Sripit menggambarkan cara minum yang sedikit dan dikecap untuk menikmati rasa minuman secara cermat.
Sruput menggambarkan cara minum yang dilakukan dengan menempelkan bibir disertai usaha untuk memasukkan minuman secara terukur dan hati-hati ke dalam mulut. Biasanya karena minumannya masih agak panas.
Glogok adalah cara minum dengan menuangkan wadah minum ke dalam rongga mulut yang bibirnya di buka lebar agar sejumlah besar minuman dapat segera tertelan masuk ke rongga perut secara cepat.
Deskripsi ini menggambarkan perbedaan perlakuan terhadap suatu obyek yang sama tetapi untuk kebutuhan dan kondisi yang berbeda.
Kemendesakan, kehati-hatian dan estetika telah menghadirkan perlakuan berbeda terhadap obyek yang namanya minuman.
Saya amat tertarik ketika membaca blog-nya pak Arief Susetiyo di frustrasi.blogspot.com tentang budaya instan.
Instansi (maksud saya peng-instan-an) menjadi sesuatu yang sangat memudahkan ketika kita berada dalam kondisi yang serba tergesa di dunia yang semakin ketet dengan kompetisi. Dunia yang seperti ungkapan: siapa cepat; dapat.
Almarhum kakek saya, mbah Karto, ketika itu mempunyai sebuah teko keramik (tanah liat yang dibakar) dengan volume kuang lebih 200-300 mililiter air teh pekat tanpa gula. Tersaji setiap saat di mejanya, beserta empat cangkir keramik mini, kira-kira berkapasitas 40-50 mililiter.
Saya masih kecil, ketika sering diajak mbah Yudo, adiknya mbah Karto ke Jenar Wetan, dan menguping obrolan serta pembicaraan dua orang sepuh yang banyak tidak saya mengerti maksudnya. Pembicaraan tentang keluarga, politik, penghidupan, dan hal-hal asing lainnya di mata seorang bocah kecil.
Yang terekam kuat dari scene ini adalah begitu intensnya beliau berdua berbicara, dalam nada rendah dan intonasi yang las-lasan, kata demi kata yang jelas. Dan ketika mbah Yudo membonceng saya pulang ke rumah, ekspresi bahagia terbawa sampai beberapa hari kemudian, seolah-olah hasil pembicaraan dengan kangmasnya tercinta itu menghadirkan pencerahan.
Ekspresi yang lebih kuat saya lihat pula ketika menonton filem tentang upacara minum tehnya orang Jepang. Bahkan cara memegang ujung lengan kimono pun supaya tidak ngribeti ketika menuang dan menyajikan secangkir teh dilakukan dengan sangat excellent dan penuh cita rasa estetika.
Dua kondisi yang seirama tadi seolah-olah mengajarkan kepada kita agar membiasakan untuk tidak kesusu-grusa-grusu dalam melihat, mendengar, merasa dan menyikapi segala sesuatu. Mungkin pemikiran seperti ini memang tipikal ‘merasuki’ orang-orang seusia saya, yang setting kecepatan dan kegesitan fisiknya sudah berubah secara alami, dan berdampak kepada caranya berpikir, atau sebaliknya, cara berpikirnya sudah mempengaruhi caranya bertindak.
Saya dulu sering tidak sabar, dibonceng sepeda yang berjalan lambat sehingga berkali-kali didahului oleh dokar dan mobil. Tetapi sekarang saya justru sangat cemas melihat kendaraan dikemudikan bersicepat bersilangan tanpa mempedulikan keselamatan orang lain, meskipun pengemudinya adalah seorang pengemudi handal yang telah sangat memperhitungkan tindakannya.
Membuat segala sesuatu menjadi lebih nyaman adalah naluri manusia dalam menjalani hidup, karena itulah maka lahirlah teknologi autopilot, teknologi bedah mikro, teknologi kopling otomatis, magic-jar dan lain-lain. Tetapi kalau kemudian juga ada senjata biologi, spam dan lain-lain sejenisnya, bukankah hal itu hanya akan menyenangkan atau membuat menang sebagian orang tetapi justru menghilangkan kenyamanan yang lainnya?
Saya mungkin golongan sripit, sementara seharusnya tetap glogok atau setidak-tidaknya masuk di kategori sruput menurut aliran kompetisi.
Golongan sripit adalah sparring-partner yang enak untuk dipukuli, karena balas memukulnya jarang-jarang tetapi kalau dipukul tidak gampang merasa sakit karena sudah kebal pukul.
Disamping itu ada yg namanya ''sedhuut....'' kalo lagi minum soda gembira memakai sedotan plastik.
BalasHapusAtau ''kemot kemot'' kalau bayi lagi ngedhot. ☺