22 Februari 2008

Republik Gaul

Ada sebuah acara di Jtv (ini nama stasiun televisi di dekat rumah saya) yang saya suka. Pada acara yang bertajuk B-Cak tersebut ada segmen yang menampilkan pemahaman masyarakat terhadap istilah asing.
Di segmen tersebut ditayangkan reporter yang mewawancarai responden untuk mengkonfirmasikan arti kata-kata asing tertentu, misalnya konsisten. Pertama biasanya reporter menanyakan kepada respondennya: Pak, Bu, Mbak, Mas, sampeyan setuju tidak, kalau seorang bupati harus konsisten memenuhi janji yang telah disampaikan waktu kampanye dulu? Pasti jawabannya : O, setuju sekali itu.
Seorang anggota Dewan harus konsisten untuk mewakili suara rakyat, benar atau salah? Betuul, betul sekali.
Konsisten itu artinya apa? Emmmmmmmmmmmmm (panjang sekali sambil tolah-toleh dan senyam-senyum seperti Anda sekarang) mmmmmm.. ndak tau ya.
Backsound di studio suara orang ketawa ramai sehingga semua yang nonton tv juga ketawa. Ealah, tiwas dijawab tegas tapi nggak bisa menjelaskan artinya. Terkadang ada responden yang berkilah bahwa sebenarnya dia tahu maksudnya tapi sulit menyampaikan artinya. Mungkin seperti saya juga ya.
Itulah.
Ketika beberapa tahun yang lalu di Surabaya ada gerakan pembakuan Bahasa Indonesia untuk papan nama toko dan segala tulisan di ruang-ruang publik, saya pikir ini adalah gerakan serius (maaf, bersungguh-sungguh) yang akan berkelanjutan untuk menunjukkan jati diri keindonesiaan di kota ini. Gerakan berbekal cat dilakukan dengan memblok istilah-istilah asing terutama Inggris, untuk kemudian diganti dengan padanannya dalam bahasa Indonesia. Kalau tidak salah unsur-unsur yang turun ke lapangan dan jalanan ini sungguh tidak main-main, diantaranya ada beberapa ahli bahasa Indonesia dari IKIP Surabaya (sekarang Unesa) dan tentu saja didampingi Satuan Polisi Pamong Praja beserta Aparat Yang Berwajib lainnya.
Salah satu bekasnya masih tampak tempat usaha milik teman saya, bekas blok cat putih, papan nama yang semula bertulisan Authorized Sevice Centre diganti menjadi Sentra Servis Resmi. Memang istilah tadi lebih cantik menurut saya, meskipun mungkin bagi sebagian orang menjadi tidak gagah dan justru tampak katrok.
Ketika bahasa Inggris telah menjadi sebagian bahan ajar di sekolah dasar dan TK, maka tentunya diharapkan bahwa produknya nanti adalah kemampuan memahami dan menggunakan bahasa ini. Namun bukankah seharusnya tidak dengan mengganti atau justru mengurangi martabat bahasa Indonesia di kalangan bangsanya sendiri?
Saya tidak khawatir bahwa nantinya bahasa resmi kita akan berganti menjadi bahasa Inggris, selama tidak ada upaya mengamandemen Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 pada pasal dan ayat tentang bahasa resmi Negara.
Namun kenyataan yang ada menunjukkan bahwa pada saat ini banyak publikasi di hampir semua media (terutama televisi) yang dalam pengungkapan bahasanya sebagian sudah bermetamorfosa ke dalam bahasa yang populer, disukai dan dimengerti oleh publik, yakni bahasa Indonesia yang disantaikan alias bahasa gaul. Hal ini tampaknya perlu mendapat perhatian terutama bagi para pecinta, ahli dan guru bahasa Indonesia. Jangan-jangan pelajaran dan pembiasaan berbahasa secara benar dan baik akan menjadi sia-sia tergerus oleh kebiasaan yang mengalir secara deras di luar kelas. Termasuk melalui blog ini, maaf.
Ungkapan lama menyebutkan: Bahasa menunjukkan Bangsa. Jadi kalau kebiasaan berbahasa gaul ini berlanjut, mungkin nantinya bangsa ini akan menjadi bangsa Gaul yang berbahasa Gaul, ber-KTP dan berpaspor dengan status : Warga Negara Republik Gaul.
Siapa mau mencalonkan diri menjadi Presiden Republik Gaul ? Sudah seberapa gaulkah Anda?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar