(1)
Tahun 70-an, tempat penjualan buku rombeng di Surabaya ada di Jalan Semarang, sekitar kawasan stasiun Pasarturi. Tempat itu tidak pernah sepi pengunjung. Pelajar, guru dan beberapa orang tua. Segala macam buku ada di sana, mulai dari text-book bekas, majalah luar negeri, novel lama sampai primbon bekas. Aku suka sekali ke sana untuk sekedar cuci mata atau kadang-kadang beli buku yang menarik.
(2)
Tahun 60-an, aku menjadi anggota Perpustakaan Rakyat di Muntilan. Bertempat di sebuah rumah kecil berlantai tanah, berjarak 100 meter dari rumahku di Beteng Kauman, tempat itu laksana surga khasanah pengetahuan bagiku. Segala macam bacaan ada di sana. Mulai buku bacaan (bukan buku pelajaran!) untuk anak Sekolah Rakyat (SD sekarang) sampai buku-buku tebal hard-cover terbitan NV Noordhoff Kolf. Dengan membayar setali (25 sen) sebulan, sekali pinjam paling banyak 2 buku, paling lama tiga hari. Aku menjadi pemakan buku. Dua buku 100-150 halaman harus selesai tiga hari. Berkelana dalam bacaan ke sebuah rumah di pedesaan Amerika, ke jaman purba di mana manusia gua mulai belajar membuat alat-alat untuk berburu, ke sudut-sudut dunia.
Sayangnya, tiba-tiba perpustakaan pindah cukup jauh. Tamatlah petualanganku di dunia imajinasi seorang anak.
Masuk SMP, aku mulai kenal Winnetou dan Old Shatterhand dari perpustakaan Susteran. Juga majalah Intisari yang baru saja lahir.
(3)
Jaman internet, yang adalah pustaka luarbiasa besar memberi kesempatan baru bagiku untuk mengembara ke sudut-sudut dunia, pemikiran dan penulisan. Buku sudah tidak lagi disajikan dalam bentuk seperti pada masa kecilku, tetapi daya pikatnya semakin luar biasa karena mampu hadir seketika di depan kita dengan tampilan yang jauh lebih canggih dan sempurna.
Demikianlah, semua berjalan seiring dengan pergerakan jaman dan pemikiran. Di jaman ini, aku bisa mencoba untuk belajar berbagi isi kepala dengan siapa saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar