28 Maret 2008

Iwak tempe dan iwak sambel

Syahdan,
Para pakar biologi nasional, regional maupun dunia jadi mumet tuju-keliling, karena di (seluruh antero) Surabaya diam-diam sudah sejak lama terdengar adanya selentingan tentang ikan-ikan spesies baru. Diantaranya adalah iwak tempe, iwak sambel, iwak krupuk. Spesies langka ini hidupnya bukan di air, tapi di rumah-rumah orang, di atas meja, di warung-warung nasi. Dan keberadaannya sungguh singkat, nyaris tidak pernah lebih dari 24 jam sejak dilahirkan sampai masa ajalnya, terkecuali jenis iwak krupuk, yang umurnya bisa lebih dari seminggu asal ditutup rapat di dalam kaleng atau stoples.
Saya pada waktu pertama kali mendengar hal ini juga kaget, seperti apakah gerangan bentuk dan keadaan iwak-iwak ini. Ketika kemudian melihat sendiri saya jadi kheki, karena ternyata ini bukan mahluk hidup seperti iwak-iwak yang lain tetapi benar-benar tempe, sambel dan krupuk yang sudah sangat saya kenal sebelumnya. Predikat iwak atau ikan, ditambahkan oleh wong Suroboyo sebagai pengganti predikat lawuh atau lauk. Jadi, mangan karo iwak kecap artinya makan nasi dengan leleran kecap di atasnya. Demikian pula iwak tempe, benar-benar tempe yang digunakan sebagai lauk kawan makan nasi. Faham ?
Bagaimana asal-muasal istilah iwak tempe dan kawan-kawannya tersebut saya masih belum tahu, tetapi sebenarnya di sebagian penduduk berbahasa jawa istilah iwak yang berkonotasi lauk juga biasa digunakan. Anda dengar iwak pitik, iwak sapi, iwak wedhus dan iwak kebo ? Iwak yang ini maksudnya adalah lauk yang berasal dari daging ayam, sapi, kambing atau kerbau. Jadi iwak berarti daging. Mungkin karena bagi orang suroboyo jaman dulu lauk daging-dagingan ini adalah makanan orang-orang berklas tinggi yang tidak murah, kemudian masyarakat klas bawah mencoba meng-upgrade sambel, tempe dan krupuk sebagai iwak, supaya bahan-bahan tersebut terangkat derajatnya setara dengan daging. Jadi, makan dengan iwak tempe tak kalah gengsi dengan iwak pitik.
Sebelum saya akhiri, mari kita dengarkan sebuah seruan yang perlu diperhatikan bersama oleh Mentamben dan Pertamina di tengah kelangkaan mitan, Menperindag di tengah kelangkaan migor dan Menkes ditengah merebaknya gibur:
Iwak kecap?? Siapa takut !
Semoga Presiden membacanya.
(Presiden blogger, kali ya?)

6 komentar:

  1. jaman saya kecil wak tik berarti tempe... la wong kalo ditanya ''wis maem?''...''pun''.... karo opo?.. ''waktik'' padahal cuma sama tempe bacem.

    BalasHapus
  2. itu jaman prihatin, mas
    jamannya para orangtua mesu budi dan mesu dhiri untuk kemuliaan anak-cucunya kelak
    anehnya
    jarang yang mengatakan menderita, paling2 merasa rekoso
    rupanya menderita dan prihatin itu ngefeknya beda ya,
    prihatin menghasilkan upaya all-out secara fisik dan spiritual untuk mentas, sedangkan
    menderita menghasilkan perlawanan kepada 'fihak' yang dianggap sebagai penyebabnya
    mas,
    kemarin lagi2 sodara2 kita gebug2an di kendari
    dan para bijak-bestari diam seribu basa
    saya cuma bisa prihatin

    BalasHapus
  3. Di Yogya baru musim nasi penyet. Nasi sama sambel sama tempe atau daging diuleg. Nek tak pikir pikir kok kaya makani manuk tilang, ben sregep ngoceh. Nasi penyet. Le antre nganti suweee

    BalasHapus
  4. Ingat pertanyaan seorang bocah yang ngamen di lampu merah A.Yani-Margorejo, waktu pulang kantor.
    "Pak lik.. pak lik.. Ayo, iwak opo sing nang ndunyo iki cuman ono 2 warnane, putih ambek kuning thok..? Jawabane 500 yo.."

    "Embuh.. gak ruh aku. Opo lho..?"
    "500 disik.."
    Agak keki, saya sodorkan 500 rupiah ke bocah itu. "Iwak opo lho?"
    "Suwun, lik.. Jawabane, Iwak endhog..."
    "#%$&^%* Gdubrakkk....!!^$@#&%"

    BalasHapus
  5. iwak endhog !
    eh, akhirnya gak jadi ngeden tok
    benar-benar mak bruuut !
    lego tenannnn.

    BalasHapus
  6. pak bud,
    di sana ada lagi:
    oseng-oseng mercon !
    yang bisa bikin mak nyasssss !!

    BalasHapus