Saya sering ngenes (apa ya bahasa Indonesia yang pas? berduka hati, barangkali?) melihat patung pahlawan bangsa yang berdiri di perempatan Siola Surabaya. Patung yang dulu dibangun dengan tujuan untuk memuliakan Surabaya sebagai satu-satunya kota yang berpredikat Kota Pahlawan, sekarang dikentutin oleh bangunan pos polisi lalu-lintas, sehingga musnahlah sudah kesan monumentalnya, apalagi kesan heroiknya, apalagi ‘suroboyo’nya.
Itu cuma salah satu ilustrasi, bahwa membangun itu gampang. Asal ada rencana, ada anggaran, ada pelaksana, ada pengawas, bereslah sudah. Apalagi membangun bahasa yang tidak perlu anggaran, karena cukup bondho abab, bermodal bicara.
Ketika berhadapan dengan kata curah dan seseorang tidak tahu artinya maka dia tinggal membuka kamus, selesai. Maknanya segera dapat tertangkap:
- Beras kuning dicurahkan oleh pengantin lelaki ke haribaan pangkuan pengantin perempuan.
- Air hujan tercurah dari langit bagai tak hendak berhenti.
- Minyak goreng curah digelontorkan ke pasar untuk menekan kenaikan harga.
- Dan sebagainya
Curhat. Ini lain lagi, bahasa aslinya sebenarnya ‘sangat melayu’: curahan hati. Tapi tiba-tiba menjadi ngepop-kontemporer ketika direnovasi menjadi curhat. Barangkali terinspirasi oleh curat, curas dan curanmor ya!
Sejarah curhat ini rupanya sudah berjalan cukup lama, mungkin sama tuanya dengan sejarah curas dan curat yang sama ‘cu’-nya tapi beda buntut dan kepanjangannya. Diawali dengan konsultasi pribadi semacam yang dilakukan oleh Ki Ageng Similikithi. Dulunya sih langsung verbal empat mata ( TUKUL = too cool !), lalu tekstual (dengan surat tertulis) tetapi masih empat mata, dua mata penulis dan dua mata pembaca. Jaman tambah maju, pakai telepon (bukan tilpun) atau dua telinga, satu telinga milik pencurhat satu telinga milik tercurhat. Ketika tiba pada era teknologi informasi, curhat di tulis di koran, ditayangkan di televisi (juga bukan tilvisi) bahkan di internet. Dan curhatnya menjadi bagian dari bumbu kehidupan bermasyarakat
Yang dicurhatkanpun sudah sangat beragam sekali, mulai anak suka ngompol sampai pemimpin negara yang sewenang-wenang. Mulai yang biasa sampai yang luar-biasa. Mulai yang bersahaja sampai yang berbahaya bagi kehidupan berkeluarga-bermasyarakat sampai kehidupan bernegara dan umat manusia. Wah terlalu lebar ya, kembali sejenak ke awal ah !
Guru ilmu goniometri saya waktu SMA dulu, almarhum pak Winoto Sugeng, adalah seorang pelatih paduan suara. Ketika menjelang peringatan hari Sumpah Pemuda tim paduan suara sekolah kami harus tampil di pendopo Kabupaten Purworejo, beliau melatih kami menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dalam versi asli, versi WR Soepratman tahun 1928. Di bagian reffrain yang sekarang dilagukan: Indone-sia raya, merdeka merdeka, bunyi aslinya adalah Indones Indones mulia mulia.
Nah, sampai sekarang saya masih belum tahu, kenapa almarhum WR Soepratman membahasakannya dengan Indones (yang biasa dilafalkan sebagai endones), dan kenapa kemudian menjadi IndonesIA. Itu masih menjadi pertanyaan besar bagi saya. Dan pertanyaan lanjutannya adalah: kalau dahulu yang pendek dipanjangkan, sekarang kok justru kita suka bikin kependekan kata ya?
Yang repot lagi, sesudah dipendekkan lalu dilupakan, contohnya : hayooo, siapa masih ingat kepanjangan dari USDEK ?
Kalau saya sih masih sangat ingat sekali: Unjukan Sarta Dhaharan Enggal Katelasna.
Artinya : ngawur pol!
USDEK? ya ''usaha dewek2'' lah. jaman sekiye harus ngurus awak dewek. mungkin BK dulu sudah ngramal nek jaman bakal kaya kiye...☺
BalasHapusngramal usahanya, atau ngramal dewek2nya, atau ngramal susahnya, atau ngramal blog-nya atau ngramal kiye nya atau ngramal apanya?
BalasHapus