Namanya Panuroto, pekerjaan mbecak, anak ada lima, rumah petak kos-kosan.
Hari Minggu (libur juga, mbecaknya) pagi jam sepuluh, sambil ote-ote tanpa baju dan cuma bercelana kolor komprang, duduk di becak. Sebatang rokok diisap berkepul-kepul asapnya. Becak diparkir di ujung jalan buntu yang dibuntu oleh kompleks kos-kosan. Tempat parkir yang teduh dan nikmat untuk bersantai menikmati hari libur. Dari dalam petak kos-kosan terdengar bunyi gending Jawa yang bergema lewat salon speaker. Panuroto menikmatinya sambil liyer-liyer, matanya setengah terpejam, kepala disandarkan di sisi dan kakinya methingkrang sebelah. Wah, seolah dunia adalah tempat laksana sorga, sayang untuk tidak dinikmati.
Namanya Mehbuthak, juragan, punya rumah loteng, rukonya paling tidak ada dua, mobil dua, belum lagi yang lainnya. Anak ada dua. Kerja ndak kerja duit datang sendiri. Minggu pagi mukanya sedih, pandangannya menerawang jauh, ke sebuah tempat idaman yang bernama desa Entah Mana yang dia sendiri belum tahu tetapi ingin benar ke sana, untuk tinggal di sana sendiri. Angannya melayang untuk segera pergi meninggalkan semua yang dimiliki. Apapun. Rumah, mobil, harta, teman, saudara, bahkan anak dan isteri. Gelisahnya sulit difahami. Aku jangan kaucari, katanya, karena begitu aku pergi tak akan ada yang bisa menemukanku lagi.
Dan misteri dalam perjalanan kehidupan setiap manusia terkadang baru terbaca setelah waktunya berlalu.
Besok hari Minggu, berminggu-minggu setelah hari Minggu yang itu.
Nek wis seneng mbok boncengan sepeda.... nikmat rasane, tapi nek gak cintrong mbok numpak'o mercy.. panas hawane.
BalasHapusBondo ora keno kanggo ukuran roso ati......
"Panu"nya sekujur badan atau rambutnya yang tinggal beberapa lembar alias buthak akibat mikiri negara, dihadapan Tuhan sama saja.
BalasHapusGajah mati meninggalkan gading, manusia mati?..... ninggali utang.. waduuh.. kasihan anak cucunya.
He he .... eyang mati ninggali BLog ... biar jadi kenangan sepanjang masa...
BalasHapussemoga
BalasHapus