31 Januari 2008

Bisa Rumangsa

Hari ini aku belajar untuk mengetrapkan budaya sikap 'bisa rumangsa'. Mengukur kesadaran diri terhadap batas akhir masa pengabdian formal di tempat kerja, setelah beberapa saat diperpanjang karena suatu alasan yang berdasar oleh manajemen.
Memang kalau dilihat secara fisik, rasanya masih cukup energi dan potensi yang dapat dicurahkan, tetapi peraturan dan 'keseimbangan' juga perlu mendapatkan perhatian. Toh potensi dan atensi juga dapat disalurkan ke (bekas) tempat kerja melalui berbagai saluran, tetapi tanggung-jawab formal tetap harus dilandasi oleh selembar surat keputusan.
Saat ini tanggung-jawab formal akan segera bermetamorfosa menjadi tanggung-jawab moral. Dan mungkin justru menjadi semakin berat, karena kekeliruan yang dilalukan di masa lalu sudah tidak mendapat ruang dapat diperbaiki sendiri. Orang lain yang mendapat beban untuk melakukan koreksi dan perubahan atau bahkan pengembangan. Dan di situlah dinamika terjadi.
Sadar atau rumangsa (Jw) bahwa keberadaan diri yang berkepanjangan dapat atau berpotensi memperlambat dinamika perubahan menjadi salah satu pertimbangan, sedang pertimbangan lainnya adalah bahwa sudah waktunya aku harus menjadi 'diri-sendiri', manusia bebas yang mempunyai pilihan untuk menentukan arah jalan dan ritme hidupnya. Pada titik ini rasanya siapapun harus mulai belajar melakukan keseimbangan baru untuk meniti waktu agar tidak jatuh, dan kalaupun jatuh harus belajar bangkit lagi.
Dukungan beberapa teman baik untuk pengambilan keputusan ini sangat kuat, disampaikan kepadaku dengan argumen-argumen yang sangat masuk akal, disertai canda dan 'ancaman'. Aku sangat berterimakasih, dukungan itu membuat keputusanku semakin bulat dan kokoh, pemikiranku dan inspirasiku semakin berkembang, batas-batas psikologis yang selama ini melingkupi pikiran semakin tembus pandang.
Aku merasa selama ini berada di dalam tim yang sangat baik, penuh rasa saling percaya, sangat dinamis, memberi ruang gerak agar masing-masing dapat tetap menjadi 'aku'-nya sendiri namun juga berusaha bersama-sama untuk melakukan tanggung-jawab secara optimal.
Tekanan-tekanan yang berat seringkali terjadi, dan itu dirasakan kemudian menghasilkan buah berupa kearifan kerja, sebuah hasil lain yang tak ternilai. Untuk semua itu tentu aku sangat berterima-kasih kepada semua teman dan para atasan.
Kita sudah sampai pada batas waktu masing-masing. Dan ketika itu harus ditandai, tanda yang paling baik adalah sebuah doa. Agar Tuhan Yang Mahamenjaga tetap menjadi pengawal hati supaya masing-masing berada track yang semestinya, sebagaimana yang dikehendaki olehNya.
Waktu memang harus berlalu, karena demikianlah firmanNya. Dan besok sesuatu yang lebih baik tetap menjadi harapan siapapun.

2 komentar:

  1. Ternyata ada filosof di"arena pengabdian"Kok baru menampakkan diri pada saat anda mengakhiri,ataukah anda yang "tertimbun"oleh angka&data,shg aku melihat anda seperti angka 0 s/d 9. Slamat memasuki dunia baru.....
    ------------bravopapa88@gmail.com

    BalasHapus
  2. pak bp, trims komennya,
    critanya, kerna diprovokasi terus:
    (1) sama sodara untuk bikin blog
    (2) sama sodara untuk mawas diri
    (3) sama diri sendiri untuk tetap 'ada'
    kebetulan saja mbledhosnya bar banjir bandhang bengawan solo, sehingga airnya bablas ke mana-mana ....
    tapi tetap berharap bikin adhem dan bangun yang lagi tidur di dalam cangkangnya kepala ....

    BalasHapus