09 Februari 2008

Kalah dengan Sarimin?

Ketika bayi Gatutkaca (namanya ketika masih itu masih Jabang Tetuka) dipotong pusarnya dengan senjata Kunta Wijayandanu oleh pakdhenya (uwaknya), Adipati Basukarna, maka sarung senjata tadi terbenam kedalam lubang perut si bayi. Itulah salah satu sumber kedigdayaan sang Jabangbayi tetapi sekaligus adalah isyarat bahwa kelak medan perang Baratayuda di palagan Kurusetra akan ada senjata pulang ke sarungnya. Senjata seorang uwak akan terbenam ke perut keponakannya.
Itulah dunia wayang, di mana kasih sayang dan kekejaman bisa sangat ekstrim digambarkan, bahkan terkadang dua nuansa bercampur dalam satu situasi sekaligus.

Ingat ketika si Kembar Nakula dan Sadewa pada malam hari berkunjung ke kemah Eyang Bisma, kakeknya yang diwisuda sebagai panglima untuk gelar perang esok paginya? Kakek yang sangat disayangi, yang akan menjadi panglima perang lawan! Maka ketika si Kembar datang dengan pakaian putih-putih bernuansa serah jiwaraga dan kematian, terguguklah sang Bisma (eh, aku mbrebesmili lho). Dirangkulnya kedua cucu tersayangnya, yang ketika kecil pernah dibopongnya, ketika tumbuh besar diasuhnya, ketika terlunta di hutan didukungnya dengan spirit. Mereka kini datang untuk minta mati daripada besok harus berhadapan dengan sang Eyang di medan perang. Betapa mengusik jiwa gambaran ini.
Atau ketika Bima yang gagah perkasa, kesatria yang teguh kepada kebenaran, yang bahkan pernah sampai ke pusat samudera menjalankan tugas dari gurunya untuk mencari Air Kehidupan. Air yang bahkan gurunya sendiripun tak tahu, karena itu cuma tugas karangan agar Bima mati tenggelam. Tetapi Bima bersikukuh, amanat guru adalah sesuatu yang benar. Diburunya ke pusat samudera dan di jumpainya di sana Dewaruci yang mengajarinya sebuah ilmu hakiki, yang bahkan gurunya tak memiliki. Bimasena yang teguh, ternyata di medan Kurusetra diamuk kesumat, menjadi lebih liar dari binatang yang paling liar: dikulitinya Dursasana, diperasnya darah musuhnya, dikokop, ditadahnya darah berbau anyir itu dipersembahkannya kepada dewi Drupadi untuk keramas sebagai penebus kesumat ketika Dursasana pernah mempermalukan dirinya didepan para kesatria. Oleh Bima, ditangkapnya pula patih Sengkuni, lalu dirobek badannya dengan kukunya dari dubur sampai ke langit-langit mulut. Bima sang kesatria mulia, melakukannya karena dendam kesumat yang telah membakar jiwa dan membuat lupa segalanya. Harkatnya sebagai kesatria tercampak. Bahkan para prajurit kecil di sekitarnya muntah melihat kekejiannya. Mengkirig, tegak bulu roma setiap yang disekitarnya. Tak ada lagi Kesatria Jodhipati, yang ada sosok makhluk menakutkan, merah bersimbah darah, dengan dengus nafas berat dan sorot mata penuh kebengisan tak terbayangkan.

Ketika kembali terlempar ke alam nyata, gambaran-gambaran tadi menorehkan garis maya tentang batas-batas nilai kemanusiaan, tentang benar-salah, luhur-nista, kasih-kesumat dan kemudian akan menjadi baju maya yang dapat dipilih untuk dikenakan dalam menjalani kehidupan sebagai manusia. Atau menjadi baju rangkap yang lebih menghangatkan jiwa.
Sayang cerita wayang telah semakin sayup. Komunitas pelestari, pemerhati dan pecinta wayang tetap saja masih belum mampu menyampaikan pesan secara mendalam kepada masyarakat. Mungkin karena wayang disajikan dengan banyak ketakutan untuk berhadapan dengan sajian lainnya, sehingga hidangannya adalah wayang full dagelan dan main lampu, asap dan kostum serta aneh-anehan lainnya.
Tidak menggedor jiwa.
Kalah dengan Sariminnya Butet .

2 komentar:

  1. Pantes yo umbilicus nya Gatut bodong la wong isine tutupnya kunto. Lalu bodong2 lainnya isinya apa mass?

    BalasHapus
  2. tolong bantu ngeliat isinya mas,
    dibelek, dicukit, taro di atas kaca, diinceng, trus ceritain ....
    sekolahku ra diajari mbelek udel bodong!

    BalasHapus