08 Maret 2008

Jangan Hanya Mencari

Sebuah senggakan dari kidungan lodruk cak Kartolo berbunyi:Thithik-thithik kelompukno, nek wis nglompuk: dol..dolen !, yang ketika diiringi dengan kendang, saron gambang peking kenong bonang dan gong bersaudara yang ditabuh secara ekspresif, maka nikmatnya hwah, luarrr-biashhaaa.
Senggakan tadi artinya kurang lebih: Kumpulkan dari sedikit, apabila telah terkumpul cukup maka kemudian juallah. Sebuah rangkaian kata yang sederhana, sangat biasa, encer dan sambil-lalu. Bahasa Suroboyonya gak ngawaki. Mendengarkan senggakan yang tadi saya kok lalu mbatin sepertinya senggakan ini lahir dari pengalaman batin cak Kartolo sendiri, maestro kidungan yang gak ngawaki, sebagaimana lazimnya para maestro kidungan lodruk yang ada. Pengalaman perjalanan berkeseniannya yang panjang dan kemudian lalu dipublikasikan melalui berbagai media yang sangat luas, termasuk barangkali juga karena pembajakan kaset serta rekamannya dalam bentuk yang lain.

Pengalaman yang senantiasa bertambah dari saat-kesaat dalam bentuk pustaka - meskipun seperti yang pernah saya baca di salah satu wawancara dengan sebuah koran – berupa kumpulan catatan kidungan yang cuma ditulis di buku sekrip biasa, dan tentu saja kepekaannya dalam hal seni, manajemen, hubungan antar-manusia serta segala sesuatu yang mengikuti kehidupan berlodruknya. Segenap hal tadi telah berakumulasi dan kemudian dijadikan karya dan disampaikan kepada publik. Sesuatu yang thithik-thithik dikelompukno, kemudian diedol atau dijual. Dijual dalam arti harafiah ataupun dalam arti yang lebih dalam.

Tampaknya dengan senggakan tadi cak Kartolo menyampaikan pesan kepada para penikmat kidungannya bahwa sesuatu yang telah terkumpul memang akan lebih mendatangkan manfaat apabila ‘dijual’. Manfaat kepada penjual maupun pembeli. Karena melalui transaksi inilah manfaat akan menyebar dalam hitungan multiplikasi yang berbanding lurus dengan tinggi-rendahnya manfaat yang melekat pada sesuatu tadi.

Ketika membaca nama kolom yang ditulis pak Bondan Winarno pada majalah Tempo tahun ’76 saya terkejut, pak Bondan yang sepuluh tahun sebelumnya adalah seorang pramuka penggalang dan kemudian saya dengar menjadi jurnalis, ternyata menulis kolom tentang manajemen di sebuah majalah besar. Dan tulisannya sangat saya sukai, karena isi dan gaya penulisan beliau. Saya pikir inilah hasil jualan yang dimodali dari kumpulan pengetahuan dan pengalaman yang telah dicari dan diperolehnya selama ini.
Demikian pula, seorang teman pernah terkejut ketika membaca tulisan di sebuah blog, karena tidak pernah menduga bahwa si penulis ( yang ternyata baru diketahui bahwa itu temannya sendiri) ternyata seorang pencari dan pemulung yang akhirnya ‘menjual’ hasil yang dikumpulkan dan dipulungnya itu.
Bukan masalah kagum-mengagumi atau suka dan tidak, tetapi terkadang seseorang menemukan sesuatu yang dicarinya justru di tempat yang tidak pernah diduganya sama sekali, seperti seseorang yang menemukan segumpal duit lecek seratus ribuan sejumlah tiga lembar di dalam kantong celananya yang sudah sebulan terlipat di dalam lemari sehabis dicuci dan diseterika. Duit yang justru sedang dibutuhkannya.

Sementara ini mungkin blog hanya dibaca oleh beberapa (meskipun jumlahnya banyak) orang yang memiliki sarana dan kemampuan akses, tetapi pada suatu saat apabila fasilitas internet sudah sangat mudah dan murah (sukur-sukur gratis) maka ‘menjual’ apa saja akan menjadi cukup mudah, termasuk menjual pemikiran, oleh karenanya maka penyebaran manfaat akan menjadi lebih luas.
Dan blog menjadi salah-satu wadah yang unik, karena di sana dijual segala rupa mulai yang ‘tinggi’ sampai yang (gaya cak Kartolo lagi:) gak mbejaji, tak berharga sama sekali.

Jadi,
Kepada Blogger:
........... Thithik-thithik kelompukno, nek wis nglompuk: dol..dolen !

Kepada cak Kartolo:
........... Gak melok ngeblog pisan tah cak ?!

Kepada para Caleg:
........... Kapan Anda kampanye komputer dan internet gratis untuk para fakom dan fasa ? .

Ngeblog terus.

5 komentar:

  1. Mas Paromosuko. Jaman dulu ada istilah telepati. Konsultasi spiritual jarak jauh. Sesudah jaman internet pa ya isih dha payu ya?

    BalasHapus
  2. Rasanya perilaku instan dan 'sok' rasional akan mempertanyakan kemujaraban telepati sbg alternatif solusi. Tapi, apa gerangan yg membuat Bapak berpikir ttg telepati?

    BalasHapus
  3. ah tempo dulu ngapain kok dikupas tho?

    BalasHapus
  4. matengnya baru sekarang sih,
    jadi dikupasnya ya sekarang.
    apa ada yang mau saya kupaskan?
    pas saya yang kupas, pasti pas

    BalasHapus