15 Februari 2008

Sanepa

Kata ini sering ditulis sebagai sanepo. Ini bahasa Jawa yang terjemahannya kurang lebih ‘ibarat’ atau orang-orang tua sering menyebut sebagai perlambang.

Di derah Kutoarjo ada desa bernama Senepo. Sebelah mana, sebagai orang yang ngakunya punya leluhur dari kawasan sekitar Kutoarjo (Botodaleman/Botorejo), memang kebangeten kalau sampai nggak ngerti yang namanya Senepo. Tapi mau bagaimana lagi, memang begitulah adanya saya.

Sanepa yang ini (ibarat), adalah sumber dari ketidakjelasan dari piwulang Jawa (yang sebenarnya bagian dari sejarah) bagi generasi yang sudah tinggal setengah Jawa. Sulit difahami, berputar-putar, terlalu banyak kembangannya, nggak jelas dan akhirnya mudah sekali dipelintir-pelintir.

Bayangkan, Ki Joko Tingkir ketika berada di Kedung .... (lupa), rakitnya diganggu oleh Raja Buaya yang luar biasa besarnya, sehingga terjadi perkelahaian. Dan ketika Raja Buaya dapat dikalahkan, maka kemudian rakit tersebut dihela oleh belasan pasukan buaya anak buah Sang Raja Buaya. Dalam tembang lama disebutkan : .... sang gethek sinangga bajul ... dan rakitpun kemudian melaju dihela oleh para buaya.

Ketika datang ke istana Demak, Ki Joko Tingkir mengalahkan seekor kerbau yang mengamuk karena lubang telinganya ditutup dengan tanah, kerbau itupun akhirnya binasa setelah pecah kepalanya dihantam oleh Ki Joko Tingkir.

Kisah yang lain, Ki Ageng Sela dengan kesaktiannya telah menangkap petir dengan tangan telanjang, atau kisah Ki Joko Tarub yang akhirnya menikahi bidadari karena selendangnya telah disembunyikan sehingga sang Bidadari tak dapat terbang kembali ke kahyangan. Demikian pula ketika Bandung Bandawasa membuat Candi Sewu hanya dalam waktu semalam.

Demikian pula beberapa kisah yang lain yang pada umumnya dituturkan dalam tembang dan kekawi kuno.

Mengapa fragmen-fragmen sejarah yang sebenarnya adalah sebuah fakta disampaikan oleh para pujangga dengan tuturan serba sanepa?

Konon kata para sepuh, sanepa-sanepa tersebut memang diperlukan untuk memperhalus fakta-fakta miring dan bengkok, yang apabila disampaikan dengan apa adanya dapat merusak stabilitas keamanan dan menghambat pembangunan watak luhur bangsa, mencemarkan martabat dan nama baik para tokoh yang adalah pujaan para kawula, sehingga oleh para pujangga yang arif kisah-kisah sejarah digubah ke dalam kisah penuh sanepa.

Kajian-kajian khusus di antara para pujangga sendiri sebenarnya telah menjelaskan maksud dan keadaan atau fakta yang nyata. Tetapi kajian tersebut tidak pernah disampaikan kepada publik secara terbuka. Karena alasan stabilitas keamanan dan citra baik para tokoh.

Lalu bagaimana sejarah kemudian dipelajari untuk dijadikan sebagai sebuah panduan bagi masa-masa kemudian?

Barangkali, generasi ketika itu cukup percaya saja bahwa para tokoh tersebut adalah orang yang memang ‘punjul ing apapak, mrojol ing akerep’, orang-orang yang memiliki ‘kesaktian’ luar biasa sehingga memang selayaknya menjadi tokoh pembawa perubahan ke arah kebaikan bagi rakyat.

Jaman sudah berganti. Generasi kini sudah menjadi lebih kritis dan bahkan sangat kritis, sehingga jangankan mendengarkan tuturan yang tidak masuk akal, yang sudah sangat jelaspun masih akan dieksplor lebih dalam dengan pertanyaan 4W+1H.

Cuma obyeknya kini kebanyakan kisah para selebriti, melalui berbagai investigasi yang sangat mendalam kalau perlu sampai ke sudut-sudut rumah. Investigasi yang dilakukan secara berjamaah oleh semua media, mulai dari koran, tabloid, televisi radio, internet dan entah apalagi.

Dan tentang sejarah, sementara ikut sajalah dengan kurikulum sekolah. Itupun sudah cukup dari memadai, terbukti bahwa menghafal tahun-tahun kejadian di pelajaran sejarah nasional sudah cukup bikin posing kepala. Anda setuju?

Saya sangat tidak setuju.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar