Celengan atau tempat untuk menabung uang pada jaman voor de oorlog (sebelum perang, entah perang dunia ke II atau perang kemerdekaan) berbentuk macam-macam. Konon kata para sepuh di desa, kala itu, di rumah-rumah bambu ada salah satu tiang bambu yang dilubangi secukupnya agar uang logam dapat dicemplungkan di sana. Jangan dibayangkan tiangnya sebesar bambu tiang bendera parpol yang dipasang di jalanan kota. Bambu yang dilubangi untuk celengan biasanya bambu betung yang berdiameter antara 10-15 cm. Dan ruasnya bisa sampai 30 cm. Nah, bila terisi penuh dengan uang logam, maka nilainya dapat menjadi cukup besar, karena di jaman itu bayaran se benggol alias dua setengah rupiah adalah bayaran yang umum di strata pegawai rendahan.
Kalau satu ruas telah penuh terisi maka akan dibuat lubang di ruas lainnya dan demikian seterusnya sampai dapat terbeli seekor kambing atau sapi, atau cukup untuk biaya mengkhitankan anak.
Amankah ? Ya jelas cukup aman, karena letaknya bisa sangat rahasia dan sulit di deteksi kecuali oleh anggota keluarga dalam rumah. Bahkan lebih aman daripada ditaruh di bawah tikar atau kasur (kalaupun punya kasur).
Celengan semacam itu kemudian dimodifikasi sesuai jaman dalam bentuk gerabah model ayam jago, gajah, atau Semar berperut gendut. Penampilan menjadi menarik karena sudah dberi warna dengan cat.
Ada juga yang menggunakan kaleng bekas tempat roti (jaman roti masih menjadi hidangan Londo atau wong sugih). Kaleng ini akan disimpan di dalam salah sudut lemari, kolong lemari atau bahkan terkadang ditaruh di atas empyak (plafon rumah) yang kala itu kebanyakan berbahan anyaman bambu atau bilah-bilah papan. Masih aman, kecuali rumahnya dibobol maling dan malingnya cukup mujur tidak sampai ketahuan dan tertangkap.
Sampai berapa lama proses menabung dapat dilakukan? Semaunya, tanpa rasa khawatir bahwa uangnya bakal tidak laku, karena uang limang sen alias lima per seratus rupiah bertahun 1925 terbitan Javaasche Bank masih sah digunakan sebagai alat tukar sampai awal tahun 50-an. Makanya para kakek dengan tenangnya akan menabung tanpa banyak pikiran.
Sekarang, menabung barangkali sudah sangat biasa, karena sebagian masyarakat memiliki tabungan di bank yang menjadi pilihan masing-masing, bahkan sebagian memiliki tabungan di beberapa bank berbeda sekaligus.
Tetapi benarkah menabung di bank pada jaman sekarang masih mempunyai ‘ruh’ yang sama seperti dulu pada jaman celengan bambu atau celengan semar?
Rasanya kok tidak, karena:
- Namanya buku tabungan tetapi kalau yang tercatat masuk dan keluar dari sana adalah uang gaji, maka mestinya bernama buku titipan
- Setiap bulan kena biaya administrasi
- Dapat menjadi hangus atau diblokir, apabila ‘penabung’ tidak mengikuti aturan yang tertulis yang tercantum di buku/brosur yang terkadang tidak dijelaskan oleh pihak bank dan tidak dibaca oleh nasabah (salah sendiri!)
- Dan lain-lain
Sementara:
- Menabung di celengan semar berarti mengendalikan sepenuhnya hartanya sendiri
- Tidak memiliki saldo minimum, jatuh tempo, biaya administrasi dan lain-lain
- Tidak perlu hilir-mudik atau wira-wiri (riwa-riwi, Suroboyo) untuk ke luar rumah menyimpan uang, dan berapapun yang ditabung atau dipecah jumlahnya bisa sangat rahasia
- Dan lain-lain lagi.
Di jaman sekarang ini, ketika jangankan mencari uang, mencari pekerjaan yang menghasilkan uang bagi kebanyakan orang terasa sangat sulit, sehingga menabung barangkali adalah sebuah kemewahan atau setidaknya lambang kemapanan finansial.
Itupun masih dihantam lagi dengan iklan yang mengiming-iming bahwa menabung adalah investasi, sebuah istilah yang dapat sangat membius dan melenakan nalar.
Saya bukannya antibank, tetapi berkomentar tentang anjuran menabung maka perlu diperhatikan benar-benar bahwa setelah masyarakat mengikuti anjuran tersebut jangan sampai sekedar menjadi obyek penilaian kinerja bank. Berikan pula pelayanan yang adil dan bukannya sekedar sebagai sebuah sumber masukan dan keluaran bagi bank.
Karena,
Meningkatkan harkat dan martabat hidup setiap anak bangsa adalah proses yang mutlak harus dilakukan oleh siapapun termasuk bank, yang menjadi bagian dari proses investasi untuk bangsa dan negara ini, kecuali bangsa dan negara ini memang direncanakan untuk didivestasikan oleh entah siapa kepada entah siapa.
MERDEKA !!!
Sik dadi pertanyaan ngopo'o jenenge ''celengan'' ? Apa ada hubungan nya dengan celeng alias babi ngefet?
BalasHapusKonon jaman kunoooo dulu, manusia nyimpen duit di dlm tanah, duitnya batu akik dan kulit kerang.
BalasHapusUntuk ngambil, musti digali, atau dlm bhs Jawa didusir/digangsir. Persis spt celeng ndusir telo atau kimpul.
Begitu othak-athik saya karena pertanyaan njenengan harus dijawab.
Semoga bisa manggut2