10 Juli 2008

Di Bawah Bendera Revolusi

Satu Tahun Ketentuan ( Year of Decision )


Coba renungkan saudara-saudara, betapa perlunya kita harus berani memerangi diri sendiri, memperjuangkan zelfoverwinning atas diri kita sendiri:
Semula kita mencita-citakan satu kemakmuran dan keadilan yang merata. Dua belas tahun kemudian, puluhan juta rakyat masih belum dapat hidup layak sebagaimana pantasnya bagi rakyat sesuatu negara yang merdeka.
Semula kita mencita-citakan Negara Republik Indonesia yang meliputi sekujur badannya bangsa Indonesia, dari Sabang sampai ke Merauke. Dua belas tahun kemudian, seperlima dari wilayah Republik Indonesia masih dijajah oleh Belanda.
Semula kita mencita-citakan , bahwa di dalam alam kebebasan dan kemerdekaan, kita akan dapat mengembangkan segala daya-cipta kita untuk membangun sehebat-hebatnya: Membangun satu Pemerintahan nasional yang kokoh-kuat, membangun satu Angkatan Perang nasional yang kokoh-kompak, membangun satu industri modern yang sanggup mempertinggi taraf-hidup rakyat kita, membangun satu pertanian modern guna mempertinggi hasil-bumi, membangun satu kebudayaan nasional yang menunjukkan kepribadian bangsa Indonesia.
Tetapi dua belas tahun kemudian, kita telah mengalami tujuh-belas kali pergantian Kabinet; mengalami kerewelan-kerewelan dalam kalangan tentara; mengalami bukan industrialisasi yang tepat, tetapi industrialisasi tambal-sulam zonder overall-planning yang jitu; mengalami bukan kecukupan bahan makanan, tetapi impor beras terus-menerus; mengalami bukan membubung-tingginya kebudayaan nasional yang patut dibanggakan, tetapi gila-gilaannya rock and roll; mengalami bulan merdunya seni-suara Indonesia murni, tetapi geger-ributnya swing dan jazz dan mambo-rock; mengalami bukan daya-cipta sastra Indonesia yang bernilai, tetapi banjirnya literatur komik.
Contoh-contoh ini adalah cermin daripada menurunnya kesadaran nasional kita dan menurunnya kekuatan jiwa nasional kita. Apakah kelemahan jiwa kita itu? Kelemahan jiwa kita ialah, bahwa kita kurang percaya kepada diri kita sendiri sebagai bangsa sehingga kita menjadi bangsa penjiplak luar-negeri, kurang percaya-mempercayai satu sama lain padahal kita ini pada asalnya ialah rakyat gotong-royong, kurang berjiwa gigih melainkan terlalu lekas mau enak dan ‘cari gampangnya saja’. Dan itu semua, karena makin menipisnya ‘rasa harkat nasional’ - makin menipisnya rasa ‘national dignity’- , makin menipisnya rasa bangga dan rasa hormat terhadap kemampuan dan kepribadian bangsa sendiri dan rakyat sendiri.
Ya, kemampuan dan kepribadian r a k y a t sendiri! Rakyat jelata, rakyat yang berpuluh-puluh juta, rakyat yang laksana semut mencari makan dan beranak dan tertawa dan menangis dan hidup dan mati, - rakyat yang dari sinar-mata mereka berpancar kekuatan dan kepribadian bangsa, rakyat yang dari tindak-tanduk merekalah tertampak gigih bangsa dan karakteristik bangsa. Berapa orangkah dari alam pemimpin Indonesia sekarang ini yang masih benar-benar-‘rakyati’ seperti dulu, masih benar-benar ‘volks’ seperti dulu?
.................................
Inilah yang banyak pemimpin kita telah lupakan! Bukan mereka think-and-rethink serta shape-and-reshape secara individualitet bangsa Indonesia sendiri, bukan mereka pulangkan segala persoalan kepada kepribadian obyektif daripada bangsa Indonesia sendiri, tetapi mereka, karena lepasnya kontak dengan rakyat, mengkopisaja dan menjiplak saja secara hantam-kromo apa yang mereka lihat sebagai satu polieteke wijsheid di negari orang lain!
Akibatnya? Segala sesuatu lepas dari buminya, segala sesuatu lepas dari relnya! Segala sesuatu lantas rontok. Segala sesuatu peringisan, karena mukanya bukan lagi muka muka yang ia bawa tatkala keluar dari gua-garba Ibu Pratiwi.
Sebenarnya, semua dasar-dasar daripada perjuangan kita dahulu, t e t a p b e r l a k u bagi zaman sekarang. Hanya, sekarang, dalam alam kemerdekaan ini harus ditujukan kepada hal-hal yang lebih kongkret; ditujukan kepada hal-hal yang bersangkut-paut dengan penghidupan rakyat sehari-hari. Tetapi dasar-dasarnya harus tetap. Grongedachte-nya harus tetap. Kekuatan kita harus tetap bersumber kepada kekuatan rakyat. Apin kita harus tetap apinya semangat rakyat. Pedoman kita harus tetap kepentingan rakyat. Tujuan kita harus tetap masyarakat adil dan makmur, masyarakat ‘rakyau untuk rakyat’. Karakteristik segenap tindak-tanduk perjuangan kita harus tetap karakteristik rakyat, yaitu karakteristik rakyat Indonesia sendiri dan karakteristik bangsa Indonesia sendiri. Tidak harus ada perubahan sedikitpun dalam hal itu. Tetapi ini tidak berarti bahwa dus pikiran kita harus beku, harus ‘itu-itu-lagi’ harus statis.
Tidak! Fikiran kita harus dinamis! Apalagi jikalau kita mengingat, bahwa persoalan kita ialah persoalannya rakyat dalam alam perpindahan, yaitu persoalannya rakyat dalam alam ‘transsition’. Persoalannya rakyat dalam alam ‘Uebergang’. Perpindahan dari apa ke apa? Perpindahan dari alam penjajahan ke alam kemerdekaan. Perpindahan dari alam kolonial ke alam nasional. Perpindahan ini mengkonfrontir kita denga persoalan-persoalan yang jawabannya tak dapat kita j i p l a k begitu saja dari teorinya orang lain. Karena itulah, maka, walaupun dasar-dasar atau grongedachte-nya perjuangan kita harus tetap, kita tak boleh beku dalam fikiran, tak boleh statis dalam daya-cipta, tak boleh berhenti, tetapi harus dinamin dan tangkas dalam fikiran.
Tiga persoalan-pokok harus kita pecahkan dalam alam perpindahan ini:
Ke satu: Bagaimanakah dan dari manakah kita memperoleh modal bagi pembangunan yang harus kita tempuh?
Ke dua: Bagaimanakah kita secepat mungkin dapat memperoleh kecakapan untuk membangun, yaitu memperoleh ‘technical and managerial know-how’ untuk pembangunan kita?
Ke tiga: -last but not least- : Sistem politik apakah yang paling baik bagi Indonesia, paling cocok dengan dasar-dasar penghidupan rakyat Indonesia, - paling memberi atmosfir yang tepat bagi rakyat Indonesia dalam alam perpindahan ini?
Ketiga-tiga persoalan ini tak dapat dipisahkan satu sama lain, tak dapat disuruh berdiri sendirian masing-masing. Yang satu ada hubungan erat dengan yang lain, yang satu adalah komplementer kepada yang lain. Bahkan ketiga-tiganya adalah berhubungan erat dengan perjuangan nasional kita yang masih dalam tingkatan ‘belum selesai’ itu. Siapa yang hendak memisahkan persoalan-persoalan ini dari perjuangan nasional kita yang masih dalam tingkatan ‘belum selesai’, ia hanya menunjukkan kekerdilan belaka daripada pengertian-pengertiannya. Ia hanya menunjukkan keprimitivan belaka daripada ia punya denkwereld, kebekuan daripada ia punya alam-fikiran.

Catatan:
1) dikutip dari buku Di Bawah Bendera Revolusi jilid ke dua cetakan ke dua 1965 halaman 283-287
2) sebagian dari amanat Presiden Sukarno pada Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1957 di Jakarta
3) ditulis ulang dengan penyesuaian ejaan dan letak,
4) sebagian dihilangkan dengan tidak memutus konteks

11 komentar:

  1. Ingin punya buku ini. sayang sulit ditemukan di pasar. Pernah ketemu, harganya mahal sekali..
    Perjuangan Sukarno itu masih relevan gak dengan yang sekarang??
    kan sekarang kita malah dijajah oleh bangsa kita sendiri.
    Mungkin Sukarno nangis klo tahu hal ini..
    salam

    BalasHapus
  2. secara visi, tentunya tetap relevan, bli..
    masalahnya, seperti yg dibilang si Bung th 57 itu, kita suka cari gampangnya, shg visi semakin diabaikan, pdhal negeri ini adalah milik anak cucu, sdgkan tugas kita adl menjaga, memelihara dan mengembangkannya, spt yg bli tulis itu
    ah, saya kok jadi emosional ya
    salam kebangsaan: Merdeka!!

    BalasHapus
  3. Mas Paromosuko. Pidato pidato itu begitu menggelora dan memukau. Di saat sekarang saya ingin mendengar pidato tentang bagaimana upaya kita memerangi kemiskinan dan mengangkat kesejahteraan dan keadilan. Seolah kerinduan yang tak kunjung datang. Kemiskinan masih mendera sebagian dari masyarakat kita

    BalasHapus
  4. Bagaimana mo berhasil, entah dengan gaya 'ndopok' 'nggedabrus' atapun 'kalm2' saja. Lha wong tidak pernah ada 'satu kata dan perbuatan' tidak pernah ada penyelesaian masalah. Yang ada satu masalah ditutup dengan masalah baru jadi yo mbuuleeeet saja.

    BalasHapus
  5. Belum ada yang menandingi pidato Paduka, saat Paduka berpidato rakyat tumplek bleg sak balai desa untuk mendengarkan pidatonya memalui radio transistor merk "CAWANG" (mbah belum pikun)

    BalasHapus
  6. rajin bener pak, nulis ulang......

    sekarang.....ah udah lah gak usah mbaca koran deh, drpd bingung sendirimbacanya....

    BalasHapus
  7. setuju eyang bathoro, ing republik iki pancen durung ono pemimpin sing mimpin kanggo rakyat, sing duwe solusi. bisone mung nutup kasus gede kanti kasus sing luwih gede. rakyat digawe klalen, dicuci otak, dicekoki kasus lan kasus. tanya kenapa?

    opo ki paromo suko percoyo karo sing diarani Satrio Piningit? Opo tokoh iki kang bakal ndadekno Indonesia makmur?

    BalasHapus
  8. 63 tahun merdeka
    yang berubah rasanya cuma fisik saja
    dan nafsu
    kebanggaan sbg bangsa cuma muncul kl menang di kompetisi2, itupun seiprit saja dan cepat terlupa,
    catatan yg saya tulis ulang adl bahan evaluasi, sukur2 terbaca oleh para yang berwajib, yang mulia, yang terhormat, yang berwenang
    dan kita semua
    satrio piningit terlalu lama sembunyi ketekutan dlm diri kita semua, bahkan ada yang diborgol dan dimatikan dlm nurani
    siap-siap saja
    kita bakal diadili oleh sejarah sebagai bangsa yang cuma bermodal nama: indonesia
    terima kasih, teman2, saya lagi membaca tanda-tanda

    BalasHapus
  9. Salam
    saya kok ndak merasakan lagi ruh kemerdekaan toh Pak Dhe, so menurut Pak Dhe realnya apa dan bagaimana menerapka sistem yang tepat dinegeri ini, yang menjamin kestabilan dan kemakmuran rakyat, bukan hanya dagelan politik, pergantian kekuasaan yang ga ada imbasnya terhadap perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara, apa yang slah pelaku-pelakunya atau revolusinya.?

    BalasHapus
  10. nenyok,
    sepertinya yg disebut sbg 'revolusi' oleh Bung Karno adalah tindakan untuk mewujudkan visi kemerdekaan
    jauh dari menjamin, bahkan melakukan upaya untuk mencapai kemakmuranpun masih baru sampai pada slogan
    siapa yang salah? mungkin mereka yang mendapat kepercayaan dari kita semua
    saya tidak punya kompetensi tentang apa dan bagaimana sistem yang sebaiknya ada
    saat ini saya cuma bisa mengambil potret lama dan menyandingkannya dengan keadaan yang ada
    ternyata kita masih berada di tempat yang lama, cuma ganti kelakuan saja
    begitukah?

    BalasHapus
  11. Jejak Langkah Sebuah Bangsa, Sebuah Nation

    Tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya,
    kalau orang tak mengenal kertas-kertas tentangnya.
    Kalau dia tak mengenal sejarahnya.
    Apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya,”

    -Minke, dalam Novel Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer-
    Dikutip Kompas di tulisan pembuka liputan khusus Anjer-Panarukan

    Saya memberikan apresiasi yang besar kepada Koran Kompas dan juga kalangan pers pada umumnya yang secara intens dan kental mendorong munculnya kesadaran historis sekaligus harapan dan optimisme akan masa depan Indonesia. Mempertautkan makna masa lalu, masa kini dan masa depan. Ini nampak paling tidak sejak bulan Mei secara rutin Kompas memuat tulisan wartawan-wartawan seniornya dan mungkin beberapa orang non wartawan kompas bertajuk 100 Tahun Kebangkitan Nasional . Patut diapresiasi pula liputan besar Kompas “Ekspedisi 200 Tahun Jalan Pos Anjer-Panaroekan”.

    Daniel Dhakidae yang juga menjadi salah satu penulis seri 100 Tahun Kebangkitan Nasional Kompas ini pernah mengatakan bahwa “sejarah bukan masa lalu akan tetapi juga masa depan dengan menggenggam kuat kekinian sambil memperoyeksikan dirinya ke masa lalu. Warisan tentu saja menjadi penting terutama warisan yang menentukan relevansi kekinian. Apa yang dibuat disini adalah melepaskan penjajahan masa kini terhdap masa lalu dan memeriksa kembali masa lalu dan dengan demikian membuka suatu kemungkinan menghadirkan masa lalu dan masa depan dalam kekinian”. (Cendekiawan dan Kekuasaan : Dalam Negara Orde Baru; Gramedia Pustaka Utama, 2003, hal xxxii)

    Dalam bukunya itu contoh gamblang diperlihatkan oleh Dhakidae, dimana sebelum sampai pada bahasan masa Orde Baru ia melakukan pemeriksaaan wacana politik etis sebagai resultante pertarungan modal, kekuasaan negara kolonial, dan pertarungan kebudayaan antara Inlander vs Nederlander, antara boemipoetra dan orang Olanda. Baginya zaman kolonial menjadi penting bukan semata sebagai latarbelakang, akan tetapi wacana itu begitu menentukan yang dalam arti tertentu bukan saja menjadi pertarungan masa lalu akan tetapi masa kini.

    Kompas saya pikir telah mengerjakan ini dengan sangat baik dan saya mendapatkan pencerahan dari sana (o iya Bung Daniel adalah juga kepala litbang Kompas)

    Untuk meningkatkan akses publik ke seluruh tulisan-tulisan berharga ini, saya menghimpun link seri artikel Kompas bertajuk 100 Tahun Kebangkitan Nasional ini. Sebelumnya saya juga telah menghimpun link seri liputan Kompas Ekspedisi 200 Tahun Jalan Raya Pos Anjer-Panaroekan : Jalan (untuk) Perubahan.

    Demikian juga saya telah menghimpun link-link ke artikel-artikel Edisi Khusus Kemerdekaan Majalah Tempo tentang Tan Malaka “BAPAK REPUBLIK YANG DILUPAKAN. Sebagai catatan tulisan tentang Tan Malaka juga ada di dalam seri tulisan Kompas seputar 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Apresiasi tinggi pula untuk Majalah Tempo.

    Akhir kata secara khusus saya menaruh hormat kepada Pramoedya Ananta Toer yang telah menjadi ‘guru sejarah’ saya melalui karya-karya sastra dan buku-buku sejarah yang ditulisnya. Saya pikir bukan sebuah kebetulan Kompas mengutip roman Jejak Langkah sebagai pengantar liputan khususnya, juga dari buku Pram Jalan Raya Pos, Jalan Daendels- “Indonesia adalah negeri budak. Budak di antara bangsa dan budak bagi bangsa-bangsa lain”.

    Tidak lain juga sebuah penghormatan kalau tidak pengakuan terhadap sumbangan Pram untuk negeri ini. Diakui atau tidak.

    Salam Pembebasan
    Andreas Iswinarto

    Untuk seri tulisan 100 Tahun Kebangkitan Nasional
    Kipling, Ratu Wilhelmina, dan Budi Utomo; Renaisans Asia Lahirkan Patriotisme Bangsa-bangsa; Semangat Kebangsaan yang Harus Terus Dipelihara; Menemukan Kembali Boedi Oetomo; Ideologi Harga Mati, Bukan Harta Mati; Pohon Rimbun di Tanah yang Makin Gembur; Mencari Jejak Pemikiran Hatta; Membangun Bangsa yang Humanis; Tan Malaka dan Kebangkitan Nasional; Kaum Cerdik Pandai, antara Ilmu dan "Ngelmu"; Masa Depan "Manusia Indonesia"-nya Mochtar Lubis, Menolak Kutukan Bangsa Kuli; Pendidikan dan Pemerdekaan; Kembali ke PR Gelombang Ketiga; Kebudayaan dan Kebangsaan; Musik Pun Menggugah Kebangsaan...

    Silah link ke
    http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/jejak-langkah-sebuah-bangsa-sebuah.html

    Ekspedisi Kompas 200 Tahun Anjer-Panaroekan
    http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/belajar-dari-sejarah-sebuah-jalan-200.html

    Edisi Kemerdekaan Tempo dan 12 buku online : Tan Malaka
    http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/tan-malaka-bapak-republik-revolusi.html

    BalasHapus