15 Maret 2008

Sepanyol

Ketika Timor Leste merdeka, salah-satu peninggalan Indonesia yang masih berguna di sana adalah Bahasa Indonesia. Berguna bagi setidak-tidaknya para jurnalis media di Indonesia ketika harus mewawancarai tokoh maupun rakyat setempat. Kita dapat melihat di televisi beberapa tokoh Timor Leste berbicara dengan bahasa Indonesia ketika diwawancarai, misalnya Xanana Gusmao, Mayor Renaldo, Letnan Salsinha maupun beberapa orang warga Timor Leste yang lain.
Sebaliknya, di Indonesia sendiri, akhir tahun 70-an muncul beberapa model bangunan bergaya Spanyol. Begitu disebutnya. Atap datar, kolom berderet-deret dengan lengkungan-lengkungan di antaranya, warna dominan putih. Kelihatannya ada pengaruh dari gaya bangunan di Timor Timur (waktu itu) yang nota bene dibangun oleh pemerintah pendudukan Portugis dan bukannya Spanyol. Kasihan ya, yang mempunyai bangunan Portugis tapi namanya disebut gaya Spanyolan. Tapi demikianlah, rupanya yang namanya kekuasaan memang cukup menarik untuk dinikmati, paling tidak merasa punya kekuasaan itu sudah cukup untuk membuat diri sedikit puas. Contohnya, dengan memiliki rumah bergaya Spanyol (Portugis!!!) seolah-olah sudah mempunyai merek sebagai conqueror di tanah moyang sendiri. Entah conqueror dalam soal apa.

Ada yang kemudian terjadi di awal abad 21. Masih soal Spanyol, tetapi ini agak lain bukan Spanyol atau Espagnola tetapi sepanyol. Maksudnya plesetan dari kata separo nyolong.
Sepanyol yang ini konon terjadi di lingkungan tata niaga gula nasional di Indonesia tanah air beta ketika itu, Indonesia yang sejak dulu kala(h).

Ketika harga gula tidak lagi diatur dan dikendalikan oleh Pemerintah, salah satu harapannya adalah peningkatan pendapatan petani penanam tebu dan produsen gula nasional. Peningkatan ini didasarkan oleh perhitungan bahwa jumlah permintaan (konsumsi) domestik yang jauh melebihi kemampuan produksi, yang kata pak guru ilmu ekonomi: permintaan lebih besar dari penawaran, sehingga dampaknya menurut hukum pak guru tadi: harga akan naik. Nyari gula susah kok, sedang yang butuh banyak, begitu gampangnya. Terjadilah.
Harga mbulet ndut-endutan, naik sedikit - balik lagi, naik lagi sedikit - balik lagi, begitu terjadi beberapa waktu. Petani dan sebagian produsen pada awalnya bingung. Lalu akhirnya mafhum setelah intelijen dan tim investigasi terpadu terjun meneliti liku-liku perniagaan komoditi ini.

Ternyata ada yang mengintervensi supply dengan gula impor! Karena gula impor harganya lebih rendah dibanding harga di Indonesia Raya tanah air beta. Ternyata (lagi) sebagian dari yang dijual (yang ini lebih bocengli lagi) adalah raw sugar alias gula setengah jadi yang belum layak dikonsumsi karena masih mengandung beberapa unsur kimia yang seharusnya dihilangkan dengan proses lanjutan. Nah lu! Tentu saja harga raw sugar jauh lebih murah lagi, sehingga pengimpor dan pedagangnya dapat meraup untung besar. Barangkali inilah asal istilah sepanyol yang konon kepanjangan dari separo nyolong.

Setahu saya demikian, tapi mungkin ada yang lebih tahu kisah sepanyol versi lainnya, yang tentunya lebih seru lagi.

1 komentar:

  1. Benar kata eyang canggah wareng kita '' ados gulos ados xemots''
    Kalau tidak salah pernah ada kebijakan pabrik2 gula dijawa mau ditutup katanya rugi terus n kurang lahan. Jadi cukup di monop dari pabrik luar (jawa).. la kok jebule luar sana.

    BalasHapus