19 Februari 2008

Begawan

Riwayat hidupnya tidak istimewa sama sekali, sama seperti hidupnya yang sangat tidak istimewa. Penjual air minum di perkampungan urban. Dan itu sudah dilakoninya entah berapa lama, aku tidak tega untuk bertanya kepadanya. Tetapi raut muka itu. Sungguh sangat luar-biasa. Tenang, luruh, damai. Pandangan matanya sangat teduh. Dan menjadi lebih damai ketika sebentar-sebentar sesungging senyum menghias setiap kata-katanya yang disampaikan dengan sangat bersahaja.

Keriput di wajahnya seolah sebuah reportase perjalanan hidup yang sulit, tetapi telah dijalaninya dengan kemenangan mutlak: diterimanya dengan penuh rasa syukur tak terhingga kepada Tuhan Sang Pencipta. Yang telah membukakan secercah rahasia tentang peran yang dibagikanNya kepada dirinya, sebagai penjual air, dengan gerobak dorong dan sepuluh kaleng air di atasnya. Yang diantarnya ke rumah-rumah pelanggannya setiap hari. Pelanggan yang kadang-kadang bahkan tak sempat bertegur-sapa meskipun bertatapan mata. Ada pula yang berbicara dari balik dapur tanpa bertatap mata, menyuruhnya menutup pintu saat nanti dia pergi.

Senyumnya yang membuat hati yang gelisah menjadi terkesima, karena seolah berkata kepada siapa saja: Jangan cemas. Segala sesuatu telah diaturNya dengan sangat sempurna. Senyum seorang bapak sepuh, seorang kakek bagi siapa saja.

Ketika datang ke rumahku pada suatu malam, berkopiah, berbaju panjang dan berkain sarung plekat sederhana, kami mengobrol dengan dua gelas teh manis hangat di atas meja. Dia cerita tentang anaknya, pada siapa dia tinggal di masa tuanya bersama dengan beberapa cucu. Tentang rumah petak di mana terkadang sedikit hujan telah membuat air menggenangi lantainya.

Lagi-lagi senyum di muka keriputnya seolah-olah mengundang rinduku kepada sosok yang selama ini membayang-bayangi ingatanku sesekali.

‘Hidup ini adalah berkah yang luar-biasa, mas’

Dia memanggilku dengan mas, sebuah kesantunan yang malah melambungkan penghargaanku kepadanya.

‘Sudah diatur sedemikian sempurnanya oleh Gusti Alloh, jadi sudah semestinya saya bersyukur dan tidak perlu mencemaskannya.’

‘Yang saya cemaskan itu kalau suatu saat pelanggan saya kecewa karena saya mengirim air tidak seperti yang mereka harapkan. Airnya kotor, misalnya, atau saya mengirim terlambat dari biasanya. Saya cemas kalau mereka kecewa kepada hasil pekerjaan saya.’

‘Bapak ini bukan orang Surabaya, ya, kok logatnya Jowo banget?’

Sebenarnya bukan logat saja, segala sesuatu pada dirinya terasa seperti sangat saya kenali.

‘Saya ini dari Godean, Jogja. Lha panjenengan tampaknya juga bukan orang Suroboyo asli lho mas’

‘Wah, mungkin juga sama seperti njenengan pak, akhirnya nyangkutnya di sini. Lha bapak kalau dari Godean jangan-jangan kenal sama pak Presiden?’

Senyumnya mengembang. Bukan senyum bangga, bukan senyum kecut, bukan senyum sekedar senang.

Senyum arif.

‘Pak Presiden itu dulu kecilnya teman bermain dan teman angon kebo, mas’

Malam itu aku belajar memahami sebuah pelajaran baru, bagaimana menyikapi keadaan dengan arif. Malam itu aku belajar kepada seorang begawan, seorang Mahaguru Kehidupan, yang datang dan menyampaikan kata-kata dari dunia antah-berantah melalui senyumnya. Yang dengan senyumnya itu tersimpul kata-kata :

Jangan cemaskan hidupmu tetapi perhatikan dan lakukan dengan baik pekerjaanmu.

Langkah pulangnya satu-satu, di gang kampungku. Sosoknya yang sudah sedikit bongkok hilang di belokan. Kata-katanya beberapa waktu tadi menyiram hatiku, merendamnya dan larut ke sanubari. Senyum yang menghiasi keriput di wajahnya, seperti kata-kata yang tak pernah berhenti berkata-kata dalam diriku, senyum seorang begawan.

3 komentar:

  1. Begawan??
    Mengingatkan pada waktu baru pindah rumah, kalau dia gak datang harus cari sendiri dengan membawa gledekan yg didesainer sendiri shg bisa digeret pakai sepedamotor (butut)dan hrs antri untk ngisi.

    BalasHapus
  2. apalagi kalo pas suami ga ada di rumah, wah terpaksa pake daster, sore-sore ngangsu dewe, mana hujan gerimis anak-anak masih kecil-kecil lampu mati lagi. rasanya seperti jadi orang paling sengsara sak dunia ....
    udah gitu ngangsunya ngantri lagi, wis, rasanya: mending pindah ke rumah kontrakan lagi deh ...
    tapi sekarang sudah enak, kan? apalagi bisa baca blog ini....
    cuma,
    kok ga nyambung dengan isinya ya?
    ga papa, trims aja udah ninggalin komentar, yaa

    BalasHapus
  3. karena udah putus makanya gak nyambung

    BalasHapus