16 Juni 2008

Sang Guru

Ketika aku menghadap kepada Mahaguru Durna, Sang Apunjul Ing Kawruh, gemetar rasanya seluruh tubuhku, karena pada akhirnya aku dapat bersimpuh dihadapannya Yang Dimuliakan, yang tersohor sebagai mahaguru seluruh kesatria terkemuka. Hatiku penuh rindu dan harap-harap cemas mendengarkan fatwanya, yang selama ini hanya aku dengar melalui kabar dan beberapa berita.
Kerinduanku dipicu oleh keinginan yang lama terpendam untuk dapat diterima sebagai muridnya, agar aku dapat belajar segala ilmu sebagai bekalku menjadi Raja yang adil dan bijak, sebagai pemimpin dan pelindung bagi rakyat di kerajaan Paranggelung.
Ilmu yang akan kupelajari, dan akan kumanfaatkan untuk menjadikan negeri ini sebuah negeri yang tenteram, yang rakyatnya saling menghormati satu sama lain; aman, terlindung dari gangguan dari manapun dan dalam bentuk apapun; dan makmur, bebas dari kepapaan.
Memandang wajah Sang Pandita, terlaksana setelah aku menghadap beliau di pertapaan Sokalima yang teduh dan bermartabat, sangatlah menyejukkan hatiku dan menghalau segala kelelahan serta gundah hatiku.

Aku, Palgunadi, Raja Paranggelung, sangat berhasrat menjadi murid dari Pandita Durna, meskipun hanya diterima sebagai murid biasa atau bahkan menjadi abdi pembasuh kaki beliau, asalkan aku selalu dapat berada di dekatnya, melihat segala laku teladannya, ikut mendengarkan fatwa dan petuahnya kepada para muridnya yang dimuliakan, para kesatria Pandawa dan Kurawa. Cukuplah aku diterima sebagai abdi, itupun sudah akan aku syukuri.
Keberangkatanku bersendiri dari kotaraja Paranggelung, dihantar dengan segala puji-basuki oleh seluruh rakyat, penata-praja dan para punggawa istana, diiringi oleh senyum penuh kasih dari isteriku yang jelita, Anggrahini, seorang Ratu yang sangat dihormati serta dicintai oleh seluruh anak negeri. Perjalananku serasa ringan karena dukungan dan dorongan dari semua orang yang tulus berbakti dan mencintaiku. Akupun telah menyiapkan diri untuk meninggalkan segala kemuliaan sebagai Raja, bersiap bahkan untuk menjadi budak bagi Sang Pandita, agar dapat menyerap ilmunya yang akan aku persembahkan bagi negeri dan rakyatku nantinya.

Sang Pandita menolak permohonanku.
Serasa runtuh langit dan terbelah bumi yang kupijak. Terbayang roman muka kecewa seluruh rakyat, para punggawaku, bahkan isteriku. Betapa mereka akan merasa terhina, ketika mendengar rajanya ditolak ketika memohon untuk dapat menjadi murid Sang Guru Pandita, meskipun sebenarnya aku bahkan sudah memohon sekedar sebagai abdi suruhannya. Betapa tak terbayangkan ketika aku nanti akan menyaksikan para prajuritku marah karena rajanya telah dipermalukan dengan tiada sepantasnya, lalu mereka akan meledakkan kemarahannya dengan mengajakku berangkat membasmi pertapaan Sokalima karena rasa terhina. Sedangkan aku sama-sekali sangat tidak menginginkan adanya permusuhan, sebagaimana diamanatkan kepadaku ketika dinobatkan menjadi raja : menjadi pelindung rakyat, pembawa kedamaian dan kemakmuran, serta persahabatan di antara rakyat antarkerajaan.

Dalam kesendirianku meninggalkan pertapaan Sokalima, aku berpikir keras mencari jawaban tentang sebab-sebab penolakan Sang Guru Pandita. Aku yang telah berikrar sebagai pemimpin yang cinta damai, mungkin belum cukup menjadi jaminan baginya, untuk tidak dianggap akan mengancam kedaulatan kerajaan keluarga Pandawa dan Kurawa. Kebesaran kerajaan keluarga Abiyasa ini, akan terusik di hadapan masyarakat dunia, karena seorang Palgunadi yang bukan siapa-siapa, apabila diterima menjadi muridnya. Kalaupun sementara ini aku dikenal sebagai raja yang sakti dan bijak, maka sebenarnya kesaktian dan kebijakanku semata-mata aku gunakan untuk memimpin negeriku, tanpa sedikitpun terbersit pikiran untuk meluaskan kerajaan, mengobarkan penjajahan ke negeri manapun juga. Dan pula, aku tak merasa bahwa diriku adalah seorang raja sakti yang ingin bertanding kesaktiannya dengan siapapun. Sama sekali tak ada pikiran semacam itu.
Kuputuskan, dengan bekal sejenak pertemuan dengan Sang Pandita ini, dengan sejenak kesempatan untuk mendengar suaranya ketika berbicara, melihat kelebat langkah dan gerak-geriknya, mencium aroma rambut dan jubahnya, serta membayangkan tingkat ilmunya, aku tetap akan berguru kepadanya. Aku tak akan pulang ke Paranggelung, daripada hanya akan membuat kecewa orang-orang yang kukasihi. Aku akan mengasingkan diri, berkontemplasi di tengah rimba di tepian padang belantara. Aku akan menempa diri dengan belajar olah-keprajuritan dan olah-kearifan budi, dengan membayangkan bahwa Sang Pandita sebenarnya secara diam-diam membimbingku agar aku dapat menguasai segala ilmu yang diajarkannya. Kuyakini, bahwa sebenarnya Sang Pandita bukan menolakku, tetapi menguji kesungguhan hatiku, bukan mengusirku tetapi memerintahku untuk mencari tempat yang lebih sunyi dan tenang, agar beliau dapat mengajariku secara lebih khusus dan pribadi. Bagaimanapun Pandita Durna terlalu agung bagiku. Terlalu mulia, sehingga apa yang telah terjadi sebenarnya bukanlah penolakan, tetapi dia telah memperlakuan teramat khusus kepadaku. Sesungguhnya bagiku, dia sangatlah faham, bahwa dengan menjadi muridnya amat jauh keinginanku untuk sekedar menang perang ataupun cerdik dalam berolah-praja. Beliau adalah inspirasiku, sejak sebelum bertemu, ketika sejenak bersimpuh dihadapannya maupun ketika aku harus pergi darinya. Semakin kencang motivasiku untuk berguru, meskipun aku tidak berada di Sokalima, karena bagiku ini adalah isyarat rahasia yang telah kuterima dan dapat kubaca, bahwa Sang Pandita sangat memahami tingkat pemahamanku dan kemampuanku mengembangkan diri, dari pertemuan yang hanya sejenak itu. Aku hanya dapat bersimpuh dihadapannya dalam angan-angan, atas segala penghargaan dan kepercayaannya, bahwa aku akan mampu menjadi muridnya, meskipun dia tidak mengasuhku secara nyata.

Ternyata, dengan caraku belajar ini, rasanya aku mempu lebih cepat menguasai ilmu keprajuritan yang diajarkannya. Kubayangkan, bagaimana Sang Pandita mengajari Bima, Duryudana dan Dursasana berolah gada, sehingga mereka menjadi teramat mahir. Bagaimana Arjuna berolah panah, sehingga hanya mendengar gemerisik daun di semak, seekor kijang dapat dipanahnya tepat pada jantungnya.
Aku juga membayangkan bagaimana Sang Pandita mengajarkan lontar dan kidung berisi nasihat utama bagi seorang kesatria, yang akan menjadi pedoman dalam bertindak dan berperilaku luhur. Akan dicontohkannya sifat-sifat mulia agar menjadi acuan dalam setiap segi kehidupan seorang kesatria dan raja-raja.

Di malam-malam yang sepi, di bawah terang bintang di tengah padang belantara di tepi hutan, aku memusatkan segenap inderaku, menyerap segala nilai utama yang diajarkan oleh guruku melalui anganku.

Waktu berlalu.
Rasanya masih belum selesai juga aku menyerap ilmu Sang Pandita, ketika aku menerima isyarat tentang kegundahan rakyatku, yang menunggu kedatanganku karena rasa rindu kepada rajanya. Terbayang wajah Anggrahini, yang meskipun tetap tegar sebagai seorang Ratu yang suaminya sedang berada di tempat jauh, bertanya-tanya pula dalam hatinya tentang keberadaanku. Rindu untuk dapat bertatap muka dan berbicara sebagaimana sedia kala.
Kutahan hatiku untuk mencukupkan keberadaanku di tengah padang belantara sunyi ini, sampai suatu ketika, di siang yang sepi, keheningan belantaraku dirobek oleh suara salak murka dari sekawanan anjing yang berlarian menuju ke tempatku. Kutarik busur, kulepas sebatang anak panah ke arah gemerasak semak yang diterabas kawanan itu, dua-tiga suara lolong panjang terdengar, lalu suara salak menjauh. Sepi kembali.
Tiba-tiba dari sudut gerumbul semak muncul seorang kesatria berpakaian pemburu, yang wajahnya bercahaya, yang matanya berkejap laksana bintang kejora menggambarkan kecerdasannya yang amat sangat. Aroma yang kutangkap, mengisyaratkan bahwa beliau adalah Raden Arjuna, seorang kesatria tersohor di seluruh jagad yang kesaktiannya bahkan diandalkan para Dewa. Seorang kepercayaan Kahyangan Giriloka, yang beristeri seorang bidadari, Dewi Supraba. Aku takjub melihatnya, dan merasa sangat bahagia dapat berhadapan dengannya. Kulihat di tangannya sebuah busur dan sebatang anak panah berkilauan matanya, namun masih lebih menyilaukan lagi wibawa Sang Kesatria Lananging Jagad ini. Kusampaikan salam, kusapa namanya dengan takzim.
“ Selamat datang wahai Raden Arjuna, Sang Kesatria Panengah Pandawa”.
Tampak sejenak dia terkejut, ketika kusebut namanya, lalu pandangannya tampak menyelidik.
“Siapakah engkau, wahai pemanah, yang telah membunuh tiga ekor anjing pemburuku dari kejauhan, dan apakah yang sedang kau lakukan di tengah padang belantara ini ?”
“Aku adalah Palgunadi, seorang yang sedang mengasingkan diri, belajar dari Mahaguru Resi Durna”
Lalu tiba-tiba Arjuna pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah katapun. Sejenak aku menjadi terheran-heran. Apa gerangan yang terjadi, sehingga dia meninggalkanku begitu saja, sebelum aku sempat meminta maaf kepadanya karena secara tak sengaja telah membunuh anjingnya. Aku sangat ingin berkenalan dengannya, dan kalau mungkin bersahabat dengannya, belajar darinya, bahkan aku ingin kalau bisa menjadi saudara setianya. Sungguh sebuah kehormatan tiada tara, apabila keinginanku dapat dikabulkannya. Menjadi teman dan saudara dari seorang murid terkasih Pandita Durna, yang akan menjadi penawar kegagalanku dalam berguru langsung kepada Sang Pandita. Tetapi belum sempat semua anganku kuwujudkan dalam sebuah permintaan kepadanya, dia pergi begitu saja tanpa sepatah kata diucapkannya.

Aku memutuskan untuk kembali kepada rakyatku, ke kerajaanku di Paranggelung, kepada isteriku Anggrahini yang teramat setia dan kucintai. Namun, tanpa kuduga, tiba-tiba di padang belantaraku tercium aroma seribu kesturi, aroma penuh kemuliaan. Tanpa kuduga, tiba dihadapanku hadir Maharesi Durna diiringi oleh Raden Arjuna dengan pakaian kebesaran kesatria yang berkilauan. Segera aku tunduk bersimpuh dihadapan Sang Mahapandita. Kusampaikan baktiku serta rasa terima kasihku karena beliau telah sudi datang pada saat aku bersiap mengakhiri masa pengasingan diriku yang panjang, untuk belajar dengan ‘bimbingannya’. Kusampaikan pula:
“Kiranya Sang Mahapandita sudi memaafkan kelancanganku, berani menerima kehadiran Paduka di tempat yang tidak semestinya. Sesungguhnya, aku sangat berterimakasih karena Sang Resi telah mengajarkanku segenap ilmu dengan cara yang luar-biasa selama ini. Aku, Palgunadi dari Paranggelung mohon dijauhkan dari kemarahan atas segala kekhilafan ini”
Dan beliau menjawabnya:
“Apakah tanda baktimu kepadaku, wahai Palgunadi, tanda bakti seorang murid kepada gurunya yang telah mengajarkan kepadamu segala ilmu ?”
“Apapun yang kau minta, wahai guruku, akan kuserahkan kepadamu”
“Permintaanku tidak terlalu banyak, bukan emas-permata, kerajaan ataupun sisa hidupmu, tetapi cukuplah Mustika Ampal Kombang Ali-ali yang ada di ibu jari tangan kananmu, wahai Palgunadi”

Serasa sejuta kilat-guntur meledak bersamaan di kepalaku. Sejenak aku tertegun. Lalu kemudian pelajaran dari Sang Guru yang selama ini kuperoleh dalam renungan-renungan panjangku terlintas dalam pikiran. Alam telah menunjukkan kebesarannya. Tanda-tandanya dapat kubaca dengan jelas. Pengabdianku kepada kehidupan telah tiba pada saat akhirnya. Aku harus meninggalkan hiruk-pikuk dunia beserta segenap isinya, untuk kembali kepada alam abadi. Terbayang wajah duka seluruh rakyatku, terbayang wajah duka isteriku, Anggrahini, yang dahulu ketika aku pamit pergi, telah mengantarku dengan segala doa-puji serta janji setia. Terbayang senyumnya yang menyejukkan, aku percaya dia akan menyusulku nanti.

Kutetapkan hatiku. Ini adalah saat yang luhur dan mulia bagiku. Melepas segala nafsu duniawiku, melepas segala rasa khawatirku akan kehilangan terhadap sesuatu. Akan kulepas Mustika Ampal Kombang Ali-ali dari ibu-jari kananku, yang berarti pula dengan itu hidupku akan berakhir. Kupersembahkan milikku ini kepada guruku.

“ Wahai guru yang mulia, keinginanmu adalah sebuah kehormatan bagiku, mati demi guru yang kuhormati dan kumuliakan sungguh adalah kematian terindah yang tak pernah kubayangkan akan kujalani. Perkenankan aku bersimpuh untuk berterima kasih atas segala kemurahanmu, kebijakanmu dan kemuliaan hatimu. Aku tetap rindu untuk dapat menyertaimu, wahai guru, sebagaimana aku telah ‘bersamamu’ belajar segala kearifan selama ini, hingga aku mampu membaca segala tanda-tanda zaman. Ampunilah aku dengan keinginanku untuk tetap mengabdimu, wahai guru. Kalaupun aku harus pergi sekarang, aku akan tetap menantimu dengan segenap rindu dari seorang murid, aku akan menjemput kedatanganmu kelak setelah selesai dharmamu. Wahai guru, aku akan tetap menantimu di swargaloka”
“Lakukanlah!”
Kulolos cincinku dari ibu jari tangan kananku. Kuserahkan ke genggaman guruku yang mulia, yang tangannya baru dapat kusentuh pada saat akhir ini. Harum.
Aku terkulai, jatuh tersimpuh.
Lemas tepat di hadapan kaki Guruku berdiri.

Lalu kulihat pelangi membusur dari arah rubuhku, membubung tinggi ke langit tujuh lapis.
Akupun pergi ke arah cahaya-cahaya yang mempesona.
Kulihat, di kejauhan sana, Anggrahini menyusulku dengan segenap kejelitaan dan kesetiaannya.
Aku teramat bahagia......

13 komentar:

  1. wah, kisah yang menarik dan mencerahkan, pak. demikian jagumnya palgunadi, ksatrua paranggelung itu terhadap pandito durna, tokoh yang dalam jagad pewayangan disebut2 sbg tokoh yang kontroversial. tapi menurutku, durna memang figur seorang tokoh yang manusiawi, punya kelebihan dan kekurangan. semoga kita para pemimpin di negeri ini mengambil hikmah di balik ketokohan sang durna, mahaguru dari sokalima itu.

    BalasHapus
  2. Ini cerita gambaran balita yg masih mulus putih belum terkontaminasi penyakit hati. Padahal tokoh2nya sudah gerang2 bahkan bau tanah yg tentu saja penuh dengan virus2 dihatinya yg penuh warna, intrik, ambisi dan semangat. Tapi oleh sang dalang yg begitu piawai telah brhasil mengafdruknya dg mono chromatis sehingga menjadi printout yg sangat bernuansa kahyangan suatu kehidupan yg 'aromatis polos datar tenang penuh idam impian'.
    Salut buat ki Paromo yg telah berhasil dg smooth membalikkan 'prisma' sehingga membuat penikmat terbius, tidak terasa, terhanyut bersamanya.
    Nuwun.

    BalasHapus
  3. saya suka alenia terakhirnya pak...

    BalasHapus
  4. @pak guru: cuma disaring yang alus2 saja kok, ampasnya saya sisihkan, buat pakan brekasakan.. hehehe
    @kakang bethoro: anggap saja dialisis, biar seger
    @senja: langit senja berpelangi ....

    BalasHapus
  5. wuihhh................tenan ik, aku seneng banget baca yg gini2...
    gaya cerita ini mengingatkan pada buku " anak bajang menggiring angin"
    gaya bahasanya itu looh......

    terus ndalang yo mas

    BalasHapus
  6. Wuuiih.... ceritanya panjaaang bangeet...
    Saya senang dengan lakon-lakon dalam pewayangan, semua menjadi gambaran kehidupan manusia.
    Melamar untuk menjadi seorang murid begitu sulitnya. "Jer basuki mowo beo"
    Bagaimana dengan semangat belajar anak-anak kita?

    BalasHapus
  7. @wieda: ndalange nek cocog sindennya. trims ya
    @mbah: kebablasan mbah, maaf ya, 10 rb kata lebih, kadung mood...

    BalasHapus
  8. Wah ini renungan sangat sakral seorang murid. Saya pengin sebenarnya ttp tak gampang. Sewaktu kelas lima SR, sesaat latihan nyanyi temen sebelah saya Yono tertidur. Guru marah sekali, Ambil keset dilempar ke Yono sambil bilang " Anake Kastawi ora ngerti tata. Kon rene Kastawi bapakmu tak idak idak-e. Wis suwe aku ora mateni uwong je". Kastawi adalah ayah si Yono. Pulang sekokah Yono menggumam "Muga muga pak Guru disamber bledhek" Kok ora isa kaya Palgunadi ya?
    Ki Ageng Similikithi

    BalasHapus
  9. @ki ageng: pak guru sadis itu, tapi kesadisannya bikin saya ketawa ngakak, mungkin karena akhirnya pak guru itu juga jadi sultan nDemak ya!

    BalasHapus
  10. Kalau saya lebih tertarik umpatan Yono yang wajar, polos dan lugu (lucu guoBlog)
    Kalau pak guru sih harap dimaklumi (sinthing).

    BalasHapus
  11. wah cerita adaptasi dari ekalawya yah?? Cerita aslinya kan dia dari golongan Sudra, makanya ga diterima jadi murid oleh Drona. Disini kok malah jadi raja yah. Jadi alasan penolakannya ga jelas..
    salam

    BalasHapus
  12. begitulah
    sumber jawa me'raja'kan ekalawya
    persepsinya tentang penolakan durna adalah imajinasi saya semata
    maafkan dan terima kasih atas kunjungan anda

    BalasHapus
  13. mmmm.... agak berbeda dengan yang diceritakan bapakku kepadaku...
    tapi secara keseluruhan sama kurasa.

    salam kenal.

    BalasHapus