26 Maret 2008

Tempe Bacem

Entah kenapa awalnya, ketika mengantar isteri belanja ke pasar Pucang tiba-tiba saya sangat kepengin tempe bacem goreng anget yang digadho dengan nyeplus lombok rawit. Hwahh hsss.... Membayangkannya saja jadi ngiler.
Tempe bacem, tahu bacem yang terkadang bersaudara dengan babat bacem, dalam kuliner jawa termasuk golongan lawuh, atau indonesianya lauk (pauk – kalau macamnya banyak). Pada kategori lawuh ini termasuk juga ikan pepes, ikan goreng, tahu-tempe goreng dan goreng-gorengan yang lain. Semua nya menjadi pendamping nasi dan jangan. Lha ini apa lagi?
Jangan ( yang satu ini maksudnya sayur yang dimasak) biasanya berkuah, bisa encer atau kental, malah kadang-kadang setengah atau hampir kering (ingat? Gudheg !) ‘Jangan’ yang berkali-kali dipanasi (di-nget - jawa) ada yang menyebut dengan blenggrang. Blenggrang yang paling enak biasanya adalah blenggrang ‘jangan’ lodeh. Jadi: ada nasi, jangan dan lawuh dalam sistem kuliner jawa. Eh, 3 in 1 lagi.
Kembali ke tempe bacem.
Dulu, di wetan Njambu Muntilan, ada penjual lawuh bacem-baceman dan goreng-gorengan. Komplit. Barangkali kalau enak sama dengan mak-nyuss, ini masih harus ditambah cleguggg. Uenak tenan pol. Tempe bacem yang bumbunya merasuk sukma, tidak bikin malu kalau dibawa sebagai oleh-oleh kepada pak Presiden sekalipun (eh, kebetulan presiden kita dari pacitan ya, dan pernah di Tidar to?), sumprit!
Ternyata, masak bacem-baceman ini ada varian lainnya, yaitu petis ati sapi. Yang sungguh berbeda dengan petis udangnya Sidoarjo. Petis ati bikinan Muntilan ini paling enak dimakan dengan sego liwet atau sego anget yang di-dang pakai kukusan dan dialasi daun pisang, aromanya mengusik jiwa. Sampai-sampai linak-litu-lingga-lica, lali anak – lali putu, lali tangga, lali kanca. Lupa anak-cucu tetangga dan sahabat, ketika menikmati sego dan petis ati.
Tapi Njambu tinggal kenangan.
Petis ati tinggal memori.
Modernisasi yang sangat giat dilakukan sejak orde baru dan terus berlanjut sampai sekarang ternyata tidak memberi ruang lagi bagi kemanjaan-kemanjaan seperti ini. Nostalgia sekarang menjadi komoditi. Lihat saja, di kota-kota besar, suasana pedesaan dimanipulasi dengan aksesori cangkul, caping, roda pedati, atap damen, disertai lantunan suara musik tradisi yang terkadang nyasar nggak pas dengan format yang tersaji, agar para nostalgiwan-nostalgiwati terobati rindu masa-lalunya.
Nostalgi adalah sebuah komoditi, jadi tempe bacem juga adalah komoditi, ya sah saja. Cuma kalau kemudian atas nama komoditi lalu masaknya dimanipulasi dengan gula pasir, apalagi bahan tempenya sebagian dicampur karag, lha itu sudah menyimpang dari dalil pembuatan tempe bacem yang shahih. Yang nantinya kalau diterak pasti rasanya jadi beda dengan yang seharusnya.
Bagi yang lidahnya tidak terlatih dan peka dengan rasa tempe bacem yang asli, mungkin tempe bacem modifikasi ini dibilang ho-oh saja enaknya, tetapi bagi pakar tempe bacem, dengan melihat, menerawang dan meraba saja sudah pasti tahu keaslian atau kepalsuannya.
Modernisasi juga menghasilkan kesenjangan yang lucu. Seperti pakde Karwo (bukan yang calon gubernur Jatim lho, ini Karwo tetangga jauhnya teman dari misanan iparnya besan saya) yang suatu saat bilang kepada ponakannya:
- Lha kamu, le, mana tahu tempe bacem. Ngertimu lak pitsa, kentaki, spageti yang begitu-begituan. Padahal kita punya tempe bacem, bongko, pelas yang ndak kalah nikmat.
Jawaban sang ponakan sungguh mengagetkan:
- Kapan bude masak yang begituan, pakde? Lagian kan pakde juga yang buka waralaba kentaki di mal xxx sana.
Modar, nggak!!
Yaa, untungnya, isteri saya sungguh pengertian, ketika di pasar Pucang tak kami temukan sepotongpun tempe bacem anget, beliau barusan masak tempe bacem. Itupun dengan bonus: tahu bacem. Dan ketika kemudian digoreng dan dihidangkan anget-anget, Anda bisa bayangkan wahai pembaca, betapa nikmatnya. Sayang ponakan saya nggak ada yang datang, andai saya tahu nomor hp ponakannya pakde Karwo, pastilah saya kabari mereka untuk menikmati tahu-tempe bacem di rumah saya. Tetapi kalau belum keburu habis saya santap lho!

4 komentar:

  1. wah gombale mukiyo,.. peno iku gawe wetengku kroncongan, lambe ngiluer...........☺

    BalasHapus
  2. Kroncong tugu ?
    Kroncong asli ?
    Mangkane, ojok ngingu wong mbambung ndik njero weteng
    tapi,
    sumprit,
    ueenak temen dik!! Wis tah, peno cobak ae !

    BalasHapus
  3. Tahu tempe? sewaktu saya smp itu ibaratnya sukarno-hatta .. dua serangkai yang tidak bisa dipisahkan. dimana ada tahu disitu ada tempe.
    akan lebih afdhol kalau dijambal bersamaan minum pinasgithel. suiiip....

    BalasHapus
  4. nek tambah kopi bagai sukarno-hatta-sjahrir, ya? lha lombok rawitnya ? jepang !!

    BalasHapus