09 Oktober 2008

Sekolah Saya, Guru-guru Saya

Guru Geometri saya di SMP bernama pak Sutikno. Tinggi, kurus, dan konon terkenal kejam nian dalam memberi nilai.
Soal-soal yang diberikan di kelas, sebagai PR maupun dalam ulangan, harus diselesaikan dalam format baku, yaitu:

Diketahui : Segitiga ABC; sudut B= 90derajat; AB = 3cm; AC=5cm
Hitung      : BC
Jawab       : .................. (hitung sendiri!)

Beliau sangat disiplin dalam mengharuskan para muridnya menggunakan format seperti ini. Bahkan penempatan tanda titik-dua (:) harus lurus dengan tanda di atasnya! Batas antarunsur harus ditulis dengan titik-koma. Di luar standar baku tersebut, meskipun jawaban akhirnya mutlak benar, nilai yang diberikan tetap akan dikurangi, bukan sepuluh tetapi sembilan.
Memberi nilai juga demikian tegasnya, tidak ada nilai dalam bentuk bilangan antara nol dan seratus, tetapi nol sampai sepuluh, tanpa tengah-tengahan. Jadi jangan berharap ada nilai empat setengah atau tujuh setengah. Empat atau tujuh. Tegas sekali.
Waktu berlalu, dan saya sebagai murid ketika itu belum mampu menangkap maksud beliau, mengajar dengan gaya yang demikian lurus dan kakunya. Ternyata yang dilakukan beliau adalah mengajarkan sebuah model : konsistensi dan format. Juga habit. Itulah yang diajarkannya disamping kompetensi beliau mengajar ilmu eksakta.
Murid, eh, siswa disamping diajarkan untuk menguasai ilmu eksakta juga dibiasakan untuk berperilaku tertib, mengikuti aturan, rapi, menghargai nilai dan banyak hal lain lagi.
Beliau (ketika itu) sedang memproduksi dan menduplikasikan sebuah model sikap: lugas.
Bukan main!
Saya pikir tadinya hanyalah beliau seorang diri, guru yang melakukan hal tersebut, tetapi setelah saya rewind memori saya, hampir seluruh guru saya ketika itu mempunyai pola yang sama, meskipun disampaikan dalam cara yang berbeda-beda.
Bahkan, demikian pula guru saya yang lain, pak Djiwanto dalam pelajaran budi pekerti. Pelajaran ini disampaikan dalam bentuk dongeng serial Siegfriedo dan Putri Joharmanik. Pelajaran yang paling menyenangkan ini, diberikan pada dua jam pelajaran terakhir di siang hari menjelang pulang. Setidaknya ada beberapa generasi kakak-kelas dan adik-kelas saya mendapatkan dongeng tersebut. Drama berlatar belakang perang, kekuasaan dan percintaan. Yang satu dengan setting Eropa dan satunya Timur Tengah.
Dalam menyampaikan cerita ini, pak Djiwanto memompa pikiran para murid dengan nilai-nilai patriotisme, heroisme, tanggung-jawab, kesetiaan dan banyak hal lain yang intinya adalah keteladanan.
Saya pikir, sekolah ini adalah sebuah percetakan, tetapi yang dicetak adalah format berperilaku. Sebuah format yang diharapkan dapat digunakan sebagai alat untuk menjawab tantangan zaman oleh para muridnya di kelak kemudian hari, ketika mereka sampai pada masanya untuk berhadapan sendiri dengan kehidupan masing-masing.


Saya merindukan sekolah ini, tempat saya pernah belajar menjawab PR dari pak Tikno tentang berapa panjang BC, juga tempat saya menyaksikan teman-teman saya dengan pandangan terpukau menyimak cerita dan membayangkan Siegfriedo ketika pak Djiwanto mendongeng.
Sekolah saya yang sungguh menyenangkan, dengan tanah-lapang berumput hijau dan pohon cemara yang berjajar dan juga kolam-kolam ikannya, sekolah saya yang terletak di sisi Kali Lamat, Muntilan.
...............................

Beberapa hari lalu, saya datangi sekolah itu. Tampak luarnya masih tetap seperti sekian puluh tahun yang lalu. Dan ketika saya masuk ke dalam kompleksnya, amboi, umur ini rasanya mundur sekian puluh tahun. Melihat selasar dan tiang-tiang penyangganya, tanah lapang, sudut tangga, jendela-jendela, jalan aspalnya ....

16 komentar:

  1. Seperti apa nanti murid2ku mengenangku ya? *jadi mikir*
    ah, sesuai pemikiran mereka tentang aku saja..
    Tapi akan senang sekali kalo mereka mendapat nilai2 implisit yg positif yg mgkn secara gag sengaja aku berikan :p
    *a hope of a humble teacher*

    BalasHapus
  2. Mohon maaf lahir batin juga "bopo suhu" memang y
    ang muda2 banyak salahnya, minta maaf saja sdh keduluan locianpwe..he..he..tapi bukan berarti kita lupa dgn suhu2 kita..never !! Biar kita selalu ingat 'jurus aji suko lakukan selagi bisa' saya mohon ijin membuka kitab lontar dari blog locianpwe di PG Padjarakan Way. Salam kangen selalu dari kita..Something best will never die...

    BalasHapus
  3. @gusagus:
    mripatku mbrebes-mili (keculeg gagang tesmak), ketakutan namaku dipasang bagai seleb dan caleg,
    salam dari mbokde kita yang jualan beras di pasar

    BalasHapus
  4. Umur tidak mungkin kita tarik mundur menjadi muda lagi, tetapi semangat bisa dibikin seperti waktu muda, caranya antara lain bernostalgia, dengan itu semangat membara lagi seolah2 masih berumur seperti dulu lagi. Selamat atas jalannya, sesekali perlu sampai ke Wingko.

    BalasHapus
  5. Jadi selama hampir sebulan nggak terbit ceriteranya bernostalgila eh.. nostalgia tho, selamat bernapak tilas dan mengenang Pak Tikno dan Pak Djiwanto. PF blognya mulai pakai foto, biar Eyang Bethoro kepincut.

    BalasHapus
  6. Waduh ..satu bulan menghilang dari orbit rupanya baru pindah chanel ke daerah AA , pantes saja radarku nggak monitor keberadaan karena salah sorot masuk ke wilayah L , S , W , N ,P , AG, pokoknya semua karesidenan di sisi timur.

    Tapi , mengunjungi daerah yang penuh nostalgia bisa membangkitkan semangat ( betul kata Mas Sito ) . Mudah2an sempat naik dokar bernopol KTA ...

    wassalam

    BalasHapus
  7. @ mas sito: begitulah angen-angen saya, mas sito, jalan-jalan dari ndeso ke ndeso, jajan dawet, lopis dan semacamnya, ke wingko-mbugel-nggrantung dan sekitarnya. mudah-mudahan dikeparengKe
    @si mbah: saya takut kalo eyang ustadz kepincut, nanti malah didukani karena merusak iman :)
    @raf: dik, saya kepengin numpak dokar, ning ndak tega liat kudanya stres sama pitmontor sing mlakune 'nyebal-toto'

    BalasHapus
  8. Eyang jadi bingun sendiri. Produk pendidikan yg rapi dan tertib korupsinya juga rapi dan tertib, dengan kompehensif modern korupsinya tambah maju. Maunya diajari maling kabeh biar jadi orang bener gak keblinger.

    BalasHapus
  9. nostalgia SMP nih ceritanya pak ?
    sekolahnya bagus dan bersih ya

    BalasHapus
  10. @eyang: alhamdulillah, eyang sudah rawuh ...
    semoga tetap jernih ..
    @elys welt: saking nafsunya, saya ngibrit tinggalkan rombongan karena mau blusukan ke 'tempat2 bersejarah' ...

    BalasHapus
  11. waduh, nostalgia...mengharu biru tuh ya pak....

    BalasHapus
  12. @mbak endang : iya jee mbak, nostalgi masa remaja byayakan !

    BalasHapus
  13. Kita belajar hidup banyak dari sekolah. Dari para guru, apapun kata dan siapapun mereka. Sekolah selalu menjadi kenangan indah sepanjang masa. Saya masih sempat mengunjungi Sekolah Rakyat setiap tahun. Salam damai

    BalasHapus
  14. Salam
    hmm cara mencetak yang mendekati ideal meski produknya tak seideal tokoh2 yg digambarkan dalam siegfriedo, so bagaimana dengan sekarang, pendidikan sepertinya dominan transfer konteks and teks :D *sotoy sayah*

    BalasHapus
  15. neny, pak+bu guru makin pusing ajah, tugas selain mengajar seabrek, sehingga kekurangan kesempatan buat memberikan kasih-sayang kpd para muridnya , padahal itu 'ruh'-nya mengajar (kata saya lho)

    BalasHapus