Kelompen kayu yang biasanya digunakan ke kamar mandi, ditempat asalku disebut teklek (bagaimana menulisnya ya, supaya kalau diucapkan bisa persis?). Benda ini adalah sepotong kayu dengan selempang karet bekas ban selebar kira-kira dua jari dipakukan disisi kanan-kiri masing-masing dari sepasang teklek tadi, agar bisa dikenakan di kaki. Karena sering terkena air, biasanya bagian tempat paku menjadi lunak, lapuk dan lalu lepaslah karetnya. Pekerjaan memaku kembali karet adalah pekerjaan yang sepele, tapi bagi seorang anak usia 10-11 taun cukup sulit juga rupanya.
Itulah,
Ketika itu aku lagi mandi, dan mendengar dialog lucu antara bu Harto dan putranya: Gik! Tulung teklek-e sing pedot dipaku ! (tolong tali klompen yang putus dipaku) - Ra iso ( tidak bisa) – Disekolahke angel-angel, maku teklek we ra iso ( kamu kusekolahkan susah-susah, masa memperbaiki begitu saja tidak bisa) – lha nang sekolahan ra diajari maku teklek kok! (soalnya di sekolah kan tidak diajarkan memperbaiki teklek!)
Gik adalah mas Giyarto, teman masa kecilku, aku klas 6 SD, beliau ketika itu klas 2 SMP.
Beberapa bulan yang lalu, ketika sedang nyasar-nyasar di internet, aku nyangkut ke website seseorang (mohon maaf pak/mas, panjenengan adalah senior SMP saya) yang memajang nama-nama kakak klas saya. Termasuk nama mas Giyarto lengkap dengan foto dan nomor hp/telepon rumah.
Setengah yakin-setengah ragu kukirim sms, yang sekejap kemudian segera di respon (atau recheck, ya?) beliau. Komunikasi gayeng pun terjadi. Tetapi setiap kali, bahwa dulu beliau tidak mau disuruh memaku teklkl eh teklek (susah bener sih nulisnya) lantas beralasan di sekolah tidak diajarkan itu, tetap menjadi kenangan yang mengajuk hati, meskipun yang lain adalah bahwa beliau jagoan aljabar, dan karena itu aku belajar pada beliau sampai menjadi pintarrrrrrrrrrrrrrr ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar