Sebuah kisah lama dari khasanah pustaka Jawa yang pernah saya baca bercerita tentang seorang tukang rumput yang tidak pernah berubah kehidupannya meskipun didukung peluang yang luar biasa.
Sri Paduka Mangkunagara IV -maaf kalau penulisan saya salah, dan untuk selanjutnya perkenankan saya sebut Sri Paduka saja- pada suatu saat ingin menguji hasil pemahamannya tentang sebuah ilmu yang telah beberapa waktu dipelajarinya secara khusus dan intens.
Benarkah bahwa setiap orang telah ‘ditentukan’ takdirnya? Benarkah bahwa ketentuan tersebut sulit dirubah karena sebuah pola telah melekat dalam dirinya?
Pengungkapan ini mungkin tidak persis seperti aslinya, karena saya menyampaikan berdasar ingatan belaka.
Perkenankan saya memulainya, demikian tuturannya:
Seorang tukang rumput setiap hari menjual sepikul rumput di pojok pasar. Dari waktu ke waktu, dari hari ke hari itulah yang telah diamati Sri Paduka. Roda kehidupan seolah berjalan di tempat bagi tukang rumput tadi, tak pernah berubah. Berdasar pengamatan beliau, kehidupan orang tersebut sampai kapanpun tidak akan pernah meningkat menjadi juragan rumput atau kusir kereta misalnya. Tetap sebagai tukang rumput sampai kapanpun.
Dan itulah yang akan dibuktikan.
Suatu hari, diutusnya seorang abdi agar menyuruh tukang rumput tadi membawa rumputnya ke kandang kuda Pura Mangkunagaran, dan selanjutnya si tukang rumput diberi makan serta uang yang berlipat banyaknya dari harga rumput yang biasanya. Pulanglah si tukang rumput dengan hati gembira ria. Sebelum pulang dia mampir ke pasar untuk membeli beberapa makanan enak yang akan dia bawa pulang, oleh-oleh untuk anak-isterinya di rumah.
Hari berikutnya, duduklah kembali dia di pojok pasar tetap dengan sepikul rumput seperti biasanya, bukan dua atau tiga pikul. Duduk menunggu orang datang membeli rumputnya, dan setelah rumput laku, pulanglah ke rumahnya yang jauh dengan pikulan kosong untuk kembali merumput guna dijual esok harinya lagi, dan itu diamati secara cermat oleh Sri Paduka.
Pada beberapa hari berikutnya, diutusnya kembali seorang abdi untuk memanggil tukang rumput tadi agar membawa rumputnya ke istal Pura, memberinya makanan yang enak, serta sepotong-dua potong pakaian untuknya dan keluarga, serta satu biji buah waluh yang masak dan besar, lebih besar dari buah waluh yang biasa di jual di pasar. Dan tentu saja uang harga rumput yang empat-lima kali lipat dari harga biasanya.
Sepulang dari Pura, dengan pikulan yang kali ini bergayut buntalan baju dan buah waluh di tiap sisinya, si tukang rumput singgah ke pasar. Dibelinya makanan yang enak-enak untuk anak-isteri dan beberapa barang keperluan rumah lainnya. Ketika bawaannya dirasa berat, diberikannya buah waluh kepada simbok bakul (penjual) kain panjang yang ditukarnya dengan sepotong-dua kain. Malam ini dia akan menikmati makan besar dengan keluarga.
Dikisahkan, Sri Paduka menunggu berita heboh yang akan tersiar tentang seorang tukang rumput yang mendadak kaya, karena menemukan perhiasan emas di dalam buah waluh yang didapatnya ketika menjual rumput ke Pura. Atau setidaknya, datangnya tukang rumput untuk mengembalikan buah waluh beserta perhiasan di dalamnya ke Pura.
Tetapi kejutan itu tidak pernah seperti yang diharapkannya. Justru di desa lain berita yang menggegerkan tersiar. Seorang simbok penjual jarit (kain panjang) menjadi kaya mendadak karena menemukan perhiasan yang cukup banyak di dalam sebuah waluh, hasil bertukar dengan baju yang dijualnya di pasar.
Penjual rumput kembali pada posisinya di pojok pasar beberapa hari kemudian. Pikulan tuanya disandarkan di dinding pasar di antara dua pikul rumput disebelahnya. Kehebohan tentang buah waluh tidak pernah menjadi perhatiannya, meskipun seisi pasar berhari-hari masih membicarakan hal itu. Dia tidak pernah merasa berkaitan dengan kejadian itu.
Kali terakhir pengujian hipotesis dilakukan lagi. Tetapi kali ini pikulan tua secara diam-diam diisi dengan emas-berlian oleh Sri Paduka tanpa seorangpun tahu.
Ketika dalam perjalanan pulang yang melelahkan setelah perutnya kenyang karena mendapat makan enak dan uang banyak serta bekal lainnya dari Pura, si tukang rumput beristirahat sejenak di tengah perjalanan. Dibawah kerindangan pohon yang daunnya gemerisik terbuai angin yang semilir, tertidur nyenyaklah dia, sampai gemeretak suara gerobak sapi di jalanan membangunkannya dari tidur nikmatnya. Matahari sudah condong, sebentar lagi senja. Perjalanan ke rumah masih jauh. Dikejarnya gerobak yang lewat, dia numpang ikut, dan pikulannya ditinggalkan tergeletak di tempat dia tidur tadi. Pikirnya, banyak batang bambu di pekarangan rumah, besok dia dapat memotongnya untuk pikulan baru.
Kali ini kehebohan yang lebih dahsyat datang dengan berita seseorang yang menjadi kaya mendadak karena menemukan emas berlian di dalam sepotong bambu yang ditemukannya tergeletak di bawah pohon di tepi jalan dan diambilnya sebagai tongkat ketika berjalan pulang. Nilai emas berlian itu membuatnya sangat kaya, bahkan akan lebih kaya daripada lurah ataupun demang di wilayahnya.
Sementara, dipojok pasar, tukang rumput tetap duduk di sana seperti biasanya, namun kali ini tidak ada lagi hal-hal istimewa yang datang kepadanya. Membawa rumput ke Pura, misalnya.
Demikian cerita tentang tukang rumput yang pernah saya baca.
Atas perhatian dan kerjasamanya dengan membaca cerita ini saya sampaikan penghargaan dan terima kasih kepada para pembaca semuanya.
Salam.
Dijaman yang materialistis.ini kadang keberhasilan duniawi sangat menjadi tolok ukur. Padahal seandainya tukang rumput tadi seorang yg beriman dan beramal sholeh maka beruntunglah dia karena terhindar dari godaan materi yg bisa membawa.dia ke sifat ubud dunya, yg mendekatakan dia kepada perbuatan2 yg bisa menjerumuskan dia........
BalasHapusDemikianlah kisahnya ....
BalasHapus