Salah satu sahabat saya, Kang Deddi Jusuf Waldy pernah menyampaikan bahwa : hidup menjadi penuh semangat, karena adanya ketidak-pastian di dalamnya. Semula saya tidak faham apa yang dimaksudkannya, tetapi setelah saya runut akhirnya saya simpulkan bahwa ketidak-pastian akan segala sesuatu yang akan terjadi telah membuat setiap orang melakukan antisipasi agar hidupnya tidak tergulung habis. Antisipasi, melahirkan tindakan yang dilakukan (tentu) dengan semangat, karena semangat akan menghasilkan akselerasi.
Pagi hari di kota-kota besar, berangkat ke tempat kerja atau ke tempat sekolah memerlukan sebuah perjuangan melawan kemacetan lalu-lintas terkadang juga cuaca (hujan, banjir) agar tiba di tempat tepat waktu. Persiapan yang dilakukan tentu cukup banyak. Mulai dari bangun tidur tepat waktu, mandi dan berdandan dengan cepat, bekal buku-pekerjaan-makanan yang sudah harus disiapkan dengan rapi, maupun kendaraan yang well-driven. Termasuk pintu pagar yang sudah bebas gembokan (maklum, maling sudah semakin canggih, kendaraan,tas kerja dan laptop di ruang tamu yang sudah disiapkan untuk berangkat kerja disamber justru pada saat-saat genting pagi hari). Semua tentu dilakukan dengan semangat, yang didorong oleh kekhawatiran terhadap kemungkinan terjadinya hambatan dalam perjalanan menuju tempat kerja dan sekolah. Agar tidak terlambat sampai di tempat kerja dan sekolah..
Semangat Sarapan
Kompetisi sudah dimulai sejak bangun tidur, oleh yang bangun tidur maupun para stake-holder yang mempunyai kepentingan dengan momentum bangun tidur ini.
Sarapan pagi, ritual mengisi perut di pagi hari dimeriahkan dengan banyak pilihan. Minum air (cuma air?): di pikiran kita disajikan banyak pilihan, mulai dari air keran PDAM yang dimasak, atau air kemasan dengan segala merek. Dengan gula, mau yang biasa berwarna butek kecoklatan dan berbutir besar tak beraturan, yang putih lembut dijual curah, gula kemasan bermerek, gula cube, sachet atau gula bebas kalori dan gula khusus bagi orang yang merasa membutuhkan karena harus menjaga diri dari gejala kencing manis. Banyak pilihan. Demikian pula dengan teh, susu, coklat, kopi, jus buah sampai kepada roti, mi instan atau telur (dengan omega 3, bebas kolesterol, etsetera, etsetera).
Pertanyaannya: bagaimana produk-produk itu pada pagi yang serba-tergesa itu dapat sampai ke depan mulut kita yang bersegera ngemplok ? Tentu karena produk tadi telah kita siapkan sebelumnya. Tetapi kenapa kita memilih produk tersebut ? Banyak alasan dan pertimbangan, mulai dari yang paling rasional atau dirasional-rasionalkan sampai yang tidak rasional gara-gara pesona iklan.
Saya berpikir bahwa yang kita makan pada saat itu di samping makanan, juga iklan! Iklan yang begitu canggihnya telah mengobok pikiran hingga hasilnya berupa keputusan untuk membeli dan mengkonsumsi makanan/minuman tersebut. Padahal, menurut yang saya pernah dengar, biaya iklan untuk bahan makanan seperti itu nilainya dapat sampai senilai harga pokok produksinya! sehingga umpama sebuah produk sekali makan berharga dua ribu rupiah, sebenarnya nilai fisik yang kita telan hanya seribu rupiah (atau separonya). Toh tetap dianggap murah saja. Seperti mi instan yang seharga delapan ratusan rupiah sebungkus, maka dengan asumsi seperti tadi sebenarnya nilai dari bahan-bahannya hanya empat ratus rupiah! Empat ratus rupiah sudah termasuk bumbu, minyak dan aksesoris pelengkap lainnya.
Kompetisi antar produk ITU vs INI, iklannya selalu menyajikan kelebihan dari produk pesaing. Saya jadi berpikir, kelebihan-kelebihan tadi jangan-jangan dikompensasi dengan mengurangi jumlah, jenis dan mutu bahannya.
Contoh: mi instan yang konon dibikin berbahan-baku tepung terigu (imporlah, pulak!).
Dari 65 atau 85 gram per kemasan, berapa gram sebenarnya tepung terigu yang ada di dalamnya? Lalu ketika ditambahkan ‘kelebihan yang lain’ maka ‘kelebihan’ tersebut tentunya akan dikompensasi dengan mengurangi berat terigu, dan selanjutnya agar tetap 85 gram, maka sebagian terigu akan ditambah dengan ‘pengisi’ atau filler. Apa yang diisikan sebagai filler ? Pasti bahan yang lebih murah ketimbang terigu. Bisa tepung yang berasal dari biji-bijian sejenis, bisa juga ‘tepung-tepungan’. Jadi sebenarnya apakah yang kita sarap di pagi hari?
Saya juga sesekali makan mi instan, yang diproduksi oleh banyak perusahaan dengan berbagai merek. Tetapi lama-lama ngeri juga mendengarkan cerita-cerita tentang penggunaan filler, penyedap, pewarna, bahan baku dengan grade ke sekian, sampai bahan pengawet yang digunakan. Yang saya bayangkan: mulut, tenggorokan dan perut saya laksana mulutnya pabrik besi, di mana dimasukkan berton-ton besi rongsokan berkarat bercampur tanah, ditelan oleh mesin dan kemudian diproses di dalam pabrik, dan hanya sepuluh-dua puluh kilo besi murni yang dihasilkan. Membayangkannya, menjadikan saya ingin muntah saja.
Benar juga yang Kang Deddy Jusuf Waldy katakan. Hidup menjadi penuh semangat, karena adanya ketidak-pastian di dalamnya. Itulah rupanya yang mengilhami dunia dagang sehingga demikian hebatnya semangat tempur para pelakunya. Berusaha mati-matian agar produknya tetap survive di dunia usaha, agar begitu mata kita melek di pagi hari, produk yang dijualnya sudah tersenyam-senyum genit menggairahkan di depan mata kita , memancing hasrat untuk memilih dan menyantapnya penuh semangat.
Selamat sarapan pagi dengan semangat, meskipun saya tidak ikut menemani Anda.
Hmm, menarik sekali, semangat sebuah kata yang begitu terasa heroik buat saya, karena kadang tak mudah melakukannya, terkadang keinginan berkompetisi, keinginan menjalani hidup yang penuh ketidakpastian ini sampai ke titik jenuh, dan sayangnya kemudian titik ini dimana semngat sudah nihil digantikan dengan putus asa, membuat beberapa manusia mengakhiri hidupnya. *nyambung ga ya* :)
BalasHapusah sayangnya saya jarang sekali sarapan dan memilih menjamak dalam brunch yang dipaksakan ^_^
BalasHapussemangat yah... rasanya sudah lama si semangat itu tidak mampir di dalam saya..
@nenyok: ngeblog adalah salah satu cara merecovery semangat
BalasHapus@natazya: semangat menjama' sarapan yah!