita menolak permohonanku.
Serasa runtuh langit dan terbelah bumi yang kupijak. Terbayang roman muka kecewa seluruh rakyat, para punggawaku, bahkan isteriku. Betapa mereka akan merasa terhina, ketika mendengar rajanya ditolak ketika memohon untuk dapat menjadi murid Sang Guru Pandita, meskipun sebenarnya aku bahkan sudah memohon sekedar sebagai abdi suruhannya. Betapa tak terbayangkan ketika aku nanti akan menyaksikan para prajuritku marah karena rajanya telah dipermalukan dengan tiada sepantasnya, lalu mereka akan meledakkan kemarahannya dengan mengajakku berangkat membasmi pertapaan Sokalima karena rasa terhina. Sedangkan aku sama-sekali sangat tidak menginginkan adanya permusuhan, sebagaimana diamanatkan kepadaku ketika dinobatkan menjadi raja : menjadi pelindung rakyat, pembawa kedamaian dan kemakmuran, serta persahabatan di antara rakyat antarkerajaan.

Dalam kesendirianku meninggalkan pertapaan Sokalima, aku berpikir keras mencari jawaban tentang sebab-sebab penolakan Sang Guru Pandita. Aku yang telah berikrar sebagai pemimpin yang cinta damai, mungkin belum cukup menjadi jaminan baginya, untuk tidak dianggap akan mengancam kedaulatan kerajaan keluarga Pandawa dan Kurawa. Kebesaran kerajaan keluarga Abiyasa ini, akan terusik di hadapan masyarakat dunia, karena seorang Palgunadi yang bukan siapa-siapa, apabila diterima menjadi muridnya. Kalaupun sementara ini aku dikenal sebagai raja yang sakti dan bijak, maka sebenarnya kesaktian dan kebijakanku semata-mata aku gunakan untuk memimpin negeriku, tanpa sedikitpun terbersit pikiran untuk meluaskan kerajaan, mengobarkan penjajahan ke negeri manapun juga. Dan pula, aku tak merasa bahwa diriku adalah seorang raja sakti yang ingin bertanding kesaktiannya dengan siapapun. Sama sekali tak ada pikiran semacam itu.
Kuputuskan, dengan bekal sejenak pertemuan dengan Sang Pandita ini, dengan sejenak kesempatan untuk mendengar suaranya ketika berbicara, melihat kelebat langkah dan gerak-geriknya, mencium aroma rambut dan jubahnya, serta membayangkan tingkat ilmunya, aku tetap akan berguru kepadanya. Aku tak akan pulang ke Paranggelung, daripada hanya akan membuat kecewa orang-orang yang kukasihi. Aku akan mengasingkan diri, berkontemplasi di tengah rimba di tepian padang belantara. Aku akan menempa diri dengan belajar olah-keprajuritan dan olah-kearifan budi, dengan membayangkan bahwa Sang Pandita sebenarnya secara diam-diam membimbingku agar aku dapat menguasai segala ilmu yang diajarkannya. Kuyakini, bahwa sebenarnya Sang Pandita bukan menolakku, tetapi menguji kesungguhan hatiku, bukan mengusirku tetapi memerintahku untuk mencari tempat yang lebih sunyi dan tenang, agar beliau dapat mengajariku secara lebih khusus dan pribadi. Bagaimanapun Pandita Durna terlalu agung bagiku. Terlalu mulia, sehingga apa yang telah terjadi sebenarnya bukanlah penolakan, tetapi dia telah memperlakuan teramat khusus kepadaku. Sesungguhnya bagiku, dia sangatlah faham, bahwa dengan menjadi muridnya amat jauh keinginanku untuk sekedar menang perang ataupun cerdik dalam berolah-praja. Beliau adalah inspirasiku, sejak sebelum bertemu, ketika sejenak bersimpuh dihadapannya maupun ketika aku harus pergi darinya. Semakin kencang motivasiku untuk berguru, meskipun aku tidak berada di Sokalima, karena bagiku ini adalah isyarat rahasia yang telah kuterima dan dapat kubaca, bahwa Sang Pandita sangat memahami tingkat pemahamanku dan kemampuanku mengembangkan diri, dari pertemuan yang hanya sejenak itu. Aku hanya dapat bersimpuh dihadapannya dalam angan-angan, atas segala penghargaan dan kepercayaannya, bahwa aku akan mampu menjadi muridnya, meskipun dia tidak mengasuhku secara nyata.

Ternyata, dengan caraku belajar ini, rasanya aku mempu lebih cepat menguasai ilmu keprajuritan yang diajarkannya. Kubayangkan, bagaimana Sang Pandita mengajari Bima, Duryudana dan Dursasana berolah gada, sehingga mereka menjadi teramat mahir. Bagaimana Arjuna berolah panah, sehingga hanya mendengar gemerisik daun di semak, seekor kijang dapat dipanahnya tepat pada jantungnya.
Aku juga membayangkan bagaimana Sang Pandita mengajarkan lontar dan kidung berisi nasihat utama bagi seorang kesatria, yang akan menjadi pedoman dalam bertindak dan berperilaku luhur. Akan dicontohkannya sifat-sifat mulia agar menjadi acuan dalam setiap segi kehidupan seorang kesatria dan raja-raja.

Di malam-malam yang sepi, di bawah terang bintang di tengah padang belantara di tepi hutan, aku memusatkan segenap inderaku, menyerap segala nilai utama yang diajarkan oleh guruku melalui anganku.

Waktu berlalu.
Rasanya masih belum selesai juga aku menyerap ilmu Sang Pandita, ketika aku menerima isyarat tentang kegundahan rakyatku, yang menunggu kedatanganku karena rasa rindu kepada rajanya. Terbayang wajah Anggrahini, yang meskipun tetap tegar sebagai seorang Ratu yang suaminya sedang berada di tempat jauh, bertanya-tanya pula dalam hatinya tentang keberadaanku. Rindu untuk dapat bertatap muka dan berbicara sebagaimana sedia kala.
Kutahan hatiku untuk mencukupkan keberadaanku di tengah padang belantara sunyi ini, sampai suatu ketika, di siang yang sepi, keheningan belantaraku dirobek oleh suara salak murka dari sekawanan anjing yang berlarian menuju ke tempatku. Kutarik busur, kulepas sebatang anak panah ke arah gemerasak semak yang diterabas kawanan itu, dua-tiga suara lolong panjang terdengar, lalu suara salak menjauh. Sepi kembali.
Tiba-tiba dari sudut gerumbul semak muncul seorang kesatria berpakaian pemburu, yang wajahnya bercahaya, yang matanya berkejap laksana bintang kejora menggambarkan kecerdasannya yang amat sangat. Aroma yang kutangkap, mengisyaratkan bahwa beliau adalah Raden Arjuna, seorang kesatria tersohor di seluruh jagad yang kesaktiannya bahkan diandalkan para Dewa. Seorang kepercayaan Kahyangan Giriloka, yang beristeri seorang bidadari, Dewi Supraba. Aku takjub melihatnya, dan merasa sangat bahagia dapat berhadapan dengannya. Kulihat di tangannya sebuah busur dan sebatang anak panah berkilauan matanya, namun masih lebih menyilaukan lagi wibawa Sang Kesatria Lananging Jagad ini. Kusampaikan salam, kusapa namanya dengan takzim.
“ Selamat datang wahai Raden Arjuna, Sang Kesatria Panengah Pandawa”.
Tampak sejenak dia terkejut, ketika kusebut namanya, lalu pandangannya tampak menyelidik.
“Siapakah engkau, wahai pemanah, yang telah membunuh tiga ekor anjing pemburuku dari kejauhan, dan apakah yang sedang kau lakukan di tengah padang belantara ini ?”
“Aku adalah Palgunadi, seorang yang sedang mengasingkan diri, belajar dari Mahaguru Resi Durna”
Lalu tiba-tiba Arjuna pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah katapun. Sejenak aku menjadi terheran-heran. Apa gerangan yang terjadi, sehingga dia meninggalkanku begitu saja, sebelum aku sempat meminta maaf kepadanya karena secara tak sengaja telah membunuh anjingnya. Aku sangat ingin berkenalan dengannya, dan kalau mungkin bersahabat dengannya, belajar darinya, bahkan aku ingin kalau bisa menjadi saudara setianya. Sungguh sebuah kehormatan tiada tara, apabila keinginanku dapat dikabulkannya. Menjadi teman dan saudara dari seorang murid terkasih Pandita Durna, yang akan menjadi penawar kegagalanku dalam berguru langsung kepada Sang Pandita. Tetapi belum sempat semua anganku kuwujudkan dalam sebuah permintaan kepadanya, dia pergi begitu saja tanpa sepatah kata diucapkannya.

Aku memutuskan untuk kembali kepada rakyatku, ke kerajaanku di Paranggelung, kepada isteriku Anggrahini yang teramat setia dan kucintai. Namun, tanpa kuduga, tiba-tiba di padang belantaraku tercium aroma seribu kesturi, aroma penuh kemuliaan. Tanpa kuduga, tiba dihadapanku hadir Maharesi Durna diiringi oleh Raden Arjuna dengan pakaian kebesaran kesatria yang berkilauan. Segera aku tunduk bersimpuh dihadapan Sang Mahapandita. Kusampaikan baktiku serta rasa terima kasihku karena beliau telah sudi datang pada saat aku bersiap mengakhiri masa pengasingan diriku yang panjang, untuk belajar dengan ‘bimbingannya’. Kusampaikan pula:
“Kiranya Sang Mahapandita sudi memaafkan kelancanganku, berani menerima kehadiran Paduka di tempat yang tidak semestinya. Sesungguhnya, aku sangat berterimakasih karena Sang Resi telah mengajarkanku segenap ilmu dengan cara yang luar-biasa selama ini. Aku, Palgunadi dari Paranggelung mohon dijauhkan dari kemarahan atas segala kekhilafan ini”
Dan beliau menjawabnya:
“Apakah tanda baktimu kepadaku, wahai Palgunadi, tanda bakti seorang murid kepada gurunya yang telah mengajarkan kepadamu segala ilmu ?”
“Apapun yang kau minta, wahai guruku, akan kuserahkan kepadamu”
“Permintaanku tidak terlalu banyak, bukan emas-permata, kerajaan ataupun sisa hidupmu, tetapi cukuplah Mustika Ampal Kombang Ali-ali yang ada di ibu jari tangan kananmu, wahai Palgunadi”

Serasa sejuta kilat-guntur meledak bersamaan di kepalaku. Sejenak aku tertegun. Lalu kemudian pelajaran dari Sang Guru yang selama ini kuperoleh dalam renungan-renungan panjangku terlintas dalam pikiran. Alam telah menunjukkan kebesarannya. Tanda-tandanya dapat kubaca dengan jelas. Pengabdianku kepada kehidupan telah tiba pada saat akhirnya. Aku harus meninggalkan hiruk-pikuk dunia beserta segenap isinya, untuk kembali kepada alam abadi. Terbayang wajah duka seluruh rakyatku, terbayang wajah duka isteriku, Anggrahini, yang dahulu ketika aku pamit pergi, telah mengantarku dengan segala doa-puji serta janji setia. Terbayang senyumnya yang menyejukkan, aku percaya dia akan menyusulku nanti.

Kutetapkan hatiku. Ini adalah saat yang luhur dan mulia bagiku. Melepas segala nafsu duniawiku, melepas segala rasa khawatirku akan kehilangan terhadap sesuatu. Akan kulepas Mustika Ampal Kombang Ali-ali dari ibu-jari kananku, yang berarti pula dengan itu hidupku akan berakhir. Kupersembahkan milikku ini kepada guruku.

“ Wahai guru yang mulia, keinginanmu adalah sebuah kehormatan bagiku, mati demi guru yang kuhormati dan kumuliakan sungguh adalah kematian terindah yang tak pernah kubayangkan akan kujalani. Perkenankan aku bersimpuh untuk berterima kasih atas segala kemurahanmu, kebijakanmu dan kemuliaan hatimu. Aku tetap rindu untuk dapat menyertaimu, wahai guru, sebagaimana aku telah ‘bersamamu’ belajar segala kearifan selama ini, hingga aku mampu membaca segala tanda-tanda zaman. Ampunilah aku dengan keinginanku untuk tetap mengabdimu, wahai guru. Kalaupun aku harus pergi sekarang, aku akan tetap menantimu dengan segenap rindu dari seorang murid, aku akan menjemput kedatanganmu kelak setelah selesai dharmamu. Wahai guru, aku akan tetap menantimu di swargaloka”
“Lakukanlah!”
Kulolos cincinku dari ibu jari tangan kananku. Kuserahkan ke genggaman guruku yang mulia, yang tangannya baru dapat kusentuh pada saat akhir ini. Harum.
Aku terkulai, jatuh tersimpuh.
Lemas tepat di hadapan kaki Guruku berdiri.

Lalu kulihat pelangi membusur dari arah rubuhku, membubung tinggi ke langit tujuh lapis.
Akupun pergi ke arah cahaya-cahaya yang mempesona.
Kulihat, di kejauhan sana, Anggrahini menyusulku dengan segenap kejelitaan dan kesetiaannya.
Aku teramat bahagia......

15 Juni 2008

Kutipan Tengah Malam

"Siapa mencari enak tanpa mengenakkan tetangganya, sama dengan membuat tali untuk menjerat lehernya sendiri."
(Kawruh Beja – Ki Ageng Suryomentaram - kutipan dari www.jawapalace.org)

14 Juni 2008

Sarapan Semangat

Salah satu sahabat saya, Kang Deddi Jusuf Waldy pernah menyampaikan bahwa : hidup menjadi penuh semangat, karena adanya ketidak-pastian di dalamnya. Semula saya tidak faham apa yang dimaksudkannya, tetapi setelah saya runut akhirnya saya simpulkan bahwa ketidak-pastian akan segala sesuatu yang akan terjadi telah membuat setiap orang melakukan antisipasi agar hidupnya tidak tergulung habis. Antisipasi, melahirkan tindakan yang dilakukan (tentu) dengan semangat, karena semangat akan menghasilkan akselerasi.
Pagi hari di kota-kota besar, berangkat ke tempat kerja atau ke tempat sekolah memerlukan sebuah perjuangan melawan kemacetan lalu-lintas terkadang juga cuaca (hujan, banjir) agar tiba di tempat tepat waktu. Persiapan yang dilakukan tentu cukup banyak. Mulai dari bangun tidur tepat waktu, mandi dan berdandan dengan cepat, bekal buku-pekerjaan-makanan yang sudah harus disiapkan dengan rapi, maupun kendaraan yang well-driven. Termasuk pintu pagar yang sudah bebas gembokan (maklum, maling sudah semakin canggih, kendaraan,tas kerja dan laptop di ruang tamu yang sudah disiapkan untuk berangkat kerja disamber justru pada saat-saat genting pagi hari). Semua tentu dilakukan dengan semangat, yang didorong oleh kekhawatiran terhadap kemungkinan terjadinya hambatan dalam perjalanan menuju tempat kerja dan sekolah. Agar tidak terlambat sampai di tempat kerja dan sekolah..

Semangat Sarapan

Kompetisi sudah dimulai sejak bangun tidur, oleh yang bangun tidur maupun para stake-holder yang mempunyai kepentingan dengan momentum bangun tidur ini.
Sarapan pagi, ritual mengisi perut di pagi hari dimeriahkan dengan banyak pilihan. Minum air (cuma air?): di pikiran kita disajikan banyak pilihan, mulai dari air keran PDAM yang dimasak, atau air kemasan dengan segala merek. Dengan gula, mau yang biasa berwarna butek kecoklatan dan berbutir besar tak beraturan, yang putih lembut dijual curah, gula kemasan bermerek, gula cube, sachet atau gula bebas kalori dan gula khusus bagi orang yang merasa membutuhkan karena harus menjaga diri dari gejala kencing manis. Banyak pilihan. Demikian pula dengan teh, susu, coklat, kopi, jus buah sampai kepada roti, mi instan atau telur (dengan omega 3, bebas kolesterol, etsetera, etsetera).
Pertanyaannya: bagaimana produk-produk itu pada pagi yang serba-tergesa itu dapat sampai ke depan mulut kita yang bersegera ngemplok ? Tentu karena produk tadi telah kita siapkan sebelumnya. Tetapi kenapa kita memilih produk tersebut ? Banyak alasan dan pertimbangan, mulai dari yang paling rasional atau dirasional-rasionalkan sampai yang tidak rasional gara-gara pesona iklan.
Saya berpikir bahwa yang kita makan pada saat itu di samping makanan, juga iklan! Iklan yang begitu canggihnya telah mengobok pikiran hingga hasilnya berupa keputusan untuk membeli dan mengkonsumsi makanan/minuman tersebut. Padahal, menurut yang saya pernah dengar, biaya iklan untuk bahan makanan seperti itu nilainya dapat sampai senilai harga pokok produksinya! sehingga umpama sebuah produk sekali makan berharga dua ribu rupiah, sebenarnya nilai fisik yang kita telan hanya seribu rupiah (atau separonya). Toh tetap dianggap murah saja. Seperti mi instan yang seharga delapan ratusan rupiah sebungkus, maka dengan asumsi seperti tadi sebenarnya nilai dari bahan-bahannya hanya empat ratus rupiah! Empat ratus rupiah sudah termasuk bumbu, minyak dan aksesoris pelengkap lainnya.
Kompetisi antar produk ITU vs INI, iklannya selalu menyajikan kelebihan dari produk pesaing. Saya jadi berpikir, kelebihan-kelebihan tadi jangan-jangan dikompensasi dengan mengurangi jumlah, jenis dan mutu bahannya.
Contoh: mi instan yang konon dibikin berbahan-baku tepung terigu (imporlah, pulak!).
Dari 65 atau 85 gram per kemasan, berapa gram sebenarnya tepung terigu yang ada di dalamnya? Lalu ketika ditambahkan ‘kelebihan yang lain’ maka ‘kelebihan’ tersebut tentunya akan dikompensasi dengan mengurangi berat terigu, dan selanjutnya agar tetap 85 gram, maka sebagian terigu akan ditambah dengan ‘pengisi’ atau filler. Apa yang diisikan sebagai filler ? Pasti bahan yang lebih murah ketimbang terigu. Bisa tepung yang berasal dari biji-bijian sejenis, bisa juga ‘tepung-tepungan’. Jadi sebenarnya apakah yang kita sarap di pagi hari?
Saya juga sesekali makan mi instan, yang diproduksi oleh banyak perusahaan dengan berbagai merek. Tetapi lama-lama ngeri juga mendengarkan cerita-cerita tentang penggunaan filler, penyedap, pewarna, bahan baku dengan grade ke sekian, sampai bahan pengawet yang digunakan. Yang saya bayangkan: mulut, tenggorokan dan perut saya laksana mulutnya pabrik besi, di mana dimasukkan berton-ton besi rongsokan berkarat bercampur tanah, ditelan oleh mesin dan kemudian diproses di dalam pabrik, dan hanya sepuluh-dua puluh kilo besi murni yang dihasilkan. Membayangkannya, menjadikan saya ingin muntah saja.
Benar juga yang Kang Deddy Jusuf Waldy katakan. Hidup menjadi penuh semangat, karena adanya ketidak-pastian di dalamnya. Itulah rupanya yang mengilhami dunia dagang sehingga demikian hebatnya semangat tempur para pelakunya. Berusaha mati-matian agar produknya tetap survive di dunia usaha, agar begitu mata kita melek di pagi hari, produk yang dijualnya sudah tersenyam-senyum genit menggairahkan di depan mata kita , memancing hasrat untuk memilih dan menyantapnya penuh semangat.
Selamat sarapan pagi dengan semangat, meskipun saya tidak ikut menemani Anda.

10 Juni 2008

Ratu Adil

Ratu Adil, adalah tokoh yang sering dan selalu dibicarakan ketika keadaan masyarakat (Jawa!) sedang berada dalam kesulitan dan hampir putus-asa. Ratu Adil adalah tokoh yang ditunggu kedatangannya untuk bertindak mengatasi keadaan dan kemudian mampu membebaskan rakyat dari kesulitan hidup dan kemudian memimpin dengan bijak serta memberikan kemakmuran.
Ratu Adil adalah sebuah harapan, sebuah hiburan, sebuah motivasi sehingga kaum yang merasa hidupnya kepepet tetap mampu bertahan dan berjuang untuk tetap hidup, sambil terus menanti kehadiran Ratu Adilnya yang akan datang entah kapan waktunya.
‘Akan tiba masanya Ratu Adil tiba, dan ... ‘ artinya, percayalah bahwa suatu saat akan datang perubahan, sehingga kalian jangan berputus asa, bersabarlah, sambil berjuang untuk tetap bertahan hidup, karena dengan kedatangan Sang Ratu ini keadaan akan menjadi baik, dan kesulitan akan hilang. Dan itulah saatnya kita menikmati hasil kesabaran kita.
Beratus tahun sejak Ratu Adil dimitoskan sebagai tokoh tanpa wajah tanpa nama dan tanpa waktu, keadaan sulit telah terjadi berulang-kali di Negeri Ini, demikian pula kemarin dan saat ini, ketika banyak orang berada dalam kegamangan kepercayaan terhadap pemimpinnya. Sekarang pun kedatangannya tetap dinanti oleh sebagian orang yang mempercayainya.
Memiliki motivasi untuk tetap survive dalam keadaan sesulit apapun, ternyata dapat diperkuat dengan mimpi terhadap kedatangan Ratu Adil, tokoh imajiner yang telah diciptakan oleh moyang kita yang arif dan bijak, yang demikian tinggi rasa cintanya kepada bangsanya, yang demikian tinggi harapannya agar bangsa ini tidak punah hanya karena rasa putus-asa .
Moyang kita adalah motivator yang teramat hebat, bukan ? Ajarannya telah merasuk menjadi bagian dari budaya yang mampu melintas zaman dari abad ke abad, hingga sekarang.

08 Juni 2008

Di Bawah Bendera Revolusi:

Mencapai Indonesia Merdeka

..........
Marilah kita lebih baik membuka surat-surat kabar, dan kita saban hari bisa mengumpulkan beberapa ‘syair megatruh’ yang ‘menarik hati’, Yang melagukan betapa hidupnya Kang Marhaen, yang di dalam zaman ‘normal’ sudah ‘sekarang makan-besok tidak’ itu, di dalam zaman meleset sekarang ini menjadi lebih-lebih ngeri lagi, lebih-lebih memutuskan nyawa lagi, lebih-lebih megap-megap lagi.

Darmokondo, 11 Juli 1932:
Di kampung Pagelaran Sukabumi, ada hidup satu suami-isteri bernama Musa dan Unah, dengan iapunya anak lelaki yang ke satu berumur 5 tahun, yang ke dua 3 tahun dan yang ke tiga baru 1 tahun. Itu familie ada sangat melarat, dan sudah beberapa bulan ia cuma hidup saja dengan daun-daunan dalam hutan, yang ia makan buat gantinya nasi. Lama-kelamaan itu suami-isteri merasa yang ia tidak bisa hidup selama-lamanya dengan cuma makan itu macam makanan saja. Buat sambung ia punya jiwa serta anak-anaknya, itu suami-isteri telah dapatkan satu fikiran, yaitu ... jual saja anaknya pada siapa yang mau beli.

Perca Selatan, 7 Mei 1932:
Pegadaian penuh, sebab tidak ada yang menebus, semua menggadai. Sekarang gadaian kurang. Ini barang aneh! Sebab mustinya naik! Bagi saya tidak aneh. Ini tandanya barang-barang yang akan digadai sudah habis! Tandanya miskin habis-habisan!
Di desa orang-orang 2 hari sekali makan nasi, selainnya makan ubi, tales, singkong, jantung pisang. Sudah sebagai sapi

Aksi, 14 November 1931:
Di desa Banaran dekat Tulungagung kemarin-dulu orang sudah jadi ribut, lantaran ada orang gantung diri.
Duduknya perkara begini: Sudah lama ia seanak-bininya merasa sengsara sekali, malahan anaknya yang masih kecil sering dieniskan nasi pada orang sedesa situ. Saben hari ia cari kerja, berangkat pagi pulang sore, tapi sia-sia, tidak ada orang yang butuh kuli. Kemarin-dulu ia tidak bepergian, cuma duduk termenung di rumah saja, rupa-rupanya sudah putus-asa dan bingung mendengarkan anaknya menangis minta makan. Tahu-tahu dia sudah ketemu mati (gantung-diri).

Siang Po, 23 Januari 1933:
Di dekat kota Krawang sudah ada kejadian barang yang sanget bikin ngenes-ati. Ada orang janda namanya Upi, punya anak kecil. Diapunya laki barusan mati, sebab sakit keras cuma satu minggu lamanya. Upi memang dari sedari hidupnya diapunya laki ada sanget melarat sekali, tapi sesudah ia jadi janda, kemelaratan rupanya tida ada bates lagi. Lama-lama Upi jadi putus-asa, dan anaknya yang ia cintain itu sudah ia tawarkan sama Tuan LKB di Krawang. Ditanya apa sebabnya ia mau jual anaknya, ia tida jawab apa-apa, cuma menjatuhkan air-mata bercucuran. Tuan LKB sanget kasian sama dia, en kasih uang sekedarnya pada itu janda yang malang

Pewarta Deli, 7 Desember 1932:
Di kota sering ada orang yang menyamperi pintu bui, minta dirawat di bui saja, sebab merasa tidak kuat sengsara. Di bui misih kenyang makan, sedang di luar belum tentu sekali sehari.

Sin Po, 27 Maret 1933:
Mencuri ayam sebab lapar, dibui juga 9 bulan.
Malaise heibat yang mengamuk di mana-mana telah bikin sengsara dan kelaparan penduduk Trogong Kebayuran. Penduduk di situ suda tida bisa dapatken uang dan banyak yang kelaparan kerna tida punya duit buat beli makanan. Salah satu orang nama Pungut juga alamken itu kasukeren yang heibat. Ia ada punya bini dan dua anak, sedeng penghasilan sama sekali telah kapempet berhubung dengen jaman susa. Sementara itu ia punya beras dan makanan suda abis. Apa boleh buat, saking tida bisa tahan sengsara kerna suda 2 hari tida punya beras, pada satu malem ia bongkar kandang ayam dari tetangganya nama Jaya dan dari ia timpa 2 ekor ayam. Itu binatang kamudian ia jual di pasar buat 3 picis dan dari itu uwang ia beli beras 15 cent.
Blakangan Pungut ditangkep dan dibui. Pada tanggal 3 Maret ia mesti mengadep pada landraad di Mr. Cornelis dan Pungut aku saja betul telah colong itu 2 ekor ayam sebab suda 2 hari ia tida makan. Landraad anggep ia terang bersalah ambil ayamnya laen orang dan Pungut dihukum 9 bulan. Anak bininya menangis diluar ruangan landraad! (Rep.)

Enz, enz, enz!...

...............

Catatan:
1) dikutip dari buku Di Bawah Bendera Revolusi jilid pertama cetakan ke tiga 1964 halaman 271-272 tulisan Ir Sukarno – Maret 1933
2) ditulis ulang dengan penyesuaian ejaan dan letak
3) bui : penjara
4) landraad : pengadilan
5) Mr. Cornelis : nama Jatinegara pada jaman dulu
6) 1 picis = 1 ketip : Rp 0,10
7) cent =sen : Rp 0,01

06 Juni 2008

Ha Ha Ha

lagi pengen tertawa
tapi pake tulisan
ditulisnya
ha ha ha

padahal
bisa hi hi hi
atau ho ho ho
h h h juga bisa

mentertawakan diri sendiri
(kata orang bijak) adalah menyehatkan jiwa
malah-malah kata ki ageng dari wetan merapi dulu sekali
yang bukunya kucuri baca dari dalam lemari bapak
nggleges
adalah obat jiwa

maka
kukoreksi ketawaku
menjadi
.. .. ..

karena
supaya jangan dikira sakit jiwa

04 Juni 2008

Tung !

‘ ... uang yang diklaim berjumlah Rp 100 juta ditumpahkan Tung dari pesawat ke Lapangan ...’ - Harian Jawa Pos, Senin 2 Juli 2008 halaman 16

Entah bisikan misterius dari mana dan kapan datangnya, yang telah mengilhami Tung Desem Waringin hingga mempunyai ide untuk menyebar uang berjuta-juta dari langit ke bumi sehingga diperebutkan masyarakat. Seratus juta rupiah, adalah senilai dengan :
- 10 ribu lembar uang sepuluh ribuan
- 20 ribu lembar uang lima ribuan
- 16,7 ribu liter premium Pertamina
- BLT @ Rp 400 ribuan untuk sebanyak 250 masyarakat penerima bantuan
Bukan main.
Barangkali Bapak Tung merasa gembira telah menyebarkan uang tersebut, barangkali pula masyarakat yang kebetulan mendapatkan satu atau beberapa lembar akan merasa suka-cita pula. Tetapi ketika membaca berita tersebut, pikiran dan perasaan saya menjadi tidak menentu.
!! Heboh; ada orang kaya dermawan telah bermurah hati membagikan sebagian uangnya di saat orang (yang sedang mengalami kesulitan akibat naiknya harga bensin) membutuhkannya,
!! Lucu; membayangkan bahwa yang Bapak Tung lakukan itu seperti yang pernah saya lakukan pada waktu kecil dulu, dengan menyebarkan kertas warna-warni bekas potongan perforator dari jendela bus yang melaju,
!! Sedih; membayangkan banyak saudara-saudara lainnya yang sedang kebingungan untuk memenuhi kebutuhannya di tengah keadaan sulit seperti ini,
!! Bingung; memahami jalan pikiran yang mendorong Bapak Tung melakukan aksi tersebut, sementara di koran yang sama saya membaca namanya diiklankan sebagai Motivator no. 1

Sungguh saya tidak mengerti, dengan menyebarkan uang seperti itu apakah beliau bermaksud memotivasi para jutawan yang lain untuk melakukan hal serupa ? Andaikata saya seorang jutawan sekelas beliau, rasanya saya tidak akan termotivasi untuk mengikuti langkahnya dengan cara seperti itu, karena saya memperkirakan bahwa akan banyak orang yang justru mencibir saya, baik para jutawan, BLT-wan maupun yang lainnya. Benar-benar saya tidak mengerti.
Atau jangan-jangan beritanya yang salah ? Ah, tidak mungkin.

‘..... Warga pun berlari dan memanjat pagar lapangan. Bahkan, ada yang memanjat rumah. Sawah-sawah becek pun diterjang. Sejumlah warga terluka walau hanya lecet-lecet. Di akhir acara, seorang gadis pingsan. Lutut dan mata kakinya berdarah. Dia dilarikan ke rumah sakit dengan mobil petugas keamanan....’
Bagaimana ?

01 Juni 2008

Hari Minggu Itu

Namanya Panuroto, pekerjaan mbecak, anak ada lima, rumah petak kos-kosan.
Hari Minggu (libur juga, mbecaknya) pagi jam sepuluh, sambil ote-ote tanpa baju dan cuma bercelana kolor komprang, duduk di becak. Sebatang rokok diisap berkepul-kepul asapnya. Becak diparkir di ujung jalan buntu yang dibuntu oleh kompleks kos-kosan. Tempat parkir yang teduh dan nikmat untuk bersantai menikmati hari libur. Dari dalam petak kos-kosan terdengar bunyi gending Jawa yang bergema lewat salon speaker. Panuroto menikmatinya sambil liyer-liyer, matanya setengah terpejam, kepala disandarkan di sisi dan kakinya methingkrang sebelah. Wah, seolah dunia adalah tempat laksana sorga, sayang untuk tidak dinikmati.
Namanya Mehbuthak, juragan, punya rumah loteng, rukonya paling tidak ada dua, mobil dua, belum lagi yang lainnya. Anak ada dua. Kerja ndak kerja duit datang sendiri. Minggu pagi mukanya sedih, pandangannya menerawang jauh, ke sebuah tempat idaman yang bernama desa Entah Mana yang dia sendiri belum tahu tetapi ingin benar ke sana, untuk tinggal di sana sendiri. Angannya melayang untuk segera pergi meninggalkan semua yang dimiliki. Apapun. Rumah, mobil, harta, teman, saudara, bahkan anak dan isteri. Gelisahnya sulit difahami. Aku jangan kaucari, katanya, karena begitu aku pergi tak akan ada yang bisa menemukanku lagi.
Dan misteri dalam perjalanan kehidupan setiap manusia terkadang baru terbaca setelah waktunya berlalu.
Besok hari Minggu, berminggu-minggu setelah hari Minggu yang itu.