04 Februari 2008

Penggal waktu

Ujung jalan tujuannya masih belum tampak juga meskipun dia sudah berjalan kaki setengah jam lamanya. Menanjak, menikung di sisi tebing dan jurang kecil, di mana matahari berkelebat-kelebat di antara payung daun-daunan. Sesekali berpapasan seseorang dengan keranjang di punggung berisi setumpuk rumput yang baunya seperti penyegar ruangan yang dipajang di toko-toko.
Bajunya sudah mulai basah oleh keringat, padahal rumah yang dicarinya belum juga terlihat tanda akan sampai.
“Di sebelah kiri ada rumpun bambu, lalu sedikit tanjakan dan di kanan ada kebun singkong. Di ujung kebun singkong ada jalan ke kanan, dengan parit kecil di sisi kirinya. Lima puluh langkah itulah rumahnya. Kalau tampak sepi, masuk saja. Biasanya Wak Garum ada di belakang, di dapur” begitu pesan orang yang ditemuinya tadi.
Tiba-tiba dadanya berdebar-debar. Nama wak Garum seolah membangunkan kesadarannya dan melemparkannya ke waktu yang tiba-tiba mengerut. Laki-laki berdada bidang periang, yang bekerja mengangkut dagangan di pasar untuk mendapat upah, yang suka menyihir anak-anak dengan dongengnya di sore hari di sudut pasar, yang kemudian hilang begitu saja. Konon dibawa pak Kodim ke kota dan lalu diasingkan di suatu pulau yang jauh. Anak-anak kehilangan.
Dan mereka tak pernah lagi tahu di mana dia berada.
Lalu ketika suatu saat, seorang wartawan bertanya kepadanya, apakah menjadi seperti sekarang ini memang cita-citanya sejak kecil, ah, ya, kenapa aku memilih menjadi seperti ini, berjuang dalam ombang-ambing dunia benar-salah, vonis-memvonis, tuduh-menuduh. Benar dan salah yang sangat bergantung kepada sekuat, sebesar dan setahan apakah seseorang menghadapinya. Dia membela siapa saja, bukan untuk dimenangkan tetapi untuk diketahui bagaimana yang sebenarnya dan bukan yang sebaiknya.
Terperangah dia. Wak Garumlah yang telah menginspirasinya ketika dia masih kecil, dengan kata-katanya : Jadi, ketika tentara sinyo muda itu menembaki pejuang kita dan lalu tertangkap, apakah sinyo muda itu bersalah? Padahal dia menjadi tentara memang bertugas untuk menembak musuh seperti yang diperintahkan komandannya. Apakah dia boleh disiksa? Atau langsung ditembak saja ketika tertangkap? Atau bagaimana?
Suatu saat yang lain, wak Garum menutup cerita sorenya dengan pertanyaan: Apakah kancil tadi benar-benar binatang yang cerdik? Apakah cerdik seperti kancil itu baik? Pertanyaan-pertanyaan dari kuli pengangkut barang di pasar itu bergema-gema di dalam pikirannya. Dan kadang-kadang membuat kesal ibu-bapaknya ketika dia mempertanyakan kenapa kakaknya harus menjadi dokter seperti dokter Liem? Lalu kenapa kakak perempuannya harus mau dikawinkan dengan seorang overste polisi, sedang kakaknya yang klas dua SMA itu menangis masih ingin sekolah?
Suatu saat dia bertemu seorang sahabat masa kecilnya di Jakarta, yang ternyata adalah salah satu anggota hakim dalam sidang kliennya.
Malam harinya mereka bertemu melepas rindu lama, mengulang kenangan masa kecil, mencari tempat lengang ngobrol berdua, dengan sepiring singkong rebus.
Lalu tiba-tiba sahabatnya bertanya: “ Kau ingat Wak Garum?”
“Tentu saja, kalau bukan karena dia, maka aku tidak akan memanggilmu ‘Bapak Hakim yang terhormat’, kenapa?”
“Kabarnya dia masih ada.”
“Hah?”
“Pulang kembali ke desanya sepuluh tahu lalu, setelah isteri yang dikawini di pengasingan meninggal”
“Benar, itu? Kau tahu di mana desanya?”

Dan kebun singkong itu mulai tampak di sisi kiri, berjajar memanjang rapi. Ditanam oleh laki-laki yang mestinya sekarang berumur delapan-puluhan. Amboi. Wak Garum yang dulu gagah perkasa ketika bekerja di pasar mengangkat belanja berkarung-karung dan berkeranjang-keranjang setiap harinya! Yang tertawanya segar, membuat hidup suasana, menyaksikan salah satu teman ciliknya menggeolkan bokong meniru itik manila jalan berbelok.
Wak Garum!
Benar juga orang yang tadi memberitahunya. Rumah bambu ini terbuka pintunya. Sepi, tetapi bau kayu bakar berpadu singkong rebus seolah menuntunnya masuk ke dalam rumah setelah salamnya disahut : Yaaa ....
Di sudut belakang rumah, yang dindingnya dari anyaman bambu menerobos sinar matahari bergaris-garis karena asap dari tungku. Matanya masih harus menyesuaikan diri dengan keremangan ruang, ketika sesosok tubuh bangkit dari sebuah pojok.
“ Jiwo?”
“Bukan, pak. Aku. Wak Garum lupa?”
“Siapa”
“Aku pak, Mamat Kijang”
“Ma-mat-ki-jang? Ki- j-a-n-ggg?
“Ya, wak, Mamat Kijang”
“Oooooo, kau!”
Mereka berangkulan. Lama.
Wak Garum yang sudah tua, tubuhnya tetap keras, suaranya masih bertenaga. Cuma kulitnya lebih hitam. Kisut. Tua.
Lelaki tua itu menatapnya lekat-lekat. “M-a-m-a-t k-i-j-a-n-g, aku masih mengingatmu, mengingatmu. Ya, ya, ya,.... Bahkan aku masih memperhatikanmu. Namamu ada di koran, kubaca di sana dulu .... ya, ya, ya...”
“Iya wak, aku mencari wak”
“Dan sekarang kita sudah bertemu, ayo, biar kuangkat dulu singkong rebus kesukaanmu ini, dengan sedikit garam dan daun salam. Taruh dulu bawaanmu, basuh badanmu lalu kita ngobrol seperti dulu ...”
“Bukan ngobrol wak, tapi mendongeng seperti dulu, dan aku malam ini menginap di sini, boleh kan?”
“ Dengan satu syarat: kali ini kau yang harus mendongeng, kenapa kau mencariku.. hahaha....”
“Dongengnya sekarang saja, wak, karena singkat sekali”
“Apa itu?”
”Aku rindu dongengmu, wak”

Malam itu menjadi malam panjang yang mungkin terpanjang dari seluruh malam yang pernah dialaminya. Suara tertawa wak Garum pecah berderai-derai di tengah enam-tujuh orang di sekelilingnya dan satu orang dari kota. Malam yang panjang, dengan banyak cerita tentang kehidupan yang bukan lagi dongeng. Tentang keadaan yang disampaikan tanpa rasa dendam, sesal dan harapan yang berlebihan. Cerita yang apa adanya.
Wak Garum tertawa-tawa.
Wak Garum, lelaki perkasa yang telah mengisi hatinya dengan visi.

2 komentar:

  1. Rasanya belum puas aku membaca tulisan ini. tapi karena sesuai judulnya penggal waktu. jadi ya kepenggal betulan. kalau saja ini cuplikan sebuah novel. aku b3erani jamin novelnya pasti laris manis bak telo goreng (yang melebihi telo rebus.). Daan Kalau aku boleh memberi angka maka 100 x 7 baru klop. Horas mas.. silahkan dilanjut jadi novel.......

    BalasHapus
  2. kaya wangsit,
    dateng gitu saja, terus bablasss
    dapat dari kebiasaan saya mulung kayaknya, kalo jalan nunduk melulu
    tapi trims supportnya

    BalasHapus