02 Juli 2008

Mosaik

Di Jalan Gentengkali Surabaya, pada tahun 1970-an di sebelah timur dari Toko Siola yang terkenal itu ada sebuah gedung dua lantai yang berfungsi sebagai balai prajurit milik TNI-AL namanya Gita Tamtama. Bangunan tersebut sekarang telah bermetamorfosa menjadi Gedung Gita, yang lantai duanya digunakan sebagai restoran, sedangkan lantai satunya dapat disewa untuk hajatan.
Ketika jalan Gentengkali belum dilebarkan menjadi dua jalur seperti sekarang, halaman Gita Tamtama cukup luas, sehingga tampang gedung tersebut tampak megah untuk ukuran kala itu, apalagi ketika di halaman tersebut dilakukan upacara militer, sepadan dengan predikatnya sebagai Balai Prajurit.
Di sisi kanan dan kiri pintu gedung, terpasang dua pilar tembok berukuran kurang lebih lima meter lebar dan enam meter tinggi dengan mosaik berbahan keramik warna warni, yang satu dengan gambar kapal layar Dewaruci, dan pada pilar satunya bergambar kapal perang modern dengan tiga sosok prajurit TNI-AL di latar depan. Pada malam hari, kedua mosaik tersebut tampak sangat bernuansa karena disorot dengan lampu spot yang terang-benderang. Kilau yang ditimbulkan oleh potongan-potongan keramik yang membentuk citra kapal-kapal tadi terasa cukup monumental.
Sepasang mosaik tersebut didisain oleh kelompok seniman dari Sanggar Bambu Jogjakarta, demikian seingat saya, karena saya sedikit terlibat membantu proses akhir penyelesaiannya, sebelum diresmikan oleh Panglima (Armada?). Tujuh puluh dua jam nyaris tanpa tidur, saya, mas Slamet, mas Wietje dipandu oleh pak Narso dan kawan-kawannya, mengejar tenggat waktu peresmian.
Entah di mana mosaik tersebut sekarang berada. Dibongkar atau ditutup dengan plesteran tembok, saya tak bisa memperkirakan lagi. Hanya, sungguh sayang bahwa sebuah karya yang setidaknya dapat digunakan sebagai penanda situs dan sekaligus penanda jaman, harus hilang untuk sebuah kepentingan yang lain, yang mungkin saya tidak atau belum memahaminya.

Demikian pula rupanya kehidupan. Sesuatu yang dipelihara, diperhatikan dengan penuh kepedulian, serta dicintai dengan segenap hati, digantungkan harapan yang begitu tinggi dan mulia, tiba-tiba tercerabut demikian saja dari dekapan indera dan hati kita.
Semua adalah rahasia kehidupan, semua adalah rahasia yang ada dalam genggaman KuasaNya yang Mahaagung dan Mahabijak.
Saya masih teringat benar nasihat almarhum ayah saya, di atas becak sepulang dari rumah calon mertua ketika saya memperkenalkan beliau.
Kata almarhum:
“ Bapak sudah memenuhi keinginanmu untuk diperkenalkan kepada Pak Effendi. Semoga semua harapanmu dapat terlaksana dengan baik. Hanya satu hal yang perlu kamu ingat dan camkan benar-benar. Bahwa yang Mahamempunyai hanyalah Tuhan. Dengan perkenalan tadi, bolehlah kamu beranggapan bahwa calon isterimu nantinya adalah milikmu, calon mertuamu adalah nantinya orang-tuamu yang lain. Tetapi Bapak berharap agar kamu jangan berlebihan anggapan terhadap hal tersebut, karena apabila nanti Tuhan berkehendak lain, kamu akan menjadi sedih dan kecewa. Sadarlah bahwa bahkan hidup kita inipun bukan milik kita. Hanya Tuhan yang memiliki segala sesuatu, baik yang wujud atau tidak, yang tergelar maupun yang tidak”

Di atas becak yang melaju pelan di jalan Kranggan, sekitar jam sepuluh malam itu, almarhum ayah saya telah mengungkapkan sebagian dari mosaik dalam khasanah pemikiran dan pemahaman beliau akan kehidupan, yang saya rekam hingga saat ini.

6 komentar:

  1. Beda mozaik beda puzzel.
terserah anda 'kehidupan' ini mau dibikin mozaik atau puzzle.

    BalasHapus
  2. Kadang kita memang belum mampu melihat masa lalu sebagai pelajaran hidup disamping kisah sejarah .

    Analogi mozaik diatas menggambarkan kisah perjuangan mengisi hidup serta rasa memiliki yang penuh korelasi namun kita tidak boleh terjebak dalam cinta yang amat sangat sehingga akan memunculkan kekecewaan .

    Wassalam

    BalasHapus
  3. @mas indro: saya sedang belajar untuk memahaminya
    @mas raf: sesuatu yg berlebihan memang tidak baik, tetapi 'tanpa' juga kurang benar

    BalasHapus
  4. Salam
    Hmm saya berpikir beberapa jenak memahaminya, yang penting ada kesetimbangan, dan berasumsi bahwa semua yang diberikan sang pencipta memang bukan mutlak milik kita tapi hanya berupa titipan belaka yang mesti dipergunakan secara amanah. mungkinkah begitu Pak Dhe ku :)

    BalasHapus
  5. "Ora et labora" Suka, duka dan kecewa adalah karunia, manusia sak dermo nglakoni. Ibarat wayang bagaimana dalangnya.

    BalasHapus
  6. @nenyok: nah, kaaan?
    @si mbah: dalangnya manusia yang bukan manusia, tentunya....

    BalasHapus