Anak polah bapa kepradah adalah ungkapan Jawa yang kurang lebih artinya : ketika seorang anak berkehendak akan sesuatu, orang-tua yang akan bertanggung-jawab untuk memenuhi kehendak tersebut. Sehingga pengertian dasar yang tersirat adalah bahwa orang-tua mempunyai tanggung-jawab untuk memenuhi kebutuhan anaknya. Makan, minum, pakaian, bermain, belajar, sarana dan lain-lain agar si anak kelak dapat berkembang menjadi seorang yang dewasa, mampu hidup layak sebagaimana harapan orang-tua maupun cita-cita anak itu sendiri.
Saya tidak tahu, bagaimana asal-mula sebutan anak-buah bagi ‘bawahan’ di dalam hubungan kerja, di mana atasan sering disebut dan diharapkan menjadi ‘bapak’ bagi bawahannya. Apakah ungkapan ‘anak-buah’ yang bergaya Jawa tersebut masih relevan untuk diterapkan? Karena anak-buah bagi seorang atasan seringkali (atau justru harus!) disikapi sebagai pembantu atau alat penunjang kelancaran tercapainya target, sehingga tidak ada alasan untuk ‘polah’ atau berkehendak.
Seorang anak-buah yang dalam pelaksanaan tugasnya melakukan hal yang berbeda dari yang dikehendaki atasan, biasanya dipinggirkan dari tim, karena dipandang akan merepotkan atau justru potensial untuk menggagalkan pencapaian target yang akan membahayakan organisasi.
Tetapi benarkah sepenuhnya demikian?
Seorang atasan atau pemimpin, tentunya secara terus-menerus perlu berkomunikasi dengan orang-orang di bawah kepemimpinannya sementara upaya pencapaian target sedang berlangsung. Termasuk mengkomunikasikan besaran dan tenggat pencapaian, sarana yang dimiliki, medan yang dihadapi serta berbagai hal yang bersangkut-paut.
Memimpin tim yang utuh dan kompak dengan segala kelebihan dan kekurangan masing-masing anggota memang tidaklah mudah, apalagi kalau kondisi yang harus dihadapi tidaklah mudah. Seorang pemimpin yang senantiasa berada di antara anak-buah dan memandu gerakan tim, akan lebih mudah melakukan proses pencapaian target ketimbang seorang pemimpin yang kadang-kala saja berinteraksi dengan bawahannya. Lebih baik lagi kalau dia menguasai masalah, alat dan memiliki kemampuan komunikasi yang baik.
Di sisi lain seorang anak-buah yang baik akan mencoba memahami peran dirinya di dalam tim dan berusaha melakukan hal terbaik dengan segala kemampuan yang dimilikinya, yakni ketrampilan, pemikiran dan waktu. Pada saat proses yang sedang berlangsung mengalami hambatan, maka dia akan berpikir dan berusaha memecahkan sumbatan sampai hambatan terpecahkan dan kelambatan dapat dikejar. Pada tahapan inilah biasanya terjadi ‘kehendak’ berupa usulan atau permintaan kepada atasan.
Diskusi atau tawar-menawar secara intens dilakukan. Masing-masing mencoba memahami pemikiran, posisi dan situasi yang ada. Berkomunikasi dengan baik, menghindarkan diri dari prasangka-prasangka, membaca ‘peta’ bersama-sama, dan akhirnya bersama-sama menyelesaikan hambatan pada posisi dan batas tanggung-jawab masing-masing. Dengan damai, meskipun tetap bekerja keras.
Anak polah bapa kepradah, akhirnya ungkapan yang tidak tepat dihubungkan dengan keadaan dalam organisasi non-keluarga, karena pemahaman anak-bapak bukanlah sebagaimana anak kecil dan orang-tua dalam sebuah keluarga.
Anak-buah dan bapak-buah, sebuah ungkapan khas Jawa yang sering digunakan dalam konteks lingkungan kerja sudah waktunya untuk dibedah maknanya dan dibuang saja kalau memang dipikirkan akan menghambat gerak pencapaian sasaran.
Setiap orang mempunyai peran masing-masing, dan peran tersebut akan berkontribusi atau merugikan, saya kira sangat tergantung seberapa pas kompetensi masing-masing di dalam tim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar