Di selasar belakang kantor, saya bertemu dengan seorang senior yang sudah pensiun beberapa tahun yang lalu. Wajah dan perawakannya tak jauh berubah, senyumnya juga. Saling bersapa dan menanyakan kabar masing-masing, lalu : “ bagaimana dik, tahun ini labanya berapa ?” – “ cukup bagus, pak, kecuali kalau nanti cuaca berubah menjadi tidak seperti yang diperkirakan”
Perusahaan di tempat kami bersama bekerja bergerak di bidang agrobisnis (atau agribisnis?), yang sangat dipengaruhi oleh cuaca, terutama pada saat awal pertumbuhan tanaman dan saat panen.
Beliau melanjutkan : “saya dengar sekarang ditanam jenis varitas xxx ya ?” – “ begitulah yang saya tahu dari teman-teman bidang produksi, dan ditanam pada lahan yang masih terbatas”, “ lho! varitas itu sebenarnya kurang cocok lho, untuk ... dan seterusnya.
Lalu : “ waktu saya dulu masih memimpin bidang produksi dik, varitas ...” dan seterusnya, berlanjut : “ siapa sekarang yang jadi boss-nya “, saya jawab “ yunior bapak dulu, ....”, - “mestinya dia kan tahu, kalau ...” dan seterusnya.
Senior saya ini, untuk ilmu teknisnya saya beri nilai delapan bulat. Pengetahuan teknisnya jempolan, alur pikirnya jernih, sehingga sebagai seorang yunior di lintas-bidang, saya merasa bahwa beliau adalah guru yang sangat baik bagi saya dan saya mendapatkan pengantar tentang ilmu budidaya tanaman secara cukup sehingga berani untuk ‘bicara’ dan berdiskusi dengan teman-teman yang kompeten di bidang ini.
Mungkin pengaruh dari kedudukannya sebagai ‘kepala’ ketika masih bekerja, sehingga pada saat kami bertemu tersebut banyak disampaikan komentar (sebenarnya: kritik) terhadap kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh pengganti-penggantinya yang notabene sebagian besar adalah para bekas yuniornya, yang notabene pula pernah di bawah perintahnya ( bahasa feodalnya: dibinanya).
Saya beranggapan ini adalah salah satu wujud post-power syndromme, mengkritik kebijakan penggantinya karena dianggap bertentangan dengan pola pikirnya atau dianggap tidak melanjutkan dasar-dasar kebijakan yang pernah dirintis dan digunakannya ketika masih menjabat. Saya mencoba untuk melunakkan kritiknya : “jamannya sudah berganti, pak. Kondisi eksternal dan internal sudah tidak sama lagi. Paling tidak, pemerintahnya juga sudah berganti, sehingga kebijakan pemegang sahamnya juga berbeda” “Tapi mestinya ..... “ beliau masih tidak bisa menerima rayuan saya, dan dengan semangat 45 masih ngotot melanjutkan “ apa bedanya, tanaman jaman saya dengan sekarang? cara menanamnya, siklus musimnya?... samaaa dikk! Saya jadi kawatir kalau adik-adik saya ini tidak .....” dan seterusnya.
Wah. Ternyata kebiasaan menjadi bos yang di tangannya melekat power cenderung membuat orang lupa bahwa ketika power itu sudah tanggal dari tangannya maka bahkan berkomentarpun tidak akan membuat situasi akan berada pada kendalinya lagi.
Itu menjadi catatan saya, sehingga ketika senior tersebut akhirnya berpamitan pulang setelah saya puas-puaskan beliau menyampaikan isi perut dan kepalanya (sadis amat, ah, bahasanya), dan sebagai yunior yang baik saya doakan semoga beliau tetap sehat dan kami dapat bertemu lagi (untuk saya dengarkan lagi hal yang sama darinya).
Kembali ke ruang kerja saya, dengan bergurau saya bicara sambil berdiri di tengah teman-teman kerja yang saya sayangi : “Wahai sekalian teman-teman, kalau tiba saatnya saya nanti pensiun ( mereka senyum-seyum dan ketawa), tolong ingatkan saya, kalau sampai saya nanti ketemu Anda sekalian dan lalu saya bicara begini : jaman saya dulu, dik...”. Pecahlah tawa di siang hari itu dalam ruangan kami. Karena,
beberapa kali kami ketamuan senior pensiunan yang biasanya saya persilakan duduk di depan meja saya, saya ambilkan minum sendiri (segelas plastik air mineral) lalu sebagai adat sopan santun dan penghargaan, teman-teman lain pada mendekat untuk say hi!
Nah, ketika tamu senior tersebut sudah mulai bicara : “waktu saya duluuu... “ maka satu-persatu teman-teman pergi diam-diam atau pamit dengan alasan melanjutkan kerjanya. Tinggallah saya yang musti bersabar hati mendengarkan uraian repetitif tersebut.
Maka ketika siang itu saya berbicara ingatkan saya, tawa pecah berderai.
Mudah-mudahan ketika saatnya tiba, teman-teman nanti tetap tega untuk mengingatkan saya, dan saya akan berusaha mati-matian mengingatnya untuk tidak bicara seperti itu, meskipun barangkali akan lebih banyak lupanya daripada ingatnya.
(Posting ini saya pikir mestinya judulnya Post-power Syndromme, dan saya tiba-tiba ingat bahwa ada hubungan antara post-power syndromme dengan PRT alias pembantu. Nanti diceritakan lagi)
Kebiasaan orang tua memang 'bercerita kenangan2 jadul' utamanya kesuksesan2 jarang atau malu cerita tetang kegagalan2.
BalasHapusGejala itu bukan PPS yg berciri 'suka memerintah dan minta selalu dilayani'.
Kegemaran orang tua yang lain adalah 'bercerita dan membanggakan' anak cucu.
Hayo.. para eyang2 siapa yang bisa lepas dari kebiasaan diatas?!
heuheuehueheu bner om! post power syndrome itu bikin cape orang laen! dan ya itu tadi... jadi dijauhi!!! hehehe... oh Gusti selamatkan kami darinya... AMIEN hehehe
BalasHapusDikantorku ada yang namanya paguyupan pensiunan bahkan punya ruang kantor segala, tapi saya belum mau bergabung karena "pekewuh" ketemu dengan yunior. Khawatir kalau pamit pulang dikira njaluk sangu. ( Padahal jarum penunjuk isi BBM sudah menunjukkan 1/4 tanki)
BalasHapusMbah suro nek disuwuni sangu gampang.... mesti makbrol jawabane. ''Yo wis tak sangoni slaamet''
BalasHapuspilih mana:
BalasHapuspensiun tetep pasang muka serem
atau muka ramah?
(emangnya merubah tampang semudah itu?)
Bisa serem juga bisa mesem. Awal bulan mesem, akhir bulan serem.... Hiii.... nakutin cucu...
BalasHapusWah saya beberapa tahun lagi juga pensiun je. Dulu ada dosen senior saya yang suka cerita pengalamannya. Selalu mulai dengan kata "Saya ini .....". Lantas seorang teman suatu saat menukas "Saya ini si gembala sapi pak". Marah benar beliaunya. Mas Paromo harusnya ngiyani saja "Wah untung ada saya ya pak sekarang"
BalasHapusCoba saja mungkin beliau tambah bangga. Manusiawilah kita secara tak sadar selalu mengungkapkan sesuatu yang sebenarnya mengungkapkan karya sendiri. Tukang cukur saya waktu kecil, sering bilang kalau Joko Tingkir itu sebenanrya aslinya tukang cukur. Aje gile, tukang cukur jadi raja Demak.
umpama, saya bilang:
BalasHapussaya ini dulu joko tingkir lho...
ki Ageng percaya?
Namanya juga kita pernah kerja di PTP pak
BalasHapus