03 Februari 2008

Lagi-lagi bertikai lagi

Seorang bayi, sejak dia belum dilahirkan sudah mendengarkan orang tuanya berbicara. Ketika dia dilahirkan, dia mendengarkan orang-orang berbicara. Kemudian secara berkelanjutan dia diajar berbicara, yang dimulai dengan berkata-kata. Kepadanya diajarkan untuk memahami maksud dan keinginan orang-tuanya yang didengarnya lewat kata-kata, dan dia diajarkan untuk mengungkapkan maksud dan keinginannya sendiri lewat kata-kata. Demikian berlanjut sampai dengan dia menjadi seorang anak.
Ketika sesuatu yang diinginkan atau dimaksudkan tidak difahami oleh orang disekitarnya, maka dia akan mengungkapkan keinginannya dengan menangis, sehingga orang-orang di sekitarnya akan memperhatikan dan mencari-tahu apakah yang sebenarnya diinginkan atau dimaksudkan oleh bayi tadi.
Seorang anak akan menangis dan mungkin menyepak-nyepakkan kakinya, dan seorang anak yang lebih besar lagi mungkin akan menjerit-jerit, memukul sesuatu sambil melempar dengan benda-benda yang ada. Sampai keinginannya difahami oleh orang-tuanya atau orang lain.
Berbicara adalah suatu cara agar kehidupan dalam sebuah komunitas berlangsung dengan baik. Komunitas keluarga, komunitas tempat bekerja dan komunitas bangsa yang memiliki tujuan bersamanya masing-masing.
Dengan mendengarkan tangis seorang bayi, orang-tua akan tahu apakah anak-bayinya itu basah popoknya, lapar meminta susu, atau gerah berkeringat. Mendengarkan rengek anaknya, orang tua akan faham, apakah anaknya sedang mulai bosan dengan permainannya atau sudah mulai mengantuk. Mendengarkan kalimat pertama yang diucapkan anak remajanya, orang-tua mengerti bahwasanya anaknya ingin uang jajan yang lebih atau nilai ulangan sekolahnya menurun.
Mendengarkan adalah suatu cara agar seseorang mengetahui apa yang sedang terjadi dan bagaimana mengatasi sesuatu yang diakibatkan oleh kejadian tersebut atau menindak-lanjuti hasil dari sebuah tindakan.
Setelah mengajarkan anak-anaknya, kemudian para orang-tua akan mengawal dan mengantarkan mereka kepada kehidupan yang lebih baik, dengan segala daya-upaya semampunya.
Jaman Jahiliyah, sebagaimana diajarkan dalam pelajaran agama adalah suatu jaman di mana aturan-aturan tidak meningkatkan martabat manusia. Jaman di mana nilai-nilai kemanusiaan tidak ada artinya. Hak pribadi adalah sesuatu yang dianggap tidak perlu dipedulikan. Jaman Jahiliyah biasanya digambarkan sebagai jaman di mana aturan tidak ada, sehingga banyak orang merasa terancam hak-hak hidupnya dan malahan hidupnya itu sendiri.
Di mana kita sedang berada?
Menonton televisi, di mana ada kontes menari-nari, perebutan uang semilyar-dua milyar, kontes menyanyi-nyanyi, kontes pencerahan hati dan lain-lain yang menyenang-nyenangkan hati, sungguh membuat kita senang ketika menontonnya, sehingga terkadang terlontar ungkapan wah-wih-wuh yang bukan main seringnya.
Tetapi ketika menyimak berita, masya Allah, ditampilkan di sana tentang tempat tinggal dan tempat bekerja yang dihancurkan, baku-cacimaki dan baku-pukul berkelompok, orang terbunuh hampir setiap jam, bertikai dari hari ke hari, darah bersimbah di mana-mana. Berita diakhiri dengan berita lain: pernyataan tentang sebab-musabab, kronologi, lalu kesimpulan serta himbauan, diikuti dengan kesepakatan dan perdamaian.
Tetapi kemudian hal yang sama terjadi lagi hari di hari-hari berikutnya.
Siapa yang harus bertanggung-jawab ketika hal-hal tersebut terjadi berkali-kali dengan model yang itu-itu juga? Mungkin adalah bapak atau ibu pemimpin yang diberi kuasa untuk mengatur semuanya, mungkin adalah bapak-ibu yang ditugasi untuk membuat masyarakat merasa aman dan tenang, mungkin adalah para pemuka masyarakat dan agama yang mempunyai tugas moral untuk mengajarkan segala sesuatu tentang berperilaku seperti ‘yang diajarkan dan diberkati’.
Yang pasti, yang paling bertanggung-jawab adalah diri-sendiri masing-masing. Sudahkah kita mampu berbicara dan mendengarkan dengan baik seperti kita sendiri sudah mengajarkan kepada bayi-bayi dan anak-anak kita untuk berbicara dan mendengarkan dengan baik ? Dan kemudian mengawal dan mengantarkan mereka kepada kehidupan yang lebih baik, dengan segala daya-upaya ?
Atau kita biarkan sajalah semuanya terjadi meskipun mungkin suatu saat sesuatu yang buruk menimpa kita dan anak-anak kita?
Mari kita renungkan bersama, mengapa kemampuan kita untuk berbicara dan mendengarkan justru menurun pada akhir-akhir ini ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar