11 Februari 2008

Pasar Demangan

Seorang tukang pikul menabraknya di seberang pasar. Keranjang pikulan dengan seonggok jahe dan kunyit parut di masing-masing sisinya, menerpa sisi pahanya. Tubuhnya hampir limbung, dia tersenyum. Map plastik masih dikepitnya di ketiak kanan, di dalamnya ada selembar sertifikat, sebuah dasi dan keplek tanda peserta kursus yang selama hampir dua bulan ini selalu terkalung di lehernya. Paha kirinya masih terasa agak nyeri, dia tersenyum tipis. Benar juga, katanya dalam hati. Di sini aku bukan siapa-siapa. Bahkan tukang pikul tadi pun tak juga meminta maaf karena telah menabraknya.

Belum lima belas menit yang lalu, Pimpinan kursus menutup secara resmi acara yang telah berlangsung maraton enam hari seminggu sejak dua bulan lalu. Nama demi nama disebutkan sebagai peserta sepuluh terbaik. Terbaik, artinya memenuhi kriteria tertentu dengan prestasi yang dinilai cukup tinggi. Namanya disebut yang terakhir. Dia yang terbaik.

Sejak awal, kedatangannya ke tempat ini disertai dengan hati gembira. Meskipun juga ada rasa sedih karena harus berpisah dengan keluarga. Kegembiraannya adalah bahwa pada akhirnya dia dapat menikmati sebuah event bergengsi, di mana sebagai seorang karyawan dirinya termasuk karyawan yang dianggap layak untuk ditampilkan dan dipertandingkan.

Namun ada pula rasa penasaran dalam hatinya. Benarkah event ini menakutkan dan penuh tekanan, seperti yang disampaikan oleh para senior-seniornya dahulu? Saat ini dia akan mengalami sendiri.

Ada pula rasa penasaran lainnya, kenapa diantara para seniornya yang konon nilainya tidak cukup baik akhirnya perjalanannya menjadi lebih baik dari senior lain yang justru nilainya di atas rata-rata?

Di dalam ruangan tadi, pimpinan kursus menyampaikan sebuah orasi :

Terima kasih atas kerjasama Anda selama ini, saya ucapkan selamat jalan, selamat bertugas kembali, selamat berkumpul dengan keluarga. Semoga sukses.

Hati kecilnya menambahkan dengan orasi kepada dirinya sendiri:

Engkau telah selesai menunaikan tugas. Secara formal, kau telah menyelesaikan tugas yang diamanatkan oleh pimpinanmu, namun secara mental, kau telah menyelesaikan sebuah tanggungjawab pribadi yaitu menjalani hari-hari di sini yang sebagian tidak kau sukai atau yang sebaliknya: kau tunggu-tunggu. Dan sejak ini, kau akan dibawa oleh kehidupan dengan pilihan: menjadi diri sendiri atau menjadi diri yang lain.

Dia memilih menjadi diri sendiri. Diri sendiri yang harus melakukan sesuatu karena memang begitulah tugasnya, bukan untuk menjadi sesuatu.

Demikianlah, ketika keranjang menabrak paha kirinya, dia tersenyum dan terus melanjutkan ayunan kakinya, pulang ke pondokan, membenahi kopornya untuk kemudian pulang sore nanti.

Hati kecilnya mencatat skor pertamanya: Sang Juara telah melipat jubahnya, karena jubah itu akan menghambat langkahnya, bahkan mungkin akan menghentikan perjalanannya.

(dicangkok dari hati seorang teman)

2 komentar:

  1. Kursus di LPP Yogyakarta memang merupakan kursus bergengsi, suatu pertanda bahwa seseorang tersebut masih diingat oleh pimpinannya. Dapat ranking alhamdulillah nggak dapat ya gak masalah. Selamat anda sudah membuat blog ini, sehingga dapat menjadi ajang komunikasi. Bravo cak Suko.

    BalasHapus
  2. Paling tidak nambah pengalaman karena sempat nonton ndangdut di Gembiraloka terus dilanjut dengan ngombe wedang jae di pinggir jalan Solo. Cuma apa njenengan juga tahu ada bakmi godog lengganannya bupati Sleman (waktu itu?).
    Untung kok Bupati Sleman, coba bupati Blambangan wah mesti tambah kondang ya, wong bupatine namanya Menak Jinggo kok!
    Salam pak Tri, tak tunggu mancing di blog ini, ndak usah jauh-jauh ke Lamongan. Kasihan yang nganter ...

    BalasHapus