06 Januari 2008

Jalan-jalan

Ketika aku kecil, bapakku sering mengajakku jalan-jalan pagi di hari Minggu. Benar-benar berjalan. Kaki. Lewat desa-desa, sawah, kebun. Melihat rombongan delapan-sepuluh ekor bebek yang satu diantaranya kadang-kadang lagi mengejan untuk bertelur. Melihat seekor ular sawah kecil sedang mencaplok katak. Menangkap capung dan kupu-kupu kecil. Melihat orang membajak sawah, nenek-nenek menganyam tikar, pandai besi membuat sabit.
Sambil berjalan pulang, kadang-kadang bapak membeli buah pepaya yang sesampai di rumah kemudian dikupas dan terasa manis dan segar sebagai pengobat haus.
Diajarkannya aku membuat ‘dremenan’ yaitu peluit dari batang padi yang kalau ditiup akan berbunyi preeeeet...preeeeeet.... , membuat wayang dari seikat rumput atau tangkai daun singkong.
Bapakku pandai nembang Jawa, yang disenandungkannya dengan suara pelan sambil menggendong adikku yang sudah lelah berjalan. Sesekali bercerita isi tentang tembang tadi.
Ritual jalan-jalan sepertinya menjadi kebutuhan, menjadi hari yang sangat menyenangkan sehingga kadang-kadang kami bersaudara bangun lebih pagi dari hari sekolah biasanya dan bersiap menunggu komando bapak: Ayooooo... sekarang kita ke mana..... jalan kaki lho ya.... Tapi, bapak nanti tidak beli apa-apa .... Kita pulang, makan enak karena? Lapaar.
Bapakku seorang pegawai kecil, di kota kecil, tetapi mempunyai andil luar-biasa besar pada diriku.
Adakah kenangan seperti itu masih akan didapat oleh anak dan cucu kita?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar